Analisa Harian Nduga Diantara Kegagalan Otsus dan Operasi Militer

Nduga Diantara Kegagalan Otsus dan Operasi Militer

-

Potret Kemanusiaan di Nduga

Kabupaten Nduga adalah kabupaten baru dari  pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Berbagai masalah kemanusiaan telah terjadi di Nduga, salah satunya adalah kematian yang tidak wajar. Kematian yang terjadi karena wabah penyakit bahkan kematian yang terjadi karena operasi militer. Diakhir tahun 2015 hingga 2016 wabah penyakit telah menyerang anak-anak dari tiga kampung di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Kematian balita secara beruntun dari bulan oktober 2015 hingga bulan januari 2016 telah mencuri perhatian masyarakat, LSM/NGO, Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Pusat. Perhatian dan penanganan pemerintah daerah dan pemerintah pusat  pun tidak luput dari kritikan pemerhati kemanusiaan di Papua. Hal ini dikarenakan kasus wabah penyakit di Mbua telah membuka mata masyarakat bahwa kesehatan orang asli Papua tidak benar-benar menjadi fokus pemerintah.

Di tahun 2018 Kabupaten Nduga kembali menjadi sorotan dan perhatian karena tragedi kemanusiaan yang terjadi disana. Opersi militer yang terjadi di dua wilayah yaitu Yigi dan Alguru telah membuat warga sipil menjadi korban kekerasan dan tindakan respresif aparat militer. Berawal dari peristiwa Alguru yang dimulai pada 22 Juni 2018 yaitu penembakan pesawat Dimonim, lalu aksi penembakan yang sama terjadi 25 Juni 2018 dengan menembak pesawat Twin Otter Trigana Air yang juga membawa anggota BKO Brimob yang akan mengamankan pemilihan gubernur, hingga pada tanggal 6 Juli 2018 penembakan terjadi pada anggota Brimob yang melakukan pengamanan di Bandara Kenyam, Nduga. Peristiwa penembakan ini mengawali pecahnya konflik bersenjata di Nduga. Penyisiran dilakukan oleh pihak militer bukan hanya merusak rumah warga, tapi juga membuat 200 warga sipil harus mengungsi ke hutan Wamena, Yahukimo, Asmat. Aktivitas pemerintahan juga menjadi lumpuh. Selain peristiwa Alguru, peristiwa Yigi juga menjadi awal mula masyarakat sipil melakukan pengungsian besar-besaran, ribuan kaki yang berlari meninggalkan Kabupaten Nduga, berusaha mencari perlindungan dan keselamatan dari penyiksaan dan penembakan yang dilakukan oleh aparat militer. Mereka mengungsi ke daerah-daerah terdekat seperti Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Asmat, Timika hingga ke Kabupaten dan Kota Jayapura.

Sudah menjelang 3 tahun mereka meninggalkan tanah mereka, kampung mereka, rumah bahkan harta benda mereka semua telah ditinggalkan. Hidup dalam pengungsian bukanlah hal yang mudah, mereka yang dipengungsian berharap menemukan sedikit keamanan dari ancaman militer, akan tetapi mereka justru berperang dengan keadaan mereka didalam pengungsian. Mereka harus melawan berbagai penyakit, seperti gizi buruk, diare, cacingan, muntah-muntah, kejang-kejang, mimisan, hingga mereka harus mengakhiri hidupnya didalam pengungsian karena sakit penyakit yang diderita itu. Selain permasalahan penyakit, masalah perbedaan dengan masyarakat yang mempunyai tempat juga harus dirasakan oleh mereka, masalah seperti ini masih terlihat di Kabupaten Jayawijaya saat para pengungsi ingin ke rumah  sakit untuk mendapatkan pengobatan, mereka takut akan perbedaan bahasa dengan penduduk asli Jayawijaya.

Selama 4 desember  2018 sampai dengan 2 Februari 2020 telah ada 243 korban diantaranya 38 korban perempuan, 95 korban laki-laki dan 110 korban anak-anak yang meninggal akibat operasi militer dan dalam pengungsian. Selama operasi militer tidak dihentikan, jumlah korban tewas pun terus akan bertambah.

Nduga Diantara Kepedulian Dan Ketidakpedulian

Sejak terjadinya pengungsian, suara teriakan “Hentikan penyirisan terhadap masyarakat sipil dan cabut militer dari Nduga” terus diseruhkan oleh masyarakat, solidaritas mahasiswa, aktivis,  LSM/NGO, gereja bahkan pemerintah setempat.

Pemerintah Provinsi melalui Gubernur Papua juga meminta kepada Pemerintah Pusat agar jangan melupakan Nduga, namun suaranya juga tidak ditanggapi oleh Pemerintah Pusat. Hingga akhirnya pengunduran diri datang dari orang nomor 2 Nduga yaitu Wakil Bupati Nduga, Wentius Nimiangge. Pengunduran ini terjadi karena kekecewaannya yang ingin merayakan damai natal di tahun 2019, tapi ternyata terus menerus mengurus jenazah warganya. Ketidakpedulian pemerintah pusat juga terus mengiris hatinya, hingga keputusan besar harus diambil ditengah konflik yang terjadi. 15 November 2020 berita duka datang bagi masyarakat Nduga, kematian Bupati Nduga yang menghebuskan nafas terakhirnya di Jakarta juga menjadi duka yang mendalam atas semua peristiwa kematian yang telah terjadi. Saat seorang pejabat lokal mengatakan bahwa Indonesia akan merasakan sepuluh tulah seperti Bangsa Mesir, lalu pertanyaan siapakah yang akan menjadi sosok Musa bagi rakyat Nduga, yang akan berani membawa mereka keluar dari tanah pengungsian sekalipun harus dikejar oleh tentara Indonesia? Apakah mereka harus menunggu hingga pemilu 2022, lalu mujizat itu datang bagi mereka? Harapan pada Pemerintah juga nyatanya sia-sia, Gubernur Papua berserta jajarannya di Pemerintahan Provinsi dengan kekuasaan bahkan kekayaan yang mereka miliki sekalipun tidak mampu memberikan jaminan keselamatan bagi masyarakat Nduga yang ada dalam pengungsian. Ditengah kekosongan di Kabupaten Nduga, seharusnya Pemerintah Provinsi Papua bisa memastikan bahwa mereka yang ada dalam pengungsian bisa mendapatkan hak-hak mereka. Baik hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk menerima akses kesehatan bahkan hak untuk tetap hidup.

Otonomi khusus yang hadir untuk menegakkan hak asasi manusia di Papua justru menunjukkan ketidakkonsistenan Pemerintah Pusat yang nyatanya menjadikan nyawa orang asli Papua seperti binatang yang terus dibiarkan menderita hingga mati dalam kejaran militer bahkan tewas dalam ketakutan, kesakitan dan juga kelaparan. Hal ini karena Pemerintah Pusat yang memberikan ruang kepada militer untuk bebas bergerak di Nduga. Ketiidakkonsistenan pun nyatanya ditunjukan oleh Pemerintah Provinsi Papua yang selama ini tidak pernah bisa menyentuh Kabupaten Nduga dengan baik. Ditahun 2020 lalu, Kementerian Keuangan memberikan laporannya bahwa penggunaan dana Otsus di Provinsi Papua pada bidang kesehatan sendiri telah mencapai 18,7%, penggunaan, ini tentu diatas ketetapan Perdasus yaitu sebesar 15% untuk bidang kesehatan. Namun ternyata penggunaan dana Otsus untuk kesehatan ini nyatanya belum mampu menyelamatkan pengungsi Nduga yang terus menerus mengalami sakit penyakit hingga tewas dalam pengungsian.

Sebuah permasalahan besar yang tidak dapat diselesaikan atau memang sengaja tidak diselesaikan oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat adalah kurangnya infrastruktur di bidang kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan transportasi layanan kesehatan, selain itu jumlah tenaga medis juga sangat kurang. Seharusnya infrastruktur kesehatan ini lebih diutamakan dibanding pembangunan Jalan Trans Papua. Dampak kurangnya infrastruktur ini telah dilihat dari permasalahan wabah penyakit di Nduga di akhir  2015 sampai awal 2016, dimana pada saat itu Menteri Kesehatan resmi menyatakan wilayah Mbua, Kabupaten Nduga resmi ditetapkan dengan status Kondisi Luar Biasa (KLB). Dimana ditahun 2016 jumlah kematian bayi di Papua adalah 20 kasus per 1000 kelahiran. Hal ini mendapat pengakuan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua pada saat itu, Aloysius Giyai yang mengatakan bahwa penyebab tingginya angka kematian bayi adalah kurangnya tenaga medis dan fasilitas penunjang imunisasi bayi.  Dana Otonomi Khusus untuk bidang kesehatan dan Dana Alokasi Khusus (DAK) di Provinsi Papua sebesar Rp. 1,4 Triliun. Dana yang seharusnya membiayai perbaikan mutu kesehatan di kabupaten-kabupaten dan Kota di Provinsi Papua nyatanya tidak memberikan dampak pada kualitas pelayanan di Papua. Terlihat juga dengan penolakan rumah sakit di Jayawijaya pada pengungsi Nduga, yang sampai saat ini permasalahan pelayanan kesehatan pengungsi Nduga belum mendapatkan perhatian dari pemerintah Provinsi.

Diantara kepedulian dan ketidakpedulian pemerintah pada pengungsi Nduga, kehadiran Organisasi masyarakat, berbagai komunitas dan solidaritas , LSM/NGO, bahkan musisi di Papua yang bukan sekedar menyayangkan kejadian pelanggaran HAM di Nduga, tapi mereka juga menyuarakan penolakan terhadap Operasi Militer dan menuntut keadilan bagi Nduga. Tidak sampai disitu, aksi kemanusiaan untuk membantu para pengungsi Nduga juga terus dilakukan sebagai bentuk kepedulian atas krisis kemanusiaan yang terjadi di Nduga. Aksi yang dilakukan bukan sekedar oleh Mahasiswa, tapi juga oleh anak-anak disekolah dasar. Dengan semangat mereka telah berjuang mencari pundi-pundi rupiah lewat basar makanan, penjualanan pakaian bahkan sumbangan.  Mereka yang selama ini bergerak atas nama kemanusiaan telah menunjukan rasa cintanya pada Ndugama.

Kegagalan Otsus dan Operasi Militer yang tak kunjung usai

Dalam UU Otonomi Khusus tentang kesehatan pasal 59 ayat (1) menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan pada penduduk.  UU Otsus ini nyatanya tidak berlaku bagi Kabupaten Nduga. Jumlah kematian pada masyarakat sipil yang terus meningkat menunjukan bahwa kesehatan dan kehidupan masyarakat Nduga tidak menjadi prioritas Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat. Dari 24 Desember 2020 hingga Januari 2021, 18 masyarakat Nduga telah meninggal dalam pengungsian di Jayawijaya karena sakit. Apakah yang akan terjadi jika setiap bulannya belasan pengungsi Nduga terus dinyatakan meninggal?

Berbagai aksi penggalangan dana dan penyaluran bantuan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat telah menunjukan betapa mandirinya rakyat Papua, yang berjuang dengan usahanya sendiri untuk memberikan sedikit hak hidup bagi pengungsi Nduga, saudara mereka. Dimana tanggung jawab besar pemerintah telah ditopang oleh rakyat, dan bahkan kegagalan pemerintah juga telah diungkap oleh rakyat. 20 Tahun keberadaan Otonomi Khusus di Papua, Kabupaten Nduga telah membuktikan bahwa Implementasi Otsus dalam bidang kesehatan telah terbukti gagal.

Dilain sisi Operasi militer TNI dan POLRI menjadi satu-satunya cara dan pendekatan yang diterapkan Pemerintah Pusat di Jakarta menghadapi Tentara Pembebasan Nasional Papua (TPNPB). Belum ada opsi damai, opsi dialog, atau apapun untuk menghentikan perang keduanya. Keduabelah pihak yang telah berbeda pandangan selama 50 tahun mustahil untuk mengalah satu sama lain, sekalipun hanya sebentar. Indonesia harga mati adalah sebuah doktrin paten pada kubu TNI-POLRI dalam menghadapi TPNPB. Sedangkan rakyat yang berada di daerah operasi terus menjadi korban. Jika melihat lebih bijaksana, Pemerintah Pusat seharusnya dapat mengambil langkah seperti menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan dialog dan perjanjian-perjanjian di Helsiski. Dengan kekuatan dan sumberdaya Indonesia seharusnya mampu melakukan itu ketimbang Langkah militeristik ini.

 

Referensi :

1.https://m.cnnindonesia.com/nasional/20191224190238-20-459716/wabup-nduga-papua-mundur-jabatan-ini-dilepas-dengan-jenazah
2.https://jubi.co.id/lukas-enembe-pemerintah-pusat-dan-media-jangan-lupakan-pengungsi-nduga/amp/

4. https://youtu.be/UeVLFg4ryD0

  1. Papua Diambang Kehancuran; Beragam Peristiwa dan Fakta Hak Asasi Manusia di Papua. Tragedi Mbua: Potret Kesehatan Papua Yang Terlupakan: 2016
  2. Papua Bukan Tanah Kosobg; Beragam Peristiwa dan Fakta Hak Asasi Manusia di Papua. Konflik Bersenjata di Tanah Ndugama: 2018

7.https://jubi.co.id/ditolak-rumah-sakit-18-pengungsi-nduga-di-jayawijaya-meninggal-selama-sebulan-terakhir/amp/

8.https://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-diminta-segera-tarik-tni-polri-dari-nduga/5296373.html

Yokbeth Felle
Penulis adalah aktivis dan Pengasuh Rubrik Perempuan Lao-Lao Papua.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan