Analisa Harian TPNPB Adalah Teroris Atau Kombatan Dalam Perspektif Internasional?

TPNPB Adalah Teroris Atau Kombatan Dalam Perspektif Internasional?

-

Dalam ingatan kita, pasti masih segar peristiwa yang mengguncang Amerika Serikat pada 11 September 2001. Menara kembar World Trade Center ditabrak dua pesawat dan menewaskan ribuan orang. Sejak itu, muncul istilah perang atas teror atau perang terhadap terorisme.

Terorisme merupakan isu global yang kerap berbagai kali mendapat perhatian serius berbagai kalangan di benua. Terorisme sering kaitkan dengan pengeboman, pembajakan pesawat atau kapal, penyerangan terhadap kaum agama tertentu atas dasar kebenaran. Pengeboman seperti bom bunuh diri di suatu tempat ibadah agama tertentu atau fasilitas publik lainnya misalnya menjadi salah satu serangan yang paling sering kita temukan dan menyebutkannya sebagai Aksi Terorisme.

Baru-baru ini, salah satu sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) menahan aksinya dengan aksi teroris oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia. Wacana menjadikan TPNPB OPM sebagai organisasi teroris yang mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara BNPT dengan Komisi III DPR RI, 22 Maret lalu.

“Kami sedang terus menggagas diskusi-diskusi dengan beberapa kementerian / lembaga yang berkaitan dengan masalah nomenklatur KKB untuk kemungkinannya apakah ini bisa dikategorikan organisasi terorisme,” kata Boy Rafli Amar, Kepala BNPT dalam rapat tersebut seperti di kutip dari Media Tempo.

Usulan BNPT tersebut mengundang kritik dari berbagai pihak di antaranya datang dari Komnas HAM dan Amnesty Internasional Indonesia. Sementara rakyat Papua tak sedikit pula yang menuduh balik bahwa TNI/POLRI lah yang teroris karena dalam beberapa kasus ditemukan rakyat sipil yang tertembak oleh TNI / POLRI.

Lantas, kita bertanya, sebenarnya definisi definisiisme seperti apa? Adakah spesifikasi aksi terorisme berdasarkan hukum internasional yang membedakannya dengan Konflik Bersenjata demi Pembebasan Nasional suatu bangsa? Mari kita simak.

Apakah Sebenarnya Arti Terorisme?

Seorang bajak laut tertangkap oleh Alexander Agung. “Mengapa berani mengacau lautan?” tanya Alexander Agung. “Mengapa berani mengacau seluruh dunia?” jawab bajak laut tersebut, “hanya karena aku melakukan dengan sebuah perahu kecil, maka aku disebut maling. Sedangkan karena kalian melakukannya dengan kapal besar maka disebut kaisar. ”

Jawaban pembajak itu, “Sangat bagus dan jitu,” ujar St. Augustine yang menuturkan kisah tersebut. Noam Chomsky memakai kisah tersebut sebagai pembuka buku Pirates and Emperors: International Terrorism in the Real World untuk menggambarkan dengan akurat hubungan antara Amerika Serikat dengan berbagai aktor kecil di atas panggung terorisme internasional dewasa ini.

Lebih luas lagi, St. Augustine mengungkapkan makna konsep terorisme internasional dalam penggunaan di Barat dewasa ini, dan memantau inti kebiadaban peristiwa-peristiwa terorisme tertentu yang hari-hari ini dirancang dengan sinisme yang paling kasar sebagai selimut untuk menutupi kekerasan Barat.

Pada tahun 2002, setelah peristiwa 9 September, Presiden AS, George W. Bush melontarkan istilah “axis of evil” yang sering diulanginya untuk menggambarkan berbagai negara yang menurut pemerintahannya mendukung terorisme. Hal tersebut kenaikan pembenaran untuk menginvasi negara lain guna mencari senjata pemusnah massal atas nama “perang melawan terorisme”. Dalam pidatonya, Bush bahkan membuat suatu pemosisian antara negara yang bergabung dengan Amerika dan yang tidak.

“Mitra koalisi harus melakukan lebih mengungkapkan simpati, mitra koalisi harus bertindak. Beberapa negara tidak ingin berkontribusi mengirim pasukan dan kami memahami itu. Negara lainnya dapat berkontribusi dalam hal berbagi intelijen. Tetapi semua bangsa, jika ingin mengubah teror, harus melakukan sesuatu. Seiring waktu, adalah penting bagi negara-negara tersebut untuk melihat bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban karena tidak aktif bertindak. Baik kamu bersama kami atau melawan kami dalam perang melawan teror ini.”

Namun saat keputusan Bush untuk mengirim pasukan Amerika ke Irak guna mencari senjata pemusnah massal ternyata tak terbukti, dia tetap berkelit dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut tetap harus diambil dan tidak akan mengubah strategi penanganannya terhadap Irak secara total. Bush mengatakan bahwasanya ancaman Osama bin Laden untuk menggunakan senjata pemusnah massal harus ditanggapi dengan serius.

“Inilah orang jahat yang sedang kita hadapi, dan saya tidak akan mengabaikannya mengembangkan senjata jahat untuk merusak peradaban seperti yang kita tahu. Dan itu alasan kita harus berhasil, dan mengapa kita harus menang. ”

Mengenai ini, John Pilger, jurnalis Australia mengatakan, “Korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Pada kejadian tak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme. ”

Terorisme terkadang hanyalah hantu yang di ciptakan tetapi kadang juga merupakan aksi demi tujuan atau motif tertentu dengan menyasar rakyat sipil.

Jadi, apa sebenarnya arti terorisme itu?

Istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang menyajikannya krisis baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Prancis , tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam kamus yang dikeluarkan Akademi Prancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Kata Terorisme berasal dari Bahasa Prancis le terreur yang berarti menimbulkan rasa gemetar dan cemas. Semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Prancis yang mempergunakan kekerasan dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia . Dengan demikian kata Terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah atau kegiatan yang anti pemerintah. (Wikipedia)

Kamus Merriam-Webster mencatat bahwa istilah terorisme yang digunakan pertama kali pada tahun 1795 yang dimaknai sebagai penggunaan teror secara sistematis terutama sebagai alat pemaksaan.

Pertanyaannya, siapakah yang dipaksa dengan teror secara sistematis? Dengan melihat contoh di atas, siapakah yang menjadi terorisme? Apakah Amerika Serikat yang menjadi polisi dunia secara sepihak, ataukah negara dan kelompok yang menolak klaim seenaknya Amerika Serikat?

Toh sudah banyak diketahui pula bahwa aksi Amerika koboi Wild Wild West yang merasa jadi polisi dunia lalu kemudian menginvasi negara lain dengan dalih menegakkan demokrasi, atau dalih terbaru adalah untuk terorisme, sebenarnya hanyalah kedok untuk mendapatkan sumber daya alam negara tersebut.

Ini sejalan dengan Chomsky yang menandaskan bahwa istilah “terorisme” mulai pada akhir abad ke-18, terutama untuk menunjuk kekerasan pemerintah yang digunakan untuk menjamin ketaatan rakyat. Konsep ini, pendeknya, cukup menguntungkan bagi pelaku terorisme negara yang, karena memegang kekuasaan, berada dalam mengontrol sistem pikiran dan perasaan. Dengan demikian, arti yang dilupakan, dan istilah terorisme lalu diterapkan untuk “terorisme pembalasan” individu atau kelompok-kelompok. Walaupun istilah ini pernah diterapkan kepada para kaisar yang menindas rakyat mereka sendiri dan dunia, namun sekarang pemakaiannya hanya untuk pemberontakan yang mengusik pihak yang kuat atau penguasa.

Dalam masyarakat internasional hingga saat ini belum menemukan kesepakatan yang baku tentang pengertian teroris. Otoritas terorisme ini mengacu pada pembunuhan atau aksi teror dengan kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan gegabah pada penduduk sipil atau melakukan pengrusakan dalam skala luas terhadap properti atau fasilitas publik, dengan maksud untuk ketakutan ke seluruh penduduk dan menyampaikan pesan politik kepada pihak ketiga, biasanya pemerintah. Istilah terorisme dapat digunakan dalam kasus tersebut dengan tindakan pemerintah dalam penegakan terorisme. Lebih luas lagi terorisme dapat digunakan untuk menggambarkan tindak kekejaman dan perang saudara atau perang yang lain atau bentuk terorisme yang lain dapat mengacu pada tindakan kekejaman secara internasional,

Mengenai pengertian yang baku dan definisi dari apa yang disebut terorisme, sampai saat ini belum ada keseragaman. Tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut. Perbedaan dalam memberikan definisi terhadap terorisme yang disebabkan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan dalam penggunaan istilah terorisme dalam sudut pandangnya. 

Apakah Aksi Terorisme di Jamin Hukum Internasional?

Permasalahan terorisme istilah perang atas terorisme (perang terhadap terorisme). Istilah ini muncul pertama kali ketika dua pesawat menabrak menara kembar World Trade Center pada 11 September 2001 yang menewaskan hampir 2.792 orang di New York. Sejak saat itu perang melawan teror dideklarasikan oleh Amerika Serikat.

Hal ini kemudian menimbulkan berita pada masyarakat internasional yang pada akhirnya mempertanyakan apakah kegiatan terorisme ini dapat diklasifikasikan sebagai perang atau konflik bersenjata? Apakah teroris ini termasuk dalam kelompok tentara? Kedua pertanyaan ini saling berhubungan karena konflik bersenjata tidak akan ada tanpa dua atau lebih pihak yang bertikai antara angkatan bersenjata suatu negara atau kelompok.

Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang- orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Hukum internasional mencatat 12 Konvensi termasuk protokol utama yang telah diturunkan oleh PBB dalam pembantuan tentang terorisme: Convention for the Prevention and Suppression of Terrorism 1937, Convention on Offenses and Some Other Acts Committed on Board Aircraft (Tokyo, 14 September 1963), Convention for the Prevention and Suppression of Terrorism 1937, Convention on Offenses and Some Other Acts Committed on Board Aircraft (Tokyo, 14 September 1963), Convention for the Prevention and Suppression of Terrorism. The Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (Hague, 16 September 1970), Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety for Civilian Aviation (Montreal, 23 September 1971),

Konvensi-konvensi pembantuan tentang aksi pembajakan pesawat, kejahatan kemanusiaan, penyandraan, perilindungan bahan nuklir, pemberantasan pemboman dan pengawasan oleh teroris. Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris 1997 dan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1999.

Konvensi pemberantasan pengeboman mendeskripsikan pengeboman teroris sebagai penggunaan bahan peledak secara sengaja dan melanggar hukum di tempat umum dengan maksud untuk membunuh, melukai, atau mengakibatkan kerusakan untuk pengelolaan pemerintahan atau organisasi internasional untuk bertindak atau tidak mengambil tindakan. Konvensi ini juga mendorong polisi dan lembaga kehakiman agar mencegah, situasi, dan menghukum tindakan semacam ini. Sementara konvensi pemberantasan pendorong terorisme pembantuan tentang aliran-aliran dana yang masuk dalam mendukung kegiatan terorisme.

Dalam hukum positif Indonesia, UU Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberatansan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang menjelaskan bahwa Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau kekerasan kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan merusak kerusakan atau kehancuran terhadap objek yang vital, lingkungan hidup, fasiltas publik, atau fasilitas internasinal dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Definisi dalam pasal 6 UU 5/2018 Antiterorisme, tindak pidana terorisme merampas kemerdekaan atau saratwa atau harta benda atau kerusakan objek benda vital, lingkungan hidup, atau fasilitas publik. Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok teror pengadilan Indonesia untuk Jamaah Anshor Daulah (JAD). Status itu juga dinyatakan kepada beberapa kelompok yang berafiliasi dengan ISIS, antara lain Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Sebelumnya, status kelompok teroris juga disempatkan aparat keamanan kepada Jamaah Islamiyah.

Dalam hukum humaniter internasional sudah jelas yang menjadi pihak dalam pertikaian adalah angkatan bersenjata dan penduduk sipil. Hukum humaniter membedakan dengan jelas antara yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Sedangkan terorisme tidak dapat menjadi pihak dalam konflik, sehingga perang melawan teror tidak dapat menjadi peristiwa dalam hukum humaniter internasional. Konsep “pihak ‘disini menunjukkan tingkat minimum suatu organisasi yang disyaratkan untuk mampu melaksanakan kewajiban internasional, sedangkan teroris dalam melakukan operasinya sering tidak mematuhi kewajiban internasional sehingga sulit untuk mengklasifikasikan teroris sebagai pihak dalam pertikaian sehingga kemudian teroris belum terakomodir oleh konvensi Jenewa.

Apakah Pemberontakan TPNPB/OPM Dapat di Golongkan Sebagai Aksi Terorisme Berdasarkan Hukum Internasional?

Sejarah peradaban dunia tak dapat membohongi bahwa perjuangan bangsa-bangsa dari cengkraman kolonialisme untuk menjadi bangsa bangsa tak luput dari perjuangan berdarah-darah. Perang, pemberontakan, Teror, Mogok Sipil, Boikot merupakan aksi-aksi massa yang tentu dilakukan. Berbicara mengenai teror, muncul sebuah kata yang hari ini hampir sebagian negara di Planet Bumi memeranginya, Terorisme dan juga mengaitkannya dengan Gerakan Pembebasan Nasional.

Gerakan Pembebasan Nasional tumbuh dari perlawanan massa rakyat di wilayah-wilayah koloni pada masa kebangkitan Revolusi Rusia 1908, umumnya oleh Komintern (Komunis Internasional), dan menyebar ke “Dunia Ketiga” setelah Perang Dunia Kedua, memuncak setelah kekalahan AS di Vietnam 1975. Dalam melawan penguasa, konflik bersenjata menjadi alat utama perkuat perang, mogok, dan aksi sipil lainnya.

Kemenangan rakyat Vietnam atas Perancis di Dien Bien Phu tahun 1956, Revolusi Kuba tahun 1959 yang dipimpin Fidel Castro  dan  Che Guevara , Revolusi Aljazair 1962, merupakan kemenangan anti imperialis yang menginspirasi tak saja rakyat di (bekas) koloni, namun juga inspirasi bagi Gerakan Hak- Hak Sipil di AS dan tak terkecuali Gerakan Pembebasan Papua yang melakukan pemberontakan terhadap Kolonial Indonesia sejak 1965.

Salah satu landasan hukum dalam melihat atau menggolongkan sebuah organisasi yang melakukan praktik terorisme adalah Hukum Humaniter Internasional atau Hukum Humaniter Internasional. Dalam Hukum Humaniter Internasional, pada Konvensi Jenewa terkandung aturan mengenai status pihak yang berperang atau konflik bersenjata. Konvensi umum yang berlaku pada situasi Perang yang diadilikan, Pertikaian sekalipun keadaan perang tidak sah, Dalam hal pendudukan sebagian atau seluruhnya sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan.

Untuk membedakan antara gerakan pemberontakan kriminal dengan gerakan nasional, maka hukum humaniter internasional memiliki beberapa terminologi khusus yang biasa disebut dengan “perang pembebasan nasional ‘atau perang bebas nasional dimana jenis peperangan ini hanya terbatas pada 3 macam sengketa sengketa saja, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi pada masa penjajahan (kolonialisme), pada situasi dimana ada pendudukan asing, serta pada situasi dimana pemerintah dari suatu negara melakukan pemerintahan yang bersifat rasialis (apartheid). Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (4) Protokol I tahun 1977, yang menjelaskan bahwa hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh sebuah bangsa yang berperang untuk menentukan nasibnya sendiri.

Aksi TPNPB/OPM memenuhi pasal 1 ayat 4 Protokol I Konvensi Jenewa yang mana perangnya adalah perang melawan kolonialisme. Gagasan adalah pihak Republik Indonesia tidak meratifikasi Protokol I Konvensi Jenewa, sehingga Perang antara TPNPB/OPM dan TNI/POLRI tidak diakui sebagai Perang Pembebasan Nasional. Tak hanya itu, dunia internasional pun belum mengakui perang ini karena menghargai hubungan internasional dengan Republik Indonesia dengan resolusi pada Resolusi PBB 2504. Hal ini menjadi penyebab perang antara TPNPB/OPM dan TNI/OPLRI terkadang menjauh dari Hukum Humaniter Internasional.

Hukum humaniter internasional mengenal dua kategori konflik bersenjata , yaitu Konflik Bersenjata Internasional dan Konflik Bersenjata Non-Internasional. Konflik Bersenjata Internasional adalah pertikaian bersenjata yang melibatkan dua atau lebih negara yang sifatnya internasional, sedangkan Konflik Bersenjata Non Internasional adalah pertikaian bersenjata yang dilakukan antara angkatan bersenjata suatu negara dengan angkatan bersenjata yang teroganisir atau pertikaian antara dua atau lebih angkatan bersenjata yang terorgansir, yang sifatnya domestik. Sejauh ini, perang TPNPB/OPM dan TNI/POLRI dapat di golongkan ke dalam Non-Internasional Bersenjata sebab pertikaian senjata terjadi di dalam wilayah Papua yang sementara di duduki oleh Republik Indonesia. Namun hukum humaniter internasional harus tetap berada di Papua sebab inti implementasi hukum humaniter internasional adalah adanya pertikaian angkatan bersenjata. Hukum humaniter tidak dapat diterapkan pada situasi situasi perang, seperti huru hara, kekacauan, bunuh diri.

Di dalam hukum humaniter internasional terdapat prinsip penting yang terkandung di dalamnya. Prinsip ini disebut Distinction Principle atau Prinsip Pembeda. Prinsip ini membedakan peran dari pihak yang terlibat konflik. Dua kategori dalam prinsip ini, yaitu adanya status kombatan (kombatan) dan penduduk sipil (sipil). Kombatan merupakan status yang diberikan terhadap golongan yang memiliki hak untuk terlibat dalam peperangan selama konflik terjadi, sedangkan penduduk sipil adalah golongan yang tidak terlibat di dalam peperangan yang berlangsung.

Anggota TPNPB/OPM adalah kombatan mengacu pada Konvensi Jenewa pasal 13 ayat 2, kombatan adalah gerakan perlawanan yang di organisir dan memenuhi persyaratan, di pimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya, mempunyai tanda pengenal tetap yang dapat dikenal dari jauh, membawa senjata secara terang-terangan, melakukan operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. Sementara status kombatan menurut pasal 43 dan 44 Protokol I tahun 1977, pihak yang memiliki hak untuk terlibat dalam konflik. Dapat dikatakan TPNPB / OPM merupakan anggota perang yang sah dan memiliki landasan hukum Konstitusi 1 Juli 1971, maka termasuk ke dalam kombatan yang sah. Untuk kombatan yang dikatakan sah (kombatan yang sah) harus memenuhi syarat dalam menjalankan perang yang memiliki organisasi, adanya disiplin, komando yang bertanggung jawab atas ditaatinya ketentuan hukum perang.

Kombatan yang tidak memenuhi syarat dalam menjalankan perang dapat disebut kombatan yang melanggar hukum.Kombatan yang tidak sah atau tidak lebih berat resikonya sebab kapan saja dapat ditangkap, serta menunjukkan atau dijatuhi oleh pengadilan khusus militer. Republik Indonesia tidak bersedia mengakui anggota TPNPB/OPM sebagai kombatan. Hal ini memperlihatkan pada beberapa pasukan TPNPB/OPM ketika ditangkap tidak mendapat status Prisioners of War (POWs) atau Tawanan Perang. Alasan utama adalah Indonesia belum meratifikasi Protokol I Konvensi Jenewa 1977 yang mengatur tentang Perang Pembebasan Nasional. Sehingga Indonesia tidak pernah mengakui perang TPNPB/OPM dan TNI/POLRI sebagai perangsang nasional. Inilah salah satu dasar aparat keamanan Indonesia memframing TPNPB/OPM sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau terkoordinasi menjadi organisasi teroris. Aksi TPNPB/OPM sebagai aksi aksi kriminal biasa.

Tindakan untuk menjalankan suatu pemerintahan yang sah dengan tujuan yang mengatur kekuatan sendiri atau bangsa yang berada dalam tahapan hukum internasional, tahap pertama adalah tahap pemberontakan disebut insurgensi dan kedua adalah tahap lanjutan atau disebut belligerensi. Tahapan yang kedua ini menunjukan kematangan organisasi serta gerakan yang semakin masif dan konsisten sehingga mirip dengan sebuah sistem pemerintahan. Prinsipnya insurgensi merupakan kualifikasi pemberontakan dalam suatu negara namun fakta belum mencapai tingkat keteraturan sebagai organisasi yang terintegrasi dalam melakukan perlawanan. Jadi rekomendasi pemberontak belum dapat dianggap sebagai pribadi internasional yang menyandang hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Dalam kualifikasinya sebagai insurgensi, pemberontak atau gerakan nasional secara hukum internasional masih dilihat sebagai gerakan yang mampu menjangkau laporan dengan menggunakan senjata.

Jadi kualifikasi insurgensi belum dapat disebut sebagai perang saudara (perang saudara) dalam hukum internasional. Pada wilayah dimana pemberontakan terjadi, pemerintah masih memiliki semua hak dan kewajiban sebagai penguasa yang sah. Dalam hubungan ini maka sesuai dengan resolusi majelis umum PBB Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, maka setiap upaya negara asing membantu kaum pemberontak merupakan tindakan intervensi, dan inisiatif merupakan hukum internasional. Jika pemberontakan berkembang termasuk wilayah yang semakin luas dan menunjukkan kecenderungan yang semakin teratur pengorganisasiannya dan telah menguasai beberapa wilayah negara yang efektif, maka hal ini menunjukkan pemberontak yang berlaku secara de facto atas beberapa wilayah. Dalam tahap ini, menurut hukum internasional,belligerensi .

Menilik aksi TPNPB / OPM memang belum mencapai tahap belligerensi walaupun secara struktur TPNPB memiliki 29 Komando Daerah Pertahanan (Kodap) di Papua. Konflik bersenjata masif hanya terjadi di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Mimika, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang. Agar menuju tahap belligerensi, maka Konflik Bersenjata mutlak harus terjadi di tujuh wilayah adat Papua demi menguasai wilayah secara de facto. Pada tataran dunia internasional, Indonesia akan berdalil bahwa konflik bersenjata hanya terjadi di sebagian wilayah terutama di Pegunungan Tengah Papua serta wilayah konflik telah mendapat status otonomi khusus. Sehingga konflik bersenjata di Papua hanya ada pada tahap insurgensi.

Gerakan nasional atau pemberontakan berdasarkan hukum humaniter adalah suatu gerakan pemberontakan yang berperang melawan negara dengan maksud menjadi negara yang merdeka, setara dan sederajat dengan negara lain. Untuk dapat dinyatakan sebagai kelompok yang didalamnya menerapkan hukum kebiasaan berperang di darat, maka konvensi Den Haag ke-IV tahun 1907 menyatakan bahwa sebuah kelompok harus memenuhi syarat tertentu (sering disebut sebagai persyaratan klasik), yakni: (1) Memiliki pemimpin yang jelas dan jelas bertanggung jawab terhadap anak buahnya (2) Memiliki seragam (seragam) yang dapat diketahui dari kejauhan (3) Membawa senjata secara terbuka dan (4) Mematuhi hukum berperang.

Lagi kita melihat bahwa persyaratan klasik, konvensi Den Haag 1907 dipenuhi TPNPB / OPM. Salah satunya mematuhi hukum kebiasaan perang dengan tidak menyasar rakyat sipil. Rakyat sipil yang disasar berdasarkan hasil analisis intelejen mereka yang dicurigai sebagai informan keberadaannya. Mereka juga pemimpin yang jelas dari ketua, juru bicara, komandan operasi, hingga panglima.

Pemahamanan terhadap hukum humaniter internasional yang dapat digunakan untuk menjadi acuan dalam menganailisis suatu kelompok atau individu dalam memberikan status atau kategorisasi terorisme. Pelaku terorisme kadang melawan hukum humaniter internasional. Tetapi lebih tepatnya teroris diberikan status kombatan yang melanggar hukum. Mereka sebagian belum memenuhi syarat memenuhi syarat sebagai kombatant. Memiliki organisasi, tetapi tidak ditemui disiplin dan komando yang bertanggung jawab atas ditaatinya ketentuan hukum perang. Terbukti dengan adanya aksi teror seperti bunuh diri, penembakan sporadis di fasilitas publik yang ditargetkan kepada warga sipil atau sipil yang dilindungi secara khusus oleh hukum humaniter internasional atau hukum perang.

Masalah teror atau terorisme tidak dapat menjadi pihak dalam konfllik. Hal ini terjadi karena konsep dalam konvensi Jenewa menyatakan bahwa pihak dalam sengketa memiliki tingkat organisasi minimum yang disyaratkan agar mampu melaksanakan kewajiban internasional. Teroris dalam melakukan operasinya sering tidak mematuhi kewajiban internasional sehingga sulit untuk mengklasifikasikan teroris sebagai pihak dalam pertikaian.

Terorisme sekarang memiliki arti merendahkan yang sangat kuat, tidak ada yang menerapkan kata tersebut pada tindakan mereka sendiri atau untuk tindakan dan kampanye orang-orang yang mereka simpati. Pemberontak yang mempraktikkan terorisme menggambarkan tindakan-tindakan sebagai perjuangan untuk menyerang nasional dan bertindak dan bertindak sebagai tentara yang tentara atau penjahat. Mereka sering menggambarkan musuh mereka pemerintah, korup, otoriter, atau badan-badan sistem sosial, politik dan ekonomi sebagai teroris sejati. Bagi mereka, ujian terorisme krisis apa yang dilakukan, melainkan apa tujuan akhir dari melakukan itu. Jika tujuan akhirnya adalah berhasil atau keadilan, maka kekerasan bersenjata yang digunakan untuk mencapainya terorisme.

Di sisi lain, pemerintah di negara-negara cenderung menggambarkan semua kekerasan yang memberontak dengan terorisme. Juru bicara pemerintah negara bangsa dan media pro-pemerintah biasanya berasumsi bahwa terorisme menurut definisi adalah sesuatu yang dilakukan oleh organisasi non-negara, dan bahwa negara tidak akan pernah atas terorisme (meskipun dapat mensponsori organisasi teroris). Bagi mereka, ujianisme terorisme apa yang dilakukan, tetapi siapa yang melakukan. Ketika lembaga negara menggunakan kekerasan, itu adalah tindakan perang, atau pembalasan, atau pertahanan Ketika kelompok pemberontak melakukan hal yang sama, itu adalah terorisme. Ini sesuatu yang tak berimbang.

Pengkategorian TPNPB/OPM oleh BNPT ke dalam daftar organisasi teroris terlalu dini dan minim landasan hukum, sebab pemberian status kombatan lebih layak karena anggota TPNPB/OPM adalah pihak yang bersengketa (pemberontak) yang mandiri secara politik atau militer (belligerents), memiliki struktur organisasi dengan disiplin dan adanya komando yang bertanggung jawab dalam aksi mereka.

Dalam konvensi internasional tentang terorisme, tidak ada spesifikasi yang mencatat konflik, polisi untuk melakukan suatu bangsa dari kolonialisme merupakan aksi terorisme walaupun pada kenyataannya dalam perang nasional ada aksi teror antara pihak-pihak yang bertikai. Alangkah baik, negara Republik Indonesia mencari akar masalah konflik bersenjata di Papua berdasarkan hukum internasional untuk menjadi bahan analisis sebelum memutuskan TPNPB / OPM terdaftar sebagai organisasi teroris.

Melihat 2 konvensi internasional yang diratifikasi oleh Indonesia, tak dapat menggandeng TPNPB / OPM ke dalam organisasi terorisme. Konvensi tentang pemberantasan pengeboman salah satunya. TPNPB / OPM jarang melakukan aksi pemboman yang mengakibatkan korban jiwa dari warga sipil.

Pada akhirnya semua masalah masalah pengakuan status eksistensi TPNPB/OPM oleh Republik Indonesia yang notabene telah berlalu bahwa konflik ini adalah perang yang dimaksud nasional. Tak hanya status sah anggota TPNPB/OPM sebagai kombatan serta merupakan pihak yang bersengketa (pemberontak) yang memiliki organisasi yang mandiri secara politis dan militer yang memungkinkan pihak Republik Indonesia dengan mudah menjustifikasi aksi TPNPB/OPM ke dalam aksi terorisme yang sebenarnya saat ini belum ada definisi baku.

***

Referensi:

  1. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Article_Intan.pdf
  2. http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1780138&val=18959&title=PEMBERIAN%20STATUS%20TERHADAP%20TERORIS%20BERDASARKAN%20KONVENSI%20JENEWA
  3. https://www.antaranews.com/berita/2057290/bnpt-berencana-usul-kkb-dan-opm-ditetapkan-jadi-organisasi-teroris
  4. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56511113
  5. https://nasional.tempo.co/read/1445202/amnesty-tolak-wacana-bnpt-tetapkan-kkb-papua-jadi-organisasi-teroris/full&view=ok
  6. https://media.neliti.com/media/publications/4223-ID-terorisme-dalam-perspektif-politik-dan-hukum.pdf
  7. https://plato.stanford.edu/entries/terrorism/
  8. https://core.ac.uk/download/pdf/35320919.pdf
  9. https://internasional.kompas.com/read/2021/04/01/125756070/terorisme-istilah-yang-pertama-kali-muncul-pada-era-revolusi-perancis?page=all
  10. https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme
  11. https://www.sinergintb.com/2021/04/radikal-ekstrem-terorisme-neologisme.html
Guntur Fonataba
Penulis adalah aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (Sonamappa), dan sarjana Kedokteran (S.Ked) Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan