Pilihan Redaksi 26 Tahun AMP: Hancurkan Kebudayaan Kontra Revolusi

26 Tahun AMP: Hancurkan Kebudayaan Kontra Revolusi

-

Berikut ini kami terbitkan pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam merayakan ulang tahunnya yang ke-26, hari ini 27 Juli 2024 sejak didirikan pada 27 Juli 1998 di Jakarta.

***

“Hancurkan Kebudayaan Kontra Revolusi dan Bangun Persatuan Nasional yang Demokratis di Papua”

Dalam beberapa tahun terakhir setelah Negara kolonial Indonesia mengesahkan Undang-Undang Otsus tahun 2021 serta memaksakan dibangun Daerah Otonomi Baru (DOB), kompleksitas persoalan semakin naik dan mencekik masyarakat Papua dengan pembangunan infrastruktur, eksploitasi sumber daya alam, perampasan lahan, masalah buruh, operasi militer, serta persoalan lainnya. Realitas penindasan ini direspon dengan perlawanan rakyat yang terpisah-pisah di setiap sektor dan kelas masyarakat yang ditindas. Oleh karena itu persatuan nasional menjadi sangat penting guna menyatukan kekuatan dan menyerang musuh secara bersama.

Tentang Persatuan

Rakyat adalah pelaku sejarah dalam perjuangan merebut demokrasi secara nasional di West Papua atau Papua merdeka dari cengkraman kolonialisme Indonesia, kapitalisme, Imperialisme global, dan militerisme Indonesia.

Sejarah perjuangan rakyat Papua telah mencatat bagaimana rakyat Papua berjuang sejak 1961 hingga kini, rakyat Papua sadar persatuan adalah kunci guna menyatukan kekuatan, menyerang musuh, dan merebut kemerdekaan. Berbagai macam alternatif persatuan yang dilahirkan untuk menggalang kekuatan rakyat telah dilakukan. Mulai dari New Guinea Raad, Komite Nasional Papua (KNP), Organisasi Papua Merdeka (OPM), West Papua National Coalition Liberation (WPNCL), Parlemen Nasional West Papua (PNWP), Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), dan kini dalam front persatuan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Untuk memahami pasang surut dan dinamika-dinamika persatuan perjuangan Papua, bisa baca tulisan kawan Jhon Gobai Dari Nieuw Guinea Read ke ULMWP Tentang Persatuan.

Dari berbagai model persatuan yang lahir dari kebutuhan untuk menyatukan kekuatan rakyat ada faktor internal dan eksternal yang menjadi alasan kegagalannya. Faktor eksternal tentu saja dilakukan oleh Negara kolonial Indonesia melalui politik infiltrasi atau penyusupan, propaganda kebohongan, operasi-operasi militer (penangkapan, kriminalisasi, dan pembunuhan) serta pembangunan kesadaran palsu dan realitas objektif penindasan yang semakin menambah kompleksitas persoalan di Papua.

Sedangkan faktor internalnya adalah kondisi subjektif gerakan perjuangan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana setiap orgainasasi perjuangan melihat realitas penindasan? Apa alternatif atau jalan keluar yang ditawarkan? Apakah kita membutuhkan Persatuan? Bagaimana seharusnya persatuan dibangun? Dengan mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar ini akan membawa kita (masing-masing organisasi) pada muara persatuan yang tepat.

Melihat dinamika persatuan gerakan perjuangan rakyat Papua hari ini di dalam ULMWP belum mampu menjadi rumah bersama yang menampung seluruh aspirasi dan keluhan rakyat yang lahir kerena realitas penindasan. Apalagi setelah perubahan signifikan ULMWP dari wadah koordinatif menjadi trias politica atau semi pemerintahan yang semakin membuat kaku dan menutup habis ruang-ruang demokrasi dalam wujudkan persatuan. Konferensi Tingkat Tinggi II ULMWP pada 2023 lalu pun belum mampu mengembalikan marwah persatuan dengan menerima berbagai usulan gerakan rakyat dan semakin menambah perpecahan dari tingkat faksional hingga sektor gerakan di bawah.

Kritik dan sikap terbuka kami AMP tentang front persatuan nasional Papua bisa baca disini.

Poin penting yang harus dijadikan landasan dalam membangun persatuan adalah demokrasi yang merakyat. Hal itu tidak dapat dicapai dalam tubuh front persatuan nasional karena kepentingan kelompok dan individu lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kolektif, memiliki karakter yang birokratis dan kaku, ruang kebebasan berpendapat yang minim menciptakan jarak yang jauh antara front persatuan dan rakyat yang mengalami penindasan.

Walaupun demikian, kami percaya bahwa persatuan gerakan rakyat Papua akan tercipta, baik karena kondisi objektif penindasan maupun melalui tahapan konsolidasi berkelanjutan yang tentunya merupakan hasil dari evaluasi yang objektif dan Ilmiah.

Hal yang perlu dipahami bersama bahwa persatuan itu relatif dapat tercipta ataupun diciptakan, namun perjuangan adalah keharusan. Setiap organisasi perjuangan memiliki tugas pokok, yaitu berjuang dengan setiap basis pengorganisiran dan perspektif yang ada. Kita tidak bisa menggantungkan harapan semu dan berharap lebih tentang front persatuan yang didambakan kemudian menyepelekan kerja-kerja perjuangan (pengorganisiran, pendidikan, aksi, propaganda, dan lain-lain) karena pada esensinya persatuan yang berwatak nasional dan kokoh dapat terbangun karena setiap organisasi yang berafiliasi memiliki basis kerja terstruktur, terdidik, dan semakin meluas, maka berjuang adalah suatu keharusan.

Tentang Kebudayaan Kontra Revolusi

Masalah persatuan ini juga dikarenakan oleh kebudayaan dan tradisi berjuang yang keliru dan dipelihara secara sadar maupun tidak sadar di setiap tubuh organisasi perjuangan, mulai dari bagaimana mekanisme organisasi dibangun sebagai pondasi, sekaligus pagar guna mengantisipasi segala ancaman yang berpotensi mengganggu perjuangan. Baik yang lahir dari dalam maupun dari luar.

Perkembangan masyarakat Papua yang ditekan tenaga produktifnya oleh kolonialisme Indonesia berdampak pada kebudayaan nasional yang masih mengedepankan nilai-nilai utopis seperti adat dan agama (nilai-nilai negatifnya) yang semakin mengaburkan cara pandang kita melihat realitas objektif penindasan dan ambigu dalam menentukan alternatif dan jalan keluar yang tepat.

Konsekuensi logis dari kebudayaan yang berwatak primordialisme dan oportunisme dalam gerakan akan melahirkan benih-benih kehancuran. Kita lihat contoh ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) mengakui segala kesalahannya dan melakukan kritik oto kritik secara terbuka.

Dalam otokritik yang buat oleh CC Politbiro PKI mereka mengakui segala kelemahan dan kesalahan yang dilakukan ketika mereka dengan mudah terlibat dalam Gerakan 30 September yang semakin mengucilkan organisasi. Hal itu diperparah ketika organisasi menjalankan garis oportunisme kanan dengan menggantungkan nasib organisasi ke tangan Soekarno. Ini adalah puncak kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan berat PKI, baik di bidang ideologi, politik, dan organisasi.

Tidak sampai disitu ruang-ruang kritik pun dibuka tidak hanya internal pengurus pusat tetapi dibuka umum untuk menerima pandangan dari setiap partisipannya sebagai satu-satunya sarana dan alternatif menerima, mengoreksi, dan merubah setiap kesalahan.

Dalam kondisi gerakan perjuangan Papua hari ini kebudayaan-kebudayaan kontra revolusi seperti primordialisme dan oportunisme masih dipraktekan dalam tubuh gerakan yang menjadi faktor internal penghambat pembangunan kesadaran dan kemajuan perjuangan.

Banyak contoh kasus, seperti di tahun 1998 hingga 2000an dimana gejolak semangat kemerdekaan rakyat Papua dalam front nasional Presidium Dewan Papua (PDP) yang kemudian mengalami kehancuran karena kepemimpinan politik diletakkan pada kaum oportunis. Contoh lainnya di tahun 2019 ketika isu rasisme di Surabaya memantik semangat dan pemberontakan rakyat Papua namun front persatuan nasional ULMWP tidak mampu mengambil kepemimpinan di dalam negeri dan mengarahkannya pada musuh rakyat.

Contoh lainnya dari praktek kebudayaan kontra revolusi dalam gerakan sipil juga adalah penyerangan yang dilakukan Wene Kilungga anggota Kominte Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat terhadap 15 orang individu dan organisasi saat sedang melakukan Teklap terakhir menuju aksi nasional 1 Mei 2024.

Praktek premanisme yang dilakukan dalam tubuh gerakan ini merupakan gambaran kebudayaan serta moral berjuang yang tumbuh subur dalam organisasi. Kebingungan dalam mendorong maju perjuangan ini tidak terlepas dari kekosongan teori, politik, maupun kebudayaan yang di gunakan sebagai alat yang memimpin perjuangan.

Di tengah kondisi kekosongan ini, segala sentimen dan kecemburuan subjektif yang tidak berdasar akan semakin berkembang dan melahirkan berbagai macam penyakit seperti penokohan dan patron yang membuntut bahkan tindakan-tindakan reaksioner.

Tugas Kita

Dalam merayakan HUT ke-26 AMP dengan melihat kenyataan bahwa kekuatan dan kebudayaan kontra revolusi yang ada yang tumbuh di kalangan gerakan perjuangan rakyat Papua, maka kebutuhan mendesak yang harusnya dilakukan adalah membangun ruang kritik dan oto kritik yang ilmiah serta mendorong pendidikan-pendidikan politik yang berkelanjutan dan meluas. Dengan mulai berani mengakui kesalahan, terbuka menerima kritik yang objektif, serta dengan kerja pembangunan kesadaran melalui pendidikan yang berkelanjutan, niscaya akan membangun kesadaran individu dan kolektif yang lebih maju.

Kemajuan setiap individu dan organisasi dalam teori, politik, maupun organisasi tentunya akan berdampak signifikan dan dapat menjawab kebutuhan persatuan nasional yang demokratis dan merakyat.

Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (KP-AMP)

Ketua Umum

Jeeno Alfred Dogomo

***

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 1)

Menjelang malam, kami memasuki Moanemani, ibukota Kabupaten Dogiyai dari Kota Nabire pada suatu hari di awal bulan April 2024....

26 Tahun AMP: Hancurkan Kebudayaan Kontra Revolusi

Berikut ini kami terbitkan pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam merayakan ulang tahunnya yang ke-26, hari ini 27...

Membaca ‘The Politics of Distraction’ di Papua

Apakah kita bisa menjelaskan akar seluruh persoalan Papua hanya dengan tiga kata? Bisa. Jawabannya, perebutan sumber daya. Kapitalisme, imperialisme,...

Dimana Mahasiswa Papua di Tengah Konya Alami Masalah?

Pada 7 Juni 2024, saya berada di tengah warga Konya yang saat itu melakukan aksi di Kantor Badan Pertanahan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan