Editorial Konferensi Internasional Mahasiswa Papua Pertama di Amerika yang Bias

Konferensi Internasional Mahasiswa Papua Pertama di Amerika yang Bias

-

Sebuah catatan untuk kedudukan konferensi Internasional pertama mahasiswa Papua  tahun 2019 dalam laporan HAM The Indigenous World.

The Indigenous World adalah salah satu laporan internasional dalam bentuk pendokumentasian yang menampilkan laporan tahunan secara komprehensif terkait gambaran dan situasi masyarakat pribumi serta pengalaman mereka di tengah masifnya berbagai program pembangunan yang diterbitkan oleh International Work Group on Indigenous Affairs (IWGIA).

Laporan setebal 784 halaman dengan melibatkan 114 penulis dari komunitas pribumi, aktivis primbumi dan non pribumi ini menampilkan berbagai kejadian atau data faktual yang terjadi dan berdampak pada komunitas pribumi di seluruh dunia sepanjang 2019. Ada 66 laporan termasuk negara dalam laporan ini, serta 17 laporan tentang inisiatif internasional menanggapi trend meningkatnya suhu, cuaca yang tak terduga, serta perubahan pola iklim.

Laporan ini juga menyoroti perampasan lahan masyarakat pribumi yang terus terjadi, dan bagaimana mereka terus bertahan mempertahankan tanah mereka. IWGIA melaporkan bahwa sepanjang 2019, penduduk asli atau pribumi juga terus dianiaya, diancam, didiskriminasi, dan dibunuh dalam upaya mereka untuk membela hak-hak mereka.

Bagian satu dari laporan ini membahas laporan kawasan dan negara dimana Indonesia masuk dalam laporan kawasan atau regional Asia. Yang menarik adalah pembahasan soal Papua menjadi salah satu topik dalam isu pelanggaran HAM atas Tanah dan Sumber Daya Alam di Indonesia. Berjudul “West Papua” (Papua dan Papua Barat). Beberapa sub topik diantaranya adalah, Konflik Bersenjata di Nduga, Cagar Alam Cycloop, Komitmen Papua tentang Paru-Paru Dunia, Diskriminasi dan Kekerasan Rasial, Penangkapan Terhadap Aktivis Pro Kemerdekaan, Eksodus Mahasiswa Papua dari Berbagai Kota Studi, hingga terakhir yang paling menarik perhatian kami adalah Konferensi Internasional Pertama Mahasiswa Papua atau The Firts International Conference on Papuan Students.

Informasi yang kontradiktif

Sebuah informasi tentang peristiwa pertemuan mahasiswa Papua di Los Angeles, Amerika Serikat, yang baru saja dilaksanakan pada 20 Desember 2019. Acara yang bertajuk Golden Generation of Papua: Shine On yang diprakarsai oleh Forum of Papuan Youth and Scholar dan ikatan mahasiswa Papua di Amerika dan didukung penuh oleh konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Los Angeles, Kedutaan Besar RI di Wasington DC, seluruh KJRI di Amerika Serikat dan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat. Kegiatan ini diikuti oleh 200-an mahasiswa Papua dan Papua Barat, dari Amerika, Kanada, Inggris dan Philipina. Dibuka secara resmi oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI, Mahendra Siregar. Dihadiri juga Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan, Jhon Wempi Wetipo, hingga Staf Khusus Milineal Presiden Jokowi, Billi Mambrasar. Dimana kegiatan seremonial ini, lalu diselipkan dalam laporan pelanggaran HAM Papua IWGIA 2019 yang dikeluarkan 2020 oleh para penulis.

Laporan faktual tentang HAM Papua pada 2019 justru menjadi kontradiktif dengan memuat agenda mahasiswa Papua di luar negri yang jelas-jelas sarat akan kepentingan. Meskipun dalam prinsip HAM kita mengenal istilah remedi dan upaya-upaya pemerintah (pelaku pelanggaran HAM) untuk dapat memperbaiki situasi HAM di negaranya. Namun sebuah laporan terkait konferensi mahasiswa Papua pertama ini terlalu dini sebagai laporan situasi HAM terkait masyarakat pribumi di West Papua. Justru sebaliknya kegiatan tersebut disinyalir sebagai pengalihan isu Indonesia terhadap kekerasan dan diskriminasi rasial yang memicu aksi “tolak rasisme” yang di motori oleh masa mahasiswa Papua se-Indonesia dan di tanah Papua pada September 2019. Sebuah gerakan besar yang tidak pernah terjadi sejak aksi mahasiswa Papua pada Mei-Juni 1998, yaitu aksi mahasiswa di Jayapura terakumulasi secara besar-besaran di berbagai kota (Papua dan Jawa), hingga terbentuk kelompok FORERI, Musyawarah Besar (Mubes), hingga Kongres Rakyat Papua II tahun 2000.

Laporan ini tidak mampu menguraikan peran strategis serta hasil dari konferensi mahasiswa Papua yang studi di luar negeri tersebut, selain hanya memberikan informasi secara subjektif. Padahal, melihat laporan ini secara keseluruhan, dengan jelas ada laporan terkait kepulangan pelajar Papua dari berabagi kota studi di Indonesia, ada penangkapan sewenang-wenang terhadap mahasiswa dan aktivis pro kemerdekaan. Namun di saat yang hampir bersamaan konferensi mahasiswa Papua di luar negeri dilaksanakan justru ketika para aktivis Mahasiswa sedang menjalani proses hukum setelah ditangkap saat aksi “tolak rasisme”, sedang sebagianya menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang) Polisi.

Disinilah letak kontradiksinya, karena penulis dengan sengaja memuatkan informasi tentang konferensi mahasiswa Papua Los Angeles yang menurut hemat kami tidak dibutuhkan dalam sebuah laporan HAM Papua. Jika secara sengaja dimuat dengan tujuan mengambarkan gerakan mahasiswa Papua secara Internasional, laporan tersebut diharapkan menguraikan dinamika pergerakan mahasiswa pada tahun itu (2019) secara objektif untuk melihat keterkaitan gerakan mahasiswa di tanah Papua, Indonesia, dan Agenda Los Angeles. Atau misalnya dalam kurun waktu 2017-2019, terdapat begitu banyak peristiwa konferensi, simposium, seminar, yang diselenggarakan mahasiswa Papua baik di tanah Papua maupun di Indonesia. Baik difasilitasi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Papua, maupun lintas organisasi strategis mahasiswa Papua. Dimana aksi-aksi “tolak rasisme” ini dimotori oleh mereka.

Bagi kami, laporan HAM seperti ini penting, selain melaporkan situasi pelanggan HAM di Papua, penting untuk penggambaran peran mahasiswa Papua, baik individu (aktivis), kelompok organisasi (lembaga), serta menunjukan komitmen dalam advokasi (perjuangan) selama ini, dan bukan tujuan hadir sebagai kelompok-kelompok kontra revolusioner dari gerakan mahasiswa dan gerakan sipil pada umumnya untuk perjuangan HAM dan kemerdekaan.

Dalam laporan Gereja Khatolik melalui seri buku Memoriam Passionis dikeluarkan oleh SKPKC Fransisikan Papua, No. 36 dan No. 37, misalnya. Posisi mahasiswa disana sebagai patner dari para pekerja HAM (Human Right Defender) dan bukan sebagai alat politik semata. Hal itu tidaklah berlebihan karena peran mahasiswa setiap saat melalui aksi-aksi maupun kampanye-kampanye dalam rangka penegakan HAM dan demokrasi di Papua. Bahkan lebih jauh dapat dilihat dalam setiap seri laporannya. Mahasiswa bahkan menjadi suka relawanan (voluntir) bagi kerja-kerja HAM, mengumpulkan informasi, Melaporkan, bahkan sebagian mahasiswa (aktivis) secara suka rela disiapkan menjadi pekerja HAM Papua di masa depan dengan mengikuti berbagai pendidikan HAM, juga pelatihan paralegal yang dilakukan oleh berbagai organisasi sipil.

Jika membaca hegemoni oleh Antonio Gramsci (1891-1937) melalui Prison Notebooks atau catatan-catatan dari penjara, jelas digambarkan upaya-upaya kekuasaan untuk melakukan konter revolusi terhadap upaya rakyat dalam semua bagian revolusi sosial. Salah satunya adalah revolusi pasif. Dia menjelasan bahwa revolusi pasif adalah merupakan respon yang khas kaum borjuis ketika hegemoni terancam secara serius sehingga perlu dilakukan pengorganisiran kembali secara menyeluruh dalam rangka membangun kembali hegemoninya. Pisau analisis yang cukup untuk melihat situasi pergerakan Papua dan hegemoni negara melalui upaya itu, sehingga tidak tepat memberikan gambaran tentang pertemuan mahasiswa Papua yang justru menguatkan posisi Indonesia di mata internasional.

Terlebih lagi karena posisi dan kedudukan konferensi internasional pertama mahasiswa Papua di Los Angeles dalam laporan IWGIA adalah “cacat” karena tidak representatif, tanpa konsolidasi, bersifat seremonial, bahkan mengadu domba generasi muda Papua yang seharusnya bersatu ditengah persoalan rasisme yang dihadapi Papua.

Penutup

Paling tidak jika berbicara gerakan mahasiswa Papua maka tidak akan terlepas dari sejarah panjangnya serta komitmen perjuangannya sampai sekarang. Memang diakui setiap masa dan generasi selalu berbeda-beda kuantitas dan kualitas gerakan. Banyak faktor mempengarui, komitmen, ideologi, bahkan strategi. Sehingga kita harus memiliki perspketif sendiri dalam melihat dinamika mahasiswa, atau paling tidak aktivitas mahasiwa melawan ketertindasan, memperjuangan HAM, dan demokrasi harus menjadi pengalaman empiris mahasiswa sebagaimana yang dikemukakan di atas. Inilah yang kemudian dipertanyakan dalam tulisan ini. Tetapi sama sekali tidak bermaksud untuk mengurangi esensi dari sebuah laporan HAM yang ditulis berdasakan data oleh pelapor.

Oleh sebab itu sebagai penutup kami merekomendasikan kepada berbagai pihak dalam melakukan penulisan laporan baik di tingkat lokal, regional hingga internasional untuk mengkaji serta menganalisis secara menyeluruh bagian-bagian penting dari perjuangan pribumi di Papua. Termasuk eksistensi dari gerakan-gerakan mahasiswa Papua. Hal ini penting karena menyangkut sejarah, komitmen dan kerja-kerja (perjuangan) Mahasiswa Papua. Karena bagi kami pekerja HAM yang dimaksud disini tidak terbatas pada para pekerja LSM, Jurnalis Independen, Pengacara HAM, para konsultan, lembaga-lembaga internasional, lembaga donor, peneliti dan atau mereka yang mengenyam pendidikan dan bergelar sarjana. Pejuang HAM disini adalah semua yang terlibat dan berkontribusi dalam perjuangan pemenuhan Hak-hak Asasi Manusia melalui aksi, dokumentasi dan evaluasi.

Referensi:

  1. The Indigenous World 2020
  2. Gagasan-gagasan politik Gramci oleh Roger Simon, Cetakan IV 2004
Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

1 KOMENTAR

  1. Terima kasih atas editorial yang luar biasa. Selama enam belas tahun saya telah melakukan penelitian bekerja sama dengan OPM tentang urusan internasional dan kedaulatan Papua Barat. Pada tahun 2010 kami menulis resolusi tinggi PBB yang pada awalnya mengatakan Vanuatu akan mengirim ke PBB, ini dilaporkan di surat kabar, tetapi kemudian Vanuatu mengingkari.
    Sejak 2012-2014 kami telah mengadvokasi penggunaan hak-hak hukum tersembunyi Papua Barat, dan kewajiban hukum tersembunyi PBB. Ini karena pada 2012 kami menemukan kebenaran tentang ‘Perjanjian New York’ dan mengapa PBB membawa pasukan asing ke Papua Barat sejak 1962.
    Orang tidak membutuhkan politisi atau organisasi untuk menuntut hak asasi mereka untuk menentukan nasib sendiri dan kemandirian; dan untuk Papua Barat ada kewajiban hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mempromosikan kemerdekaan dan hak-hak lainnya. Karena pada tahun 1961 Sekretaris Jenderal yang jujur ​​terbunuh dan digantikan oleh teman Indonesia U Thant, Indonesia tahu bahwa tidak perlu memenangkan pertempuran militer, Indonesia dengan bantuan U Thant membuat Amerika mempengaruhi Belanda untuk menandatangani dokumen khusus PBB; dokumen itu meminta PBB untuk menyerang dan menunjuk administrator untuk Papua Barat. Tetapi melanggar hukum, selama 58 tahun Sekretaris Jenderal belum melakukan tugasnya menempatkan berita otorisasi (resolusi Majelis Umum 1752) dalam agenda Dewan Perwalian!
    Dewan Perwalian tidak mengelola koloni perwalian, tugas Dewan Perwalian adalah membuat laporan tahunan tentang setiap koloni yang menjadi tanggung jawab PBB. Merupakan kewajiban moral dan hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghentikan pelecehan, penjarahan, dan pembunuhan orang asing seperti yang telah dilakukan Indonesia dan lainnya selama lebih dari lima puluh tahun.
    Silakan baca informasi di http://wpik.org/a dan jangan khawatir tentang janji kosong konyol ULMWP dan teman-teman mereka, masyarakat Papua Barat memiliki hak untuk menuntut agar Sekretaris Jenderal yang baru menempatkan masalah res.1752 pada agenda Dewan Perwalian sehingga PBB dapat mengakui kewajibannya untuk mengakhiri pendudukan asing.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan