Pilihan Redaksi Pernyataan Sikap AMP, FRI-WP, dan AMP-TPI 1 Desember 2020

Pernyataan Sikap AMP, FRI-WP, dan AMP-TPI 1 Desember 2020

-

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wawawawawawa..wa..wa..wa..wa!

Bangsa West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 1 Desember 1961. Akan tetapi, pemerintah Republik Indonesia tak mau mengakuinya dan menganggapnya tak lebih dari boneka bentukan Belanda. Pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno lantas melakukan aneksasi wilayah West Papua melalui program Trikora. Serangkaian operasi militer mengejawantah.

Saat pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949, West Papua merupakan koloni tak berpemerintahan sendiri dan diakui demikian oleh PBB dan Belanda yang pada waktu itu menjadi penguasa administratif kolonialnya. West Papua masih berada di bawah kuasa Belanda yang menjanjikan dekolonisasi setidaknya sampai Indonesia melakukan upaya-upaya penggabungan tanah Papua.

Pasca Trikora, Belanda yang semestinya bertanggung jawab dan berjanjiuntuk melakukan dekolonisasi malah menandatangani Perjanjian New York (New York Agreement) terkait sengketa wilayah West New Guinea pada tanggal 15 Agustus 1962 dengan tanpa melibatkan rakyat West Papua. Perjanjian tersebut hanya melibatkan 3 pihak diantaranya, Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat sebagai penengah. Sekalipun terang sungguh bahwa perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat West Papua.

Perjanjian yang mengatur masa depan wilayah West New Guinea ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal; Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara, Pasal 12 dan Pasal 13 mengatur proses transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.

Di tahun 1963, ketika pemerintah Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional.

Kemudian, satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 dengan hanya melibatkan 0,2% dari populasi di West Papua dalam pengambilan suara, itu pun dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia. Kredo “musyawarah untuk mufakat” dipakai Indonesia untuk melegitimasi pelaksanaan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta pelanggaran HAM berat. Hasil dari pelaksanaan Pepera tersebut dicatat di Sidang Umum PBB lewat Resolusi 2504 (XXIV). Tidak disebutkan bahwa Pepera telah dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement. Tidak disebutkan bahwa prosesnya memenuhi standar penentuan nasib sendiri seperti yang diamanatkan oleh Resolusi PBB 1514 dan 1541 (XV). Sehingga, penentuan nasib sendiri lewat Pepera itu tidak sah.

Dan oleh sebab tidak sahnya proses penentuan nasib sendiri itu, maka West Papua juga bukanlah bagian sah dari Indonesia. West Papua tetaplah teritori tak berpemerintahan sendiri dan kini sedang berada di bawah pendudukan.

Teror, intimidasi, diskriminasi rasialis, penangkapan, penculikan, penahanan, penembakan, pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi sampai sekarang. Berbagai operasi militer di West Papua telah menelan banyak korban. Penutupan akses jurnalis, pembatasan internet, dan penyebaran disinformasi dilakukan untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di West Papua. Aparat menyiksa dan melakukan usaha pemerkosaan terhadap tahanan politik. Wilayah West Papua dibagi-bagi seperti kue. Otonomi khusus hanyalah gula-gula yang tak menjawab persoalan keadilan bagi bangsa West Papua. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia.

Di hari deklarasi kemerdekaan Bangsa West Papua ini, kami menyerukan kepada dunia internasional untuk membangun konsolidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua, mengajak rakyat Indonesia untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri, dan menyatakan sikap politik kami kepada pemerintah Republik Indonesia, Belanda dan PBB untuk segera:

1. Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua

2. Tolak Otonomi Khusus jilid II

3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua

4. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua

5. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia

6. Bebaskan tapol West Papua tanpa syarat

7. Tolak Daerah Otonomi Baru di West Papua

8. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh dan tolak pengembangan Blok Wabu

9. Usut tuntas pelaku penembakan pendeta Jeremiah Zanambani

10. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal pelanggar HAM

11. Hentikan rasialisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri

12. Hentikan Operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, dan seluruh wilayah West Papua lainnya

13. Cabut Omnibus Law!

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami berterima kasih atas dukungan, partisipasi dan kerja sama dari semua pihak.

Salam Pembebasan Nasional!

Medan Juang, 1 Desember 2020

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan