Editorial Dilema Solidaritas untuk Victor Yeimo

Dilema Solidaritas untuk Victor Yeimo

-

Victor Frederik Yeimo atau Victor Yeimo adalah aktivis kemerdekaan Papua yang telah aktif bergerak sejak di bangku kuliah. Mantan aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Jawa ini memilih kembali ke Jayapura, Papua pada exodus mahasiswa tahun 2007.

Sebagai seorang yang mendukung “ide exodus” mahasiswa Papua terutama dari Jawa, Bali, dan Sulawesi Victor ikut memimpin mahasiswa Papua menduduki lapangan Theys Eluay, Sentani, selama beberapa minggu. Walau mendapat tindakan represif TNI dan Polri, mereka bertahan untuk beberapa saat. Menurut Victor di akun media sosial miliknya pendudukan itu bisa bertahan karena dukungan anak Almarhum Theys Eluay, Ondoafi Boy Eluay.

Ketika aksi dan kampanye dirasa cukup, Victor bersama kawan-kawannya mengkonsolidasikan berbagai organsiasi gerakan: organisasi ikatan daerah, organisasi intra kampus, maupun individu untuk membangun suatu gerakan yang mereka sebut saat itu Media Rakyat Papua atau Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Di KNPB lah nama Victor Yeimo semakin di kenal luas di Papua, selain karena penangkapan dirinya tahun 2009 tetapi juga meluasnya struktur KNPB dan aksi-aksi mereka di seluruh tanah Papua.

Karena kemampuan berbahasa inggris, kawan-kawannya membebankan tanggung jawab sebagai Juru Bicara Internasional KNPB untuk pertama kali di 2008. Itu tugasnya yang pertama sebagai aktivis KNPB, setelahnya dia pernah memimpin KNPB sebagai ketua umum sebelum akhirnya berpindah kepada Agus Kosay pada 2018 dan Victor Kembali menjadi Juru Bicara Internasional.

Sepak terjang yang membuat marah penguasa tentu saja menyangkut aksi-aksi massa sejak kehadiran dia di Papua dan kerja-kerja internasionalnya. Dia wara-wiri di media sosial: youtube, facebook, twitter dan media massa lokal, bahkan berita-berita propaganda yang tersebar secara anonim maupun yang dibagikan secara resmi oleh akun-akun resmi milik KNPB dan organisasi gerakan lain. Terakhir dan tidak kalah heboh adalah kehadiran dia di salah satu forum yang difasiitasi oleh International League of Peoples Struggle (ILPS), kumpulan ratusan organisasi sosialis dunia di Hongkong pada 2019. Kabarnya dalam forum itu Victor berdebat panjang lebar dengan aktivis sosialis Indonesia yang tidak mendukung Papua Merdeka.

Ketika peristiwa rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya 2019 Victor berada di Jayapura dan mengikuti aksi demonstrasi tanpa mewakili KNPB karena aksi tersebut adalah luapan kemarahan rakyat yang difasilitasi oleh para mahasiswa, BEM dan OKP di Jayapura untuk menentang perilaku rasisme di Surabaya. Sebagai salah satu aktivis muda terkemuka dan salah satu pemimpin organsiasi massa terbesar di Papua ia diberikan kesempatan mengutarakan pandangan politiknya di hadapan Gubernur Lukas Enembe. Sebagai orator ulung, Victor tidak sulit mendapat dukungan massa berupa seruan meriah kala pernyataannya membuat Lukas Enembe mengerutkan kening.

Dengan alasan tersebutlah Polisi Daerah Papua (Polda Papua) menjerat dia sebagai salah seorang aktor kerusuhan 19 dan 29 Agustus 2019 di Jayapura dari puluhan Daftar Pencarian Orang (DPO) yang tersebar dan yang tertangkap dan dikenal luas adalah The Balikpapan Seven; Buctar Tabuni, Agus Kosay, Steven Itlay, Feri Kombo, Alexander Gobay, Henky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Pada tahun 2020 Victor Kembali menginisiasi terbentuknya Petisi Rakyat Papua (PRP) dan di daulat sejak awal menjadi Juru Bicara Internasional oleh ratusan organisasi dari berbagai latar belakang untuk menolak perpanjangan Undang-undang Otonomi Khusus Papua (Otsus) yang akan berakhir pada 2021. PRP mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak melanjutkan UU tersebut dan memberikan hak penentuan nasib sendiri (self determination) melalui mekanisme internasional yaitu referendum. Keterlibatan Victor dalam kerja-kerja PRP dilakukan terbuka walau berstatus sebagai tersangka dan DPO.

Penguasa hanya dapat memantau aktivitasnya di media sosial. Terutama facebook yang setiap cuitannya viral dibagikan oleh netizen. Pengaruhnya di media sosial inilah yang kemudian menjadi jeratan baru baginya selain tuduhan-tuduhan tanpa bukti pada aksi rasisme juga jeratan UU ITE.

Victor ditangkap kepolisian pada 9 Mei 2021 di Abepura, Kamkey, Jayapura malam hari dan di jerat dengan berbagai pasal KUHP. Antara lain Pasal 106 junto Pasal 87 KUHP dan/atau Pasal 110 KUHP/ atau Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 213 anga 1 KUHP dan/atau Pasal 214 KUHP ayat (1) dan ayat (2) KUHP junto Pasal 55 KUHP. Tuduhan utama kepada Victor adalah palaku penghasutan. Terhitung ini kali ketiga Victor ditangkap dan dipenjarakan yaitu tahun 2009, 2012 dan kini 2021. Melalui siaran Press dan pengalangan petisi Amnety Internasional mengatakan bahwa Victor di jerat dengan ancaman kurungan seumur hidup.

Walau bukan yang pertama dan penjara sudah seperti rumah bagi para pejuang kemerdekaan, tetapi mengingat sepak terjang Victor sebelum dan setelah di penjara tentu dua kali lipat kebencian penguasa terhadap dirinya. Sejak ditangkap awal Mei para pendamping hukum kesulitan menemuinya, demikian juga keluarga dan kawan-kawannya. Kesehatan Victor terus menerus menurun dapat dilihat dari tiap foto yang dipublikasi Koalis Pengacara HAM, kordinator litigasi Emanuel Gobay Dan juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua. Pada kunjungan LBH 7 Agustus 2021 badanya tampak lebih kurus, kulit mukanya nampak pucat, dan lebih lemah dari foto yang ditunjukan di minggu awal penangkapan. Ini baru tiga bulan dan perubahan-perubahan fisik Victor Yeimo sudah membuat kita menjadi sangat kuatir.

Keluarga dan kawan-kawannya mengatakan bahwa Victor mengidap sakit Mag Akut dan penyintas Tuberkolusis (TBC) jika tidak tertangani bisa berbahaya. Selama ini jika Mag kambu air panaslah yang selalu menemai ia untuk meredahkan sakit.

Victor Yeimo dan Dilema Solidaritas

Kampanye solidaritas untuk pembebasan Victor Yeimo telah berkurang disaat dia membutuhkannya. Semua komponen masyarakat; Organsiasi-organisasi akar rumput, organisasi sosiali NGO, akademisi, gereja belum bersuara untuk hak-hak Victor Yeimo hari ini.

Kurangnya solidaritas ini bahkan anti pati terhadap sesama aktivis kemanusian, sesama pejuang hak-hak sipil adalah fenomena yang tidak mengarah kemajuan solidaritas. Beberapa bulan belakangan kita cenderung merespon saat mendengar berita duka, si ini telah pergi, ini telah pergi, itu telah pergi karena sakit yang bahkan tidak pernah kita jenguk.

Penangkapan Victor Yeimo memang telah diskenariokan dengan sebelumnya “pembatasan internet” oleh Telkom di Kota Jayapura 1 Mei 2021. Sehingga Victor ditangkap tanpa diketahui semua orang.

Sejauh ini Jayapura memang dijadikan contoh bagaimana para aktivis rasisme The Balikpapan Seven itu berhasil mendapatkan perhatian dunia, karena kampanye masif yang inisiatif-inisiatinya bersama tanpa membedahkan kelompok dan organisasi kemanusian. Bukan hanya KNPB dan organisasi-organsasi gerakan politik yang mendesak dibebaskannya The Balikpapan Seven tetapi semua orang; semua organisasi, bukan hanya di Papua tetapi Indonesia hingga manca negara. Petisi online untuk The Balikpapan Seven di organisir oleh aktivis Ham di Papua dan mengalang dukungan di dalam dan di luar Papua bahkan bersama komonitas international. Photo ops, video dukungan, diskusi-diskusi online, press release, aksi demonstrasi bahkan di berbagai kota di Papua dan Indonesia. Percaya atau tidak dari ancaman 20 tahun penjara itu akhirnya mereka di vonis ringan berbeda dengan tuntutan jaksa 17-20 tahun.

Itu karena kita semua menyadari betapa bahayanya rasisme dalam kehidupan kita. Semua melihat The Balikpapan Seven sebagai kambing hitam dalam kasus rasisme Dan menjadi marah terhadap ancaman puluhan tahun sebagai bentuk diskriminasi sistemik kepada Rakyat Papua. Kita semua tertawa dengan bukti-bukti persidangan yang aneh-aneh; ikat pinggang, gawai, tali kunci dan sebagainya.

Dalam perkara Victor Yeimo mungkin dia ditangkap saat segalanya telah usai dan memillih Kembali kepada rutinitas masing-masing. Sebagai seorang aktivis politik Victor memang cukup tertutup pada komonitas diluar gerakan, sehingga sebagian mengenalnya hanya di media sosial, seperti juga penguasa melihat dan membenci apa yang dia pikirkan dan bicarakan.

Ditengah ancaman hukum seumur hidup kita semua tahu bahwa Victor tidak gentar menghadapi hukuman itu, begitu juga dengan sikap para tahanan dalam The Balikpapan Seven karena ini hal paling logis dari perjuangan damai dan tanpa kekerasan. Bahkan Victor tidak menghendaki tulisan-tulisan seperti ini yang membuat dia dikasihani dan terlihat lemah. Seumur hidup dia telah berupaya mendidik rakyat Papua untuk berani melawan penjajah bahkan menghadapi resiko berat oleh penjajah.

Tetapi ini bukan soal Victor dan korban rasisme semata-mata tetapi tentang bagaimana solidaritas dibangun dan berdiri untuk ratusan bahkan ribuan korban pelanggaran HAM terus menerus di Papua.

***

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan