Budaya dan Sastra Mengalirkan Spirit Mambesak

Mengalirkan Spirit Mambesak

-

Nyanyian Sunyi

Lagu nan sendu
Dan syair yang menawan
Mengalun di sana
Menyayat hatiku

Dan nada yang sendu
Puisi yang menawan
Terjalin bersama
Oh nyanyian sunyi

Tanah yang permai
Yang kaya dan melarat
Terhampar di sana
Di timur merekah

Dan bunyi ombaknya
Dan siul unggasnya
Melagu bersama
Oh nyanyian sunyi

Reef

Surga yang terlantar
Yang penuh senyuman
Laut mutiara yang hitam terpendam
Dan sungai yang deras
Mengalirkan emas
Dan bunyi ombaknya
Dan siul unggasnya
Melagu bersama
Oh nyanyian sunyi

Pendahuluan

Esai ini saya tulis untuk mengenang 39 tahun kematian Arnold Clements Ap. Pada 26 April 2023 lalu, tepat sudah 39 tahun gugurnya Arnold Clements Ap pada 26 April 1984. Arnold adalah salah satu tokoh penting kebudayaan Papua dengan kelompoknya yang melegenda, Mambesak. Mengenang gugurnya salah satu tokoh terpenting budaya Papua itu, saya menyarikan jejak narasi kematiannya dari sebuah buku yang ditulis Geroge Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia (2000) dalam bab “Tumpang Tindihnya Hak Asasi Manusia Individual dan Kolektif di Papua Barat: Bertolak dari Kasus Arnold Ap dan Mambesak” (hlm. 134-193).

Selain mengungkapkan kembali kisah kematian Arnold Clements Ap tersebut, saya juga mencoba menelaah fase-fase penting dalam perjalanan gerakan kebudayaan Mambesak. Pembagian fase-fase ini tentu saja terbuka untuk diperdebatkan. Saya menafsirkan terdapat empat fase dalam perjalanan gerakan kebudayaan Mambesak: fase pertama, yaitu, cikal bakal dari grup Manyori (bahasa Biak berarti burung Nuri) dan kesadaran “pribumisasi” lagu dan musik Papua, fase kedua, yaitu, kelahiran Mambesak dan perluasan jangkauan ke publik, fase ketiga, yaitu, penanaman pengaruh dan popularitas melalui acara Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra Radio Republik Indonesia (RRI) Nusantara V dan kaset-kaset album Mambesak, dan fase keempat, yaitu, kegundahan atas tujuan ideologis dan politis gerakan kebudayaan yang selama ini sudah dilakukan. Pada bagian ini juga selain kegundahan di internal Mambesak sendiri, khususnya Arnold Ap, di eksternal muncul upaya untuk memberangus Mambesak dengan “menghilangkan” (baca: membunuh) tokoh utamanya: Arnold Ap.

Ingatan kematian Arnold Ap tentu saja terus membekas dan hidup bagi rakyat Papua, terkhusus istri dan anak-anaknya. Ingatan kekerasan dan cara pemerintah Indonesia “menghilangkan” nyawa Arnold Ap akan terus menjadi nyala yang menghidupi perjuangan pembebasan Papua, begitu juga dengan kisah-kisah anak Papua yang ayah atau saudaranya “dihilangkan” oleh aparatus keamanan pemerintah Indonesia. [1]

Pada bagian terakhir yang menjadi tantangan dari seluruh isi tulisan ini adalah sebuah pertanyaan: bagaimana cara untuk selalu mengalirkan spirit gerakan kebudayaan Mambesak tersebut di tengah Papua kontemporer yang berubah? Saya memilih kata mengalirkan untuk memberikan keleluasaan makna dan penafsiran dalam berbagai bentuk gerakan kebudayaan Papua kontemporer. Berbagai bentuk gerakan kebudayaan tersebut tentu saja mewarisi dan memaknai kembali spirit Mambesak.

Jejak Narasi Kematian

Usaha “menghilangkan” Mambesak dan ketokohan Arnold Ap dilakukan secara sadar dan sistematis oleh negara. Mambesak dianggap sebagai ancaman karena ketakutan akan menguatnya identitas kultural Papua melalui lagu-lagu daerah berbagai wilayah di tanah Papua. George Aditjondro (2000) menuliskan narasi perihal asal-muasal penahanan Arnold Ap.

Penahanan terhadap Arnold Ap terjadi pada tanggal 11 November 1983, beberapa hari setelah kelompok Mambesak menghibur rombongan atase militer dari berbagai negara sahabat. Waktu itu Amold dan seluruh anggota kelompok Mambesak mementaskan hiburan bagi para atase pertahanan bersama isteri-isteri mereka. Kol. Soegiyono, Wakil Gubernur ketika itu meminta supaya burung kuning (Cenderawasih) yang merupakan hiasan kepala Amold diberikan kepada tim itu. Sebenarnya, Arnold tersinggung, sebab dia adalah orang yang sangat berusaha menghormati hak-hak adat orang Papua. Maksud Arnold burung kuning hanya boleh dipakai oleh ondoafi atau kepala suku. Dalam konteks Mambesak, ondoafi-nya adalah Arnold. Tapi karena teman-teman anggota Mambesak bilang, “sudah kasih saja” akhirnya Arnold menyerahkan burung kuning di kepalanya. Sambil memberikan burung kuning, dia ngomong sama seorang temannya, “Ya, mudah-mudahan dengan kita kasih upeti burung kuning ini, kalau ada apa-apa dengan kita, ada yang memperjuangkan!” Ternyata, hanya beberapa hari setelah itu, dia diangkut oleh tiga orang Kopassandha (kini Kopassus) yang berbaju preman dan untuk beberapa minggu mendekam ditahan di sebuah bekas restoran yang bernama Panorama, yang diduga menjadi tempat interogasi Kopassandha (hlm. 142).

Tapi justru penahanan itulah yang membuat Mambesak dan Arnold Ap menjadi namanya meluas ke publik luas dan mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia di Jakarta. Fokus perhatian Jakarta ketika itu mengarah ke Irian Jaya karena penahanan Arnold Ap. Penahanan itulah yang menjadi awal mula dari jalan kematiannya. Kembali saya mengutip catatan George Junus Aditjondro yang menceritakan bahwa sebelum dibunuh, tanggal 21 April 1984 malam Arnold Ap dalam bahasa George Aditjondro “dibujuk” melarikan diri dari tahanan Polda Irian Jaya oleh seorang polisi bernama Pius Wanem. Arnold tidak lari sendirian, tetapi bersama Agustinus Runtuboi, Sekretaris Desa Nolokla, Sentani, Alex Membri, Eduard “Eddy” atau “Edu” Maxmillian Mofu, pegawai FISIP Uncen, dan Johanis Calvin (“Gento”) Rumainum (mahasiswa FISIP Uncen). George Aditjondro mengisahkan:

Jalur dalam melarikan diri Arnold Ap dan kawan-kawannya ini adalah melalui jalur belakang tahanan Polda Irian Jaya yang mengarah ke pantai. Dengan menyusuri pantai, mereka berlima menuju ke belakang komplek Gedung Olahraga (Gor). Di belakang gedung itu telah menunggu mobil Toyota yang akan membawa mereka berlima ke Pantai Base G. Namun Alex Membri tidak mau naik ke mobil dan langsung menghilang ke tempat lain. Sesampai di Pantai Base G ternyata telah menunggu perahu yang akan membawa mereka ke arah barat, yaitu, Pantai Pasir 6. Di tengah malam itu setelah melepas pakaian mereka berenang bersama ke arah perahu. Tetapi Eddy Mofu karena ragu-ragu tidak melepas pakaiannya sehingga tidak bisa mencapai perahu. Di tengah gelombang pantai Base G itu, Eddy ditinggalkan karena tidak muncul setelah ditunggu. Keesokan harinya warga Tanjung Suajaya yang tak jauh dari pantai Base G menemukan mayat Eddy yang masih berpakaian lengkap terapung-apung di laut. Sementara itu Arnold, Gento, Runtuboi dan Pius selamat mencapai Pantai 6. Di pantai itulah ia disuruh menunggu perahu yang akan menjemputnya dari PNG. Selama tiga hari Arnold Ap dan kawan-kawannya menunggu di pantai Pasir 6, selama itu pula nelayan yang membawa ia ke sana mengantarkan makanan. Namun di hari keempat, ketika Arnold sedang senam pagi datang gerombolan tentara dengan menggunakan perahu yang biasa mengantarkan makanan untuknya. Sementara itu Runtuboi, Gento dan Pius melihat tentara datang lari ke bukit-bukit di dekat pantai itu. Arnold Ap entah karena hendak melarikan diri atau melawan langsung ditembak (hlm. 139-140).

Pada jenazahnya terdapat tiga lubang peluru di perut dan lengan kanan. Pada tanggal 27 April 1984 pukul 3 sore, jenazah Arnold Ap diserahkan kepada keluarga dan disemayamkan di rumah dinasnya yang terletak di depan Museum Antropologi Uncen. Hari itu juga pukul 7 malam jenazah Arnold Ap langsung dikuburkan di pekuburan umum dekat Abe Pantai.

Kenapa Arnold Ap dibunuh? Andreas Harsono dalam salah satu tulisan obituari mengenang George Aditjondro menulis bahwa Arnold Ap mengumpulkan dan merekam musik-musik dari berbagai etnik Papua, sekaligus dalam bahasa-bahasa asli mereka. Macam-macam lagu ini lantas diproduksi dan diedarkan lewat pasar bebas. Lagu-lagu ini dianggap membantu pembentukan nasionalisme Papua. Arnold Ap disekap dan dianiaya dalam sebuah bekas toko, yang dijadikan markas rahasia militer. [2]

Arnold Clements Ap sebagai kurator Museum Antropologi Uncen dan ketua grup Mambesak. Foto: Repro buku The Morning Star in Papua Barat.
Arnold Clements Ap sebagai kurator Museum Antropologi Uncen dan ketua grup Mambesak. Foto: Repro buku The Morning Star in Papua Barat.

Merunut Fase Mambesak

Selain lagu Hidup ini Suatu Misteri (1984) mungkin lagu Nyanyian Sunyi yang saya kutipkan di awal esai ini yang menjadi dua di antara lagu berbahasa Indonesia yang diciptakan Arnold Clemens Ap, tokoh grup legendaris Mambesak, yang paling hidup dan menemukan kontektualisasi (bukti-bukti, kenyataan, kesesuaian, dan maknanya) pada Papua kontemporer. Inilah lagu yang menggambarkan suasana pada fase kegundahan Arnold Ap dan sudah tentu grup Mambesak sebagai identitas yang mengikuti namanya, setelah melakukan pendokumentasian lagu-lagu dan mengaransemen ulang. Fase kegundahan yang saya maksudkan merujuk kepada sebuah pertanyaan, yaitu: untuk kepentingan ideologis apa usaha revitalisasi lagu-lagu daerah yang sudah dilakukan Mambesak selama ini?

Amatan awal saya terhadap perjalanan Mambesak, yang tentu sangat terbuka untuk diperdebatkan, setidaknya terdiri dari empat fase: fase pertama, cikal bakal lahirnya Grup Manyori (burung Nuri) yang diinisiasi Arnold Ap bersama dengan Sam Kapissa dan Jopie Jouwe pada tahun 1970-an. Grup Manyori ini mengawali kiprahnya dengan mengiringi lagu-lagu rohani di Gereja Kristen Injili (GKI) Harapan, Abepura, Jayapura. Tepatnya pada tahun 1972 muncullah kesadaran untuk membangkitkan lagu-lagu berbahasa daerah sebagai bahan liturgi pada saat ibadah di gereja. Kesadaran ini muncul dari pertanyaan mengapa nyanyian lagu-lagu rohani di gereja selalu berkiblat ke Eropa? Tertuntun oleh kesadaran itulah Arnold Ap, Sam Kapissa, Jopie Jouwe bersama kemudian dengan Demian Wariap Kurni mulai menciptakan lagu-lagu rohani dalam bahasa Biak Numfor dan mementaskannya di gereja dengan iringan gitar, ukulele, dan tifa. Inilah cikal bakal dari yang disebut “mempribumisasikan” lagu dan musik daerah Papua (Aditjondro, 2000: 134-193).

Fase kedua, adalah periode masa awal berdirinya Mambesak. Bermula pada awal Agustus 1978, Arnold Ap, Sam Kapissa, Yowel Kafiar, dan Marthinny Sawaki kemudian berkumpul dan menyatukan tekad untuk menampilkan lagu dan tarian rakyat Papua kepada publik secara luas. Jika pada periode awal hanya berbentuk nyanyian dan musik liturgi gereja, ada perluasan materi yang berupa lagu-lagu rakyat dan juga publik yang disasar adalah masyarakat luas, tidak lagi hanya pada lingkup jemaat gereja. Bahkan inisiatif untuk membentuk grup Mambesak pada 5 Agustus 1978 diawali dengan menghadirkan hiburan lepas senja di halaman Museum Museum Antropologi Uncen (kini Museum Loka Budaya Uncen). Pada periode inilah mulai tumbuh spirit untuk mendokumentasikan nyanyian, tarian, dan cerita-cerita rakyat yang tersebar di seluruh tanah Papua dan kemudian “diciptakan” kembali oleh Mambesak menjadi lagu-lagu yang mewakili identitas, martabat, dan jati diri beberapa komunitas yang ada di tanah Papua.

Fase ketiga, adalah fase berkembangnya Mambesak dan mulai memasuki masa ketenaran dengan menjadi simbol dari kebangkitan kebudayaan Papua. Jalan berkembangnya Mambesak setidaknya ditentukan oleh dua jalur. Jalur pertama adalah Pelangi Budaya Pancaran Sastra Radio Republik Indonesia (RRI) Studio Nusantara V Jayapura. George Aditjondro mencatat awal mula berkembangnya Mambesak adalah diangkatnya Arnold Ap sebagai penanggungjawab siaran tersebut atas usul dari Ignatius Suharno sebagai ketua Lembaga Antropologi Uncen. Tepat lima tahun Arnold Ap memegang kendali acara tersebut sejak November 1978 hingga sebelum Ia ditangkap pada November 1983.

George Aditjondro melukiskan secara detail mengapa siaran tersebut menjadi begitu digemari oleh rakyat Papua ketika itu:

Acara setiap minggu siang silih berganti secara resmi membawa bendera Lembaga Antropologi Uncen, walaupun secara praktis diisi oleh Arnold Ap, dan segelintir anggota Mambesak. Sasaran kedua acara siaran radio itu, seperti diutarakan oleh bekas ketua Lembaga Antropologi Uncen, Danielo C. Ajamiseba dalam seminar Dies Natalis Uncen ke-21 November 1983, adalah “memperkenalkan kebudayaan daerah Irian Jaya dan membangkitkan serta mengembangkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan daerah dalam rangka pelestarian nilai-nilai kebudayaan daerah dan pengayaan khasanah budaya nasional.” Program siaran radio itu segera mendapat dukungan dan respons yang luas dari masyarakat asli Papua baik di kota maupun di kampung, baik yang terpelajar maupun orang kampung. Kunci keberhasilan siaran ini ada tiga, yakni: pertama, penggunaan bahasa Indonesia logat Papua, kedua, pokok-pokok uraian tentang unsur-unsur kebudayaan Papua serta hal-hal yang aktual, ketiga, selingan lagu-lagu rakyat serta mop-mop yang dibawakan artis-artis Mambesak. Penggunaan bahasa Indonesia logat Papua cukup gencar diperjuangkan oleh ketiga narator yang paling banyak mengisi acara Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra ini, yakni, Arnold, Thonny Krenak, dan Constan (“Cos”) P. Ruhukail (hlm. 114-115).

Selain acara Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra dari RRI Studio Nusantara V Jayapura, jalan kedua yang mengenalkannya ke publik luas adalah terbitnya album-album Mambesak lewat revolusi pita kaset. Selain lagu-lagu Mambesak yang kemudian jadi terkenal setelah meninggalnya Arnold Ap, sebelumnya telah berkembang kaset-kaset lagu-lagu daerah khususnya di kawasan Teluk Cenderawasih, yaitu terutama di daerah Biak, Supiori, dan Numfor.

Fase keempat memasuki masa kegundahan dan fragmentasi politik yang melanda Mambesak dan anggotanya. Fase ini berlangsung pada masa berkembangnya dan mulai tenarnya Mambesak sebagai sebuah kelompok yang “mempersatukan” kebudayaan Papua melalui lagu-lagunya. Tanggapan masyarakat Papua yang sangat antusias terhadap gerakan kebudayaan Mambesak ini menjadi salah satu tanda bahaya bagi pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an tersebut. Gerakan kebudayaan yang dilakukan Mambesak berimplikasi serius terhadap penumbuhan identitas dan nasionalisme Papua yang selalu menjadi hantu bagi pemerintah Indonesia. Kesadaran atas implikasi gerakan ini saya duga mulai muncul pada masa sebelum tertangkapnya Arnold Ap (sekira tahun 1982 – 1983). Situasi keterancaman dan pertanyaan tentang implikasi gerakan kebudayaan saya duga mulai dirasakan menjelang tertangkapnya Arnold Ap.

Arnold Clements Ap bersama grup Mambesak tampil pada sebuah acara pada tahun 1981. Foto: Martin Rumabar repro buku Permissive Residents.
Arnold Clements Ap bersama grup Mambesak tampil pada sebuah acara pada tahun 1981. Foto: Martin Rumabar repro buku Permissive Residents.

Menghayati Spirit Mambesak

Mambesak boleh saja telah tiada dan beberapa anggotanya sudah banyak yang meninggal. Tetapi Mambesak adalah spirit, semangat dan nilai yang terus hidup dalam gerakan kebudayaan Papua atau setiap kita mendiskusikan soal nasionalisme, identitas, bahkan politik kebudayaan. Mambesak menjadi salah satu narasi penting dari apa yang sering George Aditjondro sebut sebagai “hierarki kebudayaan”, dimana kebudayaan Papua dipandang lebih rendah dibandingkan budaya Jawa atau komunitas lainnya di Indonesia. Dalam konteks yang lebih luas, hierarki kebudayaan menjadi salah satu instrumen dari “penjajahan kebudayaan” di mana rasisme dan diskriminasi kebudayaan menjadi salah satu pandangan utamanya.

Hak-hak kultural orang Papua sangat berdimensi politik dalam kacamata pemerintah Indonesia di Jakarta. Hak-hak kultural orang Papua menjadi sesuatu yang politis yang mungkin sama politisnya dengan hak-hak sipil dan politik (hlm. 149-150). Itulah yang terjadi pada Mambesak. Hal ini diperkuat oleh watak pemerintah Indonesia menanggapi gerakan kebudayaan di Papua. Sampai dengan pementasan terakhir Mambesak pada tanggal 29 November 1983, sebelum penahanan dan kematian Arnold Ap, kita akan selalu menghayati bagaimanapun akhir perjalanan Mambesak, kehadirannya akan selalu di tercatat dalam sejarah politik kebudayaan Papua.

Seperti yang dicatat oleh Aditjondro (2000: 137I), Mambesak adalah salah satu inisiasi penting dari gerakan kebangkitan kultural yang jelas-jelas telah mewarnai penguatan jati diri rakyat Papua dalam menatap hari depan mereka. Gerakan kebangkitan kultural itu bisa berdenyut berkat dukungan Lembaga Antropologi Uncen dan Museum Antropologi Uncen waktu itu (kini Museum Loka Budaya Uncen). Spirit itulah yang coba diberangus dengan membunuh Arnold Ap, Eddy Mofu, dan Mambesak.

Kini, tantangan masyarakat Papua ke depan adalah menghayati spirit dan nilai Mambesak sebagai pondasi gerakan kebudayaan pembebasan ke depannya. Selain menghayati, seperti judul esai ini, menjadi sangat penting mengalirkan spirit dan nilai Mambesak tersebut kepada generasi Papua masa depan. Mereka harus memiliki akar kebudayaan Papua dan mengartikulasikan spirit pembebasan Papua sesuai dengan konteks zaman mereka. Mambesak telah meletakkan pondasi tersebut dan memberikan kita pelita untuk melangkah ke depan.

***

Referensi:

[1] Lihat: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59432970 (diakses 23 Februari 2023).

[2] Lihat: http://www.andreasharsono.net/2022/12/belajar-radikalisme-dari-george-j.html (diakses 15 April 2023).

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan