Papua pernah dimerdekakan pada tahun 1961. Deklarasi kemerdekaan ini dilakukan dalam kondisi pulau Papua menjadi wilayah sengketa Indonesia dan Belanda yang belum tuntas. Sengketa perebutan wilayah ini pun tidak terlepas dari perhatian negara pemenang Perang Dunia II: blok barat yang dibawa kendali Amerika dan blok timur dibawa kendali Uni Soviet. Perang dingin Amerika dan Uni Soviet dalam saling berebut pengaruh (kekuasaan) di negera-negara “baru merdeka” termasuk di Indonesia. Indonesia menjadi perhatian Amerika, sehingga dengan Politik Non Block yang dimainkan Soekarno di Indonesia menarik keseriusan Amerika dalam melihat sengketa perebutan wilayah Papua oleh Indonesia dan Belanda.
Amerika terlibat dalam perebutan Papua dengan pendekatan langsung kepada Belanda dan Indonesia, mengupayakan perundingan—tanpa melibatkan orang papua—yang melahirkan persetujuan perjanjian New York atau New York Egremment pad 15 Agustus 1962, hingga penyerahan wilayah Papua—secara sepihak—kepada Indonesia melalui UNTEA-PBB.
Selanjutnya Indonesia mulai mengatur birokrasi militer dan sipil di Papua[1] dan konsentrasikan visi “ABRI harus menangkan Pepera 1969”. Tujuan Amerika dalam keterlibatan ini, pertama, ketakutan Indonesia jatuh kepada blok komunis, kedua, meminimalisir agar tidak terjadi perang perebutan wilayah Papua antara Indonesia dan Belanda. Sebab perang akan memicuh buruknya hubungan baik Amerika-Belanda, ketiga, Indonesia dan Papua wilayah strategis keamanan dan konsentrasi pasar barang dan modal milik Imperialis Amerika.
Gerakan Pendidikan dan Kebudayaan
Untuk memenuhi kekurangan personil terlatih di berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan pemerintahan Belanda di Nieuw Guinea, Resident J.P van Eechoud mendirikan sebuah sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (bestuurschool) di Hollandia (Jayapura), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944 sampai tahun 1949[2]. Sekolah inilah yang melahirkan elit politik terdidik di Nieuw Guinea, antara lain: Markus Kaisiepo dan Frans Kaisiepo, Nocolaas Jouwe, Herman Waijoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Mozes Rumainum, Baldus Mofu, Eliaser Jan Bonay, Lukas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor, Herman Womsiwor, dan Abdullah Arfan.
Kaum terdidik ini sebagian menjadi elit politik yang bersikap pro-Papua. Sebab Hampir bersamaan dengan itu, terdapat juga suatu gerakan pro-Indonesia yang disebut gerakan nasionalis dari Soegoro Admoprasodjo yang pada waktu itu menjabat sebagai direktur pendidikan Pamongpraja di Kontanica-Hollanda. Soegoro membina dan menghimpun semua orang Jawa, Sumatra, Makassar, Bugis dan Buton yang ada di Nieuw Guinea sebagai kekuatan yang pro-Indonesia[3].
Pada tahun 1946 di Serui, Silas Papare, Martin Indey dan sejumlah pengikutnya mendirikan organisasi politik pro-Indonesia yang bernama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Tujuan PKII adalah mengkampanyekan West Nieuw Guinea (Irian Barat/Jaya) termasuk dalam wilayah Indonesia Timur dalam kekuasaan Republik Indonesia. Organisasi ini dibentuk oleh kaum terpelajar Papua yang dibina oleh Dr. Sam Ratulangi yang saat itu menjalani pembuangan oleh Belanda ke Serui. Johan Ariks, seorang nasionalis Papua sempat bergabung dengan Silas Papare dalam gerakan politik PKII. Johan Ariks kemudian menjadi orang yang sangat anti-Indonesia setelah mengetahuai bahwa ada usaha dari Indonesia untuk mengintegrasikan Irian Jaya dengan Republik Indonesia bukan sebaliknya membantuk Irian Jaya merdeka.[4]
Pada tahun 1954, Dokter Gerungan mendirikan gerakan politik di Holandia yang bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM). Organisasi ini di pimpin oleh sejumlah pemimpin Papua yaitu Marten Indey, Nicolaas Jouwe, dan pengikutnya. Nicolaas Jouwe kemudian menjadi seorang pemimpin Papua yang anti-Indonesia[5].
Tujuan dari gerakan politik pro-Indonesia adalah mempengaruhi kesadaran rakyat Papua kepada maksud klaim Papua bagian dari Indonesia. Itu terlihat dengan aksi-aksi pengibaran bendera merah putih di Papua, juga kegiatan pendidikan dan kebudayaan Indonesia berusaha mendorong ideologi Pancasila dan NKRI Harga Mati di Papua.
Ini terlihat jelas bahwa cerminan daripada wujud landasan bangsa yang dibentuk atas dasar pemaksaan. Tidak sebaliknya bangsa itu terbentuk dari rasa senasib, merasakan penindasan yang sama. Bahwa dalam sejarah Indonesia dan Papua tidak ditemukan syarat-syarat Papua itu bagian dari “satu bangsa Indonesia”.
Sejak awal perlawanan terhadap penguasa dengan melakukan aksi bersama secara kolektif, membangun kekuatan, dan melatih perlawanan bersama oleh rakyat. Bukti-bukti itu tak ditemukan dalam catatan ini. Keberadaan Indonesia di Papua tahun 1960-an justru menginfiltrasi pemerintahan Belanda di Papua dan bertujuan menggagalkan rencana kemerdekaan Papua yang diperjuangkan oleh kaum terdidik.
Situasi Politik
Indonesia terus melancarkan upaya manufer politik untuk Papua. Kampanye Internasional terus dilakukan. Perdebatan yang tak selesai tentang Papua di Konferensi Meja Bundar (KMB), pada tahun 1953 Indonesia membawa pembahasan ini ke forum Internasional seperti PBB dan Konferensi Asia Afrika. Selain itu Indonesia terus masifkan kerja konsolidasi gerakan Indonesia untuk ganggu konsentrasi Pemerintahan Belanda di Nieuw Guinea (sekarang Papua) dan menyusun upaya gagalkan rencana kemerdekaan Papua.
Tanggal 13 Maret 1961, Pemerintahan Indonesia membentuk Tatalaksana Sekertaris Pengurus Besar Front Nasional sebagai tindak lanjut Front Pembebasan Irian Barat yang dibentuk pada 13 Desember 1959 untuk merebut Irian Barat. Tugas dari sekretaris, menyusun dan membina potensi nasional untuk pembebasan Irian Barat, merencanakan aksi-aksi dan tindakan-tindakan untuk pembebasan Irian Barat[6].
Pada tanggal 13-14 April 1961 di bawa pimpinan Organisasi Perintis Irian Barat, dilaksanakan konferensi petera-puteri Irian Barat di Bogor, pertemuan itu disponsori oleh pejuang integrasi Irian Barat, yakni Soegoro, dan kawan-kawannya. Pertemuan ini menghasilkan suatu gerakan yang disebut GRIB (Gerakan Rakyat Irian Barat), bertujuan untuk menghalang gerakan kemerdekaan Papua. Kemudian pada 17 Agustus 1961 dalam pidato peringatan HUT kemerdekaan RI, Presiden Soekarno menegaskan garis-garis perjuangan bangsa Indonesia yang telah tekad untuk membebaskan Irian Barat dengan kekuatan bersenjata dengan slogan: Freedom For West Papua to Be Free (Bebaslah hendaknya Irian Barat)[7].
Bulan September 1961, Jendral A. H. Nasution berkeliling ke beberapa Negara (India, Pakistan, Philipina, Selandia Baru, Australia, Jerman, Prancis, dan Inggris) untuk mengamati sikap mereka, seandainya terjadi perang terbuka antara Belanda dan Indonesia. Perjalanan keliling negara-negara ini merespon aksi Menteri Luar Negeri Belanda, Dr. Yosep Luns mengajukan proposal (berisi 4 Pasal) pemecahan masalah Neuw Guinea ke PBB untuk sidang Umum PBB tanggal 28 November 1961. Sehingga usulan negara-negara Afrika dalam sidang Majelis Umum PBB agar penyelesaian masalah Papua Barat harus melalui badan Administrasi Internasional sementara sampai orang-orang Papua sendiri menentukan nasib masa depannya sendiri, itu gagal memperoleh/mencapai 2/3 suara[8].
Tanggal 11 Desember 1961, pemerintah Indonesia, sebagai tanggapan terhadap pembentukan Negara Papua Barat, membentuk Dewan Pertahanan Nasional dengan tugas utama merumuskan pengintegrasian segenap kekuatan nasional untuk Pembebasana Irian Barat. Tanggal 14 Desember 1961, pemerintah Indonesia membentuk Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat yang berpusat di Makassar, Sulawesi Selatan. Selanjutnya tanggal 19 Desember 1961, Ir. Soekarno memaklumatkan Tiga Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta untuk menggagalkan pembentukan negara Irian Barat[9].
Trikora ini menjadi perintah legal, yang selanjutnya, terjadi infasi militer seraya rangkai berbagai nama (berdasarkan periode) operasi militer di Papua. Para elit politik Papua dan setiap rakyat papua yang berbicara tentang kemerdekaan, bagi mereka yang tidak mengungsi mencari suaka ke luar negeri, semuanya paling sedikit jutaan jiwa yang mati dalam operasi militer tersebut.
Dan selanjutnya operasi militer RI menggagalkan perjuangan deklarasi kemerdekaan Papua Barat yang dipelopori oleh Dewan Nieuw Guinea dan KNP[10], sabotase upaya dekolonisasi West Papua di PBB.
———-
[1] Norman Joshua, Amerika dan Indonesia Dalam Masalah Pembebasan Papua Barat, Artikel.
[2] Longginus Pekey, Pendidikan dan Kesadaran Nasional Papua Barat, 1 Semtember 2016: http://www.sastrapapua.com/2016/09/pendidikan-dan-kesadaran-nasional-papua.html#more
[3] John RG Djopari, Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka, (Jakarta: Percetakan PT Gramedia, 1995), 31.
[4] Ibid., hal 30
[5] Ibid.
[6] Agus A. Alua, Papua Barat Dari Pangkuan ke Pangkuan, (Jayapura-Papua: Biro Penelitian STFT Fajar Timur, 2006), 38.
[7] Ibid., hal., 39.
[8] Ibid., hal., 40 & 43.
[9] Ibid., hal., 43.
[10] Melalui perjuangan yang panjang, melewati kontradiksi yang tak terdamaikan Rakyat Papua mendeklarasikan Neuw Guinea Reed/Dewan New Guinea dari kolonialisme Belanda pada 5 April 1961. 21 orang anggota Dewan Neuw Guinea yang terpilih secara demokratis (pada 18-24 Maret 1961)—perwakilan dari masing partai—itu bersama 71 orang anggota Komite Nasional Papua (yang dibentuk oleh Dewan Neuw Guinea) melaksanakan Kongres pertama pada 19 Oktober 1961.
Dalam Kongres tersebut disepakati atribut Negara; juga manifesto hak sipil politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang menjadi dasar pijakan sebuah bangsa-negara. Selanjutnya 1 Desember 1961 rakyat Papua yang dipelopori oleh elit politik Papua itu mendeklarasikan kemerdekaannya yang disaksikan langsung oleh perwakilan pemerintahan Belanda di Holandia (Sekarang Jayapura-Papua).