Ekopol Harapan Kesejahteraan, Tuntutan, dan Kecemasan Orang-Orang Mbaham-Matta: Laporan Dampak...

Harapan Kesejahteraan, Tuntutan, dan Kecemasan Orang-Orang Mbaham-Matta: Laporan Dampak Pembangunan Jalan TransBomberai di Kabupaten Fak-Fak

-

Oleh : Waldine Praxedes Meak

Sumber Tulisan, buku; Berhala-berhala Infrastruktur (Potret dan Paradigma Pembangunan Papua di Masa Otsus), diterbitkan oleh ELsam Jakarta pada Desember 2020,  6 Esai dari Peneliti dan Penulis Muda Papua.

  1. Pendahuluan

Awal Oktober 2013, di hadapan 1.200 pejabat eksekutif perusahaan dan berbagai kepala negara di acara Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kerjasama Asia Pasifik (APEC) yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menutup pidato pembukaanya dengan pernyataan yang lugas dan terang-terangan tentang masa depan pembangunan Indonesia. “Dalam waktu 14 tahun ke depan,” kata SBY, demikian biasa presiden dipanggil, “kami menargetkan 460 miliar US$ untuk investasi di 22 kegiatan ekonomi utama, yang terintegrasi dalam delapan program, yang mencakup pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata dan telekomunikasi.” Apa yang dikatakan SBY sesungguhnya sudah dimulai oleh pemerintahannya sejak dua tahun sebelumnya melalui megaproyek bernama Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Program pembangunan unggulan Pemerintahan SBY tersebut diluncurkan secara publik pada tanggal 27 Mei 2011 setelah tujuh hari sebelumnya mendapatkan landasan legal-formal melalui Peraturan Presiden No.32 tahun 2011.

Hampir setahun setelah pidato SBY di Nusa Dua, tepatnya menjelang dilantiknya Joko Widodo (Jokowi) menjadi Presiden Indonesia ketujuh pada September 2014, kabar mengenai ketidakjelasan masa depan proyek MP3EI muncul di media. Satu pemberitaan menyebut bahwa Presiden Jokowi kemungkinan tidak melanjutkan proyek tersebut, sementara pemberitaan yang lain menyebutkan proyek akan dilanjutkan dengan beberapa penyesuaian (Kuado, September 05, 2014; Rini, September 05, 2014). Secara resmi, proyek MP3EI memang tidak dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo. Meskipun demikian, melalui skema dan proyek pembangunan nasional yang baru, sebagian besar rencana pembangunan infrastruktur MP3EI tetap dilanjutkan (Sari, December 18, 2014).

Salah satu proyek pembangunan infrastruktur utama yang dilanjutkan adalah pembangunan Jalan Transbomberai di Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana pembangunan Jalan Transbomberai berdampak dan mempengaruhi kehidupan orang-orang Mbaham-Matta, suku asli Papua yang tinggal di sepanjang Jalan Transbomberai di Kabupaten Fak-Fak, sejak proyek pembangunan Jalan Transpapua Barat diklaim selesai tersambung seluruhnya pada 2018 (Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR, February 28, 2018). Dalam mengerjakan tulisan ini, penulis melakukan wawancara dan pengamatan lapangan yang dilakukan selama 3 kali pada bulan November 2019 dan Januari dan Februari 2020 di beberapa kampung di Distrik Kayuni, Mbahamdandara, Kramongmongga, dan Kokas.

  1. Jalan Transbomberai dan Kehidupan Orang Mbaham Matta

Ketidakjelasan masa depan proyek pembangunan Jalan Transbomberai, menyusul suksesi politik yang berujung wacana dibatalkannya proyek MP3EI tidak pernah berarti apa-apa bagi masyarakat Suku Mbaham-Matta. Alasannya tentu saja karena pembangunan jalan nasional yang menjadi bagian dari Jalan Transpapua itu seperti tidak pernah terpengaruh apapun oleh momen politik tersebut. Pembangunan jalan yang membelah ruang hidup mereka terus berlanjut, sementara orang-orang Mbaham-Matta tidak memiliki daya apapun untuk turut menentukan apa yang tengah dibangun di atasnya.

Situasi semacam itu, bagi orang-orang Mbaham-Matta yang tinggal di sepanjang jalan Trans-Bomberai bukanlah hal yang baru. Paulus Haremba, mantan Kepala Kampung Kramonmongga, masih mengingat betul bagaimana pembangunan jalan yang kemudian diperbaiki melalui proyek pembangunan Jalan Trans Fakfak-Bomberai dimulai ketika Suharto sedang kuat-kuatnya, yakni pada tahun 1985. “Sebagai warga masyarakat pada saat itu kami tidak dilibatkan dalam proses pembangunan jalan ini,” kata Haremba. Padahal menurutnya, pembangunan jalan telah mengorbankan hak ulayat masyarakat Mbaham-Matta, menghancurkan tanaman, dan mata air tanpa ganti rugi. Masyarakat Mbaham-Matta memang waktu itu tidak menuntut ganti rugi karena berpikir bahwa jalan itu akan bermanfaat buat mereka. Bahwa dengan adanya jalan tersebut pemerintah akan lebih perhatian kepada penghidupan masyarakat Mbaham-Matta.  Pada tahun 1997, jalan tersebut diaspal ulang (interview with P. Heremba, 2020, January 31).

Pengorbanan orang-orang Mbaham-Matta dalam pembangunan jalan tersebut tidak sebatas materiil. Jalur yang hari ini dilalui oleh jalan nasional tersebut memiliki makna historis penting dalam benak masyarakat Mbaham-Matta. Soleman Herietrenggi, warga Kampung Kwamkwamor, Distrik Kramongmongga, menceritakan jalur yang sekarang dilewati oleh Jalan Trans Fakfak-Bomberai dulunya merupakan jalur-jalur tradisional berupa jalan-jalan setapak yang dirintis oleh para tetua Masyarakat Mbaham-Matta yang hidup di deretan pegunungan Mbaham. Jalur-jalur tersebut membelah hutan, menghubungkan orang-orang Mbaham Matta dengan kawasan-kawasan ekonomi utama di pesisir sebelah selatan seperti Kampung Gewerpe (Distrik Fakfak), Kampung Air Besar dan Kelurahan Danaweria (Distrik Fakfak Tengah). Saking pentingnya, Suku Mbaham-Matta memiliki sebutan khusus untuk jalur-jalur ini berdasarkan rute tujuannya. Masyarakat Suku Mbaham di sekitar Distrik Kayauni dan Kokas, misalnya, menyebutnya sebagai Wambar Qpara Wri Seng dan memakai jalur ini untuk mencapai wilayah yang hari ini menjadi pusat Kota FakFak. Suku Mbaham yang menetap di Kampung  Nebuktep, Distrik Kramongmongga memiliki nama lain, yakni Sikamur untuk menunjukkan jalur ke wilayah Kampung Air Besar di pesisir pantai, tempat mereka mengunakan perahu untuk mencapai pusat Kota FakFak (interview with S. Herietrenggi, 2019, November 11).  Lebih dari itu, tanah memiliki fungsi fundamental dalam kehidupan orang-orang Mbaham-Matta.

Tanah[1], sebagaimana dijelaskan oleh, Demianus Tuturop, Sekertaris Dewan Adat Mbaham-Matta FakFak, sebanding maknanya dengan mama atau ibu—dalam bahasa setempat dikenal sebagai “nou”. Karenanya, tanah, temasuk juga hutan dan sungai/laut menempati posisi penting yang menopang struktur tradisional masyarakat Mbaham-Matta. Tidak hanya sebagai simbol yang menentukan posisi klan atau marga, tanah juga membawa jati diri dan harga diri setiap klan. Tanpa tanah milik satu klan, seorang anggota klan akan dianggap sebagai “orang-orang yang terbawa arus dan mengambang”. Dari tanah komunal milik klan itulah, orang-orang Mbaham-Matta mempunyai hak untuk membuka lahan dan menanami tanaman musiman untuk konsumsi rumah tangga.[2] Orang yang bukan anggota dari klan hanya dapat memohon kepada kepala klan untuk mendapatkan hak untuk menggunakan lahan komunal, dan bukan untuk memiliki lahan tersebut. Sungai, pepohonan, padang rumput, bukit dan lain-lain biasanya merupakan batas dari penguasaan lahan dari klan. Apabila ada kebutuhan bagi keluarga yang tidak mempunyai hubungan darah dengan suatu klan, untuk menggunakan lahan milik klan tersebut diperlukan ijin menggunakan lahan dengan membayar kompensasi lahan dan tanaman-tanaman di atasnya.

Tanah bagi orang-orang Mbaham-Matta juga memiliki fungsi spiritual. Bagi mereka, tanah ibarat rumah yang memberikan perlindungan dan tempat tinggal bagi arwah para leluhur yang membentuk kekuatan bagi kehidupan manusia. Pada saat yang sama, tanah juga dianggap sebagai tempat bagi para roh jahat, seperti misalnya di tempat-tempat terlarang atau tabu di mana para penyihir jahat senantiasa menakut-nakuti dan membuat bencana atau kejahatan (interview with D. Tutorop, 2020, February 21).

Lantaran fungsinya tersebut, orang-orang Mbaham-Matta sangat berhati-hati dalam menjaga dan melindungi tanahnya. Setiap proses pengelolaan tanah harus mengikuti hukum-hukum tradisional yang dimiliki oleh suku untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan roh yang menghuni tanah Mbaham-Matta. Segala tindakan yang menghancurkan atau merusak tanah, hutan, dan lingkungan hidupnya diibaratkan sama dengan tindakan yang menghancurkan Suku Mbaham-Matta.

III.              Harapan Kesejahteraan, Tuntutan, dan Ancaman

 

  1. Harapan Kesejahteraan

Proyek pembangunan Jalan Transbomberai masuk ke Kampung Kriawaswas, Distrik Kokas pada tahun 2009. Amos Wagab (36 tahun), warga Kampung Kriawaswas, salah satu kampung di Distrik Kokas, mengingat betul bahwa proyek itu bukan proyek yang berjalan mulus. “Ada konflik horizontal antara warga dengan kepala kampung (dan) antara kepala kampung dan pimpinan perusahaan,” ujarnya sambil menyebut nama perusahaan milik pemerintah daerah yang memenangkan tender pembangunan jalan di kampungnya (interview with A. Wagab, 2020, August 18).

Penulis menghubungi Amos Wagab dalam rangka mengonfirmasi keterangan yang penulis peroleh selama proses pencarian data. Pendamping komunitas yang bekerja untuk Lembaga Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Pos Kontak Fakfak tersebut memiliki pengalaman panjang bekerja di kampung-kampung yang menjadi lokasi pembangunan Jalan Transbomberai, terutama yang terletak di Distrik Kokas dan Bomberay. Dari keterangannya perihal konflik yang mengiringi pembangunan Jalan Transbomberai di ataslah kemudian penulis mendapati bahwa persoalan tersebut hari ini sudah jarang diingat oleh orang-orang Mbaham Matta, setidaknya oleh orang-orang yang penulis wawancarai dan temui di lapangan. Mayoritas warga yang penulis temui hanya mengingat soal perubahan sosio-ekonomi yang ditimbulkan oleh pembangunan Jalan Transbomberai—perubahan ini terkait dengan harapan kesejahteraan yang telah muncul sejak rintisan proyek Jalan Transbomberai di mulai pada masa orde baru.

Hengki Rorohmana, warga sekaligus petani dari Kampung Kayuni di Distrik Kayauni, misalnya, mengaku bahwa dulu, sebelum ada pembangunan Jalan Transbomberai, dirinya kesulitan untuk membawa hasil kebunnya ke kota Fak-Fak. “Dulu, kalau tidak ada taksi, penulis biasa menumpang truk perusahaan untuk membawa (hasil kebun) ke kota,” kata Hengki. Taksi adalah sebutan warga lokal untuk angkutan umum berjenis carry. Dulu, sebelum ruas jalan diperbaiki oleh pemerintah melalui program Jalan Transbomberai, taksi hampir tidak pernah mampir ke Kayuni. Setelah jalan dibangun, Hengki mengaku bisa rutin membawa hasil kebun ke kota dengan menggunakan taksi dengan ongkos pengeluaran yang lebih sedikit (interview with H. Rorohmana, 2020, February 21) .

Seorang Mama yang penulis temui di Kampung Pik-Pik, tetangga Kampung Kayuni, membawa cerita lain soal akses transportasi. Martha Tigtigweria, mama tersebut, mengeluhkan kesulitan yang ia alami untuk mencapai Kota FakFak. Ia mengakui bahwa kondisi jalan pasca selesainya proyek Jalan Transbomberai memang jauh lebih bagus. Meskipun demikian, kondisi jalan tersebut tidak ditunjang dengan ketersediaan angkutan umum yang memadai (interview with M. Tigtigweria, 2020, January 31).

Baik Kampung Kayauni maupun Pikpik sebenarnya memiliki problem transportasi yang serupa. Di kedua wilayah ini secara resmi tidak ada trayek taksi.[3] Meskipun demikian, taksi bisa diakses oleh warga berkat sopir-sopir taksi yang tinggal di kedua kampung tersebut. Jumlahnya tentu saja tidak banyak. Di Kampung Pikpik, misalnya, penulis mendapati jumlah taksi dan pengemudi sebanyak 4 buah. Taksi ini dalam sekali perjalanan mampu memuat 6 orang ditambah dengan barang-barang yang diangkut dari dan ke pasar.  Dalam sehari, taksi-taksi ini biasanya akan bolak-balik sebanyak 4 kali, dengan lama waktu sekali perjalanan 1,5 jam. Artinya, dalam satu hari taksi-taksi ini hanya mampu mengangkut 24 orang. Padahal kebutuhan pengguna taksi tidak hanya untuk warga Kampung Pikpik, melainkan juga untuk warga Kampung Kwamkwamor dan Kampung Bahbadan.[4]

Minimnya ketersediaan angkutan umum dalam beberapa kasus berhasil diakali dengan cara bergantian memesan jatah kursi ke supir. Cara ini memungkinkan lebih banyak orang menjual hasil bumi ke pasar, dengan tarif yang juga wajar, yakni Rp. 25.000 per kepala.[5] Meskipun demikian, karena cara ini tidak mampu mencukupi kebutuhan seluruh penduduk di kampung-kampung yang dilewati taksi, beberapa warga menyiasati dengan cara lain, salah satunya dengan menumpang truk milik perusahaan sawit dari Bomberai yang rutin melewati kampung mereka (interview with K. Hegemur, 2020, January 31). Sayangnya, cara-cara kreatif ini sering tidak berguna ketika sudah memasuki hari-hari besar keagamaan. Di hari-hari keagamaan ini warga membutuhkan kendaraan untuk keluarga dan tidak sekedar menjual hasil bumi, melainkan juga berbelanja kebutuhan-kebutuhan dalam jumlah besar. Albertina Herietrenggi, warga Kampung Kwamkwamor, bercerita bahwa pada saat-saat menjelang natal, seringkali warga mesti menyewa taksi dengan harga yang jauh lebih mahal, Rp. 1.000.000 untuk pulang pergi dari Kwamkwamor ke pusat kota. Harga yang tidak masuk akal ini terpaksa diterima karena hanya itulah alternatif kendaraan yang tersedia (interview with A. Herietrenggi, 2020, February 21).

Cerita di atas sedikit banyak mewakili gambaran lebih besar dari persoalan kurangnya transportasi umum di kampung-kampung yang terlewati Jalan Transbomberai. Sebagai perbandingan, penulis mencoba menghitung jumlah kendaraan umum yang beroperasi di lokasi penelitian, selain kampung yang sudah disebutkan di atas. Distrik Kokaas, seperti di Kampung Mambuniibuni, Kriawasawas, dan Kinam, misalnya hanya ada 1 taksi yang melayani kebutuhan warga. Beberapa kampung bahkan tidak memiliki akses angkutan umum sama sekali. Di Kampung Wabung, Wos, Mangmangkandak, dan Mitimber, misalnya, masing-masing hanya tersedia 1 mobil pick-up milik warga yang dioperasikan laiknya angkutan umum. Demikian pula di Kampung Waremu dan Kampung Goras, Distrik Mbahamdandara, yang masing-masing hanya mempunyai 1 truk dan 1 mobil ranger yang dipakai sebagai alat transportasi umum darurat buat warga.[6]

Penting untuk dikatakan bahwa isu ketersediaan angkutan umum ini tidak bisa dibilang sepele. Mayoritas orang-orang Mbaham-Matta di sepanjang jalan Trans-Bomberai hidup dari hasil kebun mereka yang ditanami tanaman jangka pendek (sayuran dan umbi-umbian), menengah (buah-buahan) dan panjang (durian, langsat, rambutan, dan pala).[7] Malahan, dengan beragamnya diversifikasi hasil pertanian orang-orang Mbaham-Matta di sekitar Transbomberai, kebutuhan angkutan umum yang bisa diakses secara murah, tidak terbatas pada angkutan umum manusia (taksi) yang dalam  difungsikan  juga untuk mengangkut hasil bumi orang-orang Mbaham-Matta di sekitar Jalan Transbomberai. Kebutuhan angkutan umum barang ini nampak terang ketika musim panen buah dan pala tiba.

Hery Jose Tigtigweria, salah satu petani pala di Kampung Bahbadan Distrik Kramamongga, terpaksa memilih mengundang pedagang pengepul. Upaya itu dilakukan secara kolektif dengan petani lain di kampungnya. Cara ini dinilai paling efektif karena mustahil mengangkut pala dalam jumlah besar dengan taksi—sama susahnya jika para petani pala tersebut mengupayakannya dengan menumpang truk perusahaan. Dengan cara ini Hery dan para pekebun lain di Kampung Bahbadan mesti menerima harga yang lebih murah ketimbang mengangkutnya secara langsung ke kota(interview with H. J. Tigtigweria, 2020, January 31).

Selain mengundang pengepul, beberapa petani lain menempuh cara yang lebih tidak ekonomis, yakni menyewa pick-up. Untuk menggunakan moda angkutan ini, warga mesti membayar biaya sewa sebesar Rp. 1.500.000 untuk sekali angkut (interview with A. Hindom, 2020, February 21). Tambahan harga sebesar Rp. 500.000 dikenakan apabila mobil disewa oleh dua petani. Penulis menemukan bahwa harga sewa ini, sebagaimana harga taksi, juga bisa berubah-ubah. Ada kasus di mana jika penyewa memiliki hubungan kekeluargaan, harga sewa turun menjadi Rp. 1.000.000. Perubahan juga berlaku mengikuti harga komoditas hasil panen di kota. Kenaikan harga akan dikenakan apabila harga komoditas juga naik di pasaran.

 

  1. Tuntutan dan Kecemasan[8]

Ketiadaan fasilitas transportasi publik layak untuk melengkapi keberadaan Jalan Transbomberai bukannya tidak pernah dipersoalkan. Tahun 2018, dua tahun setelah jalan mulai dipakai oleh masyarakat, ELSHAM Pos Kontak Fakfak berusaha menyampaikan kesulitan yang dialami warga ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Fakfak dan Bupati. Upaya tersebut untuk keempat kalinya dilakukan pada awal November 2019. Namun, semua upaya tersebut kandas tanpa pernah mendapatkan jawaban.

Apa yang dilakukan ELSHAM Pos Kontak FakFak bukan satu-satunya tuntutan yang pernah disampaikan kepada pemerintah.

Warga Mbaham-Matta di sepanjang Jalan Transbomberai juga telah menempuh cara lain untuk mengutarakan tuntutan dan keluhannya kepada pemerintah daerah. Mereka berulang kali mendesak kepala kampung untuk menyampaikan tuntutan melalui kepala kampung agar disampaikan kepada Lembaga adat. Secara sporadis, malahan warga beberapa kali mengadakan pertemuan dengan anggota-anggota DPRD yang dianggap masih memiliki hubungan kekekerabatan. Tapi cara tersebut sama saja menemui jalan buntu.

Tidak adanya tanggapan dan tindakan pemerintah atas tuntutan dan keluhan warga sebenarnya bukan hal yang baru.

Di bagian sebelumnya, penulis mengutip sepintas pernyataan Amos Wagab mengenai konflik yang mengiringi proses awal pembangunan Jalan Transbomberai. Konflik yang terjadi hampir di setiap kampung yang terlewati Jalan Transbomberai tersebut, menurut Amos, berlangsung cukup lama dengan akar konflik yang seragam: ganti rugi. Meski telah berdiri di atas jalan lama yang telah dibangun sejak orde baru, proyek Jalan Transbomberai mensyaratkan perluasan badan jalan, dan ini mensyaratkan penebangan tanaman jangka panjang milik warga di sepanjang jalan. Penebangan ini seringkali dilakukan secara sepihak tanpa mengonfirmasi siapa pemilik lahan. Dalam kasus yang terjadi di Kampung Kriawaswas, kampung tempat tinggal Amos Wagab, perusahaan pemenang tender hanya berkoordinasi dengan pemerintah kampung dan Baperkam. Ini membuat kemudian warga pemilik tanaman jangka panjang bersitegang dengan pemilik kampung.

Ketegangan yang terjadi, meskipun demikian, tidak pernah tereskalasi menjadi protes besar. Konflik-konflik yang terjadi secara sporadis tersebut, entah kenapa, menguap begitu saja tanpa ada kejelasan proses ganti ruginya sampai sekarang. Warga, menurut Amos, “terpaksa merelakan saja agar pembangunan tetap berjalan.” Pemerintah daerah, seperti kemudian juga dilakukan dalam merespon tuntutan warga pasca jalan selesai dibangun, juga tidak pernah berusaha untuk memenuhi tuntutan warga. Penulis menduga, tidak adanya eskalasi protes dari warga salah satunya dikarenakan pandangan warga tentang pentingnya perbaikan jalan bagi mereka. Seperti simalakama, warga dihadapkan pada hambatan pembangunan jalan yang terang memang mereka butuhkan untuk peningkatan taraf ekonomi apabila mengonsolidasikan tuntutan ke dalam gelombang protes yang lebih besar.

Sikap diam pemerintah tersebut dalam jangka waktu yang panjang, menurut penulis, berpotensi menimbulkan masalah baru yang lebih serius ke depannya, yakni kenaikan sentimen penduduk asli, orang-orang Mbaham-Matta, terhadap para pendatang.

Dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana dituturkan Amos Wagab, berkembang kasak-kusuk di masyarakat perihal perlakuan diskriminatif pemerintah daerah terhadap orang-orang Mbaham-Matta. Mereka beranggapan bahwa pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan orang-orang pendatang, terutama orang-orang yang tinggal di wilayah Satuan Pemukiman di Distrik Bomberay. Alasannya adalah mereka merasa kehidupan orang-orang pendatang lebih baik dari orang-orang Mbaham-Matta selaku Orang Asli Papua (OAP). Beberapa kasak-kusuk lebih jauh mempertanyakan ke mana kesejahteraan yang dibawa oleh dana otonomi-khusus—alih-alih menyejahterakan OAP, dana otsus dipandang lebih menguntungkan pendatang.

Tentu saja kasak-kusuk dan dugaan yang berkembang di masyarakat tersebut tidak ditopang bukti apapun. Meskipun demikian, bukan berarti kasak-kusuk dan dugaan tersebut tidak berarti apapun. Sejak selesainya selesainya proses pembangunan Jalan Transbomberai, kendaraan-kendaraan pribadi, terutama kendaraan pengangkut barang milik atau yang dikemudikan para pendatang yang terkonsentrasi di wilayah Bomberai memang terlihat lebih sering melintas. Kendaraan-kendaraan ini mengangkut hasil pertanian dan perkebunan yang diusahakan oleh para pendatang. Pemandangan semacam itu tak pelak demikian kontras dengan kesusahan orang-orang Mbaham-Matta dalam mengangkut hasil pertanian mereka. Kesenjangan semacam inilah yang menurut penulis kemudian memicu kemunculan sentimen terhadap pendatang. Kesenjangan dan sentimen yang sama bukan tidak mungkin akan menular pada pandangan orang-orang Mbaham-Matta dalam melihat kasus turunan yang muncul pasca difungsikannya Jalan Transbomberai oleh pemerintah: kecelakaan.

Beroperasinya Jalan Transbomberai, telah membuat orang-orang Mbaham-Matta menyaksikan perubahan cara berkendara para pengemudi yang melintasi jalan tersebut. Kondisi jalan yang mulus dan mendapatkan perawatan secara rutin membawa peningkatan kecepatan kendaraan yang melintas. Kecepatan mobilitas ini, sayangnya, memunculkan banyak kasus kecelakaan dan penabrakan ayam atau anjing milik OAP. Yang paling dirugikan dari semua kasus kecelakaan penabrakan ini, menurut Amos, adalah OAP, karena korban banyak jatuh di pihak mereka.

Selama di lokasi penelitian, penulis juga mendapati cerita soal kecelakaan yang dialami oleh OAP atau binatang ternak atau peliharaan milik OAP. Kasus-kasus ini menurut warga yang penulis temui terjadi dalam berbagai faktor, salah satunya tertabrak oleh mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi.  Tidak ada data valid yang bisa mengonfirmasi angka dan proporsi kasus kecelakaan ini. Meskipun demikian, keterangan Amos soal OAP yang paling dirugikan dalam kasus kecelakaan tersebut masuk akal jika mempertimbangan keberadaan Jalan Transbomberai yang berdiri di tengah-tengah pemukiman mereka dan kebanyakan pengemudi kendaraan pribadi maupun umum adalah orang-orang pendatang.

Apapun itu, yang lebih penting untuk dicermati sebenarnya adalah soal bagaimana kasus-kasus kecelakaan ini direspon oleh aparat penegak hukum.

Menurut Amos, kasus-kasus kecelakaan yang ditangani kepolisian sering berakhir tanpa kejelasan. Demikian pula dengan pemerintah daerah yang tidak terlihat mengupayakan hal yang serius untuk memastikan bagaimana seharusnya Jalan Transbomberai digunakan secara aman dan tidak malah membawa ancaman baru bagi orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Padahal, kedua hal di atas penting dilakukan di satu sisi, untuk mengantisipasi munculnya sentiment OAP versus pendatang, dan di sisi lain untuk memastikan OAP; orang-orang yang tinggal di sepanjang Jalan Transbomberai ini tidak hidup di bawah bayang-bayang ketakutan, sebagaimana dialami oleh Donatus Tanggahma, warga Kampung Kramamongga. “Halaman rumah saya berhadapan dengan jalan raya, terkadang saya merasa takut, kalo anak-anak harus main sampai ke jalan raya karena bisa tertabrak kendaraan.”

  1. Penutup

Proyek infrastruktur Jalan Transbomberai, yang merupakan kelanjutan proyek pembangunan Orde Baru, datang dengan membawa harapan perbaikan kesejahteraan bagi orang-orang Mbaham-Matta, suku asli Papua di Kabupaten Fakfak. Harapan ini muncul bukan tanpa sebab. Merekalah, orang-orang Mbaham-Matta, yang sejak semula telah berkorban tidak hanya secara materiil, berupa tanah dan pohon-pohon di atasnya, tapi juga non-materiil berupa sejarah kolektif dan perubahan sosio-kultural. Sayangnya, harapan tersebut tidak serta-merta terpenuhi seiring dengan selesainya proyek pembangunan jalan.

Di luar dari perkara pemenuhan hak dan realisasi harapan orang-orang Mbaham-Matta, kisah dari pembangunan Jalan Transbomberai di kampung-kampung orang Mbaham-Matta ini penting untuk dicermati karena menunjukkan bagaimana proyek pembangunan yang masih menyisakan pemenuhan hak-hak OAP dengan mulus bisa terealisasi karena tekanan kondisi sosio-ekonomi yang terjadi selama bertahun-tahun. Meskipun demikian, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian ini, mulusnya proyek pembangunan Jalan Transbomberai di Kabupaten Fakfak sama sekali bukan tanpa masalah. Pembangunan jalan baru tanpa program lanjutan untuk menyejahterakan OAP pada akhirnya berpotensi membangun sentimen OAP terhadap pendatang, sehingga alih-alih menyejahterakan semua orang, terutama OAP, pembangunan jalan ini bukan tidak mungkin ke depannya akan menyulut api dalam sekam.

 

 

  1. Daftar Pustaka

Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR. 2018. “Jalan Trans Papua Barat 1.070 Km Tersambung.” February 28. Accessed August 26, 2020. https://www.pu.go.id/berita/view/15371/jalan-trans-papua-barat-1-070-km-tersambung.

Hegemur, Katerina. 2020. Interview by W. P. Meak. January 31, 2020. Kampung Mambuniibuni.

Heremba, Paulus. 2020. Interview by W. P. Meak. January 31, 2020. Kampung Kramongmongga.

Herietrenggi, Albertina. 2020. Interview by W. P. Meak. February 21, 2020. Kampung Kwamkwamor.

Herietrenggi, Soleman. 2019. Interview by W. P. Meak. November 11, 2019. Kampung Kwamkwamor.

Hindom, Alida. 2020. Interview by W. P. Meak. February 21, 2020. Kampung Kriawaswas.

Kuado, Januarius F. 2014. “Jokowi Isyaratkan Tak Lanjutkan Program MP3EI Dalam Pemerintahannya.” Kompas.com, September 5. Accessed August 04, 2020. https://nasional.kompas.com/read/2014/09/05/17485041/Jokowi.Isyaratkan.Tak.Lanjutkan.Program.MP3EI.dalam.Pemerintahannya.

Lefaan, Ina S., and Heppy L. Lelapary. 2015. Jati Diri Perempuan Asli Fakfak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pemerintah Kabupaten Fakfak. 2020. “Pekerjaan Umum.” Accessed September 23, 2020. https://fakfakkab.go.id/?page_id=357.

Rini, Annisa S. 2014. “Jokowi Siap Lanjutkan MP3EI Dengan Perubahan.” bisnis.com, September 5. Accessed August 04, 2020. https://ekonomi.bisnis.com/read/20140905/9/255407/jokowi-siap-lanjutkan-mp3ei-dengan-perubahan.

Rorohmana, Henki. 2020. Interview by W. P. Meak. February 21, 2020. Kampung Kayuni.

Sari, Elisa V. 2014. “Jokowi Ganti Istilah MP3EI Karena Berbau Politis.” cnnindonesia.com, December 18. Accessed September 15, 2020. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141218132635-92-19063/jokowi-ganti-istilah-mp3ei-karena-berbau-politis.

Tigtigweria, Hery J. 2020. Interview by W. P. Meak. January 31, 2020. Kampung Pikpik.

Tigtigweria, Martha. 2020. Interview by W. P. Meak. January 31, 2020. Kampung Pikpik.

Tutorop, Demianus. 2020. Interview by W. P. Meak. February 21, 2020. Kelurahan Fakfak Selatan.

Wagab, Amos. 2020. Interview by W. P. Meak. August 18, 2020.

[1] Penjelasan tentang hubungan tanah dan Suku Mbaham Matta yang disarikan oleh penulis dari wawancara dengan Demianus Tutorop juga direkam oleh (Lefaan and Lelapary 2015).

[2] Kelompok Masyarakat adat Suku Mbaham-Matta mengakui tiga hak tradisional dalam hubungannya dengan kewenangan dan kepemilikan dan penggunaan tanah, yaitu :

  1. Hak anak untuk mewarisi hak atas lahan, yakni hak menanam pepohonan seperti pala dan pohon buah-buahan yang diwariskan melalui orang tua laki-laki. Meskipun demikian, anggota klan yang senior yang akan memutuskan pengalihan hak atas lahan tersebut kepada anaknya. Sebagai catatan, anak perempuan Mbaham-Matta hanya dapat menerima hak guna lahan yang diwariskan.
  2. Hak untuk memberikan ijiin untuk mengelola lahan. Hak ini mengatur pemberian izin pengelolaan tanah kepada kelompok suku etnis kepada orang di luar klann, untuk memenuhi kebutuhan keluarga orang tersebut. Pemberian hak ini terbatas hanya untuk aktivitas produksi, dan bukan untuk tujuan membangun kehidupan di atas lahan.
  3. Hak untuk mengkonsumsi: Hak ini dimiliki oleh seorang laki-laki untuk mewariskan kepemilikan lahannya kepada anaknya yang tertua. Dalam prakteknya, pembahasan tentang penggunaan hak ini di level keluarga diperlukan untuk menghindari munculnya konflik.

[3] Di laman resmi Pemerintah Kabupaten Fakfak, meskipun demikian, disebutkan keberadaan trayek taksi yang melintasi Distrik Kramomongga dan Distrik Kokas (Pemerintah Kabupaten Fakfak 2020). Meskipun demikian, berdasarkan wawancara dengan beberapa warga, mereka berkesimpulan bahwa trayek taksi tidak melewati kampung mereka. Pernyataan ini kemungkinan besar muncul karena tidak adanya taksi yang melewati kampung mereka secara reguler, selain fakta bahwa mereka bisa mengakses taksi karena hubungan personal dengan sopir yang tinggal di wilayah mereka.

[4] Dalam kunjungan penulis ke Kampung Kayuni, penulis sempat menanyakan jumlah mama-mama yang ada di kampung tersebut. Perkiraan angka yang berhasil penulis dapatkan adalah ada sekitar 50-an mama-mama tinggal di Kampung Kayuni. Dengan perkiraan kampung-kampung lain memiliki jumlah mama-mama yang kurang lebih sama saja, angka ketersediaan taksi jauh dari cukup.

[5] Tarif ini sesungguhnya tidak tetap, tergantung hubungan antara penumpang dan supir, juga kadang-kadang menurut beberapa mama, suasana hati supir. Di hari-hari baik, penumpang tidak dikenakan biaya angkut oleh supir, tapi ada waktu di mana supir menarik bayaran untuk sayur-mayur dan umbi-umbian yang dibawa ke pasar. Meskipun demikian, tidak jarang juga mama-mama sendiri yang secara murah hati memberi tambahan ongkos kepada supir.

[6] Mayoritas jalan (51,03 %) di Kabupaten Fakfak, per tahun 2018, berada dalam  kondisi rusak. Seluruh jalan yang rusak tersebut berada di jalan provinsi (Pemerintah Kabupaten Fakfak 2020) Mengacu data ini, besar kemungkinan kampung-kampung di luar Jalan Transbomberai memiliki akses transportasi lebih buruk.

[7] Penulis tidak berhasil mendapatkan data empiris terkait proporsi pekerjaan orang-orang Mbaham-Matta di Kabupaten Fak-Fak. Penulis juga tidak melakukan survei khusus untuk penelitian ini. Penyebutan pekerjaan mayoritas dalam kalimat ini didasarkan pengamatan dan wawancara penulis dengan narasumber selama berada di lapangan.

[8] Penulis mendasarkan sebagian besar keterangan dalam bagian ini dari wawancara dengan Amos Wagab (Wagab 2020) dengan mempertimbangkan pengalaman panjang Amos dalam mendampingi pembangunan Jalan Transbomberai. Beberapa data primer yang sempat dikumpulkan Amos, lengkap beserta dokumentasi lapangan, sayangnya tidak berhasil penulis dapatkan karena seluruh data hilang pada tahun 2018 ketika Amos ditangkap oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam satu aksi demonstrasi yang dia pimpin.

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan