Saya (bukan) perempuan feminis tetapi saya tertarik dengan apa yang sering digemakan oleh para feminis tentang hak-hak perempuan, salah satunya adalah seorang penulis buku feminis dan wartawan, yaitu Naomi Wolf. Beliau merupakan seorang aktivis gerakan feminis gelombang ketiga di Amerika yang menulis banyak buku bertemakan feminis. Salah satu bukunya yang sangat saya sukai berjudul Mitos Kecantikan, yaitu buku yang kurang lebih berbicara mengenai perempuan tertindas atas hegemoni kecantikan, maka dari itu saya tertarik untuk membahas sedikit tentang buku tersebut dan tentu akan menarik relevansinya dengan bagaimana dinamika psikologis perempuan di Papua saat harus berhadapan dengan berbagai macam definisi dari kecantikan itu hingga pentingnya menjadi perempuan yang memiliki Healthy Self-Image (gambar diri yang sehat).
Ketika mendengarkan kata “cantik”, apa yang sebenarnya muncul di benak kita? Perempuan, itu pasti. Dengan berimajinasi bahwa perempuan yang putih atau hitam manis, rambut lurus hitam atau ikal, bibir tipis, tubuh dengan berat badan yang ideal, ada lesung pipi atau memiliki proporsi tubuh ideal layaknya gitar spanyol, dan lain sebagainya. Setiap waktu, tanpa kita sadari dan terjadi secara cepat sebenarnya definisi dari standar kecantikan ini selalu berubah-ubah sesuai zamannya. Tapi ada hal lain yang terkadang muncul di kepala saya adalah menurut siapa standar kecantikan itu dibuat lalu untuk siapa standar kecantikan itu dibuat?
Dalam buku Naomi Wolf berjudul Mitos Kecantikan ia menyebutnya sebagai “perempuan dalam serangan standar kecantikan”. Pada bagian pertama Naomi Wolf mendeskripsikan tentang keberhasilan gerakan feminis pada awal tahun 1970 yang berhasil meraih hak-hak hukum dan reproduksi, selain mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi juga keberhasilan itu tidak diikuti dengan kebebasan kaum perempuan untuk merasa nyaman dengan tubuhnya, sejujur-jujurnya dengan tubuhnya, artinya bahwa disini sebenarnya kaum perempuan masih terbelenggu dengan citra kecantikan bahkan secara gamblang dan blak-blakkan Naomi Wolf menjelaskan tentang bagaimana mitos kecantikan digunakan sebagai senjata politik bagi kemajuan kaum perempuan, yang akhirnya disebut sebagai citra kecantikan perempuan dan disini juga Naomi Wolf menjelaskan tentang asal-usul mitos kecantikan, yang sebenarnya telah ada sebelum revolusi industri yang sama tuanya atau sama usinya dengan budaya patriarki.
Pada bagian kedua buku ini, Naomi Wolf berbicara banyak tentang bagaimana pengalaman-pengalaman pekerja perempuan yang mengalami diskriminasi hanya karena masalah kecantikan dan dengan menggunakan standarisasi yang disebut dengan PBQ (A Professional Beauty Qualification atau Kualifikasi Kecantikan Profesional). Perusahaan-perusahaan dengan santainya membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk bisa melakukan pekerjaan yang mereka inginkan. Oleh karena standar tersebut kaum perempuan dipaksa untuk selalu harus memikirkan tentang standar kecantikan mereka dan kalau di luar dari standar tersebut maka dikategorikan bahwa perempuan tersebut tidak cantik. Pada bagian ini juga Naomi Wolf memberikan kritik tajam dan keras terhadap hukum yang berpihak pada PBQ dan kalau dibandingkan alasan beberapa kasus PHK yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar perempuan harus melakukan PHK disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh perusahaan. Dan tentu perlawanan dan pemberontakan pun dilakukan dengan membawa kasus-kasus tersebut ke meja hijau, tetapi seperti yang kita ketahui bersama kekalahan selalu menimpa kaum perempuan dengan alasan bahwa memang perempuanlah yang bersalah karena telah melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Hingga pengadilan juga mengabaikan hak-hak perempuan pekerja atas nama kecantikan tubuh yang harus sempurna dan ideal dan tidak hanya itu bahkan juga pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja pun selalu memanen kekalahan di meja hijau, karena memang paradigma hukum yang selalu dipakai selama ini adalah bahwa paradigma hukum yang sangat maskulin, kecantikan atau seksualitas tubuh perempuan selalu dianggap sebagai sesuatu yang provokasi tentang bagaimana terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan.
Berikutnya Naomi Wolf juga menuliskan tentang mitos kecantikan dalam ruang kebudayaan bahwa memang mitos kecantikan ini sangat lekat dengan kebudayaan, jadi perempuan selama ini selalu diposisikan sebagai makhluk yang dilihat dan dinilai oleh pria dan stereotip-stereotip atau pencitraan bahwa perempuan diciptakan untuk harus semakin dekat dengan mitos kecantikan, sehingga perempuan hanya mempunyai dua pilihan antara memiliki pikiran atau memiliki kecantikan dan tanpa kita sadari sebenarnya mitos kecantikan sudah mulai ditanamkan kepada perempuan sejak masih usia dini. Misalnya dalam dongeng-dongeng yang diciptakan secara sarat dengan maskulinitas atau mashoism. Bahkan mitos kecantikan juga selalu disisipkan lewat religiusitas bahwa memang tatanan masyarakat selalu menggunakan religiusitas untuk mengontrol tubuh perempuan dan tidak mendukung keterlibatan perempuan dalam dunia publik yang sekuler dan mirisnya adalah bahasa-bahasa religius sering digunakan dalam buku-buku yang berbicara tentang perempuan atau diet.
Mitos kecantikan yang selalu disuguhkan dan dipaparkan kepada masyarakat khususnya kaum perempuan, melalui berbagai macam media yang ada seperti majalah-majalah kecantikan, tulisan-tulisan mengenai kecantikan, iklan TV, dan lain-lain tentang kaum perempuan sebenarnya selalu diperkuat dengan budaya patriarki yang selalu menyebabkan kaum perempuan terus saja terjebak pada keinginan untuk selalu tampil cantik dan menjadi sangat memuja-muji berat badan yang ideal. Sehingga karena begitu kuatnya keinginan tersebut hingga menyebabkan kaum perempuan pada khususnya remaja banyak yang menderita Bulimia dan Aneroxia. Dari data yang dipaparkan oleh Naomi Wolf, 95% penderita Bulimia dan Aneroxia adalah para perempuan muda dan di Amerika berada di angkat tertinggi. Pemujaan terhadap bentuk tubuh dan berat yang ideal membuat banyak perempuan menyakiti diri mereka dengan melakukan diet ketat yang mengakibatkan mereka fobia terhadap makanan, karena obsesi untuk selalu terlihat cantik sehingga hal ini mendorong kaum perempuan untuk merelakan tubuh mereka terbaring di atas meja-meja operasi plastik dan bedah kosmetik bahkan membiarkan para dokter berkreasi di atas tubuh mereka, juga demi mendapatkan kecantikan itu, perempuan rela menahan lapar dan sakit yang kemudian akan dianggap sebagai pilihan bebas kaum perempuan akhirnya serangan kecantikan yang bertubi-tubi terhadap kaum perempuan sebenarnya telah membiarkan kekerasan hak asasi terhadap tubuh perempuan.
Di bagian akhir bukunya Naomi Wolf, beliau mengajak kita semua untuk menginterpretasikan ulang tentang apa itu kecantikan dan menjauhkannya dari persaingan, hirari bahkan jauh dari kekerasan, karena sebenarnya mitos kecantikan yang sudah ada sejak lama ini hanya membelenggu dan mengikat kaum perempuan yang menjadikan kaum perempuan tidak menghormati dan menghargai diri mereka sendiri artinya bahwa bukan berarti melampaui mitos kecantikan dan mengabaikan kecantikan itu sendiri tapi lebih kepada bagaimana agar kita semua bisa keluar dari mitos kecantikan yang telah dirancang sedemikian rupa dan itulah yang terpenting. Kaum perempuan seharusnya didorong untuk lebih berani menentukan dan mengekspresikan dirinya, untuk mencintai tubuhnya dengan melepaskan semua nilai-nilai atau indikator-indikator tertentu atas tubuhnya. Dan sekali lagi Naomi Wolf menegaskan dengan tegas bahwa jika berhadapan dengan mitos kecantikan, pertanyaan yang seharusnya diajukan bukanlah tentang wajah atau tubuh perempuan, melainkan tentang relasi kekuasaan yang ada ketika berada dalam situasi tersebut.
Setiap hari, kita kaum perempuan diperhadapkan dan diyakinkan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum perempuan dalam jurang pemujaan terhadap syarat-syarat kecantikan yang harus dimiliki oleh seorang perempuan dan tentu kalau kita amati sekarang, sangat sedikit kita bisa menemukan dan mendapat perempuan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bisa memajukan pikiran mereka, kita akan sangat dengan mudah mendapat mereka di tempat-tempat kecantikan, mall atau mungkin kecintaan mereka akan membaca manjalah-manjalah maskulin dibandingkan membaca dan mempelajari buku-buku pengetahuan umum, atau berorganisasi, mengembangkan potensi diri dan terus mengembangkan diri, visioner, dan lain-lain.
Demikian tulisan tentang mitos kecantikan dari bukunya Naomi Wolf, lantas apa relevansinya dengan dinamika psikologis perempuan Papua yang terus tiap saat berhadapan dengan berbagai macam definisi kecantikan dan syarat dari cantik adalah bla bla bla bla …? Jadi dari setiap kontrol sosial atas mitos kecantikan sebenarnya amat sangat mudah untuk mempengaruhi psikologis perempuan untuk melakukan bedah kosmetik sebagai cara mengubah fisik mereka bahkan mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan diri kaum perempuan dalam menjalin suatu hubungan dengan individu lain atau kelompok karena bentuk tubuh yang tidak ideal atau cara berpakaian yang tidak fashionable atau sesuai zaman. Tentu juga bahwa kepercayaan diri kaum perempuan di Papua pasti menurun ketika melihat bentuk tubuh yang tidak ideal sehingga perempuan akan menyiksa diri mereka dengan menahan lapar karena sebenarnya ini merupakan bentuk kekerasan terhadap diri sendiri apalagi kalau kita lihat bersama di televisi bahwa definisi cantik itu harus putih, berambut lurus, dan lain-lain. Sehingga sebenarnya terkadang juga muncul beberapa permasalahan lain seperti body shaming dan parahnya adalah kita akan mulai memodifikasi diri kita sesuai dengan standar-standar kecantikan yang diberikan dan ini berarti bahwa identitas diri (ras Melanesia) kita makin hari akan makin hilang sehingga disini sangat penting bagi kaum perempuan untuk memiliki Healthy Self-Image atau gambar diri atau citra diri yang sehat sebagai perempuan West Papua.
Pentingnya menjadi perempuan yang memiliki Healthy Self-Image, karena bagaimana kita berpikir tentang diri kita dapat mempengaruhi bagaimana kita berinteraksi terhadap orang lain yang berada di sekitar kita. Memiliki Healthy Self-Image berarti bahwa mengetahui setiap potensi diri dengan menyadari asal (identitas diri) secara benar, karena kalau kita tidak memiliki gambar diri yang sehat maka tentu kita hanya akan fokus kepada hal-hal yang di luar diri kita seperti syarat kecantikan yang dibuat dengan adanya kontrol sosial dan akan membuat kita hanya berfokus pada kesalahan atau kelemahan yang kita miliki, dengan memiliki gambar diri yang sehat itu akan sangat menolong kita untuk meningkatkan kesejahteraan secara mental, fisik, sosial, emosional bahkan spiritual dan akan sangat berdampak juga terhadap bagaimana kita menanggapi setiap paparan-paparan tentang definisi dari kecantikan itu sendiri dan penting juga untuk harus bisa menerima diri kita secara utuh dan apa adanya serta terus mengembangkan diri kita sesuai potensi dan passion yang ada pada diri kita tanpa harus memaksakan diri untuk menjadi seperti perempuan lain, karena pada dasarnya setiap perempuan itu cantik: cantik wajahnya, hati, dan jiwanya.
Terakhir, terpenting bagi saya, “Trapapa gaul, yang penting jang lupa identitas.”
Mantap kawan, tingkatkan !!
karena apa yang sedang kita alami saat ini banyak wanita yang mengikuti perkembangan global dan banyak wanita yang melupakan jati dirinya sebagai seorang wanita yang mampu dan wanita yang memiliki marthabat.
Perkembanga zaman pun mengikis kultur kebiasaan yang baik dan membuat wanita untuk tertujuh pada perkembangan.
salut kawan wa noreluk..E.R.K
An neis
Wacana ini sangat menarik sekali saya baca, terimakasih kaka perempuan yang sudah menyumbangkan ide gagasan yang baik untuk perempuan papua, bahwasanya cantik itu bukan hanya wajah tetapi dari hati dan jiwanya. Dan pentingnya Healthy Self – Image.