Analisa Harian Simalakama Otsus Papua: Kebijakan, Dana, dan Penolakan Rakyat

Simalakama Otsus Papua: Kebijakan, Dana, dan Penolakan Rakyat

-

Perjalanan Kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang diluncurkan pada tahun 2001 akan berakhir pada tahun 2021. Publik luar Papua dan Papua yang mengikuti kebijakan ini pasti sangat mengetahui bagaimana sejarah lahirnya[1] dan sepak terjang realisasi kebijakan tersebut. Berbagai kalangan masyarakat biasa sampai elit birokrat mengetahui dan mengikuti secara baik perjalanan kebijakan Otsus Papua tersebut. Ketika wacana seputar masa ‘jatuh tempo’ pemberlakuan Otsus Papua, berbagai pihak pun mulai saling menyerang dan mempersalahkan. Ada beberapa hal penting di dalam pembahasan ini yakni, pertama, kita diajak bukan untuk saling mempersalahkan dan membenarkan diri, tetapi kita diajak untuk melihat secara baik dan benar sejauh mana kebijakan itu berlaku untuk perlindungan masyarakat adat Papua. Masyarakat asli atau adat Papua yang harusnya menjadi penerima manfaat dan pelaksana kebijakan tersebut. Kedua, apakah Otsus Papua itu hanya semata-mata dikuncurkannya dana (uang)? Atau ada hal yang mendesak lainnya? Mari kita ikuti kisahnya bersama.

Wacana Berakhirnya Otsus Papua, Munculnya Otsus Papua Jilid II

Pada tahun 2021, dikatakan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) Papua akan berakhir. Pertanyaan penting untuk kita telaah bersama adalah apakah kebijakan hurufiahnya terlaksana? Atau dananya? Di awal tahun 2020, dari pihak Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) perwakilan Papua menjelaskan bahwa pengelolaan 80 triliun rupiah Dana Otsus sejak 2002 sampai 2019 tidak maksimal. Ada tiga alasan yang disampaikan, pertama, regulasi terkait penggunaan dana sesuai amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 atau  Undang-Undang  Otsus Papua belum sepenuhnya memadai, diantaranya perubahan regulasi yang belum disiapkan. Kedua, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota belum memiliki struktur pengelolaan dana Otsus yang memadai serta didukung Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kompetensi memadai. Ketiga, perencanaan dan pengalokasian anggaran penggunaan dana Otsus belum seluruhnya memadai. Keempat, pencairan dan pemanfaatan dana Otsus  yang masih belum optimal.[2] Wacana lainnya yang dapat kita tangkap dari beberapa media lainnya adalah kebijakan UU Otsus Untuk Papua dan Papua Barat ini direvisi, bukan diberhentikan.

“Jadi jangan sampai ada publik berpendapat bahwa seakan-akan otsus Papua berakhir tahun 2021. Yang ada batas akhir itu adalah dana otsus-nya, (sedangkan) pelaksanaan otsus Papua tetap berjalan”[3]

Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI, 22 Januari 2020, Menteri Dalam Negeri RI Tito Karnavian, menjelaskan bahwa pembahasan RUU Otsus Papua harus dilakukan pada tahun ini, tahun 2021 oleh DPR.

“Ada dua skenario alternatif, untuk RUU (Otsus Papua). Yang pertama adalah hanya melakukan keberlanjutan dana otsus dua persen dari dana alokasi umum. Kedua melanjutkan hasil pembahasan tahun 2014 RUU tentang Otsus Pemprov Papua, singkatnya yang dilanjutkan dananya, otsusnya terus dilakukan. Sedikit dipercantik termasuk aspirasi dari Papua. Prinsipnya kita ingin melakukan percepatan pembangunan di Papua, affirmative action, sehingga isu-isu yang bisa merusak keutuhan NKRI itu terjaga”[4]

Pada kesempatan lainnya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan RI Mahfud MD menjelaskan bahwa pemerintah memutuskan memperpanjang pemberian dana Otsus bagi Papua.

“Dana otonomi khusus akan diperpanjang dengan Undang-Undang baru karena masa berlaku (UU 21/2001) akan habis bulan November 2021. Jadi Undang-Undangnya harus disiapkan dari sekarang”[5]

 Pada 11 Maret 2020, dalam rapat terbatas mengenai dana Otsus Papua di Kantor Presiden, Presiden RI Ir. Jokowidodo meminta agar dana Otsus Papua dievaluasi secara total menjelang berakhirnya pada tahun 2021.

“Karena angkanya besar, saya minta dilihat lagi secara detail bagaimana pengelolaannya, transparansinya, akuntabilitasnya,” ujar Presiden Jokowi. “Jadi sangat penting good governance-nya, penyalurannya apakah betul sudah ter-delivered ke masyarakat”[6]

Pada 9 November 2020, Ketua DPR RI Puan Maharani dalam pertemuan rapat paripurna DPR RI di Senayan, Jakarta, di dalam pidatonya, meminta pemerintah membuat kebijakan baru untuk memperkuat pembangunan Papua.

“Pada tahun 2021, dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat akan berakhir. Oleh karena itu, DPR dan Pemerintah secara bersama perlu menemukan kebijakan baru dalam memperkuat pembangunan di Papua dan Papua Barat”[7]

Ketika dalam kunjungannya ke Timika, Papua, Juli 2020, Menteri Dalam Negeri RI Tito Karnavian kembali menyampaikan bahwa Otsus Papua akan diperpanjang lagi, 20 tahun ke depan. Alasan Tito karena sangat dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan di Papua.

Berbeda dengan pendapat pusat lainnya yang disampaikan oleh LIPI (Lembaga Penelitian Indonesia) yang diwakili oleh Cahyo Pamungkas. Menurut Cahyo, otonomi khusus Papua sebenarnya sudah gagal sejak lahirnya. Di tahun 1998 sampai 2001, pemerintah Indonesia mengalami tekanan dari luar negeri dan pada saat yang bersamaan masyarakat Papua meminta referendum. Pemerintah pusat bersedia berkompromi dengan elit reformasi dan elit Papua untuk menetapkan Otonomi Khusus Papua. 

“Tapi setelah negara menguat pasca 2002, pemerintah tidak lagi melihat Otsus itu penting. Beberapa elite pemerintah terkesan melihat Undang-Undang Otsus itu, sebagai undang-undang separatis. Otsus itu gagal sejak lahir”[8]

Bagaimana dengan pendapat elit birokrasi Papua dan Papua Barat? Pada September 2020, Gubernur Papua Lukas Enembe dalam rapat tertutup dengan pimpinan Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Provinsi Papua menyerahkan kajian Otsus dari Universitas Cenderawasih Jayapura kepada DPR Papua dan MRP.

“Kami, (Pemerintah) Provinsi sudah mengambil sikap untuk tidak membahas (evaluasi Otsus Papua). Sebab, sebelumnya kami (sudah mendorong revisi UU Otsus Papua), tapi kemudian ditolak pusat. Jadi, (hasil kajian Uncen itu) kami serahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua, untuk dibahas”[9]

Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat (MRP dan MRPB) mulai melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Lembaga yang mulai ‘berbau’ elit birokrasi ini merencanakan dan melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang Otonomi Khusus untuk Papua[10]. Rapat Dengar Pendapat ini bertujuan mendengarkan dan mengumpulkan aspirasi rakyat Papua tentang pelaksanaan dan nasib dari Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.

“Rakyat Papua yang mesti melakukan evaluasi, karena merekalah penerima manfaat implementasi Otsus selama 20 tahun. MRP dan DPR Papua akan memfasilitasi rakyat Papua menyampaikan pendapatnya”

 Agenda dari MRP terkait pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) mendapat tanggapan dari pihak kepolisian daerah Papua. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua mengeluarkan sebuah maklumat untuk melarang MRP melaksanakan kegiatan tersebut. Bagi pihak kepolisian, Rapat Dengar Pendapat tentang Otsus Papua merupakan tindakan makar[11]. Di Merauke, berbeda cerita, kegiatan Rapat Dengar Pendapat yang dilaksanakan oleh MRP terpaksa ‘dihalangi’ oleh pihak kepolisian. Bahkan peserta sebanyak 54 orang dan anggota MRP ditahan oleh pihak Polres Merauke[12].

Pihak MRP menolak saran atau wacana yang disampaikan oleh Mendagri RI Tito Karnavian yang ingin mempercepat pembahasan UU Otsus dalam DPR RI. Majelis Rakyat Papua minta Jakarta harus menghargai mekanisme legal, sesuai dengan UU nomor 21 pasal 77: suatu evaluasi diadakan dan evaluasi ini dijalankan oleh rakyat Papua. Mendagri akan melanggar hukum kalau memaksakan desakannya kepada DPR RI[13]. Apalagi teringat pada pernyataan Presiden beberapa bulan lalu waktu beliau mengonfirmasikan bahwa suatu evaluasi total akan diadakan[14].

Pro Kontra Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Peristiwa sekitar pro kontra Otsus Papua menjadi hangat pada semester kedua tahun 2020 (Juli – Desember 2020). Di beberapa media cetak dan online (lokal dan nasional) mencatat suasana tersebut.

Penolakan

Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang merupakan salah satu kelompok atau organisasi gerakan pembebasan di Papua memberikan pernyataannya. Melalui juru bicara internasional, Victor Yeimo, KNPB dengan tegas menolak pemberlakuan dan perpanjangan Otonomi Khusus Papua. Bagi mereka, jalan atau solusi terbaik bagi rakyat Papua adalah penentuan nasib sendiri. Alasan yang disampaikan juga jelas bahwa Tanah Papua bukan bagian dari NKRI.

“Masyarakat Papua sudah sadar dan tidak merasakan dampak dari Otsus sehingga saat ini masyarakat Papua terus menuntut Negara Indonesia memberikan ruang untuk penentuan nasib sendiri. Masyarakat Papua minta penentuan nasib sendiri bukan Otsus”[15]

 Wadah atau rumah bagi kelompok gerakan pembebasan Papua yakni United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) bernada yang sama dengan KNPB. Pihak ULMWP menegaskan bahwa kehadiran Otsus Papua selama 20 tahun bukan niat baik pemerintah untuk membangun masyarakat Papua karena hingga saat ini masyarakat Papua tidak merasakan dampak dari Otsus. Direktur Eksekutif ULMWP, Markus Haluk mengatakan bahwa ULMWP terus berkomitmen untuk memperjuangkan dan mewujudkan hak penentuan nasib sendiri sesuai visi dan misi dengan menggalang dukungan rakyat West Papua dan Negara-negara serumpun Melanesia.

“Bicara otonomi khusus hari ini rakyat Papua tidak pernah mendapat manfaat dari Otsus. Yang terjadi adalah penduduk secara massif yang berdampak pada kehidupan orang Papua hari ini mengarah kepada proses genosida maka ULMWP kami ingin bersatu sepakat untuk kembali ke pangkuan Melanesia”[16] 

Selain kelompok atau organisasi pembebasan Papua, kelompok mahasiswa dan pemuda Papua juga menyeruhkan penolakan terhadap Otsus Papua Jilid II. Kelompok generasi muda Papua yang terdiri dari 7 wilayah adat Papua menolak Otsus Papua Jilid III. Bagi mereka, Otsus tidak menjamin kehidupan orang Papua Asli. Aksi penolakan ini dilakukan secara damai di Perumnas II Waena, Kota Jayapura, Papua, pada Rabu 8 Juli 2020[17].

Di Fakultas Teologi UKIP (Universitas Kristen Papua) di Sorong, Pdt Julian Anouw, menyatakan bahwa sebenarnya orang Papua asli tidak perlu Otsus; mereka bisa atur diri tanpa Otsus. Bagi Julian, de facto Otsus ini hanya menguntungkan orang non-OAP dan segelintir elite Papua saja[18]. Dia menilai Otsus berakhir atau tidak, tidak berdampak pada masyarakat asli Papua. Sebab, masyarakat asli Papua bisa hidup tanpa Otsus karena mempunyai sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk keberlangsungan hidup.

Di wilayah Papua lainnya seperti di Suku Marind, Merauke. Masyarakat adat Marind Imbuti, menggelar aksi demo damai menolak pelaksanaan RDP yang digelar oleh MRP. Aksi ini dilaksanakan pada 16 November 2020. Alasan penolakan adalah MRP yang selama ini ‘diamini’ sebagai lembaga kultur tidak pernah membawa aspirasi masyarakat adat terutama di bagian selatan Papua. Kelompok ini menolak RDP tetapi mendukung agar Otsus Jilid II tetap dilanjutkan.[19]

Penolakan terhadap pelaksanaan Otsus Jilid II mulai terkonsolidasi secara baik dan terstruktur dengan terbentuknya media Petisi Rakyat Papua. Media ini merupakan wadah mengumpulkan pendapat penolakan terhadap kelanjutan Otsus Papua Jilid II dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Ketidakbaikan, ketidakadilan hukum, perampasan lahan/kerusakan hutan, eskploitasi perut bumi Papua, tidak adanya niat baik pemerintah Indonesia menyelesaikan segala pelanggaran HAM berat di Papua, menjadi alasan kuat Media Petisi Rakyat Papua untuk terus bersuara agar Pemerintah Indonesia tidak memaksakan keberlanjutan Otsus Papua, menghentikan pengiriman militer ke Papua, menghentikan pemekaran daerah otonom baru di Tanah Papua dan memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Menarik bahwa media ini mampu menjaring berbagai kelompok masyarakat Papua baik yang berada di Tanah Papua maupun solidaritas di luar Papua. Perkenalan dan kampanye tentang pro kontra Otsus Papua Jilid II terus mengalir deras di media online dan cetak. Awalnya sekitar 17 organisasi atau kelompok yang tergabung dalam Media Petisi Rakyat Papua[20]. Dan untuk pertama kalinya media ini diperkenalkan dalam sebuah konferensi pers pada 4 Juli 2020 di Kota Jayapura.

Tiga denominasi Gereja besar di Tanah Papua (GKI, Bapti dan Kingmi) yang tergabung dalam Dewan Gereja Papua mengeluarkan sebuah catatan refleksi terhadap perjalan Otonomi Khusus Papua. Dengan judul laporannya “Tuhan Otsus & Pembangunan Indonesia di Papua sudah Mati”,  Dewan Gereja Papua menyoroti akar segala permasalahannya. Salah satu yang disoroti adalah unsur rasialis, segala tindakan Indonesia “dijiwai superioritas etnis”. Bagi mereka, keberadaan Negara Indonesia sejak tahun 1963 disemangati dengan diskriminasi rasial. Dewan Gereja Papua minta keadilan untuk Papua dan mendesak Pemerintah Indonesia supaya suatu dialog ‘gaya GAM Aceh’ untuk segera dilaksanakan guna menangani akar-akar permasalahan di Papua[21].

Pada 9 Agustus 2020, bertepatan dengan merayakan Hari Pribumi Internasional, Dewan Adat Papua (DAP) versi Mubes Luar Biasa, di Welesi, Kabupaten Jayawijaya, menandatangani petisi Tolak Otsus. Menurut Ketua DAP versi Mubes Luar Biasa, Dominikus Sorabut, terkait dengan penolakan Otsus, DAP bersama masyarakat tidak akan demo, hanya dengan membuat petisi di seluruh wilayah adat[22]. Sebulan kemudian, pada 9 September 2020, mahasiswa dan pemuda Papua yang tergabung dalam Front Mahasiswa dan Masyarakat Papua melakukan aksi damai penolakan terhadap kelanjutan Otsus Papua Jilid II di Kota Jayapura, tepatnya di Halaman Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura. Masa aksi mendesak agar Pansus yang dibentuk di 29 kabupaten/kota Provinsi Papua segera dibubarkan dan meminta kepada Presiden RI untuk segera menarik militer organik dan non organik dari Tanah Papua[23]. Aksi penolakan dari mahasiswa Papua terhadap kelanjutan Otsus Papua Jilid II juga masih tetap dilakukan pada 28 September 2020 di Uncen. Mahasiswa Uncen yang terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa Uncen dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Uncen mendesak agar para elit Papua dan dosen Uncen Jayapura menghentikan pembahasan kelanjutan Otsus Papua Jilid II. Aksi damai di halaman Kampusnya sendiri Uncen, terpaksa dibubarkan oleh aparat gabungan TNI Polri[24].

Salah satu pemuda Papua yang juga pegiat di bidang pendidikan dan Ketua Gerakan Papua Mengajar, Agustinus Kadepa, menilai tolok ukur Otsus Papua itu tidak berhasil adalah kemandekan aktivitas persekolahan di Tanah Papua, lebih khusus di daerah yang jauh dari perkotaan. Selain itu banyaknya pegawai negeri atau aparatur sipil Negara (ASN) tidak serta merta mendedikasikan dirinya dalam kemajuan pendidikan di Papua. Banyak tenaga pendidikan di daerah pedalaman yang berkeliaran di perkotaan[25].

Di Luar Papua, terjadi aksi solidaritas untuk Papua terkait persoalan krusial di Tanah Papua, termasuk penolakan Otsus Papua Jilid II. Para pihak yang tergabung dalam Komite Aksi Penolakan Otsus (dibentuk mahasiswa Papua di Jakarta) meneruskan pesannya kepada Menteri Dalam Negeri RI melalui siaran pers pada 14 Juli 2020. Ada beberapa pernyataan sikap yang disampaikan antara lain: a). Menolak Otsus Jilid II karena bukan kehendak rakyat Papua; b). Mengutuk keras elit politik Papua yang mengatasnamakan rakyat Papua untuk agenda dialog dan perpanjang Otsus; c). Bebaskan seluruh tahanan Politik dan Rasis di Papua; d). Hentikan segala bentuk diskriminasi dan rasisme terhadap tahanan politik dan mahasiswa Papua; e). Buka seluas-luasnya akses jurnalis asing ke Tanah Papua; f). Tarik militer organik dan non organik dari tanah Papua; g). Memberikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokrastis bagi rakyat Papua[26].

Walaupun mendapatkan ketidaksetujuan dan ketidakmauan dari elit birokrasi Negara Indonesia dan kelompok yang berkepentingan di Tanah Papua, warga Papua yang menolak Otsus Papua Jilid II tetap berjuang. Segala aksi demo penolakan Otsus Jilid II Papua terus berjalan.

Penerimaan Otonomi Khusus Papua Jilid II

Pada 25 Januari 2020, di Swiss Bell Hotel, Jayapura, terjadi pertemuan ‘beberapa pihak’ untuk membahas penyelesaian masalah di Papua serta rancangan undang-undang Otonomi Khusus yang masuk dalam tahapan program legalisasi nasional 2020. Ternyata ada 16 pembicara/pembawa materi.[27] Salah satu tokoh pemuda dari Nduga, Papua, Samuel Tabuni, memberitahukan bahwa pertemuan ini diadakan untuk mencari solusi di Papua. Pertemuan ini dihadiri Pangdam Papua, Gubernur dan Wakil Gubernur dari Papua dan Papua Barat dan Ketua MRP dan MRPB.

Selain kelompok masyarakat Papua yang menolak kelanjutan Otonomi Khusus Papua Jilid II, ada juga segelintir kelompok orang Papua yang menginginkan kelanjutan Otsus Papua Jilid II. Aspirasi kelanjutan Otsus Jilid II ini ‘sepertinya’ diboncengi oleh pihak tertentu dan ‘mereka’ yang ingin adanya pemekaran daerah otonomi baru di Tanah Papua. Penolakan juga terjadi saat tidak menghadiri RDP yang dilaksanakan oleh MRP dan MRPB. Mereka tidak mau berpendapat di dalam ruang yang resmi tetapi menginginkan adanya kelanjutan Otsus Papua Jilid II. Di beberapa media  ada ‘para pihak’ yang menolak untuk terlibat dalam RDP dan menginginkan kelanjutan Otsus Papua Jilid II tampil di depan publik.

 Berkomentar sepintas tentang Otonomi Khusus Papua

Melihat perjalanan Otonomi Khusus Papua sejak 2002 sampai 2020, beberapa urgent tidak disentuh sama sekali realisasi dari kebijakan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Para pihak dari tingkatan pusat Negara Indonesia (Jakarta) sampai daerah Papua, kebanyakan berbicara Otsus Papua seputar kucuran dan pembagian dana Otsus Papua. Ketika ada suara yang menginginkan substansial dari kebijakan UU No. 21 tahun 2001 tersebut, seringkali terhalang dengan kepentingan yang berslogan NKRI Harga Mati. Kita bisa bersandar pada beberapa point krusial yang tertuang di dalam UU No. 21 tahun 2001 tersebut.

Pertama, Bab IV tentang Kewenangan Daerah. Sejauh mana kewenangan daerah (Pemerintahan Provinsi Papua dan Papua Barat) dihargai dan dihormati? Dalam diskusi atau acara Mata Nadjwa yang disiarkan Stasiun TV Nasional Indonesia bertajuk “Nyala Papua: Bangun Papua Harus Dengan Hati”, Gubernur Papua Lukas Enembe memberikan teguran keras.

‘Konsep ini (Otonomi Khusus) Konsep Indonesia atau konsep internasional? Undang-undang No. 21 tidak berjalan, hanya dikasih uang saja. Kewenangan sama sekali tidak ada, semua Perdasus yang kita (Pemrov Papua) buat tidak menjadi sebuah Perdasus. Di Papua hanya satu PP yang ada yaitu MRP, yang lain tidak ada. Padahal sudah berjalan 21 tahun’[28]

 Kedua, Bab VII tentang Partai Politik. Apakah sudah ada partai politik lokal Papua yang dibentuk dan diterima? Beberapa kali orang Papua yang menginginkan demokrasi yang adil mendorong hal tersebut. Semuanya tidak berjalan sampai saat ini.

Ketiga, Bab VIII tentang Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi dan Keputusan Gubernur. Sudah berapa Perdasus yang disahkan, disosialisaskan dan dilaksanakan?

Keempat, Bab X tentang Perekonomian. Apakah sungguh-sungguh ada pemerataan perekonomian bagi orang asli Papua? Memberikan kesempatan kepada orang asli Papua untuk memajukan ekonomi dengan caranya? Apakah pemanfaatan sumber daya alam untuk perekonomian menghargai hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan Papua?

Kelima, Bab XI tentang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Apakah segala kebijakan investasi sejak ini menghargai dan melindungi masyarakat adat Papua? Apakah kerakusan para pihak yang berinvestasi di Papua mendengarkan teriakan dan tangisan masyarakat adat Papua?

Keenam, Bab XII tentang Hak Asasi Manusia. Sudah berapa kasus pelanggaran HAM Papua yang diselesaikan? Benarkah para pelaku pelanggaran HAM dihukum secara adil? Apakah sudah dibentuknya Komisi Nasional HAM Daerah Papua? Apakah sudah dibentuknya Pengadilan HAM di Papua? Apakah sudah dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi?

Ketujuh, Bab XVI tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Benarkah akses mendapatkan pendidikan yang layak dialami oleh generasi muda Papua? Benarkah para penyelenggara pendidikan menjalankan tanggung jawabnya sebagaimana mestinya? Berapa banyak generasi muda Papua berusia sekolah yang harus menemui ajalnya karena kepentingan para pihak? Berapa banyak tenaga pendidik (guru) yang harus menemui ajalnya karena kepentingan para pihak?

Kedelapan, Bab XVII tentang Kesehatan. Apakah benar akses kesehatan yang adil dan merata sudah dirasakan oleh masyarakat adat Papua? Berapa banyak kasus luar biasa di bidang kesehatan sejak pemberlakuan kebijakan Otsus Papua? Apakah tenaga para medis (dokter, perawat, apoteker, dan lain-lain) tersedia dan setia melayani masyarakat adat Papua di daerah pedalaman?

Kehadiran Otonomi Khusus Papua menghadirkan permusuhan di antara masyarakat adat Papua maupun antara masyarakat dan pemimpinnya. Konsep Otonomi Khusus Papua yang dilihat sebagai ‘lumbung’ berlimpahnya dana melahirkan perbudakan yang sadar dan tak disadari oleh masyarakat adat Papua. Bagi ‘mereka’ yang marasakan dan bermandikan kucuran dana Otsus, bersukaria dan menginginkan kebijakan tersebut terus berlanjut. Tetapi bagi kebanyakan masyarakat kecil Papua (masyarakat adat Papua) yang merasakan bahwa Otsus adalah neraka dan malapetaka menginginkan agar Otsus Papua Jilid II tidak dilanjutkan. Ketika teriakan penolakan semakin kuat, Negara Indonesia mulai mengambil hati masyarakat adat Papua dengan mengeluarkan berbagai macam kebijakan. Di tahun 2020, ada program penerimaan generasi muda yang berkeinginan menjadi militer dengan program ‘penerimaan bintara melalui jalur Otsus’[29]. Ada program lain seperti ‘Kita Cinta Papua’[30], mengembalikan semangat pemekaran wilayah atau daerah otonom baru di Tanah Papua dan lain sebagainya.

Siapa yang diuntungkan? Apakah si pemilik tanah Papua? Siapa yang harus disalahkan? Kalau Otsus Papua itu untuk rakyat sudah seharusnya mendengarkan bagaimana suara dari masyarakat yang tidak diboncengi oleh kepentingan apapun. Ketika suara untuk keadilan dan kebenaran ‘dirasuki’ oleh kerakusan yang terjadi adalah saling memburuh, saling membunuh, saling mencurigai. Dialog yang ditawarkan untuk mencari solusi damai pun dibiarkan berlarut-larut.

Referensi:

[1] Lihat: https://mrp.papua.go.id/sejarah-hadirnya-mrp/

[2] Lihat: https://papuainside.com/bpk-temukan-pemanfaatan-dana-otsus-di-papua-belum-efektif/

[3] Pernyataan dari Kepala Pusat Penerangan Kementrian Dalam Negeri RI Bahtiar. Lihat: https://nasional.kompas.com/read/2020/01/31/18483611/kemendagri-papua-tetap-daerah-otonomi-khusus-setelah-2021?page=all

[4] Pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri RI Tito Karnavian. Lihat: https://tirto.id/mendagri-ruu-otsus-papua-mendesak-dibahas-karena-berakhir-2021-euhS

[5] Pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI Mahfud MD. Lihat: https://kabar24.bisnis.com/read/20200311/15/1212198/pemerintah-putuskan-perpanjang-dana-otonomi-khusus-papua

[6] Lihat: https://nasional.kompas.com/read/2020/03/11/14101151/jokowi-minta-dana-otsus-papua-dievaluasi-total, https://tirto.id/jokowi-otsus-berakhir-2021-evaluasi-apakah-dirasakan-warga-papua-eEji

[7] Lihat: https://news.detik.com/berita/d-5247826/ketua-dpr-dorong-kebijakan-baru-terkait-dana-otsus-papua

[8] Lihat: https://jubi.co.id/peneliti-lipi-otsus-gagal-sejak-lahir/

[9] Lihat: https://jubi.co.id/gubernur-serahkan-hasil-kajian-uncen-atas-otsus-papua-kepada-dpr-papua-dan-mrp/

[10] Lihat: https://jubi.co.id/legislator-papua-biarkan-rakyat-papua-tentukan-masa-depannya/

[11] Lihat: https://www.ceposonline.com/2020/11/16/orasi-dibubarkan-polisi-ini-yang-diteriakkan-anggota-dprp/

[12] Lihat: https://www.rmolpapua.id/2020/11/17/terindikasi-makar-puluhan-peserta-rapat-dengar-pendapat-umum-mrp-di-amankan-polres-merauke,

https://jubi.co.id/papua-mrp-amatus-ndapits-mengaku-diborgol-polisi/amp/

https://www.amnesty.id/penangkapan-anggota-majelis-rakyat-papua-cermin-pembungkaman-oap/

[13] Lihat: https://jubi.co.id/papua-mrp-evaluasi-otsus-menisme-legal/

[14] Lihat: https://en.antaranews.com/news/134518/jokowi-confirms-total-evaluation-of-papuas-special-autonomy-status

[15] Pernyataan yang disampaikan oleh Juru Bicara Internasional KNPB, Victor Yeimo. Lihat Harian Cenderawasih Pos, 8 Juli 2020.

[16] Pernyataan Direktur Eksekutif ULMWP, Markus Haluk, lihat Harian Cenderawasih Pos, 9 Juli 2020.

[17] Lihat Harian Cenderawasih Pos, 10 Juli 2020, https://jubi.co.id/pemuda-7-wilayah-adat-di-papua-nyatakan-tolak-otsus-dan-segera-gelar-referendum/

[18] Lihat: https://suarapapua.com/2020/05/22/dosen-ukip-sorong-oap-bisa-hidup-tanpa-otsus/

[19] Lihat Harian Cenderawasih Pos, 17 November 2020.

[20] Media Petisi Rakyat Papua dibentuk untuk mengumpulkan aspirasi rakyat Papua penolakan Otsus Papua Jilid II. Sampai saat ini (2021) sudah ada 112 organisasi tergabung dalam media ini. Untuk lebih jauh mengenal dan memahaminya bisa mengakses akun media sosial PRP youtube, facabook, twiter dan instagram.

[21] Dewan Gereja Papua (WPCC), Jayapura, 6 Juli 2020.

[22] Lihat: https://jubi.co.id/dap-buat-petisi-tolak-otsus-jilid-ii-pada-peringatan-hari-pribumi-internasional/

[23] Lihat Harian Cenderawasih Pos, 10 September 2020.

[24] Lihat Harian Cenderawasih Pos, 29 September 2020.

[25] LIhat: https://jubi.co.id/dampak-dari-pendidikan-di-papua-itu-tidak-dirasakan-oleh-masyarakat/

[26] LIhat: https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200714142954-20-524503/mahasiswa-papua-demo-otsus-jilid-ii-itu-pemberian-jakarta

[27] Lihat Koran Jubi, 27-28/1/2020.

[28] Pernyataan Gubernur Papua Lukas Enembe yang disampaikan pada diskusi yang bertajuk ‘Nyala Papua’, bisa diakses di sini: https://youtu.be/DsPg8piSm7o, https://youtu.be/qzU_ImHJIHo

[29] Lihat: https://www.beritasatu.com/faisal-maliki-baskoro/nasional/693755/960-orang-asli-papua-lulus-seleksi-bintara-tni-melalui-jalur-otsus

[30] Lihat: https://www.pasificpos.com/lewat-audensi-kanwil-kemenag-minta-dukungan-dpr-papua/,  http://papuainside.com/president-gidi-tak-hadiri-undangan-tatap-muka-dengan-menag/

Bernard Koten
Penulis adalah Staf Dokumentasi dan Publikasi SKPKC Fransiskan Papua juga Ketua Umum di Papuan Voices

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Apabila Prabowo jadi Presiden

Selalu ada jejak yang ditinggalkan saat diskusi walau diskusinya bebas, pasti ada dialektikanya. Walau seminggu lebih sudah berlalu, namun ada...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan