Analisa Harian Rasisme, Negara, dan Demokrasi di Papua

Rasisme, Negara, dan Demokrasi di Papua

-

Aksi protes rasisme terhadap orang Papua makin naik, bahkan meluas. Pada 10 Juni 2020 sejumlah kota telah melancarkan aksi, di antaranya aksi bisu oleh Mahasiswa Exodus di Jayapura, aksi protes mahasiswa Papua di balik Papua, depan PN Balikpapan, juga aksi pajang poster dari mana-mana oleh rakyat dan mahasiswa yang berbunyi, bebaskan 7 Tapol Papua di Balikpapan. Ketujuh Tapol Bersama Tapol Papua yang lainnya, mereka ditangkap karena melawan rasisme, melancarkan aksi protes pada sepanjang Agustus hingga September 2019.

Penangkapan aksi anti rasisme memperlihatkan negara tak ingin agar rasisme dihapuskan. Negara ingin pelihara rasisme sebagai senjata penguasa untuk menindas rakyat. Lantas negara pelihara para pelaku rasis di Surabaya dengan hanya dipenjara 7-9 bulan.

Itulah mengapa aksi protes rasisme yang meluas hingga seluruh tanah air West Papua, tuntutan politiknya pun berkembang hingga tuntutan-tuntutan revolusioner: Rakyat menuntut diberikannya hak Penentuan Nasib sendiri melalui mekanisme yang paling demokratis, yakni Referendum.

Tuntutan politik semacam itu mesti Negara bertanya kepada dirinya sendiri. Tuntutan referendum itu bukan hanya ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap negara, tetapi juga dilihat alasan historis yang dibicarakan berulang kali oleh rakyat Papua tentang integrasi dan aneksasi yang justru membawa kontradiksi yang tak terdamaikan hingga saat ini. Kontradiksi antara Indonesia Harga Mati dan Papua merdeka.

Secara historis, problem ini berasal dari sikap dan tindakan NKRI yang tentu sangat rasis. Papua dipaksa bergabung dengan pendekatan militeristik saat orang Papua belum mau bergabung ke pangkuan NKRI. Tanpa sepengetahuan orang Papua, Indonesia, Belanda dan Amerika membuat perjanjian penyerahan Papua ke Indonesia di New York pada 15 Agustus 1962. Lantas penyerahan Papua ke Indonesia melalui PBB (UNTEA) pada 1 Mei 1963 itu dinyatakan aneksasi oleh orang Papua. Proses penyerahan juga dilakukan tanpa sepengetahuan orang Papua. Ini bukti bagaimana rasisme itu sudah terkonstruksi secara sistemik dalam negara. Aneksasi yang artinya wujud daripada sikap dan tindakan NKRI yang rasis.

Lihat saja sepanjang aksi protes rasisme di Papua pada 2019 lalu. Internet dimatikan oleh Kemenkominfo. Negara dituntut minta maaf kepada orang Papua setelah digugat secara hukum.

Artinya kesadaran akan segera bersalah itu pun dipaksa secara hukum, bukan karena negara menganggap rakyat Papua adalah manusia yang setara dengan manusia lain atau warga negara yang semestinya diperlakukan secara manusiawi.

Negara meminta maaf, tetapi apakah rasisme terhadap orang Papua akan berhenti dengan ungkapan maaf oleh negara? Tidak. 17 Tapol Papua di Kalimantan itu dituntut penjara 5 hingga 17 oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Papua. Mereka divonis bersalah karena memprotes tindakan rasional yang dilakukan oleh oknum TNI, Polisi, dan Ormas di Surabaya. Pengadilan memutuskan pada sehari setelah Presiden dan Kemenkominfo bersalah dan dituntut untuk meminta maaf kepada orang Papua atas putusan pengadilan. Disitu negara perlihatkan siapa dan untuk siapa institusi negara ini berdiri.

Negara menjadi institusi yang justru memproduksi rasisme terhadap orang Papua, juga kelompok minoritas lainnya. Bagaimana tidak, pertama, Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi institusi yang siap dan selalu membuat berbagai aturan perundang-undangan yang manfaatnya untuk kelas penguasa. Merakit Undang-Undang yang justru melegalkan penindasan terus masif dilancarkan kepada rakyat tertindas. Lihat saja Rancangan Undang-undang (RUU) Minerba dan Omnibus Law, yang sedang akan dirancang dan disahkan Negara. Padahal RUU tersebut sudah dikritisi oleh banyak kalangan termasuk rakyat tertindas: buruh, tani, dan sebagainya. Bahkan tak demokratis dalam membuat rancangan undang-undang tersebut, lalu disepakati secara sepihak.

Kedua, Presiden dan Kemenkoinfo baru saja di tuntut meminta maaf kepada rakyat Papua oleh pengadilan atas pembatasan internet sepanjang Papua berada dalam situasi darurat militer sejak aksi protes rasisme dilancarkan. Tapi Presiden Jokowi tak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang serius. Keseriusan presiden terhadap Papua adalah pembangunan infrastruktur yang manfaatnya untuk akses kapitalisme. Selain itu kehebatan Jokowi hanya janji akan menyelesaikan semua persoalan HAM berat di Papua seraya menggali persoalan HAM baru di Papua.

Ketiga, Institusi Militer Indonesia yang sangat fasis terhadap pendekatan Integrasi yang dilakukan pasca pendudukan RI di Papua pada tahun 1962. Operasi militer menjadi metode mengintegrasikan Papua ke dalam Indonesia. Paling sedikit 500 ribu warga Papua yang meninggal dalam rangkaian operasi militeristik sepanjang 1962-2004. Ribuan warga lainnya mengungsi ke luar Papua mencari kondisi ketenangan yang baru, sebab Papua tak aman bagi orang Papua.

Institusi militer telah menjadi wajah NKRI di Papua. Bahwasannya selain berdamai dan menjaga kelancaran akses kapital di Papua, mereka telah menjadi musuh sepanjang hidup orang Papua. Senjata laras panjang menjadi alat untuk menghadapi rakyat biasa di Papua. Penjara dibuat untuk mengurung bagi yang tak bersalah, bahkan tempat persinggahan terakhir bagi orang Papua di Bumi.

Dari tiga hal ini, negara telah menunjukan sikap dan tindakan yang tidak hanya sebatas merendahkan orang Papua, tetapi menghabisi nyawa manusia Papua dalam jumlah yang banyak. Kini jumlah orang Papua hanya tertinggal 2,5 juta jiwa (dari data yang dihimpun jubi.co.id), jumlah yang menunjukan minoritas di tanah yang penuh dengan susu dan madu (begitu istilah orang-orang tuah di kampung-kampung Papua) yang menggiurkan bagi pemodal.

Oleh karena kekayaan alam Papua itulah, dan karena semangat akumulasi kapital itulah, negara menjajah rakyat Papua, menjadikan rasisme sebagai salah satu senjata penindasan.

Mengutuk rasisme merupakan perlawanan yang tak tinggal diam. Rakyat sadar bahwa rasisme tak akan berhenti tanpa aksi perlawanan. Rasisme juga tak akan hilang tanpa sumbernya dilenyapkan, yakni sistem kekuasaan Indonesia yang menjajah. Indonesia menjajah atas kepentingan akumulasi kapital (nasional juga multi nasional).

Pasca isu rasis mulai mendunia: Amerika, Indonesia hingga di Papua pada dekade ini, banyak gagasan konsepsi tentang jalan penghapusan pun disodorkan oleh media propaganda kolonial. Mulai dari perspektif pembangunan, humanistik, Integrasi, bahkan mekanisme Internasional. Amerika adalah salah satu contoh negara yang konstitusi internasional berbicara keras tentang melawan rasisme terhadap kulit hitam (1964: Civil Rights Act) . Tetapi rasisme tidak juga terkubur. Ia masih hidup. Protes warga Amerika atas meninggalkan George Flyod di tangan seorang Polisi kulit putih merupakan titik akumulasi panjang atas sikap dan tindakan rasial yang dialami oleh warga kulit hitam di Amerika. Begitu pula aksi protes rasisme oleh orang Papua sepanjang Agustus-September di seluruh Indonesia. UU No. 40 tahun 2008 berbicara tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, realita membenarkan bahwa rasisme (di Indonesia) masih hidup sampai hari ini, teruntuk kepada orang Papua.

Rakyat Papua sadar bahwa perjuangan penghapusan rasisme merupakan jalan panjang pemberontakan. Ia akan lenyap hanya dengan perlawanan yang dibangun atas dasar demokrasi dan kemanusiaan. Sebab rasisme lahir dari sistem tanpa kemanusiaan dan demokrasi yang dikorup; lahir dari rahim sistim tanpa masa depan, yakni kapitalisme global.

Perlawanan rakyat Papua merupakan bentuk reaksi terhadap segala penindasan kekuasaan Indonesia. Perjuangan dilantangkan untuk merebut demokrasi. Sebab demokrasi merupakan nafas dari kemanusiaan. Sebab ketiadaan demokrasi dalam masyarakat memici munculnya rasisme, diskriminasi, penindasan yang berkepanjangan.

Demokrasi merupakan nafas dari kesetaraan. Demokrasi merupakan sarana memproduksi kesejahteraan. Oleh karena itu, merebut demokrasi menjadi cita-cita rakyat Papua dalam kontradiksi pokok hari ini, yakni kontradiksi melawan penjajah yang juga memanipulasi demokrasi. Demokrasi yang melegitimasi kesepakatan internasional dan konstitusi RI tentang penghapusan untuk mempertahankan kekuasaan yang menjajah hingga orang Papua bertubi-tubi mengalami ketidak-adilan, apa lagi secara hukum.

Jhon Gobai
Aktivis dan Pengasuh Rubrik Catatan Mahasiswa Lao-Lao Papua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan