Editorial Salib Untuk Melawan Perampasan Lahan di Papua

Salib Untuk Melawan Perampasan Lahan di Papua

-

Minggu ini umat Kristen di seluruh dunia mempersiapkan diri menyambut Paskah. Hari paling sakral dalam iman percaya mereka. Sebab penyaliban, kematian, dan kebangkitan Yesus untuk menggenapi setiap yang tertulis dalam Hukum Taurat, dan membangun hubungan Allah dengan manusia yang terputus sejak di Taman Eden[1].

Bagi orang Kristen tidak ada pengorbanan lebih tinggi dari seorang yang rela kehilangan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya dan Yesus telah melakukan itu. Bukti iman itu dengan pelayanan dan pengorbanan para rasul dengan “pergerakan” gereja mula-mula ke segala penjuru dunia untuk menjalankan perintah Yesus bahwa “Pergilah jadikan segala bangsa Muridku dan Baptislah mereka di dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus”[2]. Pergerakan pelayanan Injil itu hingga tiba di Papua.

Pada 1855 oleh para misionaris Weklienden dari Belanda dengan mengutus dua misionaris asal Jerman ke tanah Papua di Mansinam, Manokwari, dan di Papua bagian selatan di inisiasi oleh misionaris Katolik pada 1894. Kini orang asli Papua mayoritas beragama Kristen (Protestan/Katolik), hanya di beberapa daerah yang identik dengan penduduk Muslim Papua, yaitu Fakfak, Kaimana, dan Kepulauan Raja Ampat.

Seperti halnya Natal, Paskah tidak kalah meriah dengan simbol-simbol Kristen. Namun pemaknaan Paskah lebih pada kematian Yesus itu sendiri, bagi pribadi dan bagi dunia. Simbolnya dengan menancapkan salib di halaman rumah, gedung gereja hingga jalan utama di setiap kabupaten dan kota. Inisiasi ini dilakukan oleh pihak gereja, pemuda gereja, bahkan lingkungan perumahan yang warganya adalah orang-orang Kristen. Sebelum pandemi, di Papua dirayakan dengan berbagai cara untuk komunitas anak dan pemuda biasanya dilakukan kemping Paskah, untuk umum Ibadah Jalan Salib, hingga menyambut fajar Paskah. Serangkaian Ibadah ini untuk memperingati dan secara simbolik diharapkan lebih mendekatkan umat Kristen kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui iman dan tindakannya. Untuk kita ketahui di tahun ini Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) mengeluarkan tema nasional tahun 2021 “Berpaling kepada yang Hidup” Yoh 20:14-16.

Simbol “Perlawanan” Masyarakat Adat

Berbeda dengan peringatan Paskah secara umum di Papua, sebuah Distrik di Kabupaten Merauke secara administratif berbatasan dengan Kabupaten Boven Digoel, yaitu Muting. Disana kita melihat gambaran tidak biasa, salib tidak terpasang hanya saat bulan Paskah seperti ini, tidak juga di rumah, gedung gereja, dan jalan publik. Melainkan di kawasan hutan adat milik masyarakat yang berbatasan dengan kawasan perusahan-perusahaan Sawit. Gerakan penancapan salib-salib itu telah dilakukan sejak 2014 sampai sekarang. Warga berharap simbol tersebut menjadi peringatan agar perusahaan tidak menggusur hingga batas yang telah dibeli dari marga tertentu. Mereka berpendapat kebanyakan lahan di peroleh perusahaan secara ilegal dan manipulatif.

Gereja Katolik Sta. Theresia Muting. Foto Yason Ngelia.

Di lingkungan Gereja Katolik Paroki I Sta. Theresia Kanak-Kanak Muting salib-salib ini dipersiapkan sendiri oleh masyarakat adat, terutama marga Mahuze dari Marind dan beberapa marga dari suku Mandobo, terutama suku Wambon Tekamerop. Salib di bentuk dengan ukuran 2 hingga 4 meter, atau sesuai yang dibutuhkan. Mereka cat berwarna merah, didoakan bersama, sebelum dibawah ke lokasi yang akan ditancapkan. Aktivitas ini mereka lakukan sambil berharap tidak ada lagi penyerobotan lahan, baik oleh suku lain maupun oleh pihak-pihak perusahan.

Berdasarkan kesepakatan para pemilik tanah dan pihak gereja, masyarakat adat sepakat untuk menjadikan salib sebagai simbol “perlawanan”. Pastor Nikolaus Rumbayan (Pastor Niko) pada 2016 mengatakan bahwa masyarakat adat setempat percaya pada simbol salib tersebut, seperti Tuhan melindungi mereka, salib juga akan melindungi tanah mereka dari ancaman. Dukungan gereja untuk aksi ini menurut Pastor Niko adalah peran gereja untuk melawan penyakit-penyakit zaman, jadi gereja peduli dengan itu, gereja menyuarakan suara kenabian. Bukan melawan hukum negara, bukan melawan perusahaan, bukan melawan TNI dan Polri. Gereja mengedepankan kebenaran, keadilan, dan keutuhan alam ciptaan, bagaimana kebijakan negara yang mendukung masyarakat adat dan memperhatikan semua, pemenuhan hidup masyarakat dan sumber-sumber hidup [3].

Foto Salib yang sedang dalam persiapan di Gereja Sta. Theresia di Muting. Foto Yason Ngelia.

Menurut pengakuan masyarakat adat, terkadang ada wilayah yang telah ditancapkan salib masih dapat di serobot oleh perusahaan. Itulah yang menyebab konflik terbuka antara masyarakat adat (konflik horizontal) maupun pihak perusahaan yang biasanya dibantu TNI dan Polri. Protes dengan mendatangi kantor perusahan dan pemalangan jalan menjadi aksi-aksi masyarakat di wilayah itu dan terkadang dijawab dengan tindak kekerasan dan ancaman. Tinus Omba adalah warga Muting dari Suku Wambon Tekamerop di Boven Digoel diintimidasi dengan tembakan yang sengaja diperdengarkan dekat pada telinganya saat protes kesewenangan perusahaan dan keamanan. Selain itu, Agustinus Mahuze, ketua marga Mahuze yang memerintah marganya untuk menolak perusahaan di wilayah adat mereka sering mendapat teror dan intimidasi. Upaya kriminalisasi terhadap dirinya terjadi pada 2015 Polisi setempat menuding dirinya sebagai dalang pembakaran hutan disekitar wilayah perusahaan tanpa bukti.

Aksi tanam salib tersebut menjadi cara tepat bagi masyarakat adat yang memilih untuk tidak menjual tanah kepada perusahaan, tidak hanya di Muting, bahkan perlahan-lahan diterima oleh masyarakat adat di sekitar perusahaan di wilayah Boven Digoel. Terutama di sekitar perusahaan PT. Bio Inti Agrindo di Muting, PT. Sawaerma di Kampung Asiki, PT. Tujuh Menara Group di Kampung Anggai, Kampung Subur, dan kampung-kampung disepanjang sungai Digoel dan sungai Bian. Peran Pastor Niko sebagai gembala umat di wilayah itu yang mempersempit peran gereja dan adat menjadi bisa diterima sebagai kesatuan penting dari iman untuk penyelamat umat. Pelayanan gereja bersama masyarakat adat dipublikasi untuk kepentingan dokumentasi gereja maupun advokasi tanah adat. Selain menancap salib secara simbolis, masyarakat juga pasang papan peringatan, pemalangan secara adat (sasi). Itu dilakukan karena ancaman deforestasi (kerusakan hutan oleh ulah manusia) besar-besaran yang mereka hadapi setiap hari.

Perampasan lahan di wilayah tersebut jika ditelusuri dari program pemerintah daerah pada masa Bupati Jhon Gluba Gebze yang disambut oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dengan mengeluarkan program nasional yang mereka sebut Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) tahun 2010. MIFEE adalah program kelanjutan setiap presiden di Indonesia. Pada 2015 Jokowi merencanakan pelepasan lahan di kawasan itu sebesar 1,2 juta hektar. Dan sampai hari ini jutaan hektar dan daerah yang tidak merujuk sebagai lumbung pangan tidak jelas dan manfaat bagi masyarakat setempat.

Pada tahun 2019 laporan Geckoprojek menghebohkan kita dengan laporan kerusakan hutan yang diberi judul “Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua”. Dijelaskan banyak tentang kebiadaban pemodal (kapitalisme) di Papua Selatan, didukung oleh elit politik di lingkungan Istana Presiden. Kolaborasi penindasan dengan cara pemerintah memberi izin kepada para pengusaha nasional dan internasional yang berada di lingkaran kekuasaan di Indonesia. Bahkan pada masa pandemi Covid-19 sekalipun, Yayadan Pusaka Jakarta melaporkan di 2020 tentang data foto satelit kerusakan hutan yang tidak pernah berhenti pada masa pandemi Covid-19. Bahkan perusahaan nasional benar-benar terus menjalankan aktivitas eksploitasi.

Artinya pengabaian hak masyarakat terbukti dan pasti semakin buruk. Salib-salib dengan warna merah dan berbagai ukuran ini akan tetap terpasang, dan ditemui di daerah-daerah terpencil, dan tidak terpublikasi. Namun bagi masyarakat disitu salib adalah kekuatan yang akan menyelematkan mereka dan membebaskan mereka.

***

Referensi:

[1] Baca Injil Kejadian 3: 1-24

[2] Baca Injil Matius 28:19

[3] Wawancara Pastor Niko Rumbayan pada 27 Juni 2016

Sumber Internet:

Baca: https://geckoproject.id/kesepakatan-rahasia-hancurkan-surga-papua-b347e51639fb (Diakses pada 30 Maret 2021)

Baca: https://pusaka.or.id/2020/06/deforestasi-saat-wabah-covid-19-melanda-papua/ (Diakses pada 30 Maret 2021)

Elsam. (2016). Pembela Ham Menulis, Bunga-bunga rampai Pendokumentasi Situasi HAM di Tanah Papua: Campur Tangan Militer dan Polisi dalam Kasus Sengketa Tanah Pada Mega Industri Pertanian di Muting Merauke. Jakarta.

Ngelia, Yason. (2019). Gerakan Mahasiswa, Catatan Sejarah, Teori dan Praktik Melawan Penjajah. Penerbit Apro.

Yason Ngelia
Penulis adalah aktivis Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) dan Pengasuh Rubrik Analisa Harian.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan