Pengantar
Ra Bu Khela Ra Wali sebuah judul berbahasa Sentani yang memiliki arti mendalam bagi masyarakat adat Sentani. Ra Bu Khela Ra Wali yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya Danau Ku Hidup Ku. Judul ini sengaja dititipkan oleh orangtua di Kampung Yoboy untuk menyadarkan kembali anak-anak asli di Sentani agar bisa menjaga wilayah adatnya, yang terus menerus dijual dan dirusak.
Judul ini akan memuat tulisan yang berisi kebutuhan masyarakat Adat Sentani sendiri, yaitu tanah, air dan sagu dengan menunjukan bagaimana perubahan dan permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat adat Sentani. Janji kemajuan juga hadir dengan iming-iming kesejahteraan ekonomi , yang ternyata merujuk pada akumulasi kekayaan sekelompok orang dengan menghilangkan kepercayaan, adat istiadat, kebudayaan, tanah adat, pemerintahan adat, dan wilayah adat masyarakat Sentani sendiri.
Siapa yang memiliki Sentani?
Masyarakat adat Sentani (Phuyaka/Buyaka) terdiri dari suku asli dan suku exodus, namun proses panjang telah menghilangkan pemahaman siapa yang asli dan siapa yang exodus dan membuat mereka dengan bangga mengakui diri mereka sebagai “Buyaka Romiye”, tetapi sejarah ini memang perlu dipahami lebih dalam. Setidaknya kasus pengusiran beberapa waktu lalu terhadap masyarakat Sentani kembali ke timur PNG, yang dilakukan oleh salah satu oknum yang mengklaim diri sebagai Raja Tabi telah berhasil memunculkan perdebatan bagi masyarakat Adat Sentani dan kemudian mempertanyakan status raja Tabi yang diklaim dan pelantikan yang dirasa salah karena tidak dilakukan didalam para-para adat atau Obhe. Ini perlu menjadi catanan penting tentang struktur kepemimpinan diwilayah Tabi, yang berdasarkan pada keondoafian dan kepercayaan akan keberadaan Dewa Matahari.
Dari berbagai literasi tentang sejarah masyarakat adat Sentani, di Wilayah adat Tabi terdapat duabelas Ondoafi Tabi atau dua belas Ondoafi igwa-igwa. Di Sentani sendiri ada lima Ondoafi igwa-igwa atau yang dikenal juga sebagai lima ondofolo besar di Sentani yaitu Ondofolo dari Yonokom/Kwadeware, Sereh, Abar, Asei dan Puay. Salah satu ondofolo besar dari Sentani yang namanya tidak asing bagi rakyat Papua adalah Dorthyes Hiyo Eluay atau Theys Eluay, yang makamnya ada dipusat kota Sentani dan namanya juga kini diabadikan sebagai Bandara Sentani. Pejuang kemerdekaan Papua Barat, yang mati terbunuh itu bukan hanya pemimpin bagi rakyat Papua pada saat itu, tetapi Theys Eluar juga merupakan pemimpin besar dalam tatanan pemerintahan adat di Wilayah Adat Tabi.
Philipus Kopeuw dalam grup Buyaka menuliskan tentang tiga kelompok besar yang datang dari timur PNG dan mendiami danau Sentani. Pertama ada Heram yang mendiami wilayah timur, lalu Heasei yang mendiami Wilayah tengah dan Yonokhom yang mendiami wilayah barat. Dari suku asli dan suku exodus ini juga keduanya telah menjadi bagian terpenting dari masyarakat Adat Sentani. Suku asli adalah mereka sudah lebih dulu menempati Sentani sebelum kedatangan Suku Exodos. Sejauh ini belum pernah ada perbedaan siapa yang pendatang dan siapa yang asli, siapa yang berkuasa dan siapa yang menguasai, mereka sama-sama memiliki Sentani dan menguasai Sentani dengan aturan adat istiadat serta kebudayaan yang ada.
Seiring dengan masuknya negara, perlahan struktur adat mulai dirombak. Dalam hal wilayah adat, batas wilayah adat milik Suku Sentani juga sampai dikawasan Waena, tetapi dipisahkan berdasarkan wilayah pemerintahan antara Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura. Pemisahan ini juga membuat Kampung Yoka akhirnya masuk sebagai wilayah pemerintahan Kota Jayapura dan akan menimbulkan pertanyaan bagi orang awam mengapa ada tanah ulayat orang Sentani di Kota Jayapura? Bukannya mereka hanya ada di Sentani? Ini hanya salah satu contoh dari beberapa masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Melepas Tanah Adat
Kehadiran masyarakat adat menurut Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, yang dalam sebuah diskusi tentang Hak Masyarakat Adat mengungkapkan setidaknya ada tiga hal penting untuk menggambarkan kehadiran masyarakat adat, yaitu manusia, wilayah, dan adat istiadat. Selain itu, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa masyarakat adat adalah mereka yang memiliki sejarah, wilayah, dan bahasa. Inti dari keduanya adalah wilayah, yaitu wilayah adat. Sebagai contoh Masyarakat Adat Lauje, dalam sebuah tulisan tentang Kebun Kacang Terakhir, mereka membagi kepemilikan tanah menjadi empat, yang terdiri dari Doat(hutan primer), Ulat (hutan sekunder), Abo(semak-semak yang tumbuh) dan Jo’ong (petak lahan). Biasanya wilayah adat ini dibagi oleh masyarakat adat sendiri, di Sentani misalnya ada tiga pembagian wilayah yaitu wilayah timur, tengah dan barat.
Selain itu Gunung Cycloop (Robongsolo/Robonghollo) bisa dikatakan sebagai Hutan Primernya masyarakat Sentani, yang menurut kepercayaan masyarakat Sentani sendiri pohon-pohon yang ada diatas tidak boleh ditebang selain itu tidak boleh ada aktivitas perkebunan dibawah kaki Cycloop, tetapi sayangnya peralihan fungsi seiring dengan adanya migrasi dan pembangunan telah membuat kepercayaan itu menghilang.
Tanah dan air sendiri merupakan bagian dari wilayah adat. Menurut keterangan dari salah satu orangtua di Kampung Yoboy, masyarakat Sentani membutuhkan tanah dan air untuk terus hidup, ini berdasarkan letak geografisnya sendiri yang memiliki banyak aliran air dari Hollo (hulu) ke Danau (hilir). Danau Sentani juga icon tersendiri, yang akhirnya membuat masyarakat Sentani memang identik dengan air. Dalam perlawanan melawan penjajahan Jepang ditahun 1943/1944, seorang tokoh Masyarakat Sentani, Bapak Paulus Pallo dengan kekuataan spiritualnya berhasil menurunkan air dari Cycloop. Peristiwa ini dikenang sebagai banjir terbesar di Sentani yang berhasil menghancurkan persenjataan Jepang, dan dalam waktu yang bersamaan tentara Amerika pun tiba di Holandia dan berhasil menaklukan Jepang. Ada juga yang mengatakan ditahun 1926, banjir juga digunakan untuk menghancurkan camp milik Belanda di Doyo Baru. Masyarakat adat Sentani menjadikan air sebagai alat perlawanan dalam melawan penjajah pada saat itu.
Dalam sebuah diskusi kelompok tentang transformasi ruang, kami memilih mengungkap transformasi ruang yang terjadi didaerah Waena dari Expo hingga Prumnas 4, Padang Bulan. Diceritakan oleh Kepala Kampung Netar yang bercerita, dulunya kawasan expo terdapat dusun sagu bahkan dikawasan belakang makam pahlawan terdapat tempat yang dikenal sebagai aliran air. Ini mengungkap adanya transformasi ruang dalam rangka mendukung pembangunan perumahan. Urbanisasi masif mengubah lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, tetapi yang terjadi dalam kasus Waena yang kami angkat adalah sebuah upaya untuk membentuk perkotaan dengan menghilangkan semua identitas awal ruang yang ada seperti dusun sagu dan pantai, mungkin yang tersisa saat ini hanyalah beberapa pohon sagu, pohon-pohon kelapa dan rawa-rawa untuk membuktikan bahwa kawasan yang ditempati masyarakat perkotaan saat ini adalah kawasan perairan, maka tidak heran saat hujan turun dan debit air meningkat, maka terjadilah banjir.
Ketika Soeharto menjadi Presiden dan masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia telah merubah banyak hal. Komodifikasi yang merupakan ciri ekonomi kapitalis telah berhasil mengubah tanah, yang merupakan milik komunal menjadi milik pribadi melalui program sertifikasi tanah. Selepas tahun 1980an, tanah menjadi salah satu aset properti yang sangat diminati di Asia Tenggara. Ini yang diungkapkan oleh Derek Hall, Philip Hirsch dan Tania Murray Li, mereka menulis kuasa eklusi merupakan dilema pertahanan di Asia Tenggara.
Kuasa Ekslusi dibagi menjadi 6 jenis ekslusi yaitu Ekslusi yang diresmikan, Ekslusi yang menguar, Eklusi Tak Menentu, Eklusi Pasca-Agraria, Ekslusi orang-orang dekat dan Eklusi tandingan. Dalam konteks transformasi ruang yang terjadi di Sentani merujuk pada apa disebut mereka sebagai Ekslusi Pasca-Agraria yaitu konservasi lahan pertanian. Ekslusi ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan urbanisasi.
Dalam melihat problematika tanah di Papua secara umum, ada juga tambahan lainnya yaitu Ekslusi Yang Diresmikan karena dibalik transformasi ruang yang terjadi ada program transmigrasi yang merupakan program kerja Soeharto melalui REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Semua itu mendorong konversi sejumlah besar lahan dusun sagu dan hutan untuk kegiatan komersial, industri, perumahan, tempat-tempat wisata dan pembangunan infrastruktur.
Ekslusi Pasca Agraria ini terjadi karena keinginan pemilik tanah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik lagi, dalam hal ini ada pilihan rasional, yang sebenarnya menunjukan ketidakmampuan masyarakat Sentani dalam hal ekonomi, yang terpaksa melepas tanah agar memiliki kehidupan yang lebih baik, bisa menyekolakan anak atau sekedar memenuhi kebutuhan hidup berupa fasilitas-fasilitas penunjang. Sedangkan Ekslusi Tanah Yang Diresmikan menaruh aktor utama yaitu negara melalui program-programnya seperti Repelita dan program sertifikasi tanah, yang mana ini semua dibiayai oleh World Bank.
Dalam penelitian tentang peralihan lahan, penjualan tanah di Sentani dimulai sejak tahun-tahun kepemimpinan Soeharto. Seorang mantan pekerja di Dinas Pertanian Belanda mengatakan bahwa penjualan tanah baru terjadi di Era Indonesia. Dan dalam proses penjualan tanah bukan hanya keinginan masyarakat adat, tetapi ada penggunaan aparat untuk mengancam dan memaksa masyarakat menjual tanah.
To Xuan Phuc (2007) membahas tentang laju kencang pasar tanah yang mengubah suatu komonitas. Dalam konteks Sentani ,ini merujuk pada kesadaran masyarakat dalam melihat dusun sagu sendiri. Dalam diskusi tentang transformasi ruang, kami menemukan pernyataan yang mengatakan bahwa “penjualan dusun sagu tidak terlepas dari pandangan masyarakat Sentani sendiri terhadap sagu”. Biasanya disetiap kampung di Sentani mempunyai orang yang bertugas menjaga dusun sagu, menjaga hutan, menjaga air dan menjaga ikan. Ini masih berlaku di Kampung Yoboy dan kampung-kampung lain yang belum sempat penulis datangi. Pandangan masyarakat Sentani terhadap sagu memang berubah setelah kemunculan beras, yang dianggap sebagai makanan pokok. Pergeseran pangan lokal dari papeda menjadi nasi ini memiliki dampak yang serius bahkan sampai dalam hal mempertahankan dusun sagu untuk dijual atau tidak. Beberapa oknum penjualan tanah yang penulis temui mengatakan alasannya bahwa “anak-anak kami juga sudah tidak memakan papeda, mereka lebih suka nasi jadi dan kami juga butuh uang kami jual saja.”
Nilai-nilai dalam ekonomi kapitalis mendukung tujuan modernisasi, yang dalam kerangka kerjanya bertolakbelakang dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai tradisional seperti halnya saat keruntuhan feodalisme. Ini karena semangat masyarakat kapitalis untuk terbentuknya hak milik pribadi berdasarkan modal, bukan berdasarkan keturunan bangsawan atau titisan dewa. Alih-alih menggunakan agama untuk menolak kepercayaan nenek moyang yang lekat dengan masyarakat adat, tindakan mereka justru bertentangan dengan kepercayaan agama, yang didemostrasikan oleh Yesus bahwa orang kaya sukar masuk dalam kerajaan Allah. Dan masih banyak lagi kontradiksi dalam ekonomi kapitalis, termaksud dalam hak asasi manusia.
Dalam urusan tanah, masyarakat adat Sentani sendiri mengenal hak milik dan hak pakai. Pantangan besar bagi mereka yang hanya memakai tanah, tetapi mengklaim tanah itu sebagai milik mereka. Dampak yang disebutkan adalah mereka akan mati diatas tanah itu atau mereka akan miskin. Dan dalam prakteknya pantangan itu justru banyak dilanggar karena keinginan memperoleh keuntungan pribadi (uang). Padahal sejak dahulu, orangtua-orangtua selalu berpesan bahwa “jika ada pendatang yang datang mau beli tanah, jangan dijual. Ko punya anak cucu banyak, ko harus pikir mereka. Jangan ingat ko pu hari saja, ingat mereka lagi”. Kondisi ini agaknya berbeda dengan masyarakat bugis yang terkenal karena mereka senang merantau. Dalam sebuah kesempatan, seorang supir taxi mengatakan bahwa “kami merantau karena kami bersaudara ada banyak. Kami hidup dari sawah, tidak cukup kalau dibagi akhirnya kami memilih merantau untuk bekerja dalam bidang ekonomi yang berbeda, ada yang menjadi supir, jadi TKW, dan berdagang. Masyarakat bugis harus memisahkan diri dari keluarganya karena tuntunan ekonomi sedangkan dalam ajaran orangtua di Sentani, tanah merupakan milik komunal, yang akan dikelola oleh keluarga atau saudara-bersaudara, tetapi saat penjualan tanah sedang meningkat, tanah-tanah itu justru dijual oleh setiap anggota keluarga. Mereka akhirnya sudah tidak mempunyai tanah dan tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengolah tanah akhirnya mereka menjadi pedagang kecil, menjadi PNS, TNII/Polri dan sebagainya.
Kepemilikan tanah di Sentani bersifat komunal, tetapi pengenalan akan rupiah telah merubah status kepemilikan dari milik bersama, yang dijaga dan diatur oleh Kepala Suku menjadi milik pribadi berdasarkan keluarga atau milik perorangan. Masyarakat Sentani mulai hidup dengan mementingkan keuntungan dan melupakan prinsip hidup masyarakat Sentani yaitu kasih-mengasihi, sekalipun masih ada yang terus melakukannya, tetapi tak jarang orang-orang Sentani saat ini memilih untuk memikirkan diri sendiri. Nilai keuntungan yang besar membuat mereka harus menjual tanah-tanah yang ditinggalkan oleh moyang mereka, ada hasil yang dibagi bersama saudara, tetapi ada hasil yang justru dinikmati sendiri. Tak jarang ini menyebabkan pertikaian karena asal klaim. Inilah letak perubahan yang terjadi karena keluarga yang hanya memiliki hak pakai, merasa mempunyai hak miliki. Terbatasnya pengetahuan akan siapa pemilik hak ulayat yang sesungguhnya juga menambah kompleksitas masalah pertanahan di Sentani karena perubahan yang terjadi turut mengaburkan siapa pemilik hak ulayat yang sesungguhnya.
Sebenarnya ada hal yang menarik saat berbicara tentang pengenalan pemilik hak ulayat. Masyarakat Sentani dulunya mengenal pendidikan di Khombo. Khombo adalah rumah belajar berpola asrama, yang dikhususkan bagi anak laki-laki di Sentani, menurut masyarakat Sentani sendiri anak-anak laki-laki yang masuk dalam Khombo ini dimulai dari usia 4 tahun, ada yang mengatakan juga usia 10 tahun dan ada juga yang mengatakan bahwa Khombo adalah tempat belajar anak laki-laki dari remaja menuju dewasa. Biasanya setiap anak dari masing-masing suku dari kampung-kampung yang berbeda, akan masuk mengikuti pendidikan di Khombo. Khombo perna ada ditahun 1800an dan generasi terakhir dari pendidikan di Khombo ini ada ditahun 1920an. Bekas peninggalan Khombo perna ditemukan di Kampung Yobe. Khombo sangat berbeda jauh dengan sekolah modern yang dibawah oleh Belanda atau Indonesia karena didalam Khombo, kaum laki-laki akan diajarkan bagiamana caranya berperang, bertani, berburu, dan terpenting mereka akan diajarkan tentang batas-batas tanah dan kepemilikan secara geografis. Pendidikan di Khombo ini seperti sertifikat tanah, setiap pria yang keluar dari sini mengetahui batas-batas tanah bahkan jika itu adalah tanah milik keluarga dari kampung lain, mereka mengetahuinya. Saat nilai adat masih ditegakkan di Sentani, mereka sangat takut untuk melakukan kejahatan apa lagi seperti mencuri atau mengambil apa yang bukan milik mereka. Ini karena kepercayaan akan matahari yang bergerak mengawasi, saat matahari terbenam, kegelapan menutupi kejahatan yang dilakukan, tetapi saat kembali bersinar, ia kembali menunjukan siapa pelaku kejahatan tersebut dan semua yang dilakukan akan kembali pada pelaku kejahatan. Ini juga masih berhubungan dengan penjaga-penjaga di setiap kampung seperti dusun sagu, ikan, air dan juga keberadaan dewa-dewa seperti ada Dewa Kelapa dan Pinang, yang dipercaya dan diyakini juga. Semua kepercayaan itu akhirnya mengikat masyarakat adat Sentani untuk hidup sesuai dengan aturan dan kepercayaan untuk tidak melakukan kejahatan.
Bukan hanya tanah yang sebenarnya tidak boleh dijual, yang pada akhirnya dijadikan komoditi juga, air pun demikian. Ditengah krisis air bersih dan pendangkalan air danau yang dirasakan oleh masyarakat Sentani yang hidup di Danau, air dari Siklob yang biasanya turun melalui sungai-sungai di Sentani justru dijadikan komoditi oleh PDAM Jayapura dan dijual dengan harga murah. Air dengan merek Robongholo (nama gunung siklob dalam bahasa Sentani), hanya dijual dengan harga Rp.3.000. Banyak sekali pembangunan yang terjadi di Sentani dengan melakukan penimbunan besar-besaran di Danau. Belum lagi ditambah dengan krisis air di Kota Jayapura yang membuat air Danau Sentani menjadi rujukan untuk menyelamatkan krisis air. Ini semua terjadi tanpa memperhatikan keberlangsungan hidup masyarakat Sentani khususnya bagi mereka yang hidup di Danau dengan bekerja sebagai nelayan. Penebangan dusun sagu secara berlebihan juga turut mengancam air Danau karena pohon sagu berpotensi untuk menyimpan air, sama halnya dengan pohon bakau yang berguna untuk Pantai. Selain itu dusun sagu juga sangat sarat dengan nilai-nilai kultural pada masyarakat Sentani. Dusun sagu disebut sebagai hutan umum karena bagi mereka yang tidak memiliki uang, bisa kembali ke dusun untuk menokok sagu. Sayangnya hal ini tidak banyak ditemui lagi sekarang.
Dusun sagu sendiri dulunya dimiliki oleh setiap kampung, tetapi sekarang ini tidak semua kampung dan semua keluarga memiliki dusun sagu. Wilayah untuk dusun sagu sangat terbatas. Saat ini wilayah dusun sagu di Sentani tengah sendiri ada di Kampung Yoboy, yang akan berbatasan dengan Kampung Yahim. Ada juga di wilayah Komba, yang merupakan milik masyarakat Kampung Yobe, ada juga dusun sagu milik masyarakat Yahim,dan masyarakat Ifar Besar. Kawasan dusun sagu milik masyarakat Yobe sendiri memiliki satu kawasan wisata yang dikenal dengan nama Huruwakha atau dusun sagu. Sedangkan dusun sagu di Kampung Yoboy bila dilihat lebih jauh, masih memiliki keasriannya sendiri karena kawasan ini hanya dikelola oleh masyarakat kampung secara komunal atau bersama dan belum diakses oleh orang luar. Setiap suku atau setiap marga memiliki batasnya masing-masing, yang diingat dan diketahui oleh masyarakat sekitar.
Saat penulis berkunjung ke Kampung Yoboy, penulis masih ditunjukkan tentang dusun sagu milik keluarga penulis, yang ditunjukkan oleh orangtua di Kampung Yoboy. Ini menjadi salah satu bukti bahwa ditengah kemajuaan yang ada bahkan dalam sikap ketamakan dan kerakusan yang menyentuh masyarakat Sentani secara umum, ketika saudara bisa membunuh saudara karena dusun sagu seperti kasus di Kampung Yahim, rupanya masyarakat Kampung Yoboy masih dengan bangga mengakui hak milik orang lain, yaitu saudaranya sendiri. Selain itu ditengah maraknya kasus penjualan lahan dusun sagu yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Sentani, yang melepas dusun sagunya untuk pembangunan perumahan, masyarakat Yoboy masih tetap mempertahankan dusun sagu yang mereka miliki dengan tidak menjual tanahnya. Ini juga tidak jauh berbeda dengan tindakan yang dipilih oleh masyarakat kampung Yoboy usai banjir 16 Maret 2019, yang mana Bupati Kabupaten Jayapura meminta mereka untuk pindah karena wilayah kampung dianggap rawan banjir dan tidak memiliki bukit, tetapi mereka menolak karena kampung itu telah diduduki oleh nenek moyang mereka. Ini tidak terlepas dari sejarah perpindahan mereka yang penuh perjuangan.
Banyak orang luar Sentani yang telah meneliti tentang dusun sagu di Sentani dan mengatakan bahwa Sentani merupakan satu-satunya daerah di Papua, yang memiliki banyak jenis pohon sagu. Ada yang mengatakan 22 jenis, ada yang mengatakan 26 jenis dan bahkan ada yang mengatakan 30 jenis. Terlepas dari berapa jumlah asli jenis pohon sagu yang ada di Sentani, kekayaan ini ternyata diketahui oleh masyarakat luar. Menurut tulisan yang ditulis oleh Wigati Yektiningsi, masyarakat Sentani mengetahui bahwa ada 9 jenis sagu yang ada di Sentani salah satunya adalah jenis manno/mangno yang tidak ditokok.
Masyarakat Adat Sentani dan Perjuangannya
Dalam jenis-jenis ekslusi yang disebutkan diatas, ada salah satu jenis ekslusi dikuatirkan akan mengancam masyarakat Sentani yaitu Ekslusi Tak Menentu yaitu demam Komoditas Budidaya yang dikuatirkan akan terjadi di Papua yaitu demam komoditas sagu. Hari ini, banyak yang mengaspirasikan sagu sebagai pangan lokal, tetapi bila demam komoditas sagu ini muncul, maka jangan kaget bila seluruh lapisan masyarakat berbondong-bondong menanami sagu. Kita akan menemukan pemandangan banyak pohon sagu, tetapi semua pohon sagu itu merupakan milik perusahaan bukan milik masyarakat dan sagu-sagu tersebut bukan untuk dijadikan papeda, tetapi dijadikan Bahan Bakar Nabati atau Bioenergi.
Ini bisa saja terjadi karena harga minyak tanah yang terus naik dan terpenting di Sentani saat ini sudah ada pabrik sagu sekalipun masih belum jelas sagu tersebut akan dijadikan apa. Menurut cerita-cerita masyarakat, sagu itu akan diubah menjadi beras. Selain itu juga sagu-sagu yang dikelola itu akan dikirimkan dari Riau ke Papua, tetapi apakah proses ini akan bertahan? Pertanyaannya adalah untuk apa dikirim jauh-jauh, jika bisa ditanam di Papua yang masyarakatnya sangat menginginkan sagu. Ini harus diperhatikan secara serius bahwa ditahun 1980-an sampai 1990-an, demam komoditas benar-benar menghantui masyarakat di Asia Tenggara, ada enam komoditi yang mengalami demam di Asia Tenggara, yaitu; kakao, kopi, sawit, karet, udang dan pohon cepat tumbuh seperti akasia dan eukaliptus. Kasus yang sempat terjadi di Malaysia dan Thailand adalah masyarakat juga ikut meramaikannya dan bersaing dengan perusahaan-perusahaan disana. Konsep demam sawit di Malaysia pada tahun 1980an juga menggunakan pendekatan neoliberal. Dan salah satu dampak dari demam ini adalah migrasi dan penjualan tanah yang semakin meningkat. Lagi-lagi ini semua kembali ke masyarakat adat sendiri dalam melihat gejolak perekonomian yang terjadi. Dan memerlukan analisa mendalam terkait dampak dari demam komoditas itu sendiri pada lingkungan. Kasus demam komoditas udang di Thailand tidak berjalan mulus karena saat harga udang turun, tanah-tanah yang telah dirombak untuk tambak udang tidak bisa digunakan kembali untuk lahan pertanian.
Susungguhnya pembangunan adalah jalan menuju modernisasi, yang telah menebas kepercayaan dan melepaskan nilai-nilai yang ada dalam diri masyarakat adat. Negara memiliki peran yang sangat penting dalam ekonomi kapitalis. UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 dan UUD 1945 pasal 33 menunjukan ketidakhormatan negara terhadap wilayah adat milik masyarakat adat. Bahkan dengan hak masyarakat adat yang ada didalam UU Otonomi Khusus sekalipun, hak masyarakat adat seringkali diinjak oleh Investor asing dan negara seperti kasus pemenjaraan Ondofolo dan Kepala Kampung Netar ditahun 2009 dalam upaya melawan CV Bintang Mas. UU No. 24 Tahun 1997 tentang pencatatan tanah, yang mana pencatatan tanah juga merupakan upaya menghapuskan nilai-nilai komunal sebagai karakteristik utama masyarakat adat di Papua.
Pembangunan memang penting bagi sebuah daerah tertinggal seperti Papua, tetapi pembangunan yang bercita-citakan kemajuan yang diimpikan masyarakat kapitalis telah mengakibatkan marjinalisasi masyarakat adat karena ketidaksanggupan masyarakat adat dalam bersaing dengan kaum pendatang. Hilangnya nilai-nilai dalam adat istiadat telah berpengaruh pada hilangnya wilayah, sejarah, budaya dan manusia bahkan dilemahkannya masyarakat adat karena kehilangan kekuataan spiritual juga telah menambah banyak pelanggaran HAM, yang tidak bisa dilawan lagi oleh masyarakat adat.
Pembangunan dan modernisasi bagaikan akhir dari kehidupan pribumi karena mereka akan terancam kehilangan eksistensinya diatas negerinya sendiri. Inilah yang sedang terjadi dan terus mengancam masyarakat adat Sentani.
Referensi:
1. Kuasa Ekslusi: Dilema Pertahanan di Asia Tenggara – Derek Hall, Phillip Hirsch dan Tania Muray Li. 2011.
2. Kisah dari Kebun Terakhir – Tania Muray Li.
3. Sentani Menanti Pelangi – Phillipus. M. Kopeuw: 2014.
4. Helaehili dan Ehabla – Wagati Yektingningtyas Modouw: 2008.
5. https://pealtwo.wordpress.com/banjir-mematikan-penjajahan-jepang-di-sentani/
Menarik sekali tulisannya sangat menambah wawasan bagi saya.
Semoga bermanfaat bagi para penikmat lainnya.