Analisa Harian Identitas Kebangsaan Papua Dalam Bingkai NKRI

Identitas Kebangsaan Papua Dalam Bingkai NKRI

-

Apakah masyarakat adat Papua adalah satu bangsa yang berbeda dengan bangsa Indonesia? Ini adalah satu pertanyaan yang terlihat mudah untuk dijawab, tapi sebenarnya tidak. Terlihat mudah jika pembedaannya dilihat dari warna kulit. Sebaliknya, unsur atau imajinasi tentang bangsa tidak hanya diimajinasikan dari warna kulit saja, tetapi ada berapa aspek menurut pikiran para pakar kebangsaan.

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus ketahui dulu, apakah masyarakat adat yang mendiami tujuh wilayah adat Papua adalah satu bangsa yang berbeda dengan bangsa Indonesia, bukan karena dilihat dari warna kulit saja, tetapi dilihat dari beberapa imajinasi kebangsaan. Disinilah saya ingin menyampaikan pentingnya kebangsaan bagi masyarakat adat Papua.

Bagi saya, selama pertanyaan terkait kebangsaan Papua masih menjadi perdebatan atau dikaburkan, selama itu pulalah, orang Papua seperti tanaman yang ditanam dengan metode hidroponik, dapat hidup dan bertumbuh pada air sebagai media tanam. Tetapi pada kultur substrat, kapasitas memegang air sebagai media substrat lebih kecil dari pada media tanah. Sehingga menyebabkan pelayuan pada tanaman sangat cepat yang serius pada tanaman. Juga mudah tercerabut dari media tanamnya karena akar tanamannya tidak tertanam pada tanah sebagai media tanam. Artinya, masyarakat adat Papua yang mendiami tujuh wilayah adat di tanah Papua jika tidak berdiri di atas pondasi kebangsaannya sendiri, maka akan mengalami pelayuan (kematian) dan stres (emosional) yang tinggi serta sikap rendah diri yang kebabalasan.

Selain itu juga akan kehilangan kecintaan terhadap tanah air (Sorong-Merauke) dan kemudian secara perlahan dan sistemik akan kehilangan tanah airnya sehingga merasa dirinya diperbudak, padahal sejatinya orang Papua sendirilah yang membiarkan dirinya untuk diperbudak. Karena membiarkan dirinya kehilangan pijakan pada kebangsaannya sendiri.

Oleh sebab itu, sangat diharuskan agar percakapan kebangsaan Papua harus diangkat ke ruang publik. Entah itu lewat tulisan, diskusi masyarakat, hingga diskusi ilmiah terutama di kampus-kampus yang ada di Papua.

Untuk memulainya atau sekedar mengingatkan kembali masalah kebangsaan dari masyarakat adat Papua, bolehlah dengan keterbatasan literatur, izinkanlah saya menyampaikan pendapat lewat tulisan ini, guna menjawab pertanyaan di atas. Apakah masyarakat adat Papua dari Sorong sampai Merauke telah menjadi bangsa dan kapan mulai terbentuknya kebangsaannya. Namun sebelumnya, sebagai pembandingnya nanti. Izinkalah saya terlebih dahulu menyampaikan secara singkat sejarah lahirnya bangsa Indonesia.

Sejarah Singkat Lahirnya Bangsa Indonesia

Sebelum terbentuknya bangsa Indonesia atau masa pra kolonialisme di Indonesia, ada berbagai kerajaan yang muncul di Indonesia. Kerajaan-kerajaan ini terbagi dalam dua kerajaan berdasarkan agama. Kerajaan Hindu Budha dan Kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan ini tidak memiliki persatuan sosial dan politik karena ada perbedaan yang kental. Setelah masuknya kolonialisme barat atau kolonialisme eropa, yakni Portugis dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) oleh Belanda, barulah lahir gerakan seperti Serikat Dagan Islam tahun 1905 dan Budi Utomo tahun 1908.

Dua organisasi tersebut menjadi organisasi modern pertama orang Indonesia di masa kolonialisme. Pula dari dua organisasi tersebut tersemai nasionalisme Indonesia. Tapi masih dalam batasan gerakan anak bangsawan Jawa yang kemudian mendorong lahirnya perkumpulan kepemudaan dalam batas kesukuan atau kepulauan seperti: Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, dan Jong Ambon (tidak termaksud Papua karena tidak ada perwakilan pemuda Papua).

Gerakan kultural anak muda bangsawan ini, kemudian meletakan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu gerakan kultural kesukuan-kesukuan di pulau Jawa dan luar pulau Jawa (tidak termaksud Papua), menjadi gerakan nasionalisme Indonesia. Serta menyatakan satu tanah air (Sabang, Jawa, Sumtra, Celebes, Ambon. Tidak termaksud Papua). Dan peran pendidikan dari kolonialisme Belanda yang dibangun di Indonesia, sangat berperan dalam menyulam gerakan kultural kesukuan menjadi semangat nasionalisme Indonesia. Melalui sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang dihadiri pemuda dari Jawa, Sumatra, Celebes, dan Ambon. Sekali lagi persitiwa sejarah bersama ini, tidak ada pemuda Papua.

Sejarah Sumpah Pemuda sendiri menjadi rujukan dalam wilayah yang dibebaskan dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, yakni Sabang (Aceh) Hingga Ambonia menjadi satu bangsa Indonesia yang merdeka dalam negara yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS) yang kemudian dirubah menjadi Republik Indonesia.

Sejarah Politik Lahirnya Bangsa Papua

Bila kita menengok peristiwa-peristiwa politik masyarakat adat Papua, maka kelompok manusia Papua dari Sorong sampai Merauke telah menyatakan diri sebagai sebuah bangsa melalui manifesto politik Komite Nasional Papua (KNP), pada 19 Oktober 1961. KNP sendiri adalah satu organisasi politik ekstra di dalam Nieuw Guinea Raad selain dari 12 partai politik lokal yang wakil-wakilnya ada di dalam Nieuw Guinea Raad, tapi juga ada di dalam organ politik ekstra yang diberi nama Komite Nasional Papua.

KNP juga sangatlah nasionalis dan representatif dalam mewakili suara hati masyarakat Papua waktu itu, untuk menyatakan diri sebagai bangsa yang memiliki perasaan dan tujuan yang sama, yakni merdeka sebagai bangsa yang bernegara. Hal itu dirumuskan pada kata pembuka dalam manifesto politik KNP yang diajukan dalam sidang Nieuw Guinea Raad pada tanggal 19 Oktober 1961 yang berbunyi: “Kami jang bertanda tangan dibawah ini, penduduk tanah Papua bahagian Barat terdiri dari berbagai golongan, suku dan agama merasa terikat dan bersatu padu satu bangsa dan satu tanah air”.

Namun apakah manifesto politik KNP dapat dinyatakan sebagai unsur terjadinya bangsa Papua? Jika mengacu pada pemikiran pakar teori kebangsaan, Joseph Ernest Renant, seorang filsuf dan juga sejarawan Prancis, tentu sudahlah cukup dan tanpa bumbu imajinasi kebangsaan yang lainya. Maka masyarakat adat Papua dari Sorong sampai Merauke dapat dinyatakan sebagai sebuah bangsa. Karena bagi Renant, untuk membentuk sebuah bangsa yang dibutuhkan adalah prinsip atau keinginan untuk hidup bersama karena perasaan senasib dan sependeritaan di masa lalu, serta memiliki cita-cita yang sama di masa depan.

Dan kata pembuka dalam manifesto politik Komite Nasional Papua memenuhi prinsip, bahwa masyarkat adat Papua dari Sorong sampai Merauke. Ingin hidup bersama sebagai sebuah bangsa yang memiliki negara merdeka sendiri. Terlepas dari Belanda mau pun Indonesia atas dasar perasaan dan cita-cita yang sama di masa depan akibat kolonialisme yang lalu dan yang ada di depan mata. Hal ini dapat dilihat dalam buku risalah perdebatan di Nieuw Guinea Raad, pada 30 Oktober 1961 yang ditulis dan sunting oleh Alexander L. Griapon, mantan kepala bidang Ekonomi dan Sosial Budaya BAPPEDA, Kabupaten Jayapura.

Dalam buku Manisfeto Politik Komite Nasional Papua tersebut, juga dinyatakan oleh ketua KNP, Sollewijn Gelpke, bahwa manifesto politik dari KNP yang didebatkan, pada 30 Okterber 1961 diterima oleh mayoritas (semua) suara dalam Nieuw Guinea Raad.“…. Saya menyatakan bahwa usulan telah diterima dengan suara mayoritas…”.

Tapi menurut hemat penulis, lahirnya sejarah politk adalah akumulasi dari perasaan senasib karena penindasan yang dirasakan. Sementara imajinasi kebangsaan tidak hanya bicara soal perasaan senasib saja, tetapi ada beberapa unsur lainya juga. Sehingga marilah kita berkaca pada kata para pakar kebangsaan.

Imajinasi Kebangsaan Menurut Para Pakar

Menurut Hans Kohn, seorang filsuf Amerika dan sejarawan asal Ceko-Yahudi yang memelopori studi akademis tentang nasionalisme dan dianggap sebagai ahli teori nasionalisme yang berpengaruh. Bahwa bangsa adalah sekolompok manusia yang majemuk dan bersatu sebagai hasil proses perjuangan sejarah. Suatu bangsa terbentuk dan memiliki ciri khas, misalnya persamaan ras, bahasa, wilayah, adat istiadat, dan agama.

Sedangkan bagi Antoni D. Smith, bangsa bukan saja soal keinginan untuk hidup bersama sebagaimana yang dipaksakan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Tetapi bangsa adalah suatu komunitas manusia yang memiliki nama, mitos sejarah bersama, budaya yang umum, pereokonomian bersama, hak dan kewajiban bersama, serta menguasai suatu tanah air. Dua teori di atas terpenuhi oleh masyarakat adat Papua yang mendiami bumi Cendrawasih sebagai sebuah bangsa.

Masyarakat adat Papua memiliki persamaan ras yakni ras Melanesia, berbeda dengan bangsa Indonesia yang adalah bangsa melayu. Masyarakat adat Papua juga memiliki kesamaan bahasa sebagai bahasa pemersatu setelah masuknya zending 1855 dan misionaris 1894, yakni bahasa Melayu.

Tiga tahun sebelum Kongres Pemuda Indonesi yang ke II pada 27-28 Oktober 1928 yang mengakui bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia, bahasa Melayu telah dinyatakan sebagai bahasa pendidikan di sekolah-sekolah zending pada tahun 1925 atau tiga tahun sebelum Kongres Pemuda Indonesia ke II .

Juga masyarakat adat Papua hidup di atas satu wilayah (Sorong-Merauke) yang beratus-ratus mil jauh dari Indonesia serta memiliki adat istiadat yang sama, juga agama kristen sebagai agama mayoritas yang sama, berbeda dengan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Begitu pun teori kebangsaan yang konsepkan Antoni D. Smit.

Bagi saya, teori bangsa dari Smith juga dipenuhi oleh komunitas-komunitas masyarakat adat yang mendiami pulau New Guinea atau sekarang disebut Papua (Sorong-Merauke). Masyarakat adat di Pulau New Guinea diidentifikasi menjadi 44 etnik penduduk asli melalui penelitian yang dilakukan oleh tim dari Universitas Cendrawasih. Serta berdasarkan pemetaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Indonesia tahun 2005, penduduk asli dari Pulau yang dijuluki duplikat surga yang jatuh ke Bumi terdiri 57 etnik. Etnik-etnik tersebut hidup berkelompok dalam unit-unit kecil dengan bahasa, adat dan budaya sendiri-sendiri.

Tetapi ketika masuknya agama Kristen (Protestan) yang dibawah oleh C. W. Ottow dan J. G. Geissler dari Jerman-Belanda dan tiba di Papua pada 5 Februari 1855 dan masuknya misi Katolik pada tanggal 22 Mei 1894 di Fak-Fak. Juga masuknya kolonialisme Belanda dan Indonesia, plus imprelisme (masuknya PT. Freeport Indonesia tahun 1967). Membantu menyulam perasaan etnik-etnik penduduk asli Pulau New Guinea yang tadinya hidup berkelompok dalam unit-unit kecil dengan bahasa, adat, dan budaya sendiri-sendiri menjadi satu.

Mereka mulai mengakui keberadaan masing-masing, juga saling terima sebagai sesama manusia yang hidup di atas satu wilayah dengan bahasa yang satu. Dimana etnik-etnik masyarakat adat Papua yang mendiami wilayah dataran tinggi dapat berkomunikasi dengan bahasa Melayu dialek/logat Papua yang kental dengan etnik-etnik masyarakat adat Papua di wilayah pesisir. Lalu dengan bahasa tersebut, etnik-etnik Papua yang majemuk itu membangun relasi sosial, politik, ekonomi juga pertahanan dan menciptakan sejarah bersama berdasarkan perasaan senasib.

Hal ini sebagai buah dari pekerjaan penginjilan yang menggunakan satu bahasa, yakni bahasa Maleise Taal atau bahasa Melayu. Sehingga bahasa tersebut menjadi bahasa tulis dan lisan yang menyatukan 57-44 etnik masyarakat adat di Pulau New Guinea. Juga perasaan senasib dan sepenanggunan dalam perjuangan akibat dieksploitasi oleh penjajahan Belanda maupun Indonesia.

Kesimpulan

Dari ulasan diatas, ada perbedaan lahirnya bangsa Papua dan Indonesia yang mencolok. Masyarakat adat Papua yang mendiami bumi Cendrawasih adalah komunitas-komunitas manusia, yang dalam perkembangan sejarah masyarakatnya hingga menjadi bangsa, berbeda dalam ruang dan waktu dengan bangsa Indonesia. Terbentuknya bangsa Papua dipengaruhi langsung oleh pekerjaan pengijilan zending dan pengijilan misi katolikan. Serta masuknya kolonialisme Belanda dan Indonesia. Juga kapitalisme dan imperialisme Amerika melalui PT, Freeport Indonesia dan kapitalisme Inggris melalui perusahan minyak LNG Tangguh di wilayah kepala burung, Sorong. Sementara lahirnya bangsa Indonesia dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda.

Perbedaan lahirnya kebangsaan ini harus menjadi problem yang berakhir dengan perpisahan administrasi pemerintahan dan kedaulatan negara. Guna eksistensi manusia dari dua bangsa yang berbeda. Juga demi pengapusan tindakan ketidak adilan dan rasialisme dalam satu negara yang telah berakar dan membudaya dari mayoritas manusia yang mendominasi populasi penduduk negara terhadap minoritas manusia didalam negara. Seperti orang non Papua dan Papua dalam bingkai NKRI atau antar orang kulit putih Amerika dan negro Amerika di US.

Referensi:

  1. Manifesto Politik Komite Nasional Papua (Risalah Perdebatan di Nieuw Guinea Raad 30 Oktober 1961)
  2. Qua Vadis Papua, oleh Laksamana Madya TNI (Purn), Freddy Numberi (2014)
  3. Nasionalisme Ganda Orang Papua, oleh Bernarda Meteray (2012)
  4. Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, oleh P.J. Drooglever (2010)

 

Philipus Robaha
Penulis adalah aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa)

3 KOMENTAR

  1. Sangat Luar Biasa terus update berita” sejara sehingga Kami Generasi PAPUA terus Kuat dalam pemahaman SEJARAH Papua

  2. Syowi.. Terus menulis karna saat ini kaum pelopor dan seluruh masyarakat papua harus tahu tentang sejarahanya sendiri guna persatuan nasional papua barat..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan