Pengantar
Dewasa ini, dengan semakin kuatnya cengkraman imperialisme di negeri ini, kaum borjuis dengan kencang, kembali menggembar-gemborkan perihal nasionalisme. Sangat penting bagi kaum kiri untuk menilai lebih dalam, apa maksud-maksud dari kampanye ideologis kaum borjuis ini. Apakah jawaban yang tepat untuk persoalan hari ini: penyempitan ruang demokrasi dan kemiskinan, jebakan yang menghantarkan mayoritas rakyat miskin Indonesia terjerembab semakin dalam di jurang ketertindasan?
Untuk memahami ini, sangat penting bagi kita untuk memahami apa itu “Nation” atau Bangsa? Kapan, bagaimana dan apa syarat-syarat kemunculannya, terutama dalam konteks Indonesia? Apa itu nasionalisme? Siapa yang berkepentingan terhadap nasionalisme? Apa itu pembebasan nasional (national liberation)? Apa kepentingan dan tujuan dari pembebasan nasional?
Jika kaum kiri tidak menjawab persoalan-persoalan ini, tidak pelak lagi akan mudah terjatuh dalam chauvinisme, reformisme ataupun oportunisme dalam posisi politiknya, yang membahayakan bagi keberlanjutan perjuangan untuk meniadakan penindasan dari manusia terhadap manusia yang lain (kelas).
Bangsa Indonesia: Bangsa Koeli
“Nation” atau Bangsa, tulis Stalin, “dalam sejarahnya terbentuk dari komunitas masyarakat yang stabil/tertentu, yang terbentuk berdasarkan sebuah kesamaan bahasa, teritori (wilayah), kehidupan ekonomi, dan perubahan psikhologi, yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan bersama. Sebuah bangsa dalam sejarahnya tidak muncul secara tiba-tiba tetapi muncul dalam periode sejarah tertentu, yaitu masa munculnya kapitalisme.”(Marxism and Nationalism Question).
Selanjutnya, Doug Lorimer (Revolutionary Sosialist Party) menegaskan kembali pandangan Bolshevik bahwa sebuah bangsa bukan hanya “komunitas masyarakat yang diimpikan” tetapi secara obyektif, menurut sejarahnya, merupakan perkembangan kesatuan masyarakat yang terbentuk berdasarkan basis hubungan ekonomi kapitalis, yang memberikan kesempatan pada seseorang untuk hidup dalam wilayah tertentu yang mempunyai persamaan bahasa dan persamaan budaya.
Dari pandangan tersebut, ada 4 kategori yang menjadi syarat lahirnya suatu bangsa, yakni: teritori (wilayah), kehidupan ekonomi, kesamaan psikologis, bahasa yang sama dan kebudayaan bersama.
Indonesia[1], sebelum menjadi suatu “nation” atau bangsa, adalah kepulauan yang dikuasai oleh suku-suku dan kerajaan-kerajaan, terpisah-pisah dan saling bermusuhan satu sama lain. Melalui integrasi hubungan ekonomi-politik kapitalisme, perasaan ketertindasan yang sama, dan perkembangan kebudayaan yang sama (khususnya sastra), menjadikan penduduk di nusantara ini menjadi suatu bangsa. Bangsa yang obyektifnya memiliki syarat untuk besar, tetapi pada kenyataannya masih menjadi bangsa koeli.
Faktor paling mendasar yang menyebabkan bangsa ini masih menjadi bangsa koeli adalah: rendahnya tenaga produktif. Tenaga produktif adalah penggabungan dari sumber daya manusia yang berkapasitas/cakap untuk menghasilkan barang-barang materil (tenaga kerja) dan alat-alat produksi. Tenaga produktif merupakan basis penting untuk produksi dan produktifitas. Tinggi atau rendahnya kualitas tenaga produktif suatu masyarakat, akan menentukan tingkat produktifitas, kuantitas, serta kualitas hasil produksinya. Menurut Marx, tenaga produktif (force of production) bisa mengubah atau menggerakkan revolusi. Hal itu karena, kemajuan tenaga produktif yang sudah tidak bisa ditampung dalam hubungan produksi lama, bisa mengakselerasikan perubahan hubungan produksi yang baru.
Mulanya, tenaga produktif masyarakat di nusantara ini tinggi. Hal itu terjadi semasa kekuasaan Majapahit (1350-1389). Tidak heran mengapa Majapahit bisa membuat kapal-kapal besar (Jung-jung[2]) yang bisa mengarungi samudera dan menguasai Nusantara hingga ke Selat Malaka; membuat “Cetbang-Cetbang”[3]; dan ketika itu, tinggi tubuh penduduk nusantara ini berkisar 170-an cm—lebih tinggi dari prajurit Jepang pada tahun 1940-an. Ini mencerminkan tingkat kemakmuran yang tinggi dari masyarakat Majapahit. Tetapi di masa ini, nusantara belumlah menjadi sebuah bangsa. Nusantara masih dikuasai oleh feodalisme Majapahit. Meski dikuasai oleh Majapahit akan tetapi penduduk di daerah kekuasaan Majapahit tidak menggunakan bahasa yang sama dan memiliki kebudayaan bersama. Daerah-daerah kekuasaan Majapahit merupakan daerah-daerah taklukan, bukan daerah-daerah yang bersatu karena kesamaan psikologis. Oleh karena itu, pertautan antara kelahiran bangsa Indonesia dengan Majapahit adalah pertautan yang tidak memiliki relasi sama sekali.
Kemakmuran yang dihasilkan melalui konsentrasi produksi di tangan pemilik alat produksi (Raja dan Bangsawan Majapahit), itu ternyata tidak bertahan lama. Hubungan produksi[4] Feodalisme[5] (masa Majapahit) membusuk karena korupsi dan perpecahan[6] dalam struktur kerajaan Majapahit, dan berakhir dengan kehancuran Majapahit. Hubungan Produksi, kemudian, tidak bertransformasi menjadi hubungan produksi yang lebih lanjut (kapitalisme). Melainkan tetap dalam corak produksi yang sama: feodalisme. Perbedaannya terletak pada alat produksi, sasaran produksi, dan tenaga produksi yang terpecah-pecah (fragmentatif).
Setelah Majapahit runtuh, banyak muncul kerajaan-kerajaan dengan luas kekuasaan yang kecil[7], bahkan terjadi pemecahan-pemecahan kekuasaan, seperti pembagian kekuasaan Mataram melalui perjanjian Giyanti[8] (1755). Ataupun pemberian tanah oleh Kerajaan kepada saudagar, syahbandar, ataupun ulama yang sering disebut sebagai tanah perdikan (Mangir), mengakibatkan pemecahan penguasaan tanah, bahkan hingga pendirian Kerajaan baru (cth: Kesultanan Banten).
Selain itu, pola hak waris juga berpengaruh dalam pembagi-bagian tanah. Pola semacam ini dikenal sebagai penyakap (sikep-sikep/tenancy). Akibat dari struktur penguasaan tanah semacam ini adalah: tidak adanya konsentrasi produksi, sehingga tenaga produktif tidak berkembang; akumulasi produksi pun tidak melimpah. Dari struktur semacam ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada tuan tanah (dalam arti definitif, yang mampu bertransformasi menjadi borjuis seperti halnya di Eropa). (Konsekuensinya), sangat sulit terjadi revolusi borjuis untuk menggantikan kekuasaan feodal di nusantara, karena memang secara tenaga produktif, kaum borjuisnya lemah.
Tenaga produktif dalam corak produksi yang lebih maju (kapitalisme), mulai dibangun oleh kapitalisme (primitif) Belanda, yang mencangkokkan kapitalisme di Hindia Belanda melalui kebijakan tanam paksa[9] (Cultuurstelsel) pada tahun 1830-1870, pembangunan jalan[10], pembangunan jalan kereta api[11], pembangunan jaringan komunikasi[12] pembukaan perkebunan-perkebunan, pembukaan sekolah-sekolah (dalam rangka mengembangkan tenaga produktif penduduk negeri ini yang sangat rendah).
Akumulasi produksi yang didapatkan tidak juga mengembangkan tenaga produktif sepenuh-penuhnya, karena akumulasi produksi di bawa ke pasar Eropa, dan diperuntukkan bagi borjuasi Belanda dan Eropa yang menanamkan modalnya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Hubungan produksi yang menindas ini menghambat perkembangan tenaga produktif. Memang, tenaga produktifnya dikembangkan oleh kolonialisme Belanda melalui pendidikan dan pelatihan ataupun yang lainnya, akan tetapi akumulasi kapital yang berada di tangan kolonial belanda menghambat kemajuan tenaga produktif di Hindia Belanda (negeri jajahan).
Masuknya kapitalisme Belanda tidak lantas menghancurkan struktur dan kebudayaan feodalisme, bahkan di tahap awal, kekuasaan politik kerajaan dipakai untuk melegitimasi kekuasaan kolonialisme Belanda. Sedikit demi sedikit kewibawaan kaum feodal dilucuti dalam makna ekonomi[13], dan dibatasi secara politik (bahkan pemerintahan Belanda dapat ikut campur dalam suksesi kekuasaan di kerajaan–kerajaan Mataram), tapi digunakan secara kultural untuk melegitimasi ekspansi modal mereka. Inilah yang membuat sisa-sisa feodalisme tidak hancur, melainkan terus bercokol hingga saat ini dalam lapangan kebudayaan. Inilah salah satu hambatan masyarakat Indonesia dalam lapangan kebudayaan, sisa-sisa feodalisme, yang dalam hubungan produksi memiliki pengaruh dalam pengembangan tenaga produktif.
Yang utama dari sejarah Bangsa Indonesia adalah rendahnya tenaga produktif, yang ternyata, tetap tidak berkembang meski telah diupayakan oleh kapitalisme Belanda melalui Politik Etis, mobilisasi tenaga kerja, dan mobilisasi alat kerja, untuk membangun basis industri kapitalisme. Akibatnya, kapitalisme Indonesia adalah kapitalisme yang cacat. Kapitalisme dengan tenaga produktif yang rendah, dan dengan kaum borjuisnya yang lemah, yang rendah kapasitas kapitalisnya, serta berwatak calo (komprador).
Kaum borjuis “pribumi” merupakan transformasi dari para priyayi yang mulai terlibat dalam perdagangan, menjual tanahnya (yang sedikit itu) sebagai modal (yang kecil pula) untuk membangun pabrik gula—seperti yang dilakukan oleh para sinyo Belanda, pabrik kain (batik), (dan) bukan membangun industri dasar yang kuat, seperti halnya yang dilakukan Inggris di India dengan membangun Industri Baja dan Besi. Sehingga basis industri apapun bisa disiapkan sebab teknologinya bisa dikembangkan, bukannya diimpor.
Dengan kapasitas semacam ini, borjuis Indonesia, tidak akan mampu mengembangkan tenaga produktif, terus bergantung kepada modal asing, dan rendah iman demokrasinya—padahal demokrasi menjadi salah satu kepentingan bagi kaum borjuis untuk melapangkan ekspansi, eksploitasi, dan akumulasi modal mereka. Maka, jangan heran, apabila militerisme begitu kuat di negeri ini. Padahal di negeri-negeri Eropa, militer berada sepenuhnya dibawah kendali kaum borjuis, digunakan sebagai alat kekerasan untuk mempertahankan keberlanjutan proses akumulasi kapital, baik terhadap rakyat yang melawan penghisapan itu, ataupun terhadap serangan dari luar—dari kaum borjuis negeri lain yang hendak menguasai alat-alat produksi mereka.
Inilah yang membedakan proses kelahiran kapitalisme di Indonesia dengan di Eropa. Di Perancis, revolusi borjuis-demokratik merupakan hasil dari ketidaksanggupan lagi hubungan produksi feodalisme menampung perkembangan tenaga produktif yang semakin lama-semakin maju; yang karena disyaratkan adanya konsentrasi produksi—meski ditangan kaum borjuis dan gilda-gilda. Inilah pula yang membedakan karakter borjuis di Eropa dan Indonesia.
Embrio Bangsa Indonesia lahir dari integrasi hubungan ekonomi daerah-daerah jajahan Bangsa Belanda, yang dahulu merupakan mayoritas bagian dari kekuasaan Majapahit, yang karena keruntuhannya menjadi terpecah-pecah. Integrasi hubungan ekonomi ini tidak lantas secara langsung melahirkan bangsa Indonesia. Integrasi hubungan ekonomi memberikan syarat-syaratnya, akan tetapi yang utama adalah proses dinamis dari penduduk Hindia Belanda dalam mengembangkan kesadarannya, kebudayaannya, bahasanya, organisasinya maupun pergerakannya, itulah faktor yang utama.
Antagonisme antara bangsa Belanda dan penduduk negeri ini dalam hubungan ekonomi yang menindas melahirkan suatu kesamaan psikologis, perasaan senasib sebagai orang-orang yang di jajah Belanda. Perasaan ini semakin berkembang dengan kenyataan adanya ketimpangan kesejahteraan, ketidaksetaraan dalam kehidupan sosial, ketidaksetaraan dalam akses pendidikan, informasi dan komunikasi, ketidaksetaraan di mata hukum, ketidaksetaraan dalam pekerjaan, ketidaksetaraan dalam kekuasaan antara kaum pribumi dengan sinyo-sinyo Belanda dan keturunannya memberikan basis perlawanan. Karakter perlawanan ini berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh P. Diponegoro, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol yang kepentingannya adalah mempertahankan tanahnya dalam posisi mereka sebagai kaum feodal. Bukan dalam watak yang lebih maju, watak anti penindasan kolonial sebagai sebuah bangsa. Penduduk pribumi negeri ini, terbangun kesamaan psikologisnya, yakni: anti penindasan kolonial.
Proses menjadi bangsa ini semakin maju, seiring dengan kebutuhan kapitalisme untuk mengembangkan tenaga produktif melalui politik etis. Politik Etis yang dijalankan Belanda, yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas tenaga produktif negeri ini justru melahirkan “senjata” yang siap menikam kapitalisme Belanda—suatu pedang bermata dua—yakni: Kaum terpelajar/terdidik, Koran dan Organisasi Massa. Pada tahun 1908, suatu organisasi radikal dengan jumlah keanggotaan 1200 orang lahir, ialah Budi Utomo. Kemudian pada tahun 1911, Serikat Islam yang sebelumnya bernama Serikat Dagang Islam lahir dan berkembang menjadi organisasi massa terbesar dengan skala nasional. Dari organisasi gerakan inilah karakter nasional sebagai suatu teritorial dan perasaaan senasib berkembang dengan tujuan yang semakin meruncing: kemerdekaan. Melalui organisasi, perjuangan kemeredekaan, koran sebagai media komunikasi dan informasi, bahasa berkembang baik secara lisan melalui berbagai pendiskusian ataupun melalui tulisan dengan berbagai artikel, sikap politik, pamflet, slogan yang menghantarkan bahasa Indonesia menjadi berkembang, melalui politik dan seiring dalam perjuangan kemerdekaan, perjuangan membebaskan negeri ini keluar dari penjajahan Belanda. Produk-produk kebudayaan lahir dengan berbagai bentuk, dengan artikel ataupun karya sastra yang disebarluaskan melalui “bacaan liar” maupun “sekolah liar” misalnya yang dibuat oleh Tirto Adhi Soerjo, yang memperlihatkan kenyataan kondisi masyarakat Hindia Belanda, seperti Peladjaran Boeat Perempoean Boemipoetera yang dimuat di Medan Prijaji (MP) pada tahun 1904, Kekedjaman di Banten dimuat di MP tahun 1909, Tjerita Njai Ratna, terbit tahun 1909. R.M. Tirto Adhi Soerjo sebagai seorang pelopor pergerakan nasional yang memproduksi bacaan-bacaan fiksi dan non-fiksi, telah mendorong beberapa tokoh pergerakan untuk melakukan hal yang sama, seperti Mas Marco Kartodikromo (Mata Gelap, Student Hidjo), Soewardi Soerjaningrat (Seandainya saya Seorang Belanda), Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen (Hikayat Kadiroen), Darsono (Moeis telah Mendjadi Boedak Setan Oeang, Pengadilan Panah Beratjun) dan lainnya. Selain itu, produk kebudayaan yang berangkat dari kondisi yang real juga dilakukan dengan lukisan, seperti yang dilakukan oleh Sudjojono yang kemudian mempelopori lahirnya Persatuan Ahli Gambar Indonesia. Bagi Sudjojono, seniman tidak hanya melukis gubuk yang indah dan pegunungan, gambar-gambar romantis tetapi juga melukis pabrik gula dan petani yang kurus, motor-motor orang kaya dan celana panjang pemuda miskin. Sudjojono lah yang mempelopori seni lukis modern dengan watak realisme sosialis. Dari praktek ini dapat kita pahami bahwa kebudayaan nasional berkembang dari kebudayaan rakyat, kebudayaan yang lahir dan berkembang karena adanya antagonisme kelas, kebudayaan yang meluas dan meninggi karena di integrasikan dengan perjuangan politik, perjuangan kemerdekaan.
Organisasi, koran, buku, rapat akbar, diskusi-diskusi, puisi, nyanyian, lukisan adalah produk kebudayaan modern yang kesemuanya ditempatkan dalam arah menuju perjuangan kemerdekaan serta perdagangan maupun bentuk-bentuk hubungan ekonomi lainnya antar penduduk negeri ini menghantarkan syarat-syarat negeri ini menjadi suatu bangsa. Suatu faktor-faktor yang mulanya dilarang oleh kolonialisme belanda karena membahayakan bagi cengkraman kapitalisme belanda di negeri ini. Di tahun 1928 telah lahir suatu bangsa, bangsa Indonesia. Bangsa yang proses kelahirannya dipicu oleh integrasi ekonomi-politik dalam sistem kapitalisme Belanda, akan tetapi dihambat oleh Belanda proses perkembangan dari Bangsa ini dan terus berproses melalui organisasi dan pergulatan kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri.
Proses pembangunan bangsa ini tidak lantas selesai. Terus berproses. Bahkan setelah kemerdekaan (dalam pengertian politik) dicapai pada 17 Agustus 1945. Proses membangun bangsa ini terus bergulat untuk melahirkan karakter dan kebudayaan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan terbebas sepenuh-penuhnya dari bangsa lain yang menindasnya. Proses ini tidak hanya dihambat oleh intervensi-intervensi dari luar, baik oleh Sekutu ataupun Belanda tetapi oleh kepengecutan kaum borjuis “pribumi”. Misalnya dalam soal Revolusi Sosial di Tiga Daerah yang bertujuan untuk memukul sisa-sisa kekuatan lama yang pada masa pra kemerdekaan ikut menyokong kekuasaan Belanda, dimana pemerintah ataupun PKI menyalahkan aksi radikal tersebut. Ataupun, dalam soal persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang delegasinya dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, dimana Belanda dapat kembali memiliki kekuasaan secara ekonomi melalui kesepakatan untuk dikembalikannya perusahaan, perkebunan, pertambangan dan industri vital lainnya kepada Belanda dan pemerintah Indonesia diwajibkan membayar utang semasa perang sebesar US $40 Miliar serta pemecahbelahan kekuatan nasional dengan disetujuinya konsep Republik Indonesia Serikat (RIS). Proses pergulatan ini terus berlangsung, antara kelompok yang menghendaki kemandirian nasional sebagai sebuah bangsa menjadi pijakan prinsip politik-ekonominya dengan kelompok yang menghendaki berkompromi dengan tekanan dan modal asing (Belanda, Inggris dan Amerika) hingga terjadilah tragedi besar 1965 yang memukul mundur gerakan kiri, memukul mundur proses membangun sebuah bangsa yang besar, yang mandiri, yang berdaulat.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa Bangsa Indonesia, yang mana komposisinya terdiri dari: borjuis, borjuis kecil, kaum miskin (semi proletariat perkotaan/pedesaan dan proletariat), memiliki persoalan mendasar yang menyebabkannya menjadi bangsa koeli, yakni: rendahnya tenaga produktif. Rendahnya tenaga produktif inilah yang menjadi faktor fundamental dari kapitalisme yang cacat, borjuisnya yang komprador, masih bercokolnya sisa-sisa feodalisme serta kuatnya militerisme di negeri ini. Sementara kebudayaannya, terus bergulat antara kebudayaan rakyat yang ditopang oleh pergerakan rakyat dengan kebudayaan sisa feodalisme dan kebudayaan borjuis yang komprador.
Dari latar belakang persoalan tersebut pertanyaannya adalah: apakah ada syarat-syarat nasionalisme yang kuat tumbuh di negeri ini saat ini dan kedepannya? Apakah Bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar? Lalu apa syarat-syaratnya? Sebelum membahas ini ada faktor lain yang mempengaruhi proses pembangunan bangsa Indonesia: faktor eksternal.
Penghancuran basis Kebudayaan Nasional: Kebudayaan Rakyat
1965, merupakan pintu masuk modal asing ke Indonesia. Negeri ini di masuki oleh modal barat, melalui UU PMA 1967[14] dan UU PMDN 1967. Pembangunanisme (developmentalism) mulai dijalankan dengan mengandalkan investasi modal asing dan pinjaman utang luar negeri[15], serta stabilisasi politik melalui Dwi Fungsi ABRI. Hasilnya, lapangan kerja terbuka, dan angkatan kerja yang dapat terlibat dalam proses produksi meningkat. Produksi andalannya adalah tekstil, beras, kayu, dan lain-lain. Akan tetapi, industri ini sejatinya rapuh, karena industri dasar (besi, baja), industri berat (mesin-mesin untuk produksi tekstil), dan industri ringannya (industri kosumsi) sedari awal tidak dibangun.
1965, juga merupakan titik mundur proses membangun bangsa. Orde Baru menempatkan proses pembangunan bangsa berada di moncong senjata, bukan lagi dalam politik dan kebudayaan melalui diskusi, koran, organisasi, rapat akbar, ataupun segala aktifitas yang membangun kesadaran sebagai sebuah bangsa yang satu, melainkan dipaksakan demi stabilitas ekspansi dan eksploitasi modal asing di negeri ini. Kebudayaan bersama tidak lahir dari praktek kebersamaan yang panjang dan dinamis melainkan pemaksaan budaya Jawa yang ditunjukkan dari pakaian, sopan santun, tatabahasa, yang semuanya kental dengan budaya feodalisme Jawa. Orde Baru menghambat kemajuan pembangunan bangsa, utamanya diperlihatkan dengan kebijakan orde baru membubarkan organisasi-organisasi politik, membunuh dan memenjarakan tanpa proses peradilan para pendukung Soekarno, membakar buku-buku dan memutarbalikkan fakta sejarah. Akibatnya, pengetahuan masyarakat terhadap bahasa menjadi kurang berkembang, bahasa hanya berkembang di kalangan intelektual yang mendapatkan kesempatan pendidikan sedangkan mayoritas kaum miskin yang dibatasi kesempatan berorganisasinya menjadi kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan bahasanya. Kebudayaan bersama menjadi terhambat perkembangannya. Karena aktivitas bersama dalam organisasi dan kehidupan politik yang sebelumnya memicu perkembangan kebudayaan menjadi terhambat pada masa kekuasaan Orde Baru yang despotik itu. Bahasa dan kebudayaan hanya berkembang di ranah pendidikan dan kalangan klas menengah yang tentu saja dibatasi tema politiknya. Karya sastra maupun bentuk-bentuk seni yang syarat dengan muatan realisnya dilarang, dan dianggap berbahaya secara politik, padahal tema-tema semacam itulah yang mengembangkan kebudayaan dengan berangkat dari kenyataan yang ada.
Masa kekuasaan Orde Baru memperlihatkan adanya kemunduran proses membangun bangsa. Karakter kebangsaan dipaksakan dengan cara-cara militeristik. Terlebih pada daerah-daerah yang kaya dengan bahan tambang seperti Aceh dan Papua. Untuk mengamankan pengeksploitasian alam oleh korporasi internasional dan pendistribusian kekayaan yang timpang, yang lebih banyak menguntungkan pemerintah pusat dan korporasi internasional dilakukan cara-cara kekerasan. Kebijakan dan tindakan semacam ini yang melunturkan identitas kebangsaan yang sebelumnya dibangun pada masa Soekarno. Perasaan yang sama sebelumnya sebagai bangsa yang ditindas oleh bangsa penjajah, kemudian memudar dan melahirkan perasaan yang baru, yakni perasaan ditindas oleh pemerintah Orde Baru, sebagian lagi menganggap ditindas oleh “bangsa jawa”—karena dianggap pemerintahnya adalah orang-orang jawa.
Selain itu, kekuasaan Orde Baru menghancurkan budaya mandiri, berdikari yang sebelumnya dibangun dengan kuat oleh Soekarno dengan gerakan kiri. Melalui kebijakan mengemis pada badan keuangan internasional, pemerintah Orde Baru meninabobokkan rakyat dengan subsidi sosial yang tinggi tetapi rapuh pondasi ekonominya. Akibatnya, rakyat dihancurkan kebudayaan majunya dulu, yakni budaya kemandirian secara politik dan ekonomi. Kebudayaan Rakyat dan Budaya Pembebasan yang semula menghegemoni pada masa kekuasaan Sukarno, selanjutnya dihancurkan seiring dengan pembubaran dan penangkapan kelompok Soekarnois dan PKI. Akibatnya, kebudayaan rakyat menjadi tumpul, bahkan lumpuh. Dan kebudayaan yang berkembang adalah kebudayaan borjuis, dengan karya-karyanya abstrak dan idealis—yang sebelumnya dipelopori oleh kelompok Manikebu (Manifesto Kebudayaan), yang banyak disokong oleh Tentara. Selanjutnya, kebudayaan yang berkembang adalah kebudayaan borjuis dan kebudayaan sisa-sisa feodalisme yang mempengaruhi kesadaran massa terlebih dengan adanya politik massa mengambang. Politik dan kebudayaan semacam ini berhasil melumpuhkan kapasitas perjuangan rakyat untuk bangkit dan mendominasi kebudayaan nasional.
Neoliberalisme dan Identitas Nasional
Pada saat Kapitalisme mengalami krisis, akibat overproduksi, yang dimulai dari Meksiko selanjutnya merembet ke Asia, Eropa dan Amerika. Pemerintah selanjutnya menelan mentah-mentah obat krisis yang ditawarkan oleh badan-badan keuangan internasional melalui kebijakan neoliberalisme dengan utang sebagai medianya dan penandatanganan Letter of Intent (LOI) sebagai “ketok palunya”. Neoliberalisme dijabarkan melalui kebijakan penghapusan subsidi sosial, privatisasi aset negara, deregulasi, pasar bebas.
Di seluruh dunia, kebijakan neoliberal telah dipaksakan oleh lembaga-lembaga finansial yang memiliki kekuasaan besar, seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), Bank Dunia (World Bank/WB), dan Bank Pembangunan Antar Amerika (Inter-American Development Bank), dan WTO (World Trade Organization), kepada pemerintah negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Karena Borjuis “Pribumi” lemah, rendah tenaga produktifnya, berwatak calo, maka mereka menjalankan kebijakan-kebijakan neoliberal secara serius. Bahkan, mereka menjadi agen neoliberalisme, dengan membenar-benarkan menjalankan kebijakan tersebut secara gamblang; ikut memenangkan kebijakan tersebut menjadi undang-undang (UU investasi/2007, UU Privatisasi, UU Sumber Daya Air) dan berbagai peraturan pemerintah lainnya.
Apa akibatnya?
Semenjak kebijakan Neoliberalisme disahkan melalui penandatanganan Letter of Intent semasa pemerintahan Habibie, dan dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya, anggaran negara tidak lagi diprioritaskan untuk pembangunan sumber daya manusia dan pelayanan sosial. Anggaran negara lebih banyak diprioritaskan untuk membayar utang luar negeri semasa 32 tahun kekuasaan Orde Baru dan utang masa perang sebesar US $40 Miliar (Baswir, 2006) kepada Belanda, yang ditetapkan oleh KMB (Konferensi Meja Bundar) dan disetujui oleh Orde Baru.
Hasilnya, subsidi sosial (subsidi pendidikan, kesehatan, BBM Murah, Listrik Murah, dan lain-lain) dikurangi, sehingga tanggungjawab sosial negara ditetakkan pada pundak individu. Rendahnya subsidi untuk pendidikan dan kesehatan tercermin dari alokasi anggaran tahun 2006 untuk kesehatan sebesar Rp 9,9 triliun (0,4% dari PDB), dan pendidikan sebesar Rp 30,8 triliun (1,4% dari PDB). Bandingkan dengan anggaran pendidikan anjuran UNESCO sebesar minimal 2%; dan anggaran pendidikan di Kuba sebesar 8%.
Pengeluaran jauh lebih besar untuk pembayaran bunga utang, yakni sebesar Rp 76,629 triliun (2,5% dari PDB tahun 2006), dan cicilan utang pokoknya sebesar 2,1% dari PDB di tahun yang sama. Bangladesh saja, biaya peningkatan pelatihan dan peningkatan sumber daya manusianya diatas US$ 1 per kapita; sedangkan di Indonesia dibawah US$ 1. Bagaimana mungkin ada Industrialisasi Nasional apabila program peningkatan tenaga produktifnya rendah?
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diprivatisasi, dengan pembenaran agar lebih efisien dan produktif. Pada kenyataannya, aset-aset negara tersebut dijual kepada asing; sekaligus kuasa pengelolaannya. Anggaran negara semakin tipis karena modal lari keluar negeri (capital flight). Kalau pun tersisa, dana (lebih banyak) dipakai untuk belanja militer atau belanja pejabat. Sebagai contoh, pada pos APBN tahun 2006, Belanja Pemerintah Pusat fungsi Pertahanan dan Ketertiban Keamanan sebesar 1,7% PDB.
Pasar Bebas, ternyata tidak membawa keadilan dalam perdagangan (fair trade). Produk-produk tekstil asing, yang masuk dengan harga lebih murah dan kualitas lebih baik—karena tenaga produktifnya lebih tinggi dan modalnya lebih besar—menghancurkan pasar dalam negeri, dan membuat industri tekstil dalam negeri yang dikuasai oleh Borjuasi “Pribumi” dan Borjuasi Tionghoa hancur. Ratusan Ribu bahkan jutaan buruh perusahaan Tekstil, Produk tekstil dan Sepatu, di PHK massal karena tutupnya perusahaan-perusahaan tersebut. Semuanya, disebabkan tidak hanya karena rendahnya tenaga produktif, tetapi juga karena biaya produksi meningkat, seiring dengan meningkatnya biaya energi (Tarif Dasar Listrik, BBM). Di sektor Pertanian dan Peternakan, liberalisasi produk pertanian dan peternakan yang membawa apel, tembakau, beras, ayam, daging dari luar, menghancurkan produksi dalam negeri; membuat para petani tak mau lagi bertani, kemudian menjual tanahnya—yang sempit itu—dan menjadi pekerja kasar di perkotaan ataupun menjadi buruh migran.
Akibat ini semua, tingkat pengangguran meningkat pesat sementara daya beli masyarakat tak kunjung meningkat. Pada tahun 2007, angka pengangguran terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa[16]. Kalau pun ada buruh pabrik yang mendapatkan pesangon karena di PHK dan menjadi pedagang kaki lima, nasibnya berada di ujung sepatu satuan polisi pamong praja (Satpol PP) pemerintah daerah, yang menggusur mata pencaharian mereka.
Dampak kebijakan neoliberalisme yang paling mencolok, ada dalam data kesehatan pada Laporan Dana Perserikatan Bangsa-bangsa Untuk Anak (UNICEF). Dilaporkan, dari 23,5 juta balita di Indonesia, 8,3 persen di antaranya menderita gizi buruk. Sekitar 400.000 bayi yang lahir setiap tahun menderita gangguan intelektual karena kekurangan iodium selama kehamilan. Dan sekitar 14.000 anak per tahun rentan infeksi karena kekurangan vitamin A.
Inilah kebijakan Neoliberalisme itu, yang katanya hendak memberikan “tetesan” kesejahteraan dari si Kaya kepada kaum papa, tapi kenyataannya sebaliknya. Neoliberalisme tidak membangun Tenaga Produktif bangsa Indonesia, sebaliknya, Tenaga Produktif semakin dilemahkan, semakin dilumpuhkan. Konsentrasi produksi tidak ditangan negara, melainkan ditangan korporasi internasional; dan akumulasi kapital tidak diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan, karena akumulasi kapital tidak berada di tangan negara (yang pro rakyat) tetapi di tangan korporasi internasional.
Internasionalisasi modal pada kenyataannya tidak diikuti oleh internasionalisasi kepemilikan modal, sebaliknya kepemilikan modal dengan cepat terkonsentrasi di tangan korporasi internasional (monopoli) yang memiliki modal besar, teknologi tinggi dan buruh yang sangat terampil. Internasionalisasi modal telah menghempaskan kaum miskin Indonesia semakin dalam pada jurang kemiskinan. Begitupun juga, borjuis nasional yang terdiri dari borjuis “pribumi”, borjuis Tionghoa, borjuis keturunan India dan Arab dan sisa-sisa borjuis bersenjata tidak kuasa menahan iklim “kompetitif” yang dibangun oleh sistem ekonomi neoliberal. Dengan modal yang kecil, teknologi yang sedang, manajemen yang kurang profesional maka perusahaan-perusahaan mereka hancur, bangkrut dan diakhiri dengan pemecatan kaum buruh. Bereaksi terhadap kekalahan ini, borjuis nasional selanjutnya mengangkat tinggi-tinggi bendera nasionalisme—sikap yang tidak pernah ditunjukkan sebelumnya ketika proyek ekonomi neoliberal dijalankan di negeri ini.
Keleluasaan penetrasi modal asing beserta eksploitasinya dilegalisasi dengan produk perundang-undangan (UU, PP, Perpres, Perda) untuk membenarkan proyek privatisasi, pasar bebas, pengurangan tanggungjawab sosial yang intinya adalah pengurangan campur tangan negara dalam urusan ekonomi demi iklim yang “kompetitif”. Akibatnya, posisi negara tersubordinasi dalam skenario politik neoliberal. Sehingga kedaulatan sebagai suatu bangsa menjadi tiada. Lebih jauh lagi, undang-undang otonomi daerah yang memperlihatkan dekonsentrasi dan desentralisasi di daerah membuat kesadaran sebagai bagian bangsa Indonesia menjadi luntur. Kesadaran yang berkembang bukan kesadaran sebagai sebuah nation, melainkan provinsialisme ataupun sukuismenya yang berkembang. Identitas seseorang sebagai bagian identitas nasional hanya ditempatkan ketika keluar dari wilayah Indonesia, tetapi ketika di dalam negeri identitas yang digunakan adalah identitas daerahnya ataupun sukunya. Desentralisasi ini juga berakibat pada terhambatnya kesadaran solidaritas sebagai suatu bangsa. Suatu daerah yang memiliki sumber daya yang lebih banyak akan mementingkan daerahnya sendiri, sehingga daerah dengan sumber daya yang lebih sedikit terpaksa mengandalkan kapasitas yang seadanya.
Proyek neoliberal yang berakibat kemiskinan, justru memperluas perkembangan budaya konservatisme (Fundamentalisme agama). Agen-agen budaya konservatisme menawarkan jalan keluar pragmatis melalui budaya yang sudah sangat usang dan berkembang ribuan tahun yang lampau. Dan rakyat terilusi dengan jalan keluar dan budaya semacam itu karena lemahnya gerakan rakyat sebagai tulang punggung untuk menyebarluaskan kebudayaan rakyat; kebudayaan pembebasan.
Penerapan neoliberalisme dan kemiskinan kebudayaan rakyat, mengakibatkan kesenjangan kebudayaan (Cultural Gap). Hal itu ditunjukkan dengan fenomena dimana masyarakat mengkonsumsi produk-produk tanpa mengerti esensi fungsi dari produk tersebut. Mereka menggunakan atau membeli produk tertentu karena adanya hegemoni budaya kapitalistik akibatnya terjadi konsumerisme. Hegemoni kebudayaan neoliberal ini melapangkan tujuan ekspansi dan eksploitasi modalnya. Dan hegemoni kebudayaan kapitalistik ini memiliki kesempatan untuk terus meluas dan reproduktif. Selain karena banyaknya produsen-produsen budaya kapitalistik, selain itu media-media propaganda dan cara pengemasan budaya kapitalistik mempermudahnya untuk meluas dan reproduktif.
Dalam hal ini, kebudayaan rakyat yang merupakan landasan dari berkembangnya kebudayaan suatu bangsa menjadi terhambat karena dominasi ideologis neoliberal. Masih bercokolnya sisa-sisa feodalisme dalam lapangan budaya dan dominasi budaya neoliberal membuat budaya nasional menjadi terhambat perkembangannya. Budaya nasional sering dianggap lebih rendah dibandingkan budaya neoliberal yang sering dianggap tinggi estetisnya, meski sering tanpa makna. Padahal proses tumbuh dan kembangnya suatu bangsa di syaratkan pula melalui tumbuh kembangnya kebudayaan bersama dalam waktu yang panjang, yang ini sepenuhnya bersandar pada budaya kerakyatan karena kaum borjuis sendiri lemah dalam karakter dan kebudayaan sehingga selalu mencomat-comot budaya-budaya feodal dan budaya kapitalistik tanpa memahami esensi kepentingannya dalam membangun bangsa ini.
Nasionalisme yang Fiktif
Di atas sudah digambarkan bagaimana kaum borjuasi beraksi atas penerapan ekonomi neoliberal dengan berlagak sok Nasionalis. Beberapa kalangan memandang bahwa respon kaum borjuis dengan berbicara kembali dalam soal-soal nasionalisme dapat menjadi sekutu bagi gerakan kiri untuk membangun aliansi anti neoliberal bersama mereka. Mungkinkah ini? Sebelum itu apa kepentingan nasionalisme bagi kaum borjuis (dalam pengertian umum). Kaum borjuis merupakan satu golongan yang paling berkepentingan terhadap bangsa dan nasionalisme. Karena, identitas nasional dalam pengertian teritorial, relasi ekonomi, maupun budaya memberikan privilege (hak istimewa) bagi kaum borjuis dengan orang-orang sebangsanya untuk melakukan eksploitasi dan ekspansi modalnya dalam batas-batas teritorial negara tersebut, dan utamanya dalam berhadapan dengan kaum borjuis asing yang juga memiliki kepentingan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia dari bangsa tersebut. Sehingga proteksi ekonomi, budaya, politik melalui legitimasi nasionalisme akan menyelamatkan akumulasi modal kaum borjuis “pribumi” dari terjangan modal kaum borjuis “asing”.
Bagi kaum borjuis, nasionalisme memberikan syarat-syarat ideologis untuk melapangkan tujuan tersebut, utamanya dalam pengertian untuk lebih mendukung dan mendahulukan mereka (kaum borjuis) yang sebangsa dan setanah air dengan orang-orang sebangsanya (kaum proletariat, semi proletariat dan borjuis kecil). Sehingga harmonisasi klas dalam suatu bangsa, yang ditunjukkan dengan mencintai tanah airnya, mencintai pemerintahannya, mencintai orang-orang sebangsanya, meskipun kaum borjuis nasional, tentara, ataupun alat-alat kekerasan negara lainnya ikut menindas mereka (mayoritas penduduk suatu bangsa; proletariat, semi proletariat, borjuis kecil);mereka harus tetap mencintainya meskipun proses pengisapan terus menerus berlangsung.
Kaum proletariat dan kaum miskin lainnya tidak memiliki kepentingan terhadap nasionalisme. Sebab, nasionalisme tidak memberikan keuntungan terhadap peningkatan kesejahteraan dan pelenyapan penindasan terhadap mereka. Di hadapan kaum borjuis manapun apakah itu “pribumi” maupun “asing”, proletariat dan kaum miskin lainnya akan tertindas, dengan upah murah, waktu kerja yang panjang, buruh kontrak, ancaman pemecatan, represifitas fisik, pelecehan seksual di tempat kerja. Kaum proletariat dan kaum miskin di negeri manapun memiliki persoalan ketertindasan yang serupa. Oleh karena itu, proletariat dan kaum miskin memiliki musuh yang sama, yang pertentangannya tidak dapat di damaikan selama klas-klas masih ada, yakni: Kaum Borjuis.
Lalu apakah kaum borjuis di Indonesia memiliki karakter nasionalisme dalam pengertian diatas?
Kaum borjuis yang memiliki karakter “nation” adalah kaum borjuis yang tidak akan tunduk pada modal asing; Imperialisme, yang menghancurkan tenaga produktif di negerinya. Kaum borjuis dengan karakter ini akan berupaya membendung sepenuhnya-penuhnya eksploitasi modal asing atau paling tidak berusaha “menjinakkannya” demi keuntungannya, karena mereka sadar bahwa Imperialisme akan juga “memakan” mereka. Kaum borjuis semacam ini sudah pasti adalah kaum borjuis yang progresif. Dan borjuis progresif umumnya adalah demokratik (dalam pengertian demokrasi borjuis). Sebab, borjuis progresif membutuhkan syarat-syarat demokrasi demi pelipatgandaaan keuntungan modalnya dan iklim kompetitif antara borjuis satu dan lainnya.
Terdapat beberapa syarat-syarat borjuis dapat dikategorikan sebagai borjuis progresif, antara lain:
Syarat Ekonomi (Modal, Tenaga Produktif, Manajemen):
Dari sejarahnya kaum borjuis nasional merupakan terdiri dari borjuis “pribumi” yang terlahir melalui kapitalisme cangkokan dan borjuis Tionghoa, India dan Arab yang tumbuh dan berkembang dalam iklim kapitalisme cangkokan. Kaum borjuis semacam ini, berkembang dengan modal yang kecil, dengan alat-alat kerja yang tradisional, tenaga kerja yang rendah kapasitasnya (tenaga produktif yang lemah), karena faktor-faktor historis yang mempengaruhinya, baik dari masa feodalisme yang alat, sasaran dan tenaga produktifnya fragmentatif serta pengaruh kelahirannya oleh kapitalisme Belanda melalui perkebunan, industri gula, tekstil dan bukan mempersiapkan industri-industri dasar (baja, besi), industri berat dan industri konsumsi. Oleh karena itu, borjuis nasional sedikit sekali yang memiliki kemampuan manajemen produksi yang baik dan profesional. Sebab, manajemen produksi yang baik merupakan dialektika dari bentuk kerja dan alat kerja yang rumit dalam suatu industri modern. Karena tidak dibangun secara kuat dan sistematis sedari awal baik industri hulu hingga hilir, industri di negeri ini sangat bergantung dari bahan-bahan dasar dan teknologi dari luar negeri
Selain itu, borjuis nasional di negeri ini tidak berkembang dari kapasitasnya melainkan dibantu oleh utang luar negeri pada masa Orde Baru. Itulah yang mengembangkan modal mereka;perusahaan;alat-alat kerja; teknologi pendukung; dan ahli-ahli yang diimpor dari luar. Sehingga, sebutan “Macan Asia” bagi borjuasi negeri ini adalah pepesan kosong belaka. Karena semuanya di dapat dari pinjaman utang luar negeri yang selanjutnya dibebankan kepada rakyat Indonesia.
Selain itu, borjuis nasional adalah borjuis yang berkembang dengan jalur distribusi produk yang sempit. Karena, beratus-ratus tahun sejak masa merkantilisme Eropa hingga saat ini, jalur distribusi produk sudah dikuasai oleh borjuasi “asing” yang berkembang dengan modal yang besar, tenaga produktif yang berkualitas, manajemen produksi yang profesional dan struktur industri yang lengkap (hilir-hulu).
Syarat Politik:
Pengertian borjuis nasional progresif yang dipahami dalam terminologi kiri ialah individu atau golongan yang dalam relasi produksinya menjadi pemilik Kapital dan mendapatkan keuntungan dari akumulasi kapital dari hasil kerja proletariat dan yang konsisten untuk menghancurkan sisa-sisa feodalisme, militerisme, birokratisme negara dan melapangkan demokrasi bagi kepentingan ekonomi-politik klasnya. Sangat sedikit borjuasi semacam ini, misalnya Gusdur. Akan tetapi hanya dalam pengertian demokratik, tetapi tetap saja tunduk pada kebijakan neoliberalisme. Mayoritas borjuasi nasional adalah borjuasi yang tidak pernah tegas melawan aktor-aktor anti demokrasi. Padahal demokrasi merupakan salah satu syarat dari liberalisasi ekonomi, meski tidak dalam pengertian sejati.
Selama ini borjuasi yang ada tunduk pada modal internasional dan pelbagai kebijakan imperialisme. Misalnya, dalam persoalan UU Penanaman Modal yang secara nyata menguntungkan korporasi internasional dan merugikan rakyat. Tidak satu pun elit politik yang secara tegas dan nyata melakukan perlawanan terhadap kebijakan tersebut dalam praktek. Memang ada yang melakukan perlawanan dalam metode yang minimum (statemen, dsb) akan tetapi cerminan politik tersebut hanya untuk popularitas menuju pemilu 2009 saja.
Syarat Kebudayaan:
Menurut Leon Trostky (Apakah Budaya Proletar itu, dan Mungkinkah Ada?): “Setiap kelas yang berkuasa pasti menciptakan budayanya sendiri, dan karenanya juga menciptakan seni mereka sendiri.” Kemudian Trotsky menjelaskan, “Pembangunan kebudayaan borjuis dimulai beberapa abad sebelum mereka meraih kekuasaan negara dalam genggaman tangannya dengan melalui serangkaian revolusi. Bahkan ketika borjuis hanyalah warga negara kelas tiga, yang hampir kehilangan hak-haknya, mereka memainkan bagian pertumbuhan yang terus menerus dan besar dalam semua lapangan budaya”
Budaya borjuasi nasional negeri ini merupakan campuran dari budaya feodal para priyayi yang masih ditunjukkan dalam seni, tata upacara, bahasa dan adopsi budaya liberal yang mempertontonkan kebebasan, konsumerisme, elitisme, yang sesungguhnya saling bertentangan tetapi masih bercokol dalam kesadaran dan kebudayaan kaum borjuis. Inilah gambaran dari budaya tanggung-tanggung klas penguasa di negeri kita. Oleh karena itu, borjuasi nasional negeri ini tidak memiliki budayanya yang orisinal hasil dari perkembangan historisnya, hal ini tak dapat dipungkiri karena pengaruh kelahirannya yang cacat. Ilmu pengetahuan, seni dan penilaian terhadap karya seni, serta industri lebih di dominasi oleh budaya liberal yang bercampur baur dengan budaya feodalisme. Maka dari itu, kaum borjuasi di negeri ini rendah karakternya, tidak mandiri, miskin keberanian, anti terhadap kontradiksi, tidak haus akan seni dan ilmu pengetahuan (cupet), tapi rakus akan kekayaan dan popularitas.
Dari pengertian dan syarat-syarat tersebut, maka tidak ada borjuis progresif di negeri ini. Maka, nasionalisme yang di dengung-dengungkan dengan sok ikut-ikutan berteriak nasionalisasi, kedaulatan nasional, bebas dari intervensi hanyalah FIKTIF belaka, karena kaum borjuisnya—sebagai klas yang paling berkepentingan terhadap Nasionalisme—tidak memiliki syarat ekonomi, politik dan kebudayaan. Semisal, mereka mampu untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing—suatu permisalan yang mustahil. Mereka akan sulit untuk mengembangkannya, karena lemahnya tenaga produktif, rendahnya manajemen. Dan, apabila diembargo oleh imperialisme, hasilnya borjuis nasional itu akan kembali tunduk pada korporasi internasional.
Dalam pengertian di atas pula, bahwa membangun suatu nasionalisme demokratis bersama kaum borjuis adalah kekeliruan. Sebab, sedikitnya borjuis yang demokrat dan borjuasi yang memiliki karakter progresif dan sungguh-sungguh nasionalis.
Oleh karena itu, persekutuan anti neoliberal bersama dengan borjuasi nasional (sisa Orde Baru, reformis gadungan) adalah suatu persekutuan yang fiktif. Dalam hal ini Lenin menekankan perlunya “…analisa yang tepat terhadap kepentingan-kepentingan kelas yang beragam, yang dipertemukan dengan tujuan-tujuan bersama yang jelas dan terbatas”.[17] Dan jelas kepentingan kelas borjuasi nasional bukan melawan neoliberalisme, melainkan menjadi agen; calo (komprador) dari kapitalisme internasional.
Pembebasan Nasional basis Revolusi Sosialis!
Lalu apa jalan keluar bagi rakyat Indonesia?
Jalan keluar bagi rakyat Indonesia adalah pembebasan nasional (national liberation). Pembebasan nasional dalam pengertian terbebaskannya suatu bangsa dari dominasi penindasan modal imperialisme. Tugas pembebasan nasional ini tidak dapat diletakkan kepada kaum borjuis. Karena pengertian pembebasan nasional jauh berbeda dari nasionalisme. Pembebasan nasional membebaskan dirinya dari penindasan modal Imperialisme tetapi tidak kemudian menindas bangsa-bangsa lain. Justru dengan terbebaskannya suatu bangsa, dari cengkraman imperialisme, maka akan memberikan kekuatan dan keyakinan kepada kaum proletariat dan kaum miskin lainnya di negeri-negeri imperialis untuk melawan kaum borjuisnya, dan ini merupakan revolusi sosialis bagi kaum proletariat di negeri-negeri tersebut.
Sedangkan, pembebasan nasional bagi Rakyat Indonesia adalah penuntasan revolusi demokratik dari kediktaktoran modal asing dalam ekonomi maupun politik. Mengapa pembebasan nasional merupakan revolusi demokratik? Karena bangsa Indonesia terlepas dari kedikatoran modal asing dan memiliki hak sebagai suatu bangsa untuk menentukan arah politik, ekonomi dan kebudayaannya. Dalam pembebasan nasional, kaum proletariat, semi proletariat dan borjuis kecil progresif merupakan elemen-elemen kelas yang menggantikan kekuasaan agen diktator modal internasional (borjuis nasional) yang menjadi kepanjangan tangan imperialis yang berkuasa atas ranah politik dan ekonomi negara dan bangsa ini. Untuk mencapai tujuan ini, proletariat dan kaum miskin lainnya, harus berhadapan dengan agen-agen Imperialisme (sisa-sisa Orde Baru, reformis gadungan, militer, milisi sipil reaksioner) yang membatas-batasi partisipasi politik dan ekonomi mereka, serta menumpulkan kekuatan rakyat melalui depolitisasi dan deideologisasi. Sehingga, Pembebasan Nasional akan sepenuhnya tercapai apabila proletariat dan kaum miskin lainnya dapat menghancurkan dominasi modal Imperialisme, beserta para agen-agennya. Dalam pengertian inilah, pembebasan nasional merupakan revolusi demokratik. Revolusi demokratik merupakan syarat bagi proletariat dan kaum miskin lainnya untuk mengembangkan kekuatannya (pengetahuan dan praktek) dalam bentuk organisasi dan partai politik, mobilisasi politik, partisipasi dalam membuat, mengontrol dan melaksanakan kebijakan—yang ditumpulkan dalam masa pemerintahan agen Imperialis, mengembangkan kebudayaannya melalui budaya kerakyatan, mengembangkan kapasitasnya sebagai tenaga produktif melalui peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, teknologi, perumahan—yang tak mungkin dapat dilaksanakan saat pemerintahan agen Imperialis berkuasa. Hanya dengan menghancurkan dominasi modal Imperialis maka bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar bukan lagi bangsa koeli. Dan melalui pembebasan nasional maka kaum proletar negeri ini dapat menjalankan tugas sejarahnya merebut alat-alat produksi yang masih dikuasai oleh tuan borjuis, mengembangkan kebudayaannya, melaksanakan revolusi sosialis.
Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai pembebasan nasional sebagai basis menuju revolusi sosialis?
Syarat-syarat tersebut haruslah merupakan syarat yang memberikan kekuatan bagi proletariat dan kaum miskin Indonesia (rakyat) untuk mencapai tujuannya: pembebasan nasional, antara lain:
Gerakan. Sebagai kelompok yang paling sadar, yang harus ditunjukkan oleh gerakan kiri dalam perjuangan pembebasan nasional adalah menunjukkan kepada rakyat siapa musuh-musuh pokok, siapa sekutu rakyat Indonesia untuk keluar dari ketertindasannya sebagai bangsa koeli; bangsa yang terjajah. Gerakan haru pula menunjukkan jalan keluar kongkret bagi rakyat Indonesia, baik dalam program ekonomi, politik kebudayaan maupun dalam soal-soal metode perjuangan. Sehingga rakyat mengerti dan memiliki kesadaran untuk melawan, sebab massa yang sadar merupakan basis kekuatan untuk perjuangan dan perubahan, tanpa ini maka perjuangan hanya sekedar kehendak/keinginan dari segelintir orang sadar yang radikal dan jauh dari kesadaran massa.
Dalam kepentingan untuk mendekatkan kesadaran massa dan kesadaran gerakan kiri, dimana kesadaran massa lebih banyak di dominasi oleh ideologi borjuis, maka menunjukkan hegemoni ideologisnya melalui “perang posisi” (War of Position). “Perang Posisi” dalam pengertian Gramsci (Prison Notebooks) adalah sebuah perjuangan panjang yang perlahan dalam melawan dominasi ideologis borjuis. Dengan tujuan untuk mencapai hegemoni ideologis proletariat dan kaum miskin lainnya. Hegemoni ideologis ini merupakan syarat-syarat sosial agar proletariat dan kaum miskin lainnya dapat menjalankan tugas historisnya. Untuk mencapai hegemoni ideologis ini, alat-alat politik yang dapat menjalankan “perang posisi” harus bersatu (front persatuan) sehingga tujuan dalam mencapai hegemoni ideologi terhadap masyarakat tercapai.
Dalam konteks Indonesia, front persatuan sebagai alat politik merupakan wadah bagi segala kekuatan anti neoliberalisme atau kekuatan yang memiliki cita-cita pembebasan nasional untuk bersatu dan mengorganisasikan posisi ideologisnya berhadapan dengan posisi ideologi borjuis dan agen imperialis lainnya. Dalam pengertian ini, Front Persatuan memiliki posisi ideologis untuk menunjukkan kepada rakyat yang masih terjebak dalam kesadaran palsunya (False Consciousness). Untuk menjalankan ini, Front Persatuan harus menunjukkan karakter ideologisnya dalam prinsip-prinsip politik, agar rakyat dapat melihat, memahami dan mengikuti prinsip-prinsip politik tersebut sebagai prinsip perjuangannya. Prinsip politik tersebut adalah kemandirian. Tanpa prinsip politik ini maka gerakan dan rakyat akan gamang menilai siapa kawan maupun lawan. Sehingga mudah tersubordinasi dalam kepentingan ideologis klas penguasa. Tidak hanya itu, hambatan-hambatan perkembangan gerakan yang ditunjukkan dengan fragmentasi gerakan, sektarianisme gerakan dan terkooptasinya gerakan akan menghambat “perang posisi” untuk hegemoni ideologis klas tertindas. Maka dari itu, prinsip politik tersebut harus di tunjukan dalam metode politik yang mendukung tercapainya hegemoni ideologis klas tertindas. Metode politik tersebut adalah: Persatuan mobilisasi/penyatuan perjuangan. Persatuan mobilisasi/penyatuan perjuangan tidak sekedar penyatuan serangan dengan program, metode, alat, waktu dan sasaran yang sama tetapi yang terpenting adalah penyatuan pengorganisasian perjuangan rakyat dari proses penyadaran, advokasi, pewadahan/penstrukturan hingga serangan. Karena dengan partisipasi demokratik setiap individu yang sadar dalam penyatuan perjuangan merupakan basis bagi terbangunnya kesadaran politik yang tinggi sebagai syarat untuk mewujudkan serta mempertahankan cita-cita perjuangan. Melalui penyatuan perjuangan maka rakyat dapat melipatgandakan kekuatannya; melipatgandakan tuntutannya; melipatgandakan keberanian perlawanannya; melipatgandakan kualitas perjuangannya sehingga tuntutan mendesak dan strategis dapat terwujud. Mobilisasi perlawanan dengan penyatuan perjuangan harus dirancang dengan terorganisir dan sistematis agar setiap orang yang terlibat dalam persatuan mobilisasi menyadari landasan dan konsekuensi dari mobilisasi (aksi) perlawanan tersebut.
Selanjutnya, front persatuan sebagai instrumen hegemoni ideologis klas tertindas harus menunjukkan “perang posisinya” dalam superstruktur ideologis masyarakat (kebudayaan). Karena superstruktur ideologis klas penguasa dan konservatif menghambat rakyat untuk mencapai perjuangan pembebasan nasional. Oleh karena itu syarat kedua adalah kebudayaan.
Front persatuan menunjukkan posisi ideologisnya dengan berbagai macam, yang tujuannya adalah membuat massa memahami/meyakini apa yang kaum kiri pahami/yakini. Sehingga kesenjangan kesadaran antara massa dan gerakan semakin tipis jaraknya, dan itu merupakan syarat bagi pembebasan nasional yang melawan musuh yang teramat berat: imperialis dan agen-agennya. Lenin dalam artikel “Darimana Kita Mulai” (Where We Begins) menekankan pentingnya koran partai untuk mendekatkan kesadaran massa dengan partai revolusioner. DN. Aidit dalam “Manifesto Kebudayaan Kaum Marxis[18]” menekankan kaum marxis agar “Politiknya Kiri” dan “Kebudayaannya juga Kiri”. Budaya kiri atau budaya kerakyatan menekankan pentingnya mengangkat moral dan nilai-nilai budaya rakyat yang dapat menjadi “semen” bagi perjuangan pembebasan nasional. Berbicara hal yang serupa, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dalam “Mukadimah LEKRA 1950” menekankan konsep kebudayaan bangsa Indonesia yang berasal dari budaya rakyat dan unsur-unsur progresif dari budaya luar untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia dan menjadikannya sebagai senjata untuk melawan budaya imperialis dan feodal.
Perjuangan kebudayaan harus menunjukkan garis demarkasi yang jelas antara budaya kerakyatan dengan budaya-budaya yang antagonis denganya: budaya imperialis dan sisa-sisa feodalisme. Garis demarkasi ini harus ditunjukkan dalam perjuangan politik, dan perjuangan seni. Baik dalam membangkitkan kembali tema-tema kebudayaan progresif: budaya perlawanan, budaya solidaritas, budaya tidak anti kontradiksi, budaya berani, budaya tolong-menolong, budaya intelektualitas, budaya obyektif, yang diperlihatkan dalam: puisi, lagu, lukisan, drama, slogan, novel, cerpen. Atau pun bahkan dalam perjuangan mengingatkan dan meluruskan kembali sejarah perjuangan nasional beserta karya-karya sastranya kepada masyarakat negeri ini. Karena perjuangan melawan lupa adalah juga merupakan perjuangan kebudayaan.
Maka dari itu, perjuangan kebudayaan merupakan perjuangan untuk hegemoni ideologis dan sekaligus merupakan proses untuk melahirkan kebudayaan baru bagi bangsa Indonesia; kebudayaan nasional yang sesungguhnya.
“Perang Posisi” juga harus ditunjukan dalam lapangan politik. Politik merupakan syarat ketiga. Maksud “Perang Posisi” dalam lapangan politik selain terus memasok secara berkelanjutan (continue) kepada rakyat akan musuh-musuh politiknya, juga menuntut ruang-ruang politik yang lebih luas kepada rakyat untuk dapat terus menerus meningkatkan kapasitas pengetahuan dan praktek perjuangannya serta memblejeti sistem dan mekanisme demokrasi borjuis (Trias Politica). “Participatory Budgeting” di Porto Alegre, “Referendum” dan pembentukan “Dewan-Dewan Komunal” di Venezuela, “Tolak 5 Paket UU Politik” di Indonesia merupakan bukti-bukti kongkret dimana gerakan memperluas ruang demokrasi sebagai pintu masuk untuk menjalankan hegemoni ideologisnya dan memblejeti hegemoni ideologis borjuis melalui mekanisme dan aturan-aturan politiknya yang menghambat kemajuan tenaga produktif.
Dalam aspek ekonomi (4), “Perang Posisi” juga harus ditunjukkan baik dalam menuntut persoalan-persoalan darurat rakyat (pendidikan dan kesehatan gratis, perumahan, air, transportasi yang murah dan massal, upah yang layak), yang bertujuan untuk terus meningkatkan kualitas tenaga produktifnya. “Perang Posisi” dalam lapangan ekonomi juga berbicara soal kemampuan rakyat dan gerakan mengelola basis ekonominya melalui partisipasi demokratik. Apa yang telah dilakukan oleh venezuela melalui proyek “kontrol buruh” terhadap pabrik, “pasar murah” dan “perumahan murah” bagi orang-orang miskin, serta “sekolah gratis” yang makan siang pelajarnya disubsidi oleh pertanian penduduk desa dan perkotaan di kuba, serta “kesehatan gratis”, “obat murah” dan “dokter warga” di Kuba telah menampar kapitalisme di mata proletariat dan kaum miskin lainnya yang menerima kenyataan bahwa di bawah sistem ekonomi kapitalis, pendidikan, kesehatan, perumahan, dokter, obat, semua serba mahal dan sulit di akses.
“Perang Posisi” yang ditunjukkan oleh Kuba, Bolivia, Venezuela dengan minyak murah, pendidikan gratis, perumahan murah, pasar murah, nasionalisasi, kemandirian, keberanian melawan imperialis, solidaritas sesama negeri-negeri tertindas, lambat laun akan memberikan keyakinan, semangat juang, kesegaran jiwa dalam memahami arti penting menghancurkan dominasi modal Imperialisme. Dan keyakinan serupa seperti yang pernah ditunjukkan oleh negeri-negeri tertindas pasca Revolusi Rusia, Oktober 1917, merupakan bentuk hegemoni ideologis yang nyata.
Hegemoni Ideologis melalui “Perang Posisi” akan memberikan kekuatan bagi proletariat dan kaum miskin di Indonesia, dalam kesadaran ideologis, untuk berjuang menuntaskan tugas sejarahnya: menuntaskan revolusi demokratik (pembebasan nasional) dalam suatu “perang manuver” (suatu pergerakan maju dan mundur yang cepat dan menentukan) dan selanjutnya (secara simultan) menjalankan revolusi sosialis.
Catatan: Artikel pernah dimuat di Jurnal Bersatu Edisi III Tahun 2008. Dimuat lagi di media propaganda Pembebasan. Dan dimuat kembali disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda untuk Papua.
Catatan Kaki:
[1] Indonesia sebetulnya sebutan untuk nama negara kita setelah kemerdekaan. Penyebutan nama tersebut dalam fase-fase sebelum kemerdekaan hanya untuk memudahkan saja, bukan dalam artian Indonesia sudah ada sejak jaman manusia purba. Biasanya Indonesia di masa-masa awal sering disebut Nusantara.
[2] Kapal Jung adalah sejenis kapal layar, yang banyak terdapat di perairan Asia Tenggara sampai ke pantai timur Afrika.
[3] Semacam Meriam tapi lebih kecil.
[4] Dalam proses kerja produksi, atau dalam proses produksi, manusia memerlukan dan mengadakan hubungan antar satu dengan yang lain, yang disebut hubungan produksi, yaitu hubungan antar manusia untuk memproduksi sesuatu. Oleh karena itu, produksi selalu bersifat sosial karena suatu produksi selalu sebagai hasil kerja sama atau hasil hubungan bersama antar manusia. karena itu pula produksi juga berwatak dan bersifat sebagai milik bersama, untuk kepentingan bersama. Hubungan produksi terdapat dua macam bentuk dan sifat, yaitu hubungan produksi kerja sama, dan hubungan produksi kerja penindasan.
[5] Feodalisme berasal dari kata feodum yang artinya tanah. Dalam tahapan masyarakat feodal ini, terjadi penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik tanah, raja, dan para kerabatnya. Ada antagonisme antara rakyat tak bertanah, dengan para pemilik tanah dan kalangan kerajaan. Kerajaan, merupakan alat kalangan feodal untuk mempertahankan kekuasaan atas rakyat, tanah, kebenaran moral, etika agama, serta seluruh tata nilainya
[6] Yang paling terkenal adalah Perang Paregreg (1404).
[7] Di Jawa, tumbuh kerajaan-kerajaan otonom yang masing-masing menguasai wilayah sendiri. Ada kerajaan Demak, Tuban, Jepara, ada Blambangan. Masing-masing kerajaan ini menguasai tanah-tanah sesuai luas kekuasaanya.
[8] Paska perjanjian Giyanti, Mataram terbelah menjadi tiga—Surakarta (Kasunanan), Mangkunegara, Yogyakarta (Kasultanan). Masing-masing kerjaan ini menguasai tanah seluas daerah kekuasaanya. Pada masa Rafles, Kasultanan dibagi menjadi dua, satu menjadi Pakualam—yang juga menguasai tanah seluas daerah kekuasannya.
[9] Dimulai pada era kekuasaan Gubernur Jendral Van Den Bosch.
[10] Jalan Raya Pos, ia bentangkan dari Anyer, di ujung barat P. Jawa, sampai Panarukan di ujung timur P. Jawa, dimulai pada masa pemerintahan Daendels. Pembangunan jalan ini merupakan patok awal kapitalisme di Hindia Belanda.
[11] Jalur pertama jalan kereta api antara Semarang-Kedung Jati di resmikan tahun 1871.
[12] Telegraf sebagai alat komunikasi telah membantu perkembangan industrialisasi di Jawa. Dibangun pertama kali mulai tahun 1856, kawat antara Batavia-Buitenzorg (1857), antara Batavia-Surabaya (1859) dan bisa digunakan oleh pihak swasta. Pada tahun 1859, jaringan di Jawa panjangnya telah mencapai 2700 km, dan terdapat 20 pos untuk umum.
[13] Melalui kebijakan sewa tanah (landrent) yang dilakukan oleh Rafless membawa pengaruh terhadap kepemilikan tanah. Tanah-tanah kerajaan diambil alih oleh pemerintah Inggris. Akibatnya Raja tidak lagi mendapat upeti dari rakyatnya, tetapi dari gaji yang diberikan oleh pemerintah kolonial.
[14] Sebenarnya, kontrak karya Freeport sudah disahkan (bahkan) sebelum pengesahan UU PMA 1967.
[15] Pada tahun 1967-1969 anggaran negara sudah 26 persen dibiayai oleh utang luar negeri.
[16] Koordinator Tim Prospek Perekonomian Indonesia LIPI, M. Tri. Sambodo.
[17] Lenin, V.I, Collected Works, Jilid 15, hal. 39, Progress Publishers, Moscow, 1964-1970.
[18] Pokok-pokok Referat di hadapan Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner di Jakarta, 28 Agustus 1964.