Analisa Harian Mahakarya Otsus : Manusia Papua Bermental Uang

Mahakarya Otsus : Manusia Papua Bermental Uang

-

 Biarkan Rakyat Papua Berdaulat atas suaranya

Papua dicaplok (dianeksasi) Indonesia melalui Pepera pada 2 Agustus 1969, sejak itu Papua sudah mulai hidup dalam hujan peluru. Hujan yang telah memakan banyak korban melalui berbagai operasi Militer oleh ABRI (sekarang disebut TNI-Polri). Operasi militer pertama sejak Trikora dikumandangkan Soekarno, 19 Desember‎ ‎1961‎ – ‎15 Agustus‎ ‎1962, Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bratayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II ( 1980), Operasi I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer Pembebasan Mapenduma (1996), Operasi Militer Biak Berdarah (1998), Operasi dan Pelanggaran HAM di Wamena Berdarah (Oktober 2000), Pelanggaran HAM penurunan bendera Bintang Kejora di Kabupaten Merauke, Nabire, Manukwari, Kota Sorong (2000), Peristiwa Pelanggaran HAM Abepura Berdarah (2000), hingga Peristiwa Pelanggaran HAM Wasior Berdarah (2001). Otsus lahir dengan salah satu tuntutannya adalah menyelesaikan kebiadaban yang dilakukan Militer Indonesia pra-Otsus di tanah Papua di bawah Rezim Orba dan pasca-Orba yang Bobrok terhadap kemanusiaan.

Namun, Otsus sudah jauh dari harapan bahwa tidak akan lagi ada Rezim Bobrok. Kenyataanya, itu salah besar! Keadaan Papua justru tidak menjamin kehidupan manusia Papua semakin baik lagi. Operasi Militer itu berlanjut lagi, diantaranya: Operasi Militer Wamena (2003), Operasi Militer Kabupaten Puncak Jaya (2004), Peristiwa Pelanggaran HAM Abepura (2006), Operasi Timika Tembagapura (2017- 2018), Pelanggaran HAM Lanny Jaya (2016, 2018), Operasi Nduga (2018-2020). Operasi Militer Puncak Papua, Intan Jaya, Paniai, Wamena, Jayapura, Fak-Fak, Deiyai, Timika (2019), dan Operasi Militer Yahukimo, Boven Diguel (2020), dan beberapa diantaranya masih berlangsung hingga saat ini di depan mata kita semua atas nama pengamanan fasilitas dan pelancaran aktivitas pembangunan infrastruktur.  Tidak ada bedanya dengan sebelumnya mengenai tindakan terhadap Manusia Papua.

Namun, itu tidak cukup dan tidak berpengaruh bagi beberapa orang untuk menimbun kekayaan pribadi di balik penderitaan, aliran air mata, dan darah Orang Papua. “Otonomi itu hanya uangnya saja. Tidak ada kewenangan” Kata Gubernur Lukas Enembe dalam wawancara dengan Mata Najwa[1], setahun lalu pasca Rasisme di Surabaya. Lalu pertanyaannya, uang itu ke mana tanpa kewenangan? Yang jelas itu telah menjadi timbunan uang tanpa keringat yang hanya dinikmati oleh beberapa elit lokal dan Nasional Papua. Tidak heran, kini mereka bersikukuh masih mau mempertahankan Otonomi Khusus yang jilid berikutnya.

Demi uang tersebut, kekerasaan dan penangkapan terhadap aktivis dan mahasiswa yang melakukan aksi damai sebagai praktik demokrasi yang dijunjung tinggi abad ini, pun dilindas begitu saja. Tumpang tindih beban terhadap perempuan tak pernah dihiraukan walaupun kekerasaan terhadap anak dan Perempuan semakin meningkat. Penembakan di luar hukum yang telah berpuluhan, diabaikan begitu saja. Pengungsi di mana-mana kelaparan dan kudisan karena tidak terawat dengan baik. Itu semua tidak mampu menggoyahkan kepekaan kemanusiaan yang telah dipagari oleh berhelai-helai uang Rupiah. Itu tidak mempan meneteskan air mata kemanusiaan mereka, karena di mata mereka aliran darah yang telah mati bagi mereka adalah aliran duit. Penciuman mereka terhadap kemanusiaan telah tak peka lagi karena bau uang terlalu pekat dari bau darah manusia Papua yang dibantai warga sipil seenaknya oleh Militer Indonesia melalui Bisnis Militer di Nduga (Komnas HAM, 2019)[2], Juga melalui Bisnis Kelabu (Aditjondro, 2005), dan berbagai bisnis yang meresahkan masyarakat Papua atas kongkalikong dengan Oknum Pemerintah dan Elit Politik yang sedang berjaya atas penderitaan mereka.

Aliran uang Otsus telah membentuk mereka menjadi manusia yang bermental uang. Di atas berbagai bentuk penderitaan orang Papua, mereka seenaknya mengambil tindakan yang berusaha menerobos kedaulatan rakyat. Bahkan mereka merobek Demokrasi di depan mata rakyat maupun Pemerintahan itu sendiri. Melahirkan berbagai kajian seenak mereka. Yang jelas karena, mereka sendirilah yang tahu ke mana aliran dana itu mengalir dan berhenti di mana. Rakyat Papua yang memiliki daulat politik yang sah dilempar begitu saja. Uang Otsus telah menjadi candu bagi mereka. Oleh karena itulah, mereka berusaha menginjak suara rakyat dan melompat ingin segera menempatkan posisi mereka supaya jaman keenakan mereka selama 19 tahun ini tidak hilang begitu saja.

Mereka tidak juga sadar bahwa, sebenarnya Otsus telah membentuk mereka menjadi orang-orang yang berjiwa “minta-minta” sebagaimana yang sering dilakukan oleh orang pinggiran. Namun, mereka dengan cara yang mudah (suap) dan hasilnya berlipat ganda. Ya, itu dapat kita lihat dari kasus penggelapan Dana Otsus yang dilakukan oleh Pemerintah Papua atas dugaan kebocoran hingga Rp556M. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pada Februari 2020[3]. Selama 19 Tahun, kita tahu juga bahwa kasus Korupsi di Papua tidak pernah diungkap sama sekali. Hal itu terjadi juga dengan Korupsi Dana Otonomi Khusus Papua. Kebobrokan seperti ini sengaja dipelihara dan dibiarkan menjadi “Nakal” oleh Pemerintah Pusat. Itulah yang membangun karakter mereka sebagai karakter “miskin jiwa” tambah semakin kuat. Mereka semakin bringas merampas seluruh hak yang seharusnya sampai hingga kepada Rakyat Papua. Oleh karena itu pula lah yang membuat mereka juga miskin dengan jiwa kepekaan terhadap penderitaan, kepekaan terhadap air mata, dan kepekaan terhadap penderitaan Rakyat.  Mereka sedang menjadi manusia-manusia yang tidak berperikemanusiaan karena mata, telinga, dan indera persa mereka telah ditutup rapat habis dengan uang dan jabatan.

Masih ada waktu untuk kembali sadar menjadi peka dengan keadaan yang berlalu, hari ini, yang bobrok dan nanti yang masih dapat bersinar terang. Bila, sadar bahwa sebangsa saya sedang ditindas. Sadar bahwa tanah saya sedang dirampas. Sadar bahwa kepekaan kemanusiaan saya sedang direnggut. Sadar bahwa penderitaan rakyat perlu dilepaskan sampai ke akar-akarnya. Masih belum terlambat untuk melakukan penyesalan dan perbaikan. Jiwa yang sedang kau bumbuhi dalam darahmu tidak akan berhenti di sini. Pada tingkatan tertentu, anda akan menjadi predator manusia yang hanya memuja uang dengan mengabaikan kesadaran dirimu sebagai seorang yang memiliki jiwa kemanusiaan.  Apakah cucuran air mata Mama kita, mau dibalas dengan darah dengan tulang belulang manusia Papua? Tentu kita tidak mau, bagi yang memiliki kepekaan kemanusiaaan. Jika tidak ada kesadaran akan hal itu, bertanyalah pada dirimu sendiri. Apa yang sedang merasukimu? Renungkanlah itu!

Akhir kata, janganlah sok akademis bila tidak memberi ruang demokrasi kepada Mahasiswa sebagai agen perubahan bangsa. Janganlah sok elit bila tidak membiarkan aspirasi aktivis sampai kepada yang memiliki kekuasaan. Jangan menjadi sok pmerintahan (Perwakilan) bila tidak memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada Rakyat Papua. Sebagai manusia yang sedang berada di dalam abad yang sedang tumbuh benih demokrasi, janganlah meruntuhkan itu. Namun, berikan kedaulatan kepada Rakyat Papua. Dengan kesadaran bahwa posisi anda hanya seorang wakil dari Rakyat.

Ini adalah ujian bagimu, hai elit-elit yang mengisap madu busuk milik para pemberhangus peradaban. Ujian bahwa, apakah anda masi mampu menjadi sesosok manusia atau menjadi predator manusia? Ujian bahwa, apakah anda menegakkan kebenaran atas rasionalitas atau sedang menelanjangi akal budi? Ujian bahwa, apakah anda penegak demokrasi atau sedang merontokan demokrasi? Maka, tempatkanlah suara Aktivis Kemanusiaan pada kedaulatannya membicarakan kobobrokan kemanusiaan di Papua. Tempatkanlah suara Mahasiswa pada kewibawaannya membicarakan persoalan di Papua secara Akademis. Tempatkanlah suara rakyat, sebagai yang memiliki kedudukan tertinggi untuk membicarakan persoalan yang telah ia alami sendiri selama berpuluh-puluh tahun di Tanah Papua selama bersama dengan menjunjung Keadaban dalam ideologinya tetapi prakteknya menjunjung kebiadaban terhadap Rakyat Papua. Janganlah melempar sampah dari dalam mobil yang tak sampai pada tempatnya.

 

 

Referensi:

[1] Wawancara Mata Najwa dengan Lukas Enembe, menit ke 5:37-5:46) yang diupload pada 22 Agustus 2019 di https://youtu.be/qzU_ImHJIHo

[2] Komnas HAM, Mahasiswa Papua Desak Komnas HAM Tuntaskan Kasus Nduga, diterbitkan 5 Agustus 2019 di https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/8/5/1081/mahasiswa-papua-desak-komnas-ham-tuntaskan-kasus-nduga.html

[3] Tempo, Korupsi Berulang di Papua, diterbitkan 28 Februari 2020, di https://kolom.tempo.co/read/1313185/korupsi-berulang-di-papua/full&view=ok

Aleks Hesegem
Aktivis kemanusiaan yang sedang berdomisili di Teluk Bintuni

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan