Analisa Harian Mama Yosepha dan Relevansi Ekofeminisme di Papua

Mama Yosepha dan Relevansi Ekofeminisme di Papua

-

“Tanah itu seorang ibu, dari pante sampe gunung. Dan ada air itu seorang ibu punya susu.” -Yosepha Alomang

Mengapa Mama Yosepha berkata demikian? Karena alam baginya adalah ibu yang memberi kehidupan. Orang Amungme memandang alam sangat filosofis, Ibu (tanah) dan susu (air) sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka dan dari kedekatan relasi dengan alam, ada filosofi “Te Aro Neweak Lamo” yang berarti Alam adalah diriku, aku adalah tanah.[1] Jika masyarakat Amungme merusak alam maka dalam konteks filosofisnya, mereka menghilangkan substansi dan eksistensi diri mereka sendiri.

Bagi masyarakat Amungme, tanah adalah ibu yang melahirkan, membesarkan, memberi makan, dan memelihara mereka. Secara filosofis, masyarakat melihat hutan sebagai ibu yang menyusui anak-anaknya. Ibu adalah perempuan yang sangat dihormati di dalam satu keluarga atau suku karena Ibu yang memberi hidup, perspektif ekologi masyarakat Amungme sangat kuat, dengan memandang alam sebagai rumah dan ibu yang selalu memberi makan dan melindungi generasi mereka.[2] Kebutuhan pokok seperti makanan telah disediakan oleh alam dan sewaktu dibutuhkan dapat langsung dikonsumsi. Mereka hidup dengan bercocok tanam, meramu, dan berburu sebagai mata pencaharian sehari-hari karena kekayaan atas flora dan fauna yang beragam seperti burung kasuari, kangguru, babi hutan, sayur-sayuran, keladi, ubi, dan pisang.[3]

Deskripsi filosofis dan pola pikir masyarakat Amungme yang ekologis memberikan pandangan dan bukti yang faktual bahwa betapa kuatnya relasi masyarakat Amungme dengan alam. Namun, perspektif itu pelan-pelan mengalami krisis dan fragmen (keterpecahan) yang dimana disebabkan oleh kesengajaan kapitalisme untuk mengganggu konstruksi ekologis masyarakat Papua. Kecemasan yang tengah dihadapi masyarakat Papua adalah, kesengajaan kapitalisme yang terus membongkar eksistensi dan ruang hidup orang Papua dengan memporak-porandakan alam, dan meruntuhkan perspektif ekologis dengan memisahkan Ibu (alam) dari anaknya (masyarakat Papua).

Perspektif ekologi yang kuat di masa lalu, menjadi tidak lagi utuh, sebab ekspansi perusahaan tambang Freeport telah mengambil bagian-bagian yang eksistensial dari masyarakat, ruang hidup dan hak-hak mereka. Sebelum hadirnya perusahaan tambang terbesar di dunia itu, situasi kehidupan dan kedekatan masyarakat Amungme dengan alam benar-benar secara total dirasakan dan memberi mereka kehidupan. Dahulu, mereka tidak mengenal industri atau bahkan gunung yang berisi emas, yang mereka ketahui adalah gunung yang bernama Nemangkawi sebagai pemberian Tuhan yang harus dijaga.[4] Tetapi setelah hadirnya Freeport, masyarakat tidak bisa berkebun dan meramu karena kegiatan penambangan yang dilakukan telah menyebabkan sungai tercemar, hutan hujan hancur, dan masyarakat diusir dari rumah mereka sendiri. Setiap hari Freeport membuang sekitar 200.000 ton tailing ke sungai setempat dan menyebarkan polutan mematikan di wilayah tempat tinggal masyarakat.[5]

Perempuan dan Alam: Ekofeminisme Perempuan Amungme

Di tengah ekspansi kapitalisme yang terjadi secara masif dan meluas di tanah Papua, ketika yang lain lebih memilih sunyi dan menerima keadaan, ada mama Yosepha Alomang, seorang perempuan yang sementara ini berjuang menyelamatkan kosmologi (asal-usul) orang Papua, yang memandang alam sebagai Ibu yang memberi kehidupan. Mama Yosepha adalah seorang ekofeminisme, yang barangkali secara teoritis tidak memahami apa itu ekofeminisme, namun pengalaman dan kedekatannya dengan alam sebagai dasar dari tindakannya untuk berjuang. Mama Yosepha mungkin tidak secara tekstual mempelajari teori ekofeminisme, namun Ia memahami dengan begitu jelas apa yang dinamakan environmental ethics (etika lingkungan) yaitu cara pandang filosofis dalam upaya membangun keakraban dengan lingkungan.

Bagaimana hubungan antara tindakan mama Yosepha dan teori feminisme? Dalam literatur dan teori feminisme dikenal perspektif Ekofeminisme, yang dalam buku Contemporary Human Behavior Theory, dikatakan bahwa ekofeminisme memandang perempuan lebih dekat dengan alam, namun secara tradisional budaya, perempuan maupun alam dipandang berada di bawah kendali laki-laki. Secara konseptual, ekofeminisme berupaya mengakhiri subordinasi perempuan dan lingkungan dengan menentang hierarki yang secara tradisional menempatkan laki-laki di atas perempuan dan manusia di atas alam (Robbins, 2012:112).

Kedudukan manusia yang berada di atas alam adalah salah satu cara pandang dari perspektif antroposentrisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat dari makhluk hidup lainnya. Tidak ada hubungan atau kooptasi, ketika kita memahami bahwa manusia sesungguhnya berada di luar alam, dan alam di luar manusia. Hubungan dominasi itu menghambat cara manusia memahami alam, dan bertindak untuk menguasai (egosentris). Jika manusia memandang dirinya sebagai pusat alam semesta, maka akan muncul ego, dan tindakan-tindakan radikalisme demi mementingkan diri sendiri tanpa memahami keberadaan (eksistensi) yang lain, termasuk lingkungan. Hal inilah yang dilakukan oleh kapitalis, bahwa kapitalis hadir karena atas dasar mindset yang antroposentris. Manusia tidak pernah puas sehingga selalu mementingkan diri sendiri dan mengorbankan pihak lain. Freeport hadir sebagai pelaku antroposentrisme kapitalis dimana para pemangku kepentingan hanya memikirkan kepentingan ekonominya dengan tujuan mendapatkan profit sebanyak-banyaknya. Mama Yosepha sedang berjuang melawan antroposentrisme kapitalis yang dengan sangat dominatif mengeksploitasi gunung Nemangkawi, dan Ia menentang hierarki yang menempatkan posisi laki-laki di atas perempuan dan manusia di atas alam.

Filosofi ekofeminisme yang diperjuangkan mama Yosepha, adalah antitesis dari teori antroposentrisme, yaitu ekosentrisme yaitu manusia hanya sebagian kecil dari alam, dan manusia sebagai subjek yang tidak berdaya karena hanya sebagian kecil dari alam semesta. Dengan perspektif ekosentrisme, ada filosofi yang dihidupkan yaitu “Alam adalah diriku, aku adalah tanah”. Mama Yosepha melihat dan merasakan bahwa dirinya sebagai alam sedang dihancurkan oleh kapitalis. Dia mengatakan bahwa:

“Kepala saya sudah dikupas. Dada saya sudah mau taruh di mana lagi, sudah kering. Susu saya sudah habis, kering. Sekarang saya menangis. Saya punya hati menangis.”[6]

Kepala diartikan sebagai puncak dari gunung Nemangkawi. Dada sebagai tanah dan susu sebagai air. Ungkapan tersebut telah merepresentasikan keadaan lingkungan yang sudah dimakan habis oleh kapitalis. Kesadaran yang muncul dalam diri mama Yosepha sebagai korban antroposentrisme kapitalis dan sikap apatis dari kaum laki-laki membawa dirinya menjadi penyelamat atas masa depan alam bersama-sama dengan dia dan masyarakatnya.

Kenyataan yang terjadi selama ini membuktikan bahwa alam dan mama Yosepha telah dijadikan manusia yang pasif untuk ditindas demi memenuhi nafsu pelaku antroponsentris yang didominasi kaum oleh laki-laki. Sejak kedatangan Freeport pada 1967, masyarakat asli pemilik gunung Nemangkawi tidak pernah diajak bicara untuk mengambil bagian dalam pembuatan keputusan dan kebijakan. Demi kelancaran investasi, pemerintah melakukan pendekatan yang sangat militeristik. Hal itu dapat dilihat dari kehidupan masa kecil mama Yosepha yang nomaden akibat operasi militer di sana. Selain itu, aksi demonstrasi yang dipimpin oleh mama Yosepha pun sering dihentikan oleh aparat militer. Hak orang Amungme atas lingkungan yang sehat tidak diindahkan sejak Freeport mulai beroperasi dan hak untuk didengarkan tidak pernah dipenuhi. Pemerintah dan Freeport tidak peduli atas penderitaan masyarakat Amungme akibat eksploitasi dan eksplorasi alam Amungsa selama ini. Mama Yosepha dan masyarakatnya telah ditindas dan dimarginalisasi secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik oleh Freeport.

Filosofi orang Amungme terhadap alam pelan-pelan mengalami krisis. Gunung Nemangkawi yang dieksploitasi oleh Freeport merupakan gunung suci yang diagung-agungkan masyarakat Amungme, dimana puncak dan isi gunung tersebut telah dikeruk habis yang menyebabkan tanah menjadi rusak dan air tercemar. Eksploitasi tambang terus berlangsung dan masyarakat asli tetap hidup dalam ketidaksejahteraan. Kemiskinan tetap dirasakan, mata pencaharian sulit dikerjakan, kesehatan dan pendidikan tidak dirasakan dengan baik. Dampak buruk tersebut telah membuat semua orang Amungme juga merasakan penderitaan yang sama. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa perempuan lebih punya nyali dalam membela lingkungan? Semangat perjuangan Mama Yosepha atas alam dan kehidupannya telah menyatukan prinsip ekologi dan feminis yang mana prinsip tersebut telah menghasilkan gerakan perjuangan oleh kaum perempuan untuk melestarikan alam dan melawan penindasan yang pelakunya didominasi oleh kaum laki-laki.

Penutup

Perempuan Amungme dan secara umum perempuan Papua pada dasarnya memiliki relasi yang dekat dengan alam karena ada kesamaan pandangan dalam melihat alam yaitu sebagai ibu yang memproduksi kehidupan. Dengan melihat perjuangan mama Yosepha melawan dominasi kapital di daerahnya, manusia diajak untuk semakin peduli dan berperan aktif dalam menyelamatkan lingkungan. Investasi dan kapital, meluas seiring kemajuan teknologi, yang dalam pandangan Heidegger dalam bukunya “considering technology” mencemaskan kehidupan modern yang semakin berubah ke arah radikal, dan didominasi teknologi kapitalisme. Heidegger dalam bukunya “Being and Time”, sebuah catatan reflektif, yang memandang bahwa manusia tak sekedar ada, namun harus secara total memahami lingkungan, agar teknologi dan kapitalisme tidak secara radikal mengambil keintiman hubungan manusia dengan alam.

Generasi Papua harus meniru kekuatan berpikir mama Yosepha, dan mestinya persepktif itu meluas ke generasi Papua, sebab tidak hanya menyelamatkan kosmologi orang Papua, namun Perjuangan mama Yosepha, mematahkan subordinasi yang selama ini dikonstruksi dalam pandangan kultural yang kuat oleh patriarkis, bahwa ada kesenjangan persepsi yang selama ini didominasi laki-laki dalam memandang alam. Subordinasi itu yang coba dibongkar oleh mama Yosepha dan hendak membuktikan bahwa tidak ada kesenjangan dan perbedaan gender dalam memandang alam, perempuan juga memiliki pengalaman dan kedekatan yang begitu dalam dengan alam. Dengan menyelematkan alam, perempuan membongkar persepsi-persepsi lama yang bersembunyi hingga kini di belakang budaya yaitu stigma-stigma patriarkis.

Tulisan ini hendak mengajak, dan meluaskan wacana ekofeminisme di kalangan generasi Papua, untuk peduli, menjaga hubungan baik dengan alam. Hal seperti ini harus menjadi perhatian bersama dari kaum laki-laki dan perempuan muda Papua yang hadir sebagai agen perubahan untuk bersama-sama melawan kapitalis sebagai bentuk penjajahan di tanah Papua. Kita sebagai pemilik lah yang harus menjaga keutuhan ekologi di Papua. Harus ada gerakan-gerakan dari kaum perempuan yang mau dan berani melawan kehadiran perusahaan-perusahaan di Papua sebagai respon atas ambisi kapital dan sebagai bentuk kepedulian atas masa depan alam dan orang Papua.

 

Daftar Pustaka

[1] Dominggus Mampioper, “Mama Yosepha Alomang, Srikandi Dari Papua”, http://www.tabloidjubi.com/16/2014/04/26/mama-yosepha-alomang-srikandi-dari-papua/ , diakses pada 26 Februari 2019.

[2] Yulles Ogolmagai, “Etnografi Orang Amugme: Manusia Utama Yang Kuat dan Adil”, https://amungkalnews.blogspot.com/2017/01/etnografi-orang-amungme-manusia-utama.html , diakses pada 01 Maret 2019.

[3]Ibid.

[4] Pamer Alternative, “Suara Mama Papua: Pesan dari Papua Mama Yosepha Alomang”, https://www.youtube.com/watch?v=PwFizbFzEMk , diakses pada 21 Februari 2019.

[5] The Goldman Environmental Prize, “Yosepha Alomang”, https://www.goldmanprize.org/recipient/yosepha-alomang/ , diakses pada 21 Februari 2019.

[6]Ibid.

Ana Siep
Penulis adalah Seorang Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan