Analisa Harian Pemerintahan Sementara dan ULMWP Tidak Akan Bertahan Lama

Pemerintahan Sementara dan ULMWP Tidak Akan Bertahan Lama

-

“Tulisan ini menanggapi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pada 1 Desember 2020 yang telah umumkan pemerintahan sementara West Papua.”

Sering kali saya temukan ungkapan semacam ini: “[Siapa pun] yang melawan/menolak ULMWP adalah kolonial Indonesia”.

Saya sering membaca kalimat ini di wall sosial media, juga secara langsung di dalam beberapa diskusi-diskusi.

Mereka yang mengucapkan hal itu adalah orang-orang Papua yang merasa diri pendukung ULMWP. Tetapi entah sadar atau tidak, mereka tidak sadar bahwa akar pemikiran yang melahirkan ungkapan itu akan menjadi senjata kehancuran. Sedang menjadi pedang Samurai yang sedang memotong tiang-tiang penyanggahnya. Dengan begitu akan sendirinya runtuh persatuan di dalam fron persatuan yang disebut ULMWP itu. Sebab ungkapan semacam itu cerminan dari kondisi tidak ada lagi atau semakin retak demokrasi di dalam persatuan. Sehingga pandangannya sedikit memaksa, bersifat komandois.

Artinya kita mesti memahami dan jujur bahwa ULMWP itu semangat berdirinya adalah semangat persatuan. Mendirikannya secara sadar, berdasarkan keputusan bersama, untuk suatu perjuangan yang mengedepankan aksi bersama. Kita uji kebenaran.

Saya memulai dari ULMWP tentang kebenaran fungsionalnya. Hari ini kita mesti jujur melihat ULMWP sebagai wadah persatuan. Sebab itu alasan dan semangat membentuk ULMWP pada 2014, lalu. Setiap organisasi sedang menginginkan terjadinya suatu persatuan nasional gerakan politik Papua Merdeka, lantas momentum desakan forum negara-negara Melanesia atau MSG untuk bersatu sebagai syarat legalitas subyek pengirim proposal hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua. Momentum itu lah semua gerakan bersatu, kumpul di Vanuatu, lalu membentuk ULMWP melalui deklarasi Salarana.

Prinsipnya bersatu untuk Pembebasan nasional. Sehingga, berdasarkan porsi kerja dan basis perjuangannya, ada tiga basis produktif yang terkonsolidasi: gerilya, tentu metode perjuangannya adalah angkat senjata di hutan, lalu sipil dengan perjuangan non kekerasaan dengan metode pengorganisiran, mobilisasi dan aksi massa. Gerakan sipil beroperasi di perkotaan di Papua dan di luar Papua dan ketiga adalah diplomasi yang kerjanya tentu kampanye, juga menggalang pendukung dari terutama masyarakat Internasional, juga lembaga negara, dan organisasi sipil internasional secara luas.

Secara kuantitas, banyak organisasi yang tergabung di dalamnya. Mulai dari gerakan mahasiswa, pemuda, perempuan, gerilya, dan sebagainya. Banyak pula pendukung front persatuan ini. Terutama rakyat West Papua secara luas. Sebab itu sudah menjadi hitung-hitungan rakyat (terutama basis rakyat yang berkesaran maju) sebagai syarat pembebasan nasional rakyat West Papua.

Sehingga kolektif dan disentralisir secara demokratis semua keputusan dan fungsi kontrol maju dan mundurnya front persatuan. Itu prinsip yang paling tertinggi dalam front persatuan. Sehingga tidak ada satu orang/organisasi yang dapat melakukan suatu tindakan yang diluar daripada semua keputusan front yang sudah tersentralisir. Lantas fungsi kontrolnya ada pada semua elemen gerakan yang bersatu dalam front persatuan.

Oleh karena itu mengapa ungkapan “persatuan nasional harus dibangun dengan mengedepankan semangat kritik oto kritik tetapi oganisasi harus melarang dan menjaga kritik yang memicu perpecahan aksi bersama dan kesatuan tindakan”. Disitu semua elemen menjadi pemikir, penggerak, juga pelaku (pejuang). Sehingga esensi dari kritik dan oto kritik organisasi dalam fornt persatuan itu merupakan bentuk daripada merawat kesatuan tindakan dan aksi bersama menuju pembebasan nasional West Papua. Sebab persatuan nasional dalam ULWMP merupakan seruan untuk pembebasan nasional West Papua. Itu batasan persatuannya. Kita bersatu karena merasakan realitas penindasan yang sama, juga punya cita-cita/mimpi yang sama, yakni pembebasan nasional. Oleh karena itu, sejak dalam rahim pergerakan, kita sudah menyepakati bahwa bentuk perlawanan yang dilakukan secara induvidu atau pun organisasi, merupakan cerminan dari pada kebencian terhadpa realitas penindasan. Sehingga itu yang menjadi batasan dan semangat persatuan untuk pembebasan nasional, atau revolusi demokratik.

ULMWP dan Persatuan

Bersadarkan uraian di atas, juga memahami dinamika gerak dalam front persatuan, kita mesti garis bawahi proses yang menyebabkan kemajuan dan kemunduran dalam aksi bersama dan kesatuan tindakan.

Persatuan pergerakan untuk pembebasan West Papua hari ini tentunya kita mesti berdiri dari basis realita yang objektif (materialistis) dan tentu menjadikan pengalaman dalam sejarah sebagai manfaat untuk kemajuan persatuan hari ini.

Realitas penindasan membentuk kesadaran perwalanan rakyat West Papua. Pemberontakan terus terjadi di bumi West Papua. Perlawanan sengit rakyat Papua telah melancarkannya secara spontanitas hingga teroganisir, bahkan aksi-aksi revolusioner dengan masing-masing pola: gerilya, sipil dan diplomat. Ada masyarakat adat, buruh tani, mahasiswa, perempuan, mama-mama pasar, dan sebagainya. Ini lah basis materinya. Sehinga seruan persatuan itu dibikin untuk satukan kekuatan, lalu belajar berjuang bersama.

Dan mestinya pengalaman sejarah. Sekurang-kurangnya dari Dewan New Guine (2061), OPM (1971) terbentuk West Papua National Coalition for West Papua (WPNA) pada 2007, terbentuknya West Papua National and Autority (WPNA); NRFPB (2011), ini merupakan momentum yang tercatat dalam sejarah pergerakan rakyat West Papua, titik-titik proses pembangunan persatuan, lalu pecah (bubar), kembali membangun persatuan, dan begitu siklusnya. Perdebatan dalam proses persatuan ini cenderung pada kemerdekaan yang idealnya adalah bentuk negara, kibarkan bendera, lalu bagi-bagi kekuasaan. Itu akar pemikiran yang mendominasi dalam setiap perdebatan dalam front persatuan. Sehingga substansi perdebatannya adalah konsep organisai persatuan menurut ide faksi ini dan itu, menurut ide organisasi ini dan itu. Sehingga pada fase perpecahannya terjadi saling mengalahkan setiap ide konsep struktur persatuan masing-masing. Lalu kembali gerakan mulai serukan persatuan. Lantas setiap orang bertanya, harus dimulai darimana? Apakah bentuk organisasinya yang harus diubah? Atau seperti apa?

Padahal alat pemersatunya adalah demokrasi. Nafas persatuan juga demokrasi. Sehingga apa pun konsep persatuannya, apa pun bentuk organisasi frontnya, persatuan harus menjunjung tinggi proses-proses yang demokratis.

Prinsip persatuan di gerakan rakyat Papua sudah mulai pudar. Sejak 2017 akhir Prinsip sentralisme demokrasi dan kolektif di dalam persatuan mulai bergeser setalah ULMWP membagi-bagi peran: siapa pemikir, siapa pesuruh, dan siapa buruh kasar/basis massa yang siap kerja tanpa mikir, dan tunggu komando. Pembagian peran fungsional kekuasaan itu terlihat dalam perubahan struktur ULMWP yang mengacu pada konsep Trias Politika, meliputi kekuasaan Eksekutif, legislative, dan Yudikatif.

Perubahan bentuk organisasi front ULMWP dari wadah kordinatif menjadi semi negara yang mengacu pada konsep trias politika tentu menimbulkan perdebatan yang sangat panjang. Perubahan itu bukanlah suatu kemajuan jika dilihat dari prinsip dan semangat awal ULMWP. Perdebatan mulai terjadi di sana. Mengapa? Karena tidak semua organisasi sepakat dengan keputusan perubahan. Eksistensi dari pada sentralisme semokrasinya dipertanyakan. Wajar saja organisasi mengkritiknya sebagaimana fungsi control atas persatuan.

Walau begitu, kritikan tidak membawa pengaruh atas semua perubahan. ULMWP justu membikin West Papua Army (WPA), yang belakangan muncul perdebatan antar-organisasi gerilya.

Lalu akhir 2020 ini ULMWP mulai mendorong konsep Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). UUDS tersebut tidak sama sekali diketahui sebagian organisasi yang tergabung dalam ULMWP, juga rakyat pejuang Papua pada umumnya. Orang bertanya seperti apa UUDS itu? Siapa yang menggagas? Apa kah itu keputusan dan kesepakatan bersama fornt persatuan tentang konsep UUDS itu? Lalu apa kepentingan dan manfaat bagi front persatuan dalam aksi bersama dan kesatuan tindakan? Taka ada yang menjawab selain diharuskan untuk menyepakati.

Jawabnya, “ikut saja” ketika disodorkan sejumlah pertanyaan di atas. Apa bedanya dengan Undang-Undang Omnibus Law hari ini? Rezim tak mau membuka drafnya ketika rakyat tanya draf UU-nya.

Lalu dianggap tidak mendukung ULMWP ketika dikritik. Lantas menstigma pro NKRI bagi mereka/kelompok/organisasi yang dianggap tidak mendukung ULMWP. Sama seperti relawan Jokowi yang suka polisikan siapa pun yang mengkritik pemikiran presiden.

Padahal kebenaran sikap kritik organisasi anggota ULMWP terhadap persatuan dan dinamikanya di atas, itu merupakan cerminan daripada keputusan front yang tidak disepakati secara demokratis. Lantas Kritik itu juga merupakan tindakan memupuk persatuan. Sebab persatuan itu tidak menjamin “semua harus sama, sehati, sepikiran.” Mengapa? Karena persatuan itu bentuk dari perkumpulan orang-orang, organisasi yang berbeda-beda secara prinsipil (isi otak organisasinya). Sehingga membutuhkan demokrasi dalam front persatuan tersebut sebagai alat pemersatu. Jadi alat pemersatu itu bukan bentuk konsep persatuan yang mengacuh pada trias politika atau wadah kordinatif. Alatnya adalah demokrasi. Demokrasi sebagai nafas persatuan.

Sehingga perpecahan tentu mulai terjadi ketika sentralisme demokrasinya disingkirkan oleh napsu menjadi penguasa. Tiang-tiangnya penyangganya sudah mulai retak ketika memaksakan organisasi lain sepakati keputusan yang tidak disepakati bersama. Lentera persatuannya mulai redup ketika front persatuan hanya hadir untuk kepentingan pemikiran sebagian organisasi.

Kini ULMWP sudah menunjukan struktur semi negara setelah NRFPB (2012). Membentuk Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) dan bahkan tepat 1 Desember 2020 atas nama ULMWP, Beny Wenda mengumumkan negara sementara West Papua secara terbuka di media-media nasional dan internasional. Kini mulai menunjukan embrio borjuis (penguasa) dalam gerakan persatuan untuk pembebasan nasional, dan juga rakyat biasa. Negara Republik Indonesia yang menerapkan konsep Trias Politika selalu berdiri sebagai lembaga yang suka menentukan kebahagiaan rakyat tanpa memahami kemauan rakyat. Negara pasang kuping telinga dan mata lewat lembaga-lembaga non pemerintah dan institusi-institusi lainnya. Lantas Negara pula membuat berbagai aturan, lalu menggerakan militer untuk merepresi rakyat untuk mengamankan kepentingan pemodal. Sehingga semangat persatuan di ULMWP hanya untuk membentuk Negara West Papua beserta konstitusinya, lalu apa program perjuangan rakyat West Papua untuk keluar dari penindasan? Apakah dengan berdirinya negara West Papua akan menjamin keselamatan dan kebebasan rakyat West Papua dari cengkraman kolonialisme Indonesia dan kapitalisme?

Lalu apa yang kita perjuangkan? Negara atau kemanusiaan? Lalu negara bisa jamin keselamatan dan menjunjung tinggi kemanusiaan?

Medan Juang, 1 Desember 2020

Yohanes Gobai
Penulis adalah wartawan thepapuajournal.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan