Analisa Harian Memahami Kemampuan Resiliensi Pada Zeno

Memahami Kemampuan Resiliensi Pada Zeno

-

Pertama, tulisan ini berawal dari suatu keinginan untuk mengatahui dan menemukan alternatif lain untuk membebaskan pikiran dari stres, cemas, depresi, serta penyakit pikiran lainnya. Saya mencoba untuk menuliskan ini sebagai bagian dari upaya menemukan alternatif lain menangani masalah-masalah ini.

Kedua, saya menyadari tulisan ini terdapat banyak kekurangan literasi tenteng Zeno. Ketiga, dengan keterbatasan literasinya, saya tertarik untuk mengorek siapa itu Zeno dengan menempatkan diksi “resiliensinya” pada kebangkitannya dari keterpurukan.

Zeno adalah pemikir sekaligus pencetus filsafat Stoisisme. Merupakan puncak dari masa kebangkitannya dari kondisi keterpurukan. Pemikiran stoa atau stoisisme tersebut baru dikembangkan dan disebarkan lagi di Abad ke-21 setelah lama terkubur. Bahkan Ia dengan jujur mengatakan bahwa konsep kebahagiaan adalah pikiran harus tetap sehat; pikiran seseorang harus terbebas dari segala masalah penyakit psikis. Sebab dengan itu, hanya pikiran dan jiwa yang dapat dikendalikan seseorang. Oleh karena itu, Zeno menyadari bahwa kehidupan tak terbebaskan dari kontradiksi. Terutama pergolakan antara keinginan induvidu dan realitas yang tak bisa di kendalikan. Lantas Zeno banyak mengemukanan banyak alternatif pengatasan masalah dengan membuat persepsi. Zeno meyakini menyatakan bahwa, jiwa dan pikiran adalah titik kebahagiaan manusia. Merupakan harta yang dimiliki dan ada dibawa kendali setiap orang.

Dalam tulisan ini, saya tidak membahas konsep umum aliran filsafatnya, yakni, Stosisme. Tetapi ketertarikan saya pada sosok pribadi Zeno yang bangkit dari keterpurukan hingga menemukan kebahagiaan tersendiri dengan menjadi guru filsafat bagi pengikutnya di kota Athena. Menjadi seorang filosofis, Zeno mengalami masa yang paling sulit dan sangat panjang. Apa lagi dengan latar belakangnya sebagai seorang pedagang kaya yang selalu melakukan perjalanan dari pulau ke pulau lain dengan menggunakan kapal layarnya.

Tentang Zeno

Zeno adalah seorang pedagang kaya dari Siprus (sebuah pulau di selatan Turki) yang melakukan perjalanan dari pelabuhan satu ke pelabuhan lainnya untuk menjual dan membeli barang pada Abad ke-3 SM.

Henry Manampiring (2019) mengisahkan bahwa kira-kira 300 tahun sebelum masehi, Zeno melakukan perjalanan dari Phoenicia ke Peiraeus dengan kapal laut melintasi laut Mediterania. Zeno membawa barang dagangan khas daerah Phoenicia, yaitu, semacam pewarna tekstil berwarna ungu yang sangat mahal, yang sering dipakai untuk mewarnai jubah raja-raja. Pewarna ini dibuat dari ekstrak siput laut, dan proses pembuatannya sangat melelahkan, karena ribuan siput laut ini harus dibuka dengan tangan hanya untuk mendapatkan beberapa gram ekstrak pewarna. Karenanya tidak heran barang ini sangat berharga dan mahal.

Tapi kapal yang ditumpangi Zeno karam. Zeno kehilangan seluruh barang dagangannya yang sangat mahal, dan ia juga harus terdampar di Athena, dihadapkan dengan kondisi keterpurukan akibat jatuh miskin di kota yang asing baginya.

Dalam perjuangan bertahan hidup di dalam kemiskinan, Zeno sering mengunjungi seorang penjual buku di Athena. Di masa tersebut Zeno menemukan buku The Memorabilia yang mengenalkannya pada Socrates dan filosofi tokoh tersebut.

Pemikiran Socrates tentang hakikat kehidupan manusia dengan pendekatan rasionalisme dan kajiannya tentang kebahagiaan dan kebajikan telah membuatnya terkagum. Rasa kagumnya terhadap Socrates membuatnya ingin tahu dan menanyakan kepada si penjual buku tentang tempat seseorang yang memiliki pemikiran tersebut.

Zeno ingin mempelajari lebih dalam filosofi seperti yang dianut oleh Socrates. Penjual buku tersebut memberitahu Zeno tentang seseorang yang bernama Crates dari Thebes (filosof Sinisme).

Zeno pun mencari Crates dan menjadi murid Crates, dan semakin mendalami ilmu filsafat. Setelah itu Zeno mulai mengajar filsafat di sebuah tiang besar memiliki teras (dalam bahasa Yunani disebut Stoa) yang letaknya di bagian utara, yang terletak di sisi Utara dari agora (tempat publik yang digunakan untuk berdagang dan berkumpul) di kota Athena, Yunani.

Bangunan ini disebut dengan Stoa Poikile yang artinya teras berwarna. Dari sinilah istilah Stoa digunakan yang kemudian disebut filsafat Stoicim atau Stoic Philosophy.

Resiliensi

Zeno menghadapi kondisi keterpurukan akibat diterpa badai, kemudian jatuh miskin, dan terlena di daerah yang baru (bukan kota asalnya). Tentu sebagai manusia biasa Ia pasti merasakan situasi dimana putus asah, sedih, stres, dan sebagainya. Tetapi dengan terbuka Ia menerima kenyataan itu sebagai suatu peristiwa yang tak Ia rencanakan. Zeno menyadari bahwa harta dan semua barang jualannya bersifat sementara saja. Semua bisa pergi, berubah kapan dan dimana saja. Bahkan sekalipun Zeno berkuasa atas tubuhnya, tetapi kematian adalah sesuatu yang tak bisa Ia kendalikan. Sangat mustahil untuk setiap manusia menundanya atau mengendalikan.

Terlepas dari itu, Zeno kemudian bangkit dari keterpurukan dan akhirnya Ia disebut seorang filsuf. Artinya Ia punya kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan. Bahwa Zeno memiliki kemampuan resiliensi.

Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih. Individu yang resilien dapat melambung dan mengembangkan kompetensi sosial dan akademik, sekalipun dalam tekanan yang berat (Rineksa & Chusairi: 2017).

Resiliensi bukanlah sifat yang dibawa individu sejak lahir melainkan hasil interaksi dari berbagai faktor yang oleh beberapa ahli digolongkan sebagai faktor protektif dan faktor risiko (Rutter: 2006, Luthar dkk.:2000, Werner: 2005). Faktor protektif adalah pengaruh yang memodifikasi, memperbaiki, atau merubah respon seseorang terhadap bahaya lingkungan atau situasi yang tidak menguntungkan (Rutter: 1985). Faktor protektif resiliensi terdiri dari faktor protektif internal dan eksternal. Faktor internal yang ada dalam diri subjek adalah, subjek memiliki perasaan dicintai dan mampu mencintai orang lain, subjek mampu berempati, dan memiliki keyakinan dan harapan yang besar akan kehidupannya di masa yang akan datang (Swastika: 2009). Faktor protektif yang disebutkan oleh Zolkoski dan Bullock (2012) antara lain karakteristik individu yang meliputi regulasi diri dan konsep diri, kondisi keluarga, dan dukungan masyarakat. Sejalan dengan hal itu, Richmond dkk. (Wagnaild & Young: 1993) menyatakan bahwa resiliensi dapat dipengaruhi kedisiplinan diri, rasa ingin tahu, harga diri, dan konsep diri.

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut (Beardslee & Podorefsky: 1988, Chen & George, Werner: 2005, Crawford, Rutter: 2006, Zolkoski & Bullock: 2012) dapat diketahui bahwa pencapaian resiliensi didukung oleh proses pembentukan konsep diri. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), konsep diri adalah gambaran mental individu tentang dirinya sendiri, segala yang terlintas di pikiran tentang “saya”, yang terangkum dalam pengetahuan, pengharapan, dan penilaian tentang diri. Konsep diri terbentuk dari interaksi antara manusia dengan lingkungannya, yaitu orang tua, teman sebaya, dan masyarakat sebagai sumber informasi (Calhoun & Acocella: 1990).

Menurut Calhoun dan Accocella (1990), individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuannya sesuai realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk tercapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah sebuah penemuan. Individu yang memiliki konsep diri positif cenderung adaptif karena mampu terbuka terhadap pengalaman dan realitas yang baik dan yang buruk bukan sebagai ancaman, dan kemudian ditanggapi secara fleksibel. Respon positif terhadap situasi baru, kemampuan adaptasi terhadap stres, dan pandangan positif tentang kehidupan inilah yang menjadi faktor protektif resiliensi pada lingkup internal (Garmezy: 1985, Masten: 1990).

Pengukuran Adversity Quotient Pada Zeno

Pengukuran kemampuan Zeno dalam menggunakan kecerdasan untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan tindakan ketika Ia menghadapi kesulitan disusun berdasarkan dimensi dasar menurut Stoltz (2005), yaitu:

Pertama, Zeno memiliki kemampuan mengontrol situasi (control), yaitu kemampuan individu dalam merasakan dan mempengaruhi secara positif suatu situasi, serta mampu mengendalikan respon terhadap situasi, dengan pemahaman awal bahwa sesuatu apapun dalam situasi apapun individu dapat melakukannya.

Kemudian, Kedua, Ia juga memiliki memampuan menanggung akibat dari situasi (ownership dan origin), yaitu kemampuan individu dalam menempatkan perasaan dirinya dengan berani menanggung akibat dari situasi yang ada, sehingga menciptakan pembelajaran dalam melakukan perbaikan atas masalah yang terjadi.

Ketiga, kemampuan menghadapi kemalangan (reach), yaitu kemampuan individu dalam menjangkau dan membatasi masalah agar tidak menjangkau bidang-bidang lain dalam kehidupan, sehingga ketika Ia hadapi masalah keterpurukan dan jatuh miskin di daerah yang baru, bukan sesuatu yang harus mengganggu segala aktivitasnya dan lain-lainnya. Kekayaan dan peristiwa jatuh miskin merupakan suatu kejadian yang tak bisa dikendalikan oleh Zeno. Itu merupakan ulah bencana di lautan.

Keempat, Ketahanan diri dalam mempersepsi kemalangan (endurance), yaitu kemampuan individu dalam mempersepsi kesulitan, dan kekuatan dalam menghadapi kesulitan tersebut dengan menciptakan ide dalam pengatasan masalah sehingga ketegaran hati dan keberanian dalam penyelesaian masalah dapat terwujud. Hal ini juga menjadi salah satu alternatif pengatasan masalah yang ditawarkan oleh Zeno dalam ajarannya bahwa mengenali apa masalahnya, mengenali diri sendiri, apa saja yang ada dibawa kendali kita dan bukan, kemudian mulai membuat persepsi lain terhadap permasalahan tersebut.

Zeno juga memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan dasar mau menerima kenyataan suatu pengalaman sebagai pengetahuan dan memberikan kasih sayangnya dengan penuh cinta atas dirinya dan masa depannya. Selain itu juga memiliki besar keinginan untuk belajar dan kemampuan menguasai pengetahuan dengan baik. Dan Zeno punya besar harapan untuk masa depannya lebih baik.

Sehingga,  menurut G. Allport (ahli psikologi dan teori kepribadian), harapan, cita-cita, dan keinginan yang besar dimiliki seseorang tentu hal itu akan menjadi titik poros atau kendaran untuk peroleh perubahan di masa depannya.

***

Referensi:

Manampiring, Henry. (2019). Filosofi Teras. Jakarta Barat: PT. Media Kompas Nusantara

Novilita, Hairina, ddk. Konsep Diri Adversity Quotient dan Kemandirian Belajar Siswa. Jurnal Psikologi Volume 8 No. 1, April 2023, Hlm. 623. Link: ttps://media.neliti.com/media/publications/127255-ID-konsep-diri-adversity-quotient-dan-keman.pdf (diakses pada 9 Oktober 2022).

Suryosummunar, John. Konsep Kepribadian Dalam Pemikiran Carl Gustav Jung dan Evaluasinya Dengan Filsafat Organisme Whitehead. Jurnal Sophia Dharma, Volume 2 No. 1, Mei 2019. (diakses pada 10 Oktober 2022)

Fransisca Vivi Shintaviana dan Dr. G. Arum Yudarwati. Konsep Diri Serta Faktor-Faktor Pembentuk Konsep Diri Berdasarkan Teori Interaksionisme Simbolik. Artikel Ilmiah Mahasiswa Fakultas FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Link: http://e-journal.uajy.ac.id/5781/1/jurnal.pdf (diakses pada 10 Oktober 2022).

Sih Rineksa W. N. dan Achmad Chusairi, M.Psi. Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Resiliensi Pada Remaja yang Mengalami Perceraian Orang Tua. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, Tahun 2017 Volume 6. Link: http://url.unair.ac.id/9a92e446 (Diakses pada 10 Oktober 2022).

https://kabarlumajang.pikiran-rakyat.com/gaya-hidup/pr-424494867/filosofi-stoicism-asal-mula-zeno-mendirikan-filsafat-stoikisme-seni-mengenali-diri?page=2 (Dikutip pada 6 September 2022).

Yohanes Gobai
Penulis adalah wartawan thepapuajournal.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan