Cerita Dibalik Pembebasan Perempuan
Banyak orang menyuarakan tentang pembebasan perempuan, entah dari cengkraman patriarki, kolonial atau bahkan kapitalisme. Terlepas dari semua itu, sebagian orang di Papua mengatakan bahwa pembebasan perempuan hanya akan terjadi bila Papua merdeka. Lalu apakah benar perjuangan politik Papua Barat akan mengatarkan perempuan Papua pada pembebasan? Sepertinya sebelum berbicara masalah pembebasan, kita perlu mengenal apa sesungguhnya masalah dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.
Sebelum Indonesia merdeka, perempuan-perempuan Indonesia dihadapkan dengan penindasan karena status keperempuanannya. Status mereka sebagai perempuan telah menarik mereka untuk jatuh dalam ketidaberdayaan, dimana mereka berhadapan dengan tiga sistem yaitu Patriarki, Feodalisme dan Kolonialisme. Perkawinan anak diusia dini dianggap sebagai sebuah hal yang biasa. Mereka ditekan dengan pernyataan bahwa perempuan hanya hidup disumur, dapur dan kasur. Mereka tidak punya hak untuk menentukan pilihan bahkan yang menyangkut dengan masa depan mereka sekalipun.
Saat ini Indonesia telah 76 tahun merdeka dan lebih dari setengah abad, perempuan-perempuan Indonesia justru masih hidup dalam penindasannya yang sangat kompleks. Seperti yang tergambar dalam film Tanah Ibu Kami, perempuan-perempuan tangguh yang berjuang menjaga wilayahnya justru dipukul mundur oleh negaranya sendiri. Bahkan sampai saat ini, kita masih sama-sama harus mengawal RUU PKS untuk segera disahkan oleh DPR karena Indonesia sendiri masuk dalam kategori negara dengan darurat kekerasan seksual karena ratusan ribu kasus kekerasan seksual yang terus terjadi dan belum mampu diselesaikan negara ini, padahal LBH Apik dan Komnas Perempuan selalu aktif melaporkan jumlah korban kekerasan seksual dan peningkatan jumlah kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Laporan bahkan tuntunan nyatanya belum mampu untuk mempengaruhi kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah.
Apa yang terjadi pada Indonesia hanyalah salah satu contoh penindasan perempuan yang terus berlanjut bahkan setelah mereka merdeka. Para pengambil kebijakan bahkan tidak bisa bijak dalam melihat permasalahan perempuan yang begitu beragam. Lalu sebenarnya seperti apa bentuk ketidakadilan gender yang menghancurkan perempuan Papua saat ini?
Manifestasi Ketidakadilan Gender
Saat kita bicara tentang perempuan ideal, sebagian besar akan menjawab bahwa perempuan ideal adalah mereka yang bisa berdandan, masak, dan mengurus rumah. Seorang perempuan diminta untuk harus bisa memasak karena ia akan melayani suaminya dan anak-anaknya, mertuanya dan bahkan keluarga dari suaminya. Dalam sebuah diskusi bersama para orangtua disalah satu kampung di Sentani, mereka mengatakan bahwa “Perempuan Sentani dulu tugas mereka hanya datang kawin dan berikan keturunan. Mereka tidak punya hak berbicara di dalam Obhe (Para-para adat masyarakat Sentani), perempuan dulu juga tidak bisa duduk didepan rumah tertawa-tertawa dengan kegenitan atau sekedar melirik pemuda yang mungkin menarik. Tugas mereka hanyalah didapur dan mengurus makanan”.
Di lain tempat seorang perempuan menceritakan tentang akibat yang diterima bila ada perempuan yang berjalan didepan Obhe, maka ia akan mandul. Inilah alasan mengapa gerakan feminis radikal juga tidak meyukai agama khususnya agama kristen protestan, yang dianggap dekat dengan adat Yahudi yang banyak menindas perempuan dan juga mengapa adat dan agama dianggap menindas perempuan karena banyak mempertunjukan posisi perempuan yang inferior dan tidak memiliki hak yang banyak untuk berbicara. Dua contoh ini memberikan sedikit gambaran tentang perempuan dan adat, yang mungkin bagi banyak masyarakat Papua adat sangat penting untuk dipertahankan dan mereka juga cenderung mempertahankan nilai-nilai yang justru melemahkan posisi perempuan.
Lalu bagaimana dengan sumur, dapur dan kasur yang dikatakan sebagai kodrat perempuan? Sebelum bicara tentang kodrat, kita perlu memahami apa itu kodrat. Menurut KBBI Kodrat adalah kekuasaan (Tuhan), manusia tidak mampu menentang kodrat atas dirinya. Lantas bagaimana dengan memasak yang dituding sebagai kodrat perempuan? Kita tentunya tidak asing dengan acara tv seperti Master Chef, lomba masak untuk menemukan chef terbaik ini benar-benar mendunia, termaksud di Indonesia pun acara ini benar-benar digemari. Acara lomba memasak sekelas ini tidak hanya dikhususkan bagi perempuan, tetapi juga untuk laki-laki bahkan di Indonesia sendiri, juri master chef biasanya didominasi oleh laki-laki. Sadar tidak sadar bahwa acara ini menunjukan bahwa memasak itu tentang skil dan bukan merupakan tugas perempuan saja. Selain itu, bagi masyarakat Papua rasanya tidak asing dengan yang namanya anyam rambut, biasanya perempuanlah yang akan mempunyai keahlian menganyam rambut, tetapi ini tidak berlaku lagi sekarang. Laki-laki pun bisa menganyam rambut.
Bocah lelaki berusia 12 tahun dan sedang duduk dibangku SD begitu pintar menganyam rambut, ia juga dipanggil ke salah satu salon di Sentani untuk menganyam rambut para pekerja di salon tersebut. Sembari menganyam rambut, ia juga belajar dari mereka tentang cara menyambung rambut dan ia berhasil. Ini menunjukan bahwa siapapun bisa menganyam rambut atau menyambung rambut karena keduanya tentang skil yang bisa dipelajari bukan kodrat yang diberikan Tuhan.
Semua permasalahan yang terjadi pada perempuan merujuk pada apa yang disebut sebagai manifestasi ketidakadilan yaitu marginalisasi, streotipe, subordinasi, kekerasan dan peran gender. Dan untuk melihat lebih jauh tentang itu semua kita harus paham tentang konsep gender dan konsep seks. Gender adalah suatu konsep yang muncul pada laki-laki dan perempuan, yang dikontruksikan baik secara sosial maupun kultural, contohnya seperti feminim dan maskulin. Sedangkan seks merujuk pada kondisi biologis. Seorang laki-laki disebut laki-laki karena ia terlahir memiliki penis dan seorang perempuan pun disebut perempuan karena sejak lahir ia memiliki rahim, vagina dan payudara. Berdasarkan konsep seksual inilah perlu digaris bawahi bahwa kodrat perempuan adalah mensturasi, mengandung, melahirkan, menyusui dan menopose. 5M inilah yang membuat perempuan dan hak-haknya banyak diperjuangkan karena sesungguhnya konsep gender telah menjadi landasan ketidakadilan dan membuat banyak perempuan menjadi manusia kelas dua. Ada lima hak perempuan yaitu hak dalam ketenagakerjaan, hak dalam kesehatan, hak mendapatkan pendidikan, hak dalam perkawinan/rumah tangga dan hak dalam publik dan politik. Hak ini merujuk pada prinsip HAM yaitu keseteraan dan tidak mendapat diskriminasi, dalam hal ini diskriminasi gender, seorang perempuan biasanya ditindas karena ia perempuan.
Manifestasi ketidakadilan gender biasanya timbul dinegara, organisasi, dunia kerja, pendidikan, masyarakat, agama, rumah tangga dan lahir dari dalam diri sendiri. Bila bicara tentang gender dan marjinalisasi, biasanya banyak terjadi didaerah-daerah yang tereksploitasi seperti Papua. Kita akan melihat pemandangan bahwa mama-mama akan berjualan diatas karung, dibawah terik matahari sambil menggendong anaknya. Kita akan melihat perempuan yang dulunya mencari bia dihutan manggrove, akhirnya sekarang menjaga pondok-pondok di Pantai Holtekamp, seorang istri kehilangan mata pencariannya dihutan karena tanahnya telah dijual oleh suaminya dan istri tersebut memilih menjadi buruh dan masih banyak lagi. Kita juga perlu mengenal gender dan subordinisasi, dimana subordinasi perempuan juga terjadi karena pandangan superior dan inferior seperti perempuan itu lemah dan harus dijaga, perempuan irasional atau emosional jadi tidak bisa menjadi pemimpin dan seterusnya. Ini membuat posisi perempuan semakin sulit, mereka bisa disuruh menurunkan mimpinya karena dirinya hanya seorang perempuan. Subordinasi kedudukan perempuan dibawah laki-laki juga bisa terjadi karena ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki, yang kadang membuat perempuan merasa bahwa tidak ada hal lain yang dimiliki selain kecantikan dan kepintaran dalam mengurus rumah untuk mendapatkan dan memiliki pasangan yang mempunyai pekerjaan. Mereka nyaman dengan peran sebagai ibu rumah tangga, yang sekalipun mendapatkan kekerasan tetap mempertahankan hubungan rumah tangganya dengan alasan ‘memikirkan masa depan anak’. Sungguh naas, tetapi inilah pilihan mereka. Terkadang perempuan pun sadar bahwa untuk memperoleh uang, tidak ada hal lain yang dimiliki selain tubuhnya dan mereka memilih bekerja sebagai pekerja seks bukan karena ingin menikmati, tetapi mereka tidak punya pilihan lain untuk mendapatkan uang.
Selain marjinalisasi dan subordinasi, ada juga kekerasan (violence) yang dialami oleh perempuan. Kekerasan gender terbagi menjadi beberapa bentuk seperti pemerkosaan, pemukulan/KDRT, serangan pada alat kelamin, pelacuran, pornografi, kawin paksa dan pelecahan seksual. Selama tiga tahun terakhir LBH Apik mengungkapkan peningkatan kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi di Indonesia. Ditahun 2020 perempuan dan kelompok minoritas lainnya menjadi sasaran kekerasan gender. LBH Apik mengungkapkan setidaknya ada 1178 kasus yang mereka tangani. Urutan pertama bentuk kekerasan yang diterima adalah KDRT. KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga adalah kasus yang paling sering terjadi. Ini juga merupakan kasus yang rumit mengingat kasus KDRT akan diakui oleh aparat apabila korban dan pelaku memiliki status sebagai suami istri yang sah secara negara dan agama. Sedangkan nikah adat seperti yang banyak terjadi di Papua tidak mendapatkan pengakuan bahkan pelaku hanya dijerat oleh pasal 351 KHUP tentang tindak pidana penganiayaan dan bukan kekerasan dalam rumah tangga seperti UU No. 23 Tahun 2004. Adanya tindakan hukum semacam ini maka tidak mengherankan Indonesia sebagai negara yang telah menjadi bagian dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang telah diadopsinya sejak tanggal 18 desember 1979, justru menjadi negara dengan tindak kekerasan gender yang paling mengerikan. LBH Apik melaporkan bahwa telah terjadi 418 kasus KDRT sepanjang tahun 2020, ini artinya setiap harinya perempuan selalu mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan negara belum mampu mengatasinya, termaksud dengan persoalan pasangan suami istri yang menikah secara adat dan naasnya ini justru terjadi dinegara yang mengakui keberadaan masyarakat adat.
Kita tahu bahwa ditahun 2020 hingga saat ini Indonesia sedang dihantui oleh Covid-19, tetapi bukan hanya jumlah covid 19 saja yang terus meningkat, akan tetapi jumlah kekerasan pun turut meningkat. Kita telah melihat KDRT sebagai tindakan yang sangat berat karena dampaknya bisa berujung pada kematian. Tetapi selain KDRT, rupanya ada satu jenis kekerasan yang sangat berbahaya bagi perempuan dan bagi kelompok minoritas yaitu KBGO. Kekerasan Berbasis Gender Online ini menduduki peringkat kedua sebagai kasus kekerasan yang paling sering ditangani oleh LBH Apik. Kekerasan Berbasis Gender Online ini adalah kekerasan yang difasilitasi oleh teknologi, yang sering tidak dipahami dan diakui sebagai kekerasan. Ada 16 jenis KBGO yaitu; trolling dan cotrolling, penyebaran foto/video intim nonkonsensual, extortion dan sextortion, tech enabled surveil lance, doxing, outing, impersonasi, peretasan, pornografi, manipulasi foto dan video, honey trap, pornografi anak online, cybergroming. Dari semua jenis KBGO ini menurut LBH Apik distribusi foto/video intim nonkensual merupakan kekerasan yang paling banyak terjadi. Kita tentu ingat dengan kasus GA, inilah contoh kasus dari distribusi foto/video intim nonkonsesual, dimana penyebaran foto/video ini dilakukan tanpa izin dari korban dan dilakukan oleh oknum tak dikenal. Sebenarnya dalam kasus-kasus yang terjadi bukan hanya OTK saja yang bisa menjadi tersangka, tetapi juga mantan kekasih. Hal ini terjadi karena biasanya pelaku memiliki dendam. Tindakan menguntit, menyadap akun pasangan, bahkan membuat akun palsu menggunakan data milik mantan kekasih atau orang lain juga merupakan contoh kasus KBGO dari 16 jenis KBGO yang telah disebutkan. Biasanya dalam KBGO ini juga bentuk kekerasannya bisa saling berkaitan satu sama lain. Dampak dari kekerasan ini adalah rasa malu, takut, tidak berdaya, stres bahkan bisa berujung pada kematian.
Musuh Dibalik Ketidakadilan Gender
Akar penindasan perempuan adalah patriarki karena saat berbicara tentang superior berarti merujuk pada kekuasaan yang dimiliki oleh laki-laki untuk menguasai perempuan. Dalam keberadaan patriarki selama ini, tidak ada konsep keseteraan dan non diskriminasi yang ada didalamnya. Perempuan harus bisa bekerja lebih dengan bayaran murah dibanding laki-laki. Sebenarnya bukan hanya perempuan saja yang dirugikan dengan sistem ini, tetapi laki-laki pun demikian. Kita paham bahwa konsep gender begitu membebani umat manusia yang dihadapkan dengan peran feminim dan maskulin. Para lelaki diminta untuk harus bekerja demi kebutuhan keluarga, mereka akan dihina dan diolok bila tidak memiliki pekerjaan, tidak bisa berburu, tidak bisa bekerja kasar dan bahkan tidak bisa membayar maskawin. Seorang pria mengatakan mengapa banyak laki-laki yang tidak setuju pada feminis? Feminisme adalah milik semua orang yang tidak setuju terhadap kekuasaan salah satu gender, menentang prinsip superior dan mendobrak segala ketimpangan dan diskriminasi yang dihadirkan oleh sistem patriarki.
Sistem Patriarki tidak bisa dikalahkan hanya dengan kemerdekaan sebuah bangsa. Lagi-lagi teori Fredich Engels perlu diingat kembali bahwa keluarga, hak privat dan negara merupakan awal kemunculan masyarakat berkelas. Dimana satu kelas dapat mengeksploitasi, menindas dan menang diatas penindasan kelas lainnya. Negara memberikan sumbangsi sendiri terhadap penindasan umat manusia seperti yang terjadi pada perempuan Indonesia juga, gerakan perempuan dipukul mundur dan dikalahkan saat negaranya merdeka.
Melihat dari sisi agama khususnya Kristen Protestan yang dikritik, perlu dingat bahwa sejak awal penciptaan umat manusia, Allah menciptakan Hawa (perempuan) dengan statusnya sebagai ciptaan yang sepadan dengan Adam. Dan setelah kehadiran Yesus, ia juga banyak melawan konsep adat Yahudi yang merendahkan perempuan. Mulai dari perempuan yang berzinah dan perempuan yang mengalami pendarahan selama 12 tahun. Seorang pendeta muda berkhotbah dan berbicara bahwa pada masa itu, setiap perempuan yang pendaraan seperti mensturasi, mereka akan dijauhi oleh masyarakat Yahudi karena dianggap najis, tetapi ini tidak bagi Yesus. Yesus memandang setara baik laki-laki maupun perempuan. Dilain kesempatan, Musdah Mulia sebagai seorang cendikiawan Islam berkata, “Jika budaya mengharuskan perempuan untuk menghamba ya rekonstruksi. Budaya itu kan kontruksi masyarakat”.
Patriarki, kapitalisme bahkan kolonialisme merupakan sistem yang hanya bisa dilawan juga oleh sistem. Mereka telah melahirkan banyak ketidakadilan gender yang memberatkan posisi perempuan selama ini khususnya perempuan Papua. Bila kapitalisme berhasil mengakawini patriarki setelah runtuhnya feodalisme, maka bukan tidak mungkin imprealisme pun akan melakukannya. Patriarki sendiri harus dipahami sebagai dasar penindasan perempuan yang perlu dicabut untuk mengakhiri segala bentuk penindasan perempuan dengan perlawanan yang terstruktur dan berdasarkan pada sistem yang kuat, yang mampu menghancurkan sendi-sendi kapitalisme dan imprealisme.
Referensi:
- Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Tranformasih Sosial: Pustaka Pelajar. Pustaka Pelajar
- https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210107203520-284-590941/1178-kasus-kekerasan-perempuan-terjadi-selama-2020