Ekopol Tinjauan Kritis Terhadap Revolusi Hijau

Tinjauan Kritis Terhadap Revolusi Hijau

-

Ditulis oleh Dr. Mansour Fakih

Secara kwantitatif dan jangka pendek, program Revolusi Hijau (Green revolution) memang memberikan harapan baru terhadap permasalahan Dunia Ketiga melalui aspek pertanian. Banyak negara Dunia Ketiga terpesona dengan program tersebut karena secara kwantitatif menunjukkan hasil yang dramatik. Indonesia misalnya, berkat Revousi Hijau dalam jangka pendek berhasil merubah dari pengimpor beras menjadi swadaya. Namun demikian, jika dipandang secara kwalitatif, jangka panjang, dan dengan pandangan yang kritis, beberapa persoalan mendasar dijumpai akibat dari Revolusi Hijau. Uraian singkat ini merupakan upaya kritis untuk melihat program Revolusi Hijau. Dalam analisis kritis, persoalan lebih dilihat dari aspek keadilan dan kelestariannya dari pada hanya melihat aspek pertumbuhan atau perkembangannya. Dengan begitu analisis ini lebih mempertanyakan siapa yang diuntungkan secara ekonomis, politik, budaya, pengetahuan maupun lingkungan hidup dari program Revolusi Hijau tersebut. Ini berarti bahwa analisis kritis itu sendiri merupakan suatu paradigma yang lebih melihat dari aspek keadilan ketimbang dari pertumbuhan.

  1. Paradigma Pembangunan Revolusi Hijau

Sebelum membicarakan apa, mengapa dan bagaimana Revolusi Hijau itu dipraktekan, pertama terlebih dahulu kita tinjau paradigma atau ideologi dibalik program tersebut. Pengenalan Revolusi Hijau ke Dunia Ketiga sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari konflik global di tahun 50-an yakni apa yang dikenal dengan ‘perang dingin’. Persaingan antara Kapitalisme dan Sosialisme telah mengambil bentuk perang ideologi dan teori. 40 tahun yang lalu, tepatnya 20 Januari 1949, pertama kali Presiden Amerika Harry S. Truman melontarkan kebijakan Amerika luar negerinya, dan untuk pertama discurse “underdevelopment” digunakan. Saat itulah konsep development secara resmi dilontarkan, dengan tujuan utama dalam rangka membendung sosialisme di Dunia Ketiga. (Lummis, C.D. 1991).

Sejak saat itu developmentaisme, suatu ideologi yang menjanjikan harapan baru perubahan nasib berjuta-juta rakyat Dunia Ketiga resmi digunakan. Apa yang dimaksud konsep development, tidak lebih merupakan refleksi paradigma Barat tentang perubahan sosial, yakni langkah langkah menuju ‘higher modernity.’ Modernitas diterjemahkan dalam bentuk teknologi dan pertumbuhan ekonomi mengikuti jejak negara negara industri yang mengacu pada revolusi industri. Pembangunan selanjutnya lebih dimaksud demi peningkatan standar hidup, dan itu hanya bisa ditempuh melalui industrialisasi. Pemerintah dalam persepektif ini adalah sebagai subyek yang tugasnya mentransformasi rakyat menjadi objects, recipients, clients atau participant. Ilmu ilmu sosial memainkan peran yang besar dalam proses tersebut. Pada tahun 1950 an dan awal 60 an, terutama mereka yang tergabung dalam the Center for International Studies pada Massachusetts Institute of Technology (MIT), membantu menciptakan kebijakan dan studi mengenai itu (Gendzier,I. 1985). Masa itulah para ahli ilmu sosial menjadi produktif dalam menciptakan berbagai teori pembangunan, terlibat dalam proses globalisasi pembangunan. Saat itulah ekonom seperti W. W. Rostow menemukan “Growth Theory”, McClelland dan Inkeles mengembangkan teori Modernisasi.[1]

Modernisasi, selanjutnya menjadi dasar Developmentalisme.  Kata Modernisasi juga berkonotasi sekularisasi, industrialisasi, persatuan nasional serta partisipasi masa.  Asumsi dasar modernisasi adalah bahwa tradisi adalah masalah dan harus ditransformasi, seperti apa yang dialami Eropa dulu. Teori ini menggunakan beberapa argumen. Pertama, dengan metapora pertumbuhan organisme. Pembangunan dipahami secara evolusioner berjalan dari traditional ke modern.  Semua masarakat berangkat dari keadaan yang sama yakni ‘tradisional’ dan itulah Dunia Ketiga dan akan berubah seperti dialami Barat yang akhirnya menjadi “modern.” Yang terkenal menggunakan metapora ini adalah W. W. Rostow (1960) dengan teori pertumbuhannya. Teorinya bertumpu pada akumulasi kapital (investasi dan tabungan) dengan menekankan perlunya utang dan dagang luar negeri. Rostow menekankan prlunya wirawasta untuk menstimulasi proses pembangunan. Tekanan pada wirawasta dan akumulasi kapital itulah dasar bagi teori pembangunan yang dominan. Sementara itu, kaum sosiolog dan psikolog, memiliki argumen berbeda, yang didasarkan pada study David McClelland (1961). McClelland atas interpretasinya pada Max Weber (1925), berpendapat bahwa jika etika Protestant penyebab pertumbuhan ekonomi di Barat, maka perlu dicari faktor yang sama untuk pertumbuhan ekonomi ditempat lain. Itulah “the need for achievement” (N Ach). Mengapa bangsa Dunia Ketiga “underdeveloped” karena mereka tidak memiliki N ach. Apa yang ia gambarkan sebagai prototype dari masyarakat berprestasi pada dasarnya adalah masarakat Kapitalis. Dalam kenyataanya modernisasi dan developmentalisme tidak berbeda dengan Kapialisme. Dalam presektif inilah sesungguhnya Revolusi Hijau sebagai suatu bentuk industrialisasi dan modernisasi pertanian diperkenalkan. Uraian berkiut mengupas apa dan bagaimana revolusi Hijau tersebut diterapkan.

  1. Bagaimana Revolusi Hijau bekerja?

Revolusi Hijau adalah merupakan salah satu bentuk program industrialisasi dan moderninsasi pertanian yang sepenuhnya menganut logika pertumbuhan. Program yang asal mulanya dari Amerika Serikat itu diperkenalkan ke Dunia Ketiga sebagai pelaksanaan teknis developmentalisme. Sebagai bagian dari paham modernisasi, Revolusi Hijau tidaklah sekedar program pertanian belaka, melainkan suatu strategi perubahan melawan paradigma tradisionalme. Selama empat puluh abad pengetahuan masarakat dalam bertani untuk pertama kalinya menghadai penggusuran. Untuk pertama kali dalam sejarah pertanian manusia, suatu model pertanian yang dipelopori oleh pengusaha multinational Barat, mencoba melakukan homogenisasi dari berbagai ragam pengetahuan pertanian manusia, direduksi mejadi hanya satu pola bentuk pertanian. Program yang didukung oleh pusat pusat penelitian global raksasa seperti International Rice Research Institute (the IRRI) di Pilipina, the CIMMYT (International Maize and Wheat Improvement Center) di Mexico benar benar mengubah wajah pertanian dunia. Dewasa ini di dunia terdapat 13 lembaga riset seperti itu dikelola oleh CGIAR (the Consultative Group for International Agricultural Research) yang menjadi tulang punggung program Revolusi Hijau. Akibatnya, petani yang telah selama 5000 tahun memproduksi, menseleksi, menyimpan, dan menanamnya bibit mereka kembali telah tergusur. Bibit menjadi komoditi komersial dan privat. Revolusi Hijau telah merampas kontrol atas sumber tanaman dari tangan petani Dunia Ketiga ke teknokrat Barat di CMMYT, IRRI dan Perusahaan bibit multinational (Morgan,D. 1979). Bibit ternyata menjadi salah satu sumber keuntungan dan kontrol.

Masalahnya, bibit bibit unggul ‘ajaib’ yang mereka ciptakan dan paksakan itu ternyata adalah keajaiban komersial, karena setiap musim tanam petani harus membelinya. Petani menjadi sangat tergantung pada mereka, dan tidak bisa lagi mengontrol bibit atau mereproduksinya sendiri. Revolusi Hijau telah menggusur tidak saja ribuan jenis atau varietas tradisional tetapi juga merampas keseluruhan tanaman padi yang asalnya ditangan petani Dunia Ketiga. Keberhasilan Revolusi Hijau dalam proses penggusuran itu dilakukan dengan banyak cara.  Sebelum memperkenalkan ciptaan ‘unggul’ mereka, mulanya bibit bibit rakyat serta berbagai buah buahan tradisional rakyat itu dilabeli “primitive” dan “inferior” oleh aparat moderninsasi. Meskipun apa yang mereka ciptakan ternyata tidak ‘unggul’ sama sekali. Strategi IRRI ternyata tidaklah menghasilkan apa yang terbaik bagi petani di Asia.  Di Filipina sebagai projek percontohan revolusi hijau di Asia telah terbukti. Varietas IR-8 yang dikeluarkan tahun 1966, mengalami penderitaan serius diserang oleh hama antara tahun 1968-69, dan pada tahun 1970-71 wereng tungro menghancurkan IR-8 diseluruh Pilipina.  Varietas IR-20 selanjutnya diiciptakan dalam rangka menggantikan IR-8.  Pada tahun 1971-72 IR-20 diproklamirkan sebagai bibit baru yang tahan terhadap hama dan tungro. Namun pada tahun 1973 hama belalang wereng menghancurkan jenis IR-20 di hampir seluruh propinsi di Filipina. Setelah itu veritas baru pun dilemparkan, yakni IR-26. Namun nasib IR-26 ini juga tidak beda, yakni tahun 1974-75 juga hancur diserang hama belalang jenis baru.  Tahun 1976, varitas baru pun diciptakan, yakni IR-36, dan setiap ditemukan bibit unggul baru, selalu saja musuh baru muncul.

Dalam pelaksanaannya Revolusi Hijau dilakukan dalam bentuk bermacam cara. Di Indonesia misalnya Revolusi Hijau [2] dilakukan melalui “komando dan subsidi”. Bentuk bentuk subsidi tersebut adalah 1) Bantuan dan subsidi besar besaran terhadap harga pupuk kimia. 2) Subsidi terhadap kredit pertanian; 3) Pembayaran padi oleh negara melalui operasi the pembelian harga dasar dan pembangunan stok persediaan; 4) Meningkatkan kuantitas irigasi serta pinjaman modal melalui utang luar negeri.  Hasil kuantitatif revolusi hijau di Indonesia memang menakjupkan. Di satu pihak pertanian di Java mampu memproduksi dua kali lipat padi dari hasil pertanian Java tahun 1960an.  Java menyumbangkan lebih dari rata rata kontribusi dalam arti hasil dibanding daerah lain di Indonesia, dan oleh karena itu memainkan peran utama dalam perubahan status Indonesia dari pengimpor terbesar beras dan tahun 1985 menjadi mandiri.

Namun demikian, jika dilihat secara kwalitatif dan kritis, terdapat berbagai persoalan yang mempunyai dampak terhadap meningkatnya kemiskinan di pedesaan, urbanisasi, serta meningkatnya represi politik kaum tani.[3]  Dalam rangka untuk mencegah terjadinya penolakan penyebab marginalisasi akibat dari program terebut pemerintah telah menerapkan suatu mekanisme konrol politik, yakni dengan memperknalkan “floating mass policy”, yakni melarang organisasi masa dan politik tingkat desa. Pemilihan kepala desa diganti dengan sistim penunjukan, dan sering kali dengan seorang militer untuk melengkapi Komando rayon militer di tingkat kecamatan, serta penempatan seorang militer di tingkat desa.  Masih bagian dari itu adalah pembentukan KUD sebagai satu satuya koperasi di tingkat kecamatan, serta kebijaksanaan tentang pemerintahan desa yang berlaku sejak tahun 1979 utuk menggantikan model rembug desa, kesemuanya itu adalah proses pembatasan politik petani dan penciptaan lembaga yang bisa kontrol. (Sasono,1987).

  1. Revolusi Hijau: Suatu tinjauan kritis

Revolusi hijau adalah suatu pprogram yang merupakan kombinasi pengetahuan dan discourse pertanian, teknologi pertanian, kebijakan politik pertanian, yang dikembangkan diatas proses kelas masarakat dalam suatu formasi sosial kapitalistik di pedesaan Dunia Ketiga. Pelaksana revolusi hijau tingkat lokal, nasional saampai internasional menerima hasil apropriasi surplus labor dan sebagai imbaannya merek mendukung proses kelas pedesaan.  Petani mendistribusikan bagian surplus-labor kepada yang lain termasuk, pemilik tanah. Mereka harus membayar bunga kredit, bibit, pupuk dan kredit pestisida yang semuanya atas pijaman proyek bank Dunia. Dilain pihak proses kelas juga bergantung stabilizasi politik pdesaan, pengetahuan pertanian modern, teknologi pertanian dan perdagangan internasional. Bank Dunia juga mengirm tenaga ahli ke Duia Ketiga untuk membantu proyek tersebut, sementara bibit padi diproduksi oleh lembaga riset seperti IRRI di Pilipina; pupuk dan pestiisda diproducksi oleh perushaan multi nasional Amerika, Jeag maupu negara negara eropa.  Analisis ini menggambarkan masalah pedesaan dan pertanian pada dasarya berkaitan dan secara dialektika. Revolusi hijau tidak sekedar persoalan ekonomi dan pertanian. Revolusi hijau pada dasarnya adalah masalah budaya, pengetahuan, politik, ekonomi dan ideologi.

4.1. Kelas Ekonomi dan ketergantungan.

Formasi sosial di pedesaan yang diciptakan oleh Revolusi hijau adalah sangat komplek. Selama Revolusi Hijau terjadi proses transisi menuju bentuk kapitalistik.  Secara tradisional petani Jawa terlibat dalam apa yang disebut sebagai model “ancient”. Mode ini adalah proses dimana masing masing individual mengerjakan sawah masing masing.  Mereka hanya memiliki wah yang sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan subsistensi mereka, yankni socially necessary labor time (SNALT), dan membayar kewajiban seperti pajak dan sebagainya. Mereka bekerja lebih keras dalam rangka survive. [4]  Sebagian mereka menjual tanah mereka pada petani kaya. Proses ini telah mengakibatkan naiknya tingkat landlessness di Jawa.  Sensus pada perode (1961,1971 and 1980) menujukan sekitar 73 % keluarga dipedesaan (of more than 0.1 hectare) di tahun 1963 hanya sekitar 57% keluarga memiliki sawah, dan di tahun 1983 (a 16% landlessness in 20 years).  Petani tersebut kemudian menjual tenaga kerja mereka ke petani berlahan atau indah ke Jakarta untuk menjaid buruh migran pada sektor industri, dan menciptakan maalah urbanizasi.[5]  Meningkatnya urbanizasi ada kaitannya dengan revolusi hijau, yakni kebijaksanaan yang meletakan modal dan investasi mesin lebih dari pada tenaga manusia, berakibat turunnya kesempatan kerja sektor pertanian. Tahun 1980 saat revolusi hijau digencarkan sekitar 50 % pengagguran terjadi dipedesaan, dan tenaga kerja yang tumbuh 1.8 juta rakyat pertahun, yakni 53 juta orang dalam tahun 1980.  Kesulitan di desa inilah yang mendorong urbanisasi. Sementara dikota mereka amencari kerja apa saja, umumnya jatuh ke sektor informal (Huesken,1987). Namun mereka yang tidak pergi kekota, terlibat dalam peekerjaan pertanian sebagai buruh tani dalam suatu hubunga kerja yang kapitalitik.  Revolusi hijau mendorong berkembangan model kapitalime pedesaan, karena proses pertanian sudah menjadi bagian dari usaha moderen dengan melibatkan modal Bank.

Analisis kritis terhadap revolusi hijau dengan menggunakan kacamata politik ekonomi mampu melihat hubungan anara kelas dan buruh tani sebagai produser dalam kaitan distribusi nilai surplus. Namun analisa politik ekonomi ini tidak bisa melihat bagaimana hubungan makro antara revolusi hijau di selatan dan negara utara. Untuk memahami ini teori dependency yang melihat hubungan utara (centers) dan selatan (periphery), serta antara elite dan si miskin dinegara selatan sendiri. [6]  Teori Dependency memfokuskan hubungan antara dan dalam masarakat dalam aspek sosial, kultural, politik dan ekonomi. Asumsinya adalah bahwa pembangunan dan keterbelakangan adalah konsep yang berkaitan.  Keterbelakangan suatu masayarakat adalah akibat dari berkembangnya masyarakat yang lain. Masalah negara selatan tidaklah berakar dari nilai nilai traditional mereka, melainkan suatu proses dialektik dimana kondisi keterbelakangan mereka adalah akibat dari ulah negara kaya. Ketergantungan membuat sulit bagi negara selatan untuk ‘take-off’ dalam model pembangunan kapitalis mereka. Karena ketergantungan menyulitkan terjadinya akumulasi kapital. Bagi dependency ketergantungan itu tidak mesti terjadi antara negara utara secara pisik mendominasi negara miskin seperti zaman imperialisme dulu, tapi cukup dengan menggunakan elite dinegara miskin yang memiliki nilai, interest yang sama dengan mereka dinegara kaya (Frank,1972). Dalam kaitan itulah Revolusi Hijau dapat dilihat sebagai media proses ketergantungan secara ekonomi, teknologi, budaya, pengetahuan maupun politik. Indonesia misalnya $ 2.71 US dollars terhisap keluar untuk setiap satu US dollar investasi pada masa revolusi hijau tahun 1970-77 (Arif and Sasono,1981). Tahun 1979 saja perusahaan Amerika mendapat utung $ 12.000 juta dollars dari negara selatan.

4.2. Hegemoni kultural dan Revolusi Hijau

Revousi Hijau tidak hanya soal ekonomi, akan tetapi juga merupakan proses dominansi kebudayaan. Revolusi hijau memiliki kekuasaan kultural dan politik melalui penciptaan systim dan struktur ideologi melalui propaganda, dalam rangka menggusur ideology, kultur dan politik para petani. Lembaga keagamaan, pendidikan dan media massa telah dipergunakan oleh aparatus Revolusi Hijau untuk mempengaruhi petani dan masa bahwa revolusi hijau adalah cara terbaik untuk memecahkan masalah kemiskinan mereka. Sebagai hegemony, revolusi hijau mencipatakan konsep realitas yang diyakini semua lapisan masyarakat, sehingga mempengarahi selera, moralitas, kebiasaan, serta nilai nilai religiousitas dan prinsip politik petani.

Revolusi Hijau sebagai bentuk baru model kapitalisme pertanian merupakan hegemoni yang berpengaruh. Melalaui proses yang singkat, program tersebut berhasil merubah gaya hidup, sikap dan prinsip prinsip petani menjadi lebih menerima model pertanian kapitalistik.  Sehinga hal hal yang tadinya tidak dikenal seperti kompetsi, efisiensi menjadi bagian perjuangan untuk hidup para petani. Invasi kebudayaan modernisasi dengan revolusi hijaunya itu berhasil berkat dukungan lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF. Hayter (1985) yang mencatat bahwa Bank Dunia mendukung pasar bebas dan sektor swasta; mendorong modal asing dan kemudahan investasi asing; menentang penggunaan kontrol harga, serta menolak subsidi investasi arana umum memungkinkan revolusi hijau berkembang. Bank Dunia menolak model pemilikan tanah umum maupun comunal, dan oleh karenanya menolak pelaksanaan land-reform serta menekankan produktivitas dan mengabaikan distribusi.  Bank Dunia lebih mendukung usaha integrasi produser pedesaan dan pasar nasional dan internasional. Dengan kata lain mereka mengadvokasi integrasi negara selatan pada pasar dunia, atau dengan kata lain meningkatkan ketergantungan dunia (Hayter, 1985).

Revolusi hijau adalah program yang cocok dengan kepentingan perusaan pupuk kimia, pestisida dan bibit multinasional. Lebih dari itu program itu juga berarti membantu kelangsungan suplay konsumsi komoditi pertanian di negara utara. Selain itu Revolusi hijau memberi pekerjaan pada para ekspert, penciptaan pasar bagi perusaan multinasional; mensubordinasi produser pedesaan pada perusaahna agro-industri, serta memperkuat petani kaya dan patron politik mereka (Heyter, 1981) Program bantuan dalam Revolusi Hijau justru memperkokoh status quo.  Bantuan Bank Dunia yang sebenarnya adalah hutang, selain membuat ekonomi negara selatan tergantung, juga bagian besar hutang tersebut digunakan oleh pemberi hutang untuk kepentingan mereka sendiri seperti membantu expor sendiri dan mendukung busnis mereka di selatan. Hutang juga digunakan untuk melicinkan eksporter membeli suplay bahan mentah untuk kepetingan mereka.(Kruijer,1987).

4.3.   Knowledge/Power Dominasi dalam Revolusi Hijau 

Salah satu aspek masalah yang ditimbulkan oleh Revolusi Hijau adalah invasi pengetahuan Barat positivisme terhadap pengetahuan asli petani dunia ketiga. Untuk memhami ini saya meminjam analisis Foucault tetang analisis discourse.  Foucault, pada tahun akir 1960s dan awal 1970an, menyumbangkan pemikiran kritis tentang bagaimana makna itu dikonstruksi dan bagaimana discourse menjadi alat dominasi. Pikiran ini berimplikasi secara radical, tidak saja bagi humaniora dan sastra tetapi seluruh pada bidang pengetahuan. Analisisnya memberikan alat bagi kita unuk memahami dominasi pada Dunia Ketiga. Pengetahuan (knowledge) tidaklah sesuatu netral terpisah dari hubungan kekuasaan. Menurutya hubungan pengetahuan pada dasrnya adalah hubungan kekuasaan. Knowledge adalah alat bagi negara, perusahaan multinational, universitas dan organiasi formal dinegara kapitalis maju untuk berkuasa (Ng,Roxana.1986).

Pengetahuan Revolusi Hijau misalnya tidaklah sekedar alat untuk menjadi tahu. Tetapi didalamnya terkandung unsur kontrol dan dominasi.  Discourse tetang modernisasi pertanian Revolusi Hijau adalah juga isu politik.  Karena discourse modernisasi pertanian mendominasi Dunia Ketiga menjadi satu satunya bentuk pengetahuan yang sah dan proses ekonomi pedesaan politik dan kultur yang legal dan dilegitimasi.  Oleh karenanya discourse Revolusi Hijau dan modernisasi pertanian menggusur segenap bentuk pengetahuan pertanian yang dianggap tradisional atau bentuk cara bertani yang non-positivistic. Cara cara bertani beserta bibit bibitnya diganti secara paksa dengan cara modern.  Bersamaan dengan itu sesungguhya menghancurkan formasi sosial non-kapitalistik dipedesaan. Tradisi gotong Royong di Jawa diganti dengan kapitalisme dan industrializsi pertanian.  Tidak hanya itu, revousi hijau juga menggusur segenap bentuk proses budaya politik pedesaan dan menggantinya dengan proses budaya politik yang sesuai dengan modernisasi politik.

Revousi hijau yang diproduksi oleh Barat dan dikirim ke selatan bukanlah pengtahuan netral melainkan sarat dengan ideologi barat dan kontrol. Mueler (1987) menganalisis relasi antara discourse pengetahuan pertanian dengan kapitalisme. Pembangunan pertanian menjadikan petani berdasi dan para professionals bersama dengan power/knowledge sebagai bagian dari hubungan dunia kapitalistik. Proses Revolusi Hijau adalah praktek yang di kontrol oleh lembaga utara. Hubungan antara utara selatan ditetapkan dimana selatan sebagai kekurangan sehingga memungkinkan para ahli untuk memerankan diri. Hubungan ini menurut Mueller (1987) merupakan hubungan imperialisme pengetahuan.

4.4. Issue Gender dalam Revolusi Hijau

Revolusi Hijau juga melanggengkan dominasi dan penindasan kaum perempuan diselatan.  Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mekanisasi pertanian dalam Revolusi Hijau menggusur peran kaum perempuan di sektor pertanian. Kaum perempuan tidak anya tergusur dari peran mereka di sawah tidak saja pada saat panen karena digantinya ani ani dengan sabit, tapi karena anggapan bahwa lelaki adalah pemimpin rumah tangga, banyak program Revolusi Hijau tidak menyentuh kaum perempuan, seperti dalam training maupun perkreditan. Itulah makanya lahir kritik dari kaum perempuan tehadap Revolusi Hijau. Sebagai jawaban, mereka melontarkan apa yang dienal dengan Women in Development (WID). Namun program tersebut hanya melahirkan regulasi ketimbang pembebasan kaum perempuan.  Asumsi mereka bahwa kaum perempuan pedesaan mundur karena tidak terlibat dalam pembangunan. padahal kaum perempuan justru digusur dari bidang produktif. Artinya yang menjadi soal adalah masalah gender[7]

Banyak studi mengungkap bahwa kaum perempuan di pedesan menjadi korban Revolution hijau. Di Jawa misalnya secara tradisional kaum peremuan telah memiliki peran penting dalam  produksi, khususnya selama panen dimana musim yang paling membutuhkan tenaga kerja. Kaum perempuan, kususnya dari keluarga miskin, membantu keluarga mereka dengan mendapatkan pekerjaan selama panen, dan hal itu menyumbangkan pemasukan yang berarti di rumah tanga mereka. Dalam pertanian pean peempuan memang penting tidak saja lamanya mereka bekerja, tapi juga intensitas mereka. Tapi sejak Revolusi Hijau, tipe padi dan teknologi baru yang dikenalkan secara sistematik menggantikan peran perempuan. Meskipuan total input tenaga diakui lebih tinggi peremuan dibanding lelaki, namun program tersebut menyingkirkan perempuan dengan teknologi yang dikontrol lelaki. [8]

Pengenalan cash economy, dan akumulasi material yang dipromosi oleh Revolusi Hijau selalu di salurkan melalui lelaki, sebagai kepala rumah angga. Sangat jarang bagi perempuan dimasukan dalam training mereka, meskipuan faktanya banyak tenaga perempuan terlibat dalam proses produksi padi. Sudah diketahui secara umum bahwa kaum perempuan secara aktif terlibat dalam pertanian dan pemasaran hasil pertanian, namun mereka tidak dianggap sebagai partisipan utama revolusi hijau. Revolusi hijaulah yang membuat petani Jawa memasuki mode produksi kapitalisme dan hubungan ini juga mempengaruhi hubungan mereka dengan istri mereka. Buruh tani mayoritas petani Jawa  yang menjual tenaga kerja mereka pada petani lain dalam suatu proses kelas dipedasaan, selanjutnya pulang kerumah dan dirumah terjadi proses eksploitasi rumah tangga.

4.5. Penghancuran Lingkungan dalam Revolusi Hijau

Watak anti lingkungan Revolusi Hijau menciptakan permasalahan bagi linkungan dan masyarakat pedesaan yakni menghancurkan eco-system lingkungan pedesaan. Dengan mengkuti logika industrialisasi, Revolusi Hijau telah mempraktekan proses linear yang mengubah pertanian dari aspek penggarapan tanah, tenaga kerja, penggunaan modal dan metode saving. Riset tanaman, pestisida, pupuk kimia buatan, mekanisasi, irigasi, serta fasilitas kredit memaksa proses pertanian di pedesaan menjadi pertanian capital intensive. Hal itu semua telah menyingkirkan petani miskin dari pertanian.

Oleh karena bibit baru yang ditemukan oleh Revolusi Hijau sangatlah rentan terhadap hama, oleh karena itu bibit bibit itu memerlukan penggunaan pestisida yang besar dalam rangka “pest control” and “plant protection.”  Pestisida ternyata tidak mampu mengontrol hama, malah sebaliknya memanjakan hama, karena tak sengaja mereka menciptakan kekebalan hama baru. Sesungguhnya perang melawan hama tidaklah diperlukan, karena masyarakat selama bertahun tahun telah melakukan cara yang efektif untuk mengontrol hama, dengan cara menyeimbangkan antara hama (pest) dan predator. Cilakanya bibit unggul dan kimia yang menjadi dua input utama Revolusi Hijau menghancurkan keseimbangan itu. Akibatnya pertanian pedesaan dipaksa tergantung pada pupuk kimia dan racun pestisida. Di Jawa misalnya, selama awal Revolusi Hijau, selama 7 rahun rata rata perhektar penggunaan pupuk kimia naik 50% setiap tahunnya, sedang penggunaan pestisida perhektarnya naik dua kali (Pincus,Jonathan: 1990).  Kedua inputs ini selain mehancurkan ecosistem lingkungan pedesaan juga menciptaakan ketergantungan, masalahnya siapa yang diuntungkan? [9]

  1. Belajar dari Revolusi Hijau.

Dari uraian kritis tersebut beberapa hal bisa dipetik pelajaran. Pertama, revolusi hijau sebagai akibat dari reduksionisme dari scientifisme dan ekonomi pertumbuhan memang dalam jangka pendek dan secara kwantitatif akan mampu mengatasi persoalan produktivitas padi. Akan tetapi jika kita berfikir untuk membebaskan diri dari reduksionisme, dan melihat secara kwalitatif dan jangka panjang maka terdapat persoalan yang fundamental dari Revolusi Hijau. Pertama bahwa Revolusi Hijau karena tidak mempersoalkan siapa yang diuntungkan dari hasil pertumbuhannya, secara tanpa disadari justru melanggengkan ketidak adilan kelas dalam masyarakat pedesaan serta melanggengkan ketergantungan ekonomi diluar pedesaan. Tanpa adanya sensitifitas kelas masyarakat, mengakibatkan justru dalam keberhasian kwaantitas pertanian, proses marginalisasi yakni jumlah petani tak berlahan semakin meningkat.

Langgengnya ketidak adilan kelas ekonomi tersebut didukung oleh adanya pengetahuan yang dominan dan hegemony budaya, yakni discourse modernisasi pertanian ilmiah, yang sekaligus menghancurkan pengetahuan pertanian masyarakat. Oleh karna pengetahuan adalah power, maka pengetahuan modernisasi pertanian tersebut sekaligus mengontrol pengetahuan dan budaya petani. Pengetahuan psitivistik itu berhasil melakukan “disempowering” terhadap petani dengan digusurnya pegetahuan dan pengalaman bertani mereka selama ribuan tahun. Dalam skema Revolusi Hijau, petani adalah objek yang dikuasai oleh pengontrol pengetahuan.

Akhirnya langgengnya kelas dan dominasi pengetahuan itu juga tidak bisa berjalan jika keadaan politik petani tidak stabil. Oleh karena itu dalam rangka menyelenggarakan revolusi Hijau diperlukan situasi ‘floating mass’ dan stabilitas politik pedesaan. Oleh sebab itu Revolusi hijau juga berarti membawa malapetaka bagi hak hak berpolitik para petani. Dengan demikian sebenarnya pada diri Revolusi Hijau terkandung aspek aspek ekonomi, politik, budaya, pengetahuan dan keamanan yang saling berkait. Jika hanya salah satu aspek saja yang dilihat maka kita tidak akan mampu memahami persoalan petani secara lebih luas.

 

Referensi:

Adiwibowo, S. and Agung Riyadi. Dampak Ekologi dan Sosial Ekonomi Revolusi Hijau: Kasus Pedesaan di Pulau Jawa. (Ecological and social economic impacts of the Green Revolution in rural Java). Jakarta: Konpalindo. 1993.

Arif, Sritua and Sasono, Adi. Indonesia: Dependency andunderdevelopment. Kuala Lumpur: Meta. 1981.

Eviota, Uy Elizabeth.  The Political economy of Gender London: Zed Books Ltd. 1992.

Foucault,M. Power/knowledge: Selected Interviews and other   writing (Ed). C. Gordon. New York: Pantheon. 1980.

Frank, Undre Gundre. “The development of Underdevelopment” in

C.K. Wilbwer (Ed.) The political economy of development and underdevelopment. New York: Random house, 1973.

Gabriel, Satyananda. “Ancient: A Marxian Theory of Self-  exploitation” in Rethinking Marxism Vol.3.No.1. Spring, 1990.

Gendzier, Irene.  Managing Political Change: Social Scientists  and the Third World Boulder. Colorado: Westview Press.  1985.

Hayter, teresa. Aids as Imperialism. Baltimore: Penguin Books Ltd. 1971.

Huesken.  Franz.  “Political Economy of Rural Development in Java” in The Impact of Pesantren in Community Development.  Jakarta:  P3M.  1987.

Millikan, M.F. and Rostow, W.W.  A Proposal, Key to an Effective Foreign Polecy. New York: harper Brothers. 1957.

Mueller,A. Peasants and Professionals: The Production ofKnowledge about Women in the Third World. A paper presented to the Meeting of The Association for Women in Development, Washington D.C. April, 1987.

Rostow, W.W. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. New York : Cambridge University Press, 1960.

Sachs, Wolfgang (ed.). The Development Dictionary, A guide to knowledge as power, London: Zed Books: 1992.

 [1]  Dalam suatu konferensi yang diselenggarakan di MIT  tentang “The implementation of Title IX of the Foreign Assistance Act of 1961” mereka melakukan workshop tetang bagaimana “the Foreign Assistance Act of 1966” dilaksanakan dan hasil studi itu menyarankan “develeopment” harus dipakai sebagai alat baru kebijakan politik luar negeri dan bantuan Amerika Serikat. (Millikan and Pye: 1968).

 [2]  Green Revolution atau Revolusi Hijau di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai bentuk program. BIMAS atau bimbingan masa tahun 1970 adalah salah satu bentuk pelaksanaan Revolusi Hijau. Bimas adalah suatu paket program pemerintah yang berupa teknologi pertanian, masukan bibit, pupuk, pestisida dan bantuan kredit. Ketika peserta BIMAS menurun, pemerintah melontarkan program baru INMAS (intensifikasi masa) yakni suatu kprogram kredit sebagai lanjutan bagi peserta Bimas. Tahun 1979 program baru lagi dilemparkan yakni INSUS (intensifikasi khusus), tujuannya untuk mendorong petani menanam tanaman sambil mengkontrol hama padi.

 [3]  Banyak study telah dilakukan mengenai dampak Revolusi Hijau di Indonesia, diantaranya  Lihat Gunawan Riyadi, “Dampak Revolusi Hijau Di Jawa”, Laporan Penelitian, Jakarta: Kompalindo 1989.

  [4]  Huesken (1987) menyebut petani kecil tapi independent ini adalah tidak membeli maupun menjual tenaga kerja. Oleh karena itu  menurutnya tidak mereka tidak “mengeksploitasi ataupun tidak di eksploitasi”.  Tetapi dalam analisis Gabriel (1989) eksploitasi dalam pengertian “appropriation surplus labor”, petani model ini  dianggap sebagai “self-exploitation” dalam model kelas “ancient”.

  [5]  Adi Sasono (1987), nmencatat bahwa tingkat urbanisasi dalam 25 tahun terakhir mengakibatkan pesatnya perkembangan ukuran kota di Jawa, banyak kota yang menjadi lipat dua dalam ukuran dalam waktu 10-25 tahun.

  [6]  Lihat Roxborough, Theories of Underdevelopment. London: McMillan 1985. (pp.55).  Cardoso F.H. and Faletto, E. Dependency and Development in Latin America. Berkeley: University California Press, 1979. Also Amin. S.  Unequal Development. New York: Monthly Review Press. 1976.

  [7]  Gender, berbeda dengan sex, diartikan “behavior differences between women and men that socially construct – created by men and women themselves; therefore they are matter of culture”.  Peran gender telah megakibatkan ketidak adilan yang termanifestasikan dalam subordinasi, stereotyping, kekerasan (violence) dan beban kerja (double burden) baik baik kaum perempuan maunpun lelaki. Lihat Elizabth Eviota,  The Political Econoy of Gender. (London: Sed Books, 1992). Lihat juga, Ann Oakley, Sex, Gender and Society. (New York: Harper and Row. 1972).

[8]  Lihat Vandana Shiva, Staying Live  (London: Zed Books, 1989)

 [9]  Lihat S. Adiwibowo, dan Agung Riyadi. “Dampak Ekologi dan Sosial Ekonomi Revolusi Hijau: Kasus Pedesaan Pulau Java” Sebuah Laoptan  (Jakarta: Komphalindo, 1993).

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Apabila Prabowo jadi Presiden

Selalu ada jejak yang ditinggalkan saat diskusi walau diskusinya bebas, pasti ada dialektikanya. Walau seminggu lebih sudah berlalu, namun ada...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan