Ditulis oleh Victor Wenda dan Soleman Itlay
Posisi para pemuka agama dan gereja pada daerah koloni di belahan dunia mana pun selalu dan pasti saja sangat strategis. Biasanya mereka memiliki peran dan pengaruh sangat besar yang mereka miliki dalam basis umatnya. Dan tentu memainkan peran yang luar biasa dalam sistem kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme. Peran mereka ibarat pedang bermata dua yang dapat mengendalikan dua kelompok yang saling berseberangan.
Dalam sejarah imperium Romawi, pedang bermata dua dijadikan sebagai simbol kekuasaan, ketakutan dan kepedulian, penaklukan, eksploitasi sumber daya alam, kekerasan dan kejahatan, pelanggaran HAM berat, pendudukan dan pemusnahan supaya seluruh dunia tunduk kepadanya. Benda yang memiliki simbol tersebut memiliki dua sisi yang sama-sama tajam dan mematikan. Dengan senjata pedang itulah kerajaan Romawi mampu mempertahankan kekuasaan di dunia 753 SM-509 SM.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru mengandung unsur filsafatplatonisme [1].Hal itu dapat dikemukan dalam surat Ibrani pasal 4 ayat 12. Demikian bunyi surat itu: “Sebab Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk umat sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendir dan sumb-sum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita”.[2]
Bukan Firman Tuhan semata. Hari ini agama menjadi pedang bermata dua bagi umat Kristen di dunia. Bahkan secara khusus para pemuka agama sekaligus intelijen dalam postor gereja menjadikan agama sebagai pedang bermata dua yang sangat membantu dan menguntungkan sistem kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme di dunia.
Hampir 2,5 milyar umat manusia yang beragama Nasrani pada dewasa ini, sebagian besar hak dan masa depannya ada di tangan dan ditentukan “secara tidak langsung” oleh para pemuka agamanya yang memiliki hubungan erat dengan pihak lain yang berkuasa dan memiliki modal besar.[3] Tak selamanya dan tak semuanya ditentukan oleh individu berdasarkan hakekat kesadaran dan nurani kebebasan yang sejati.
Pemuka agama hari ini menduduki posisi yang startegis dalam sendi-sendi kehidupan umat manusia. Agama yang sangat menarik dia dunia, senantiasa menarik perhatian dunia yang luar biasa dengan memanfaatkan segala kekuataan, kekuasaan, dan pengetahuannya. Bahkan dengan memanfaatkan basis serta nama Tuhan, dan umat pegikutnya.
Semua orang tahu. Pada satu sisi mereka selalu bicara tentang kabar gembira, suka cita, damai sejahtera, dan segala hal yang sifatnya baik-baik saja. Di depan orang yang lemah, miskin, teraniaya, terpinggirkan, tersingkirkan, tertindas, para pemuka agama tertentu selalu membawa-bawa nama Tuhan, agama, kebaikan, kedamaian dan lainnya. Mereka selalu bicara jujur dan seakan-akan benar di mata umat manusia yang nyaris mati sekarat.
Pada siang hari dan dibawa matahari, bahkan sambil memegang Alkitab agamawan selalu berbicara tentang kepedulian, keprihatinan, solidaritas, dan kemanusiaan terhadap nasib dan masa depan umat manusia. Mereka selalu bicara soal perdamaian dunia. Hingga terasa mereka sangat tulus dan ihklas di depan orang-orang.
Kadang memang orang sangat ragu untuk mengatakan bahwa agama menjadi juru kehancuran, kematian, penindasan, dan pemusanahan, kaki tangan penguasa, pengusaha dan perusahan, membawah malapetaka besar bagi kaum tertentu, benteng terakhir kaum budak sekaligus bagi majikan. Tetapi harus mengakui bahwa agama juga dalam konteks tertentu menjadi juru pembawa atau membuka jalan kehancurhan, penindasan, kematian, dan bakal pemusnahan bagi etnis tertentu.
Pada satu sisi mendukung penguasa, pengusaha, dan perusahaan. Tetapi pada satu sisi menindas umatnya. Di lain pihak, ada juga yang mendukung kaum budak dari majikannya, tapi ada pula yang sama-sama melawan mereka—kolonialis, kapitalis, dan imperialis. Seolah-olah agama disini seperti apa yang dikatakan seorang Filsuf bernama Bertrend Russel dalam bukunya Sains, Agama, dan Filsafat bahwa agama itu seolah-olah lahan kosong yang harus diperebutkan antara penguasa dan kaum budak.
Barangkali seperti anjing yang harus saling baku gigit akibat memperebutkan makanan pada satu tempat dan pada saat hewan paling setia dari manusia itu mati lapar. Atau karena koloni modern itu kaya raya, sehingga untuk mengambil semua isi perut bumi itu dan agar bisa menjaga keutuhan alamnya, orang saling memperebutkan agama yang dianggap bisa menjadi juru selamat mereka serta dijadikan sebagai tempat pelarian dan perlindungan terakhir.
Orang-orang yang ada di balik agama sangat licik—cerdik seperti ular di belakang layar—malam hari tetapi tulus seperti merpati pada siang hari dan depan-depan orang atau para korban dalam realitas hidup umat manusia. Pada siang hari dan di ruang yang terbuka, kepada kaum tertentu mereka bicara baik-baik, jujur, dan meyakinan orang. Tetapi di malam hari, di ruang yang rahasia dan terbatas selalu merancang kejahatan yang luar biasa.[4]
Kadang kala membantu kolonial untuk ikut memperluas daerah pendudukan, memperkuat kekuasaaan, menjaga keutuhan dan memperkokoh kedaulatannya di samping menjalankan pendudukan dan eksploitasi sumber daya alam. Tetapi di lain pihak, dia atau ada pemuka agama tertentu pula yang berjalan bersama umat yang tertindas: merasakan suka duka, jatuh bangun dan rasakan manis pahit bersama orang-orang yang menjadi korban dari penindasan di dunia.
Hal ini dapat dilihat dari pandangan kontemporer bagi kedua belah pihak. Kolonial, kapitalis, dan imperialis meyakini bahwa agama merupakan benteng terakhir bagi mereka di daerah koloni tertentu. Mereka sadar bahwa hanya agama dan adatlah yang bisa memperkuat dan mempertahankan posisi mereka setelah melumpuhkan pribumi—masyarakat adat, melakukan pencaplokan, pendudukan, dan eksploitasi sumber daya alam serta dalam upaya menangkal gerakan pemberontakan dan perlawan dari kaum budaknya.
Sehingga tidak heran apabila pada belakangan ini mereka selalu lebih banyak bermaian, mendekati dan membentuk banyak aliansi atau milisi guna mendukung kekuasaan pihak berwenang yang berdiri di depan para kapitalis dan imperialis global. Interaksi sosial mereka dapat membantu dalam segala keberlangsungan aktivitas politik, ekonomi dan lainnya. Dan agama tentu saja menjadi sarana yang paling strategis guna mempermudah akses, komunikasi, dan menjaga stabilitas kedamaian.
Pada saat yang sama, masyarakat adat juga percaya bahwa agama dan gereja merupakan benteng terakhir, tempat bagi mereka sandar, meminta pertolongan dan dukungan secara moril, spiritual, mentalitas, psikologis dan lain sebagainya. Tetapi kelompok ini sangat disayangkan, karena kerap mereka menjadi kelompok yang paling banyak menjadi korban dari sistem kolonialisme, kapitalisme, dan imperialism yang menyatu atau berselingkuh dengan para pemuka agama sendri.
Tiga raksasa besar dunia modern itu, yakni, kalonial, kapitalis, dan imperialis saat ini selalu masuk keluar melalui pintu agama dan adat. Dimana-mana mereka sangat kuat karena selalu sandar dalam postur adat dan agama. Bahkan sangat kokoh karena nafas mereka selalu dipompa oleh kekuatan basis terbesar dalam masyarakat adat religius. Terkesan lebih berkuasa dan berdaya karena di dalamnya didukung oleh para pemuka agama yang memiliki pengaruh dan kedekatan dengan masyarakat setempat.
Masyarakat adat dunia pun sulit menolaknya. Ketika mereka selalu merayu ataupun menipu dengan mengatasnamakan Tuhan, gereja, kemanusiaan, keadilan, kebenaran, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Tujuan terselubungnya jelas adalah untuk menguatkan dan menguntungkan posisi kolonial, kapitalis dan imperialis.
Dalam tulisan ini kita akan mengulas tentang bagaimana agama dalam hal ini pemuka agama menjadi pedang bermata dua dalam konflik-konflik, perang, ekplorasi, eksploitasi dan lain sebagainnya. Kita akan coba berangkat dari pengalaman di benua Afrika untuk memahami lebih dekat dengan sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme yang berakar subur dalam postur gereja. Lebih daripada itu, melalui karya ini kita akan pahami bahwa disini ada banyak mata-mata atas nama agama apapun. Khususnya Protestan dan Katolik.
Pengalaman di Afrika
Negara-negara barat—Eropa mulai memasuki dan mencaplok benua Afrika pada abad ke-18 dan abad akhir ke-19. Motif ketertarikan dan kedatangan orang Eropa ke Afrika diliputi dengan tiga unsur yang sangat fernomenal, yaitu, budaya, ekonomi, dan politik.[5] Salah satu alat tawar yang digunakan untuk menarik perhatian atau mengambil hati penduduk setempat adalah agama.
Agama dijadikan sebagai alat tawar yang tak kelihatan guna menggali dan mengambil segala nilai-nilai kebudayaan, ekonomi dan politik demi meningkatkan popularitas di dunia. Tetapi juga sebenarnya untuk menipu, merekayasa, memutarbalikan fakta, data dan kebenarannya. Hingga sangat menjengkelkan adalah menjadikan agama untuk menjadi obat rasisme dan diskriminasi hingga menebus dosa-dosa dari para pelaku tindak kekerasan dan kejahatan sekalipun.
Untuk memastikan itu kita bisa membaca dalam buku Imperialism: The Highest State of Capitalism karya Vladmir Illich Lenin.[6] Cukup lama pemuka agama dan gereja disana berperan penting untuk memperlemahan posisi kaum pribumi monoritas dengan pendekatan persuasif, etis dan theologis di samping menguatkan ambisi ganas dari kolonial, kapitalis dan imperialis Eropa pada abad ke-19 lalu.
Ekonomi menjadi tolak ukur dalam menciptakan watak kapitalisme dan imperialisme yang penuh dengan ambisi pencaplokan dan eksploitasi yang bersangkutpautkan dengan penindasan terselubung atas nama agama melalui para kaki tangannya disana. Sistem kapitalisme disana menciptakan industri lokal dan nasional, kemudian menjadikan Eropa sebagai pasar imperialisme yang paling menjanjikan sekaligus menjijikan bagi kaum buruh pribumi yang lemah.
Disana pemerintah kolonial, para kapitalis dan imperialis banyak membentuk organisasi-organisasi pendukung, bahkan individu yang tak terikat dalam komunitas keagamaan tertentu. Para penguasa memanfaatkan peran mereka untuk menjadi mata-mata demi mendukung posisi kolonial di daerah koloni beserta aktivitas kapitalisme di benua hitam itu.
Mereka direkrut, dilatih, dibina dan mengikat perjanjian secara khusus guna menjalankan misi terselubung atas nama Tuhan, agama, kemanusiaan, pendidikan, kesehatan dan lain seterusnya. Para pemuka agama ini akan menjadi informan bagi intelijen yang bekerja sama dngan sejumlah penguasa, pengusaha dan perusahaan milik para mereka dan yang dapat menguntung mereka.
Untuk mengelabui kecurigaan di mata publik, mereka akan memanfaatkan isu agama, Tuhan, kemanusiaan, kebaiakan, dan perdamaian. Mereka akan selalu menarik perhatian bagi pengikutnya di bawah. Hingga membuat umat disana meyakini bahwa mereka benar-benar datang untuk membelah hak-hak dasar hidup pribumi setempat. Namun, mereka tidak tahu kalau banyak pemuka agama diam-diam menghianati mereka atas nama agama, Tuhan, kebenaran, keadilan, hak asasi dan kemerdekaan pula.
Ada sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Brian Schmidt, dari Bowling Green State University, Amerika Serikat yang berjudul Christianity as a double-edge sword in colonial Africa atau kekristenan sebagai pedang bermata dua dalam kolonial Afrika.[7] Schmidt mengutip definisi imperialisme dari buku The African Experience karya Vincent Khapoya.
Khapoya mendefinisikan imperialisme sebagai hasrat/nafsu para patriot-patriot Eropa untuk memberikan kontribusi pada kejayaan negara mereka dengan memberikan klaim pada wilayah-wilayah yang jauh. Dalam konteks Afrika, Schmidt memandang penyebaran injil dengan sudut pandang yang sama, yakni kekristenan juga menekankan pentingnya khotbah, bukan untuk kejayaan sebuah negara, tetap pada suatu agama. Sesuai dengan perintah dalam Matius 28:19-20 bahwa, “Coming from a similar place of reasoning,Christianityalsoemphasizes the importance of proselytizing, not for the grandeur of one’s country but rather forone’s religion. Despite the fact that these missionaries were not officially sent out asagents of colonial governments, Christianity can be seen as a force of pacification that helped toenable colonization and the cultural assimilation of Africans”.
Artinya, terlepas dari kenyataan bahwa para misionaris ini tidak dikirim secara resmi sebagai agen pemerintah kolonial, tetapi kekristenan dapat dilihat sebagai kekuatan yang membantu memungkinkan kolonisasi dan asimilasi budaya di Afrika.Sekalipun penaklukan benua Afrika lebih pada motif ekonomi, namun filosofi rasisme memungkinkan praktek kolonialisme.
Terkait dengan filosofi ini, Stillwel menulis demikian: “It was possible to ‘scientifically’ rank the various human races in order from the most primitive to the most advanced”, adalah mungkin untuk ‘secara ilmiah’ memberikan peringkat berbagai ras manusia dari yang paling primitif hingga yang paling maju.
Ideologi ini membenarkan ekspansi negara-negara Eropa dengan pandangan bahwa penaklukan Afrika ialah perintah ilmu pengetahuan sains karena orang-orang Eropa lebih maju dan di atas kelasnya dibanding dengan orang Afrika yang notabene kulit hitam dan rambut keriting.
Ideologi terlihat jelas dengan etnosentrisme, yakni memandang diri mereka (orang-orang Eropa) jauh lebih baik dari orang Afrika, dan terlihat dari perlakukan orang-orang Eropa terhadap orang Afrika. Sehingga, perlakuan orang Eropa terhadap Afrika dilihat sebagai upaya memberikan kehidupan yang baik dari kehidupan yang primitif, dan kekristenan memainkan peran kunci dalam upaya mereka untuk mengasimilasi orang Afrika ke cara yang dianggap maju. Di Samping itu, kehidupan sementara sumber dayanya benua Afrika dieksploitasi sedemikian rupa.
Orang-orang Afrika dan cara hidup mereka ditekan di berbagai bidang, sementara bahasa dan mentalitas pada waktu itu memungkinkan orang Eropa untuk melihat upaya mereka sebagai “misi peradaban.” Aspek-aspek tertentu dari Kekristenan pada awalnya berfungsi untuk mendorong rasa pasif di antara orang Afrika karena agama tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai pengampunan, kepatuhan, dan kesabaran.
Hinaan dan penderitaan yang dialami oleh orang-orang Afrika dipahami sebagai bagian dari refleksi kepercayaan yang diimani. Khapoya menyinggung aspek-aspek Kekristenan yang agak nyaman yang akan mendorong orang Afrika untuk tidak khawatir tentang penderitaan dan penghinaan yang tidak dapat diatasi yang diberikan kepada mereka oleh kekuatan kolonial, bahwa aspek-aspek kehidupan ini sebenarnya bermanfaat bagi kedudukan mereka di mata Tuhan.
Kekristenan memainkan peran penting dalam kolonisasi di benua Afrika, lebih kepada hati dan pikiran orang Afrika, yang potensi pemberontakannya sebagai hambatan bagi eropa dalam exploitasi tanah dan sumber daya alam.
Richard Gray menceritakan gambaran seorang misionaris tentang seorang Afrika yang bertobat dengan mengatakan “Harus ‘tinggal di rumah permanen yang tegak, dengan teropong asap di dalamnya.” Artinya dia tidak boleh lagi dibingungkan oleh suasana gubuknya yang berasap atau terdegradasi dengan merayap ke dalamnya, dia harus berpakaian ‘sopan’, seorang individu independen dari orang lain. Ini adalah contoh nyata dari niat seorang misionaris untuk memperkenalkan cara hidup Barat kepada orang Afrika, menggunakan bahasa yang dengan jelas melukiskan cara-cara ini sebagai superior.
Sementara orang Afrika hidup di bawah pemerintahan Eropa dan diajari agama-agama Barat dan cara hidup Barat, mereka masih dilarang dari jenis mobilitas yang memungkinkan mereka berkembang dalam sistem itu.
Inti dari kolonialisme adalah eksploitasi tanah dan orang Afrika sendiri masuk ke dalam sistem itu. Mereka dieksploitasi untuk tanah mereka, tenaga mereka, dan uang mereka. Mereka tidak diberi hak-hak dasar dan dilarang berdagang atau membentuk serikat pekerja. Mungkin ada gagasan yang dipegang secara kolektif bahwa kekristenan adalah kekuatan “supranatural” yang memungkinkan orang Eropa untuk mencapai keunggulan di dunia.
Bagaimana Papua Saat ini?
Sejak 1828, semenjak Sultan Tidore mengadaikan tanah Papua di tangan pemerintah kolonial Belanda, Papua sudah menjadi daerah koloni modern pada abad ke-17.[8] Secara de joure dan de facto kekuasaan Belanda atas Papua dilemahkan pada 1 Mei 1963. Pada saat itu, UNTEA menyerahkan wilayah Papua ke tangan pemerintah kolonial Indonesia.
Sejak abad ke-18 itu, Papua menjadi daerah koloni modern dimana meliputi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan sarat dengan kepentingan ekonomi di dunia. Amerika Serikat sebagai imperialis yang menggantikan posisi Inggris mulai berperan penting untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam di tanah Papua.
Jaringan imperialis Amerika Serikat yang memiliki hubungan dengan Central Agency Inteligency (CAI) dan perusahaan Freeport Indonesia yang pindah akibat kebankrutan di Havana, Kuba dibawah kontrol Allen Dulles berperan penting. Secara individu dan otoritas pemerintah AS, Jhon F. Keneddy sangat hati-hati untuk membantu Indonesia yang mayoritas Islam menjadikan Papua yang mayoritas Kristen menjadi pintu masuk Islamisasi di Pasifik, Australia dan lainnya.
Namun Dulles yang memiliki saham dan kedekatan dengan pemilik Freeport Sulpur tidak memikirkan soal itu. Dia lebih memikirkan bagaimana melakukan eksploitasi alam Papua dan mendapatkan keuntungan. Karena AS, bahkan CAI tidak bisa memonopoli klaim Indonesia, maka mereka lebih memilih untuk mendukung Indonesia di samping tetap memperlemah Belanda.
Hal ini bisa dilihat dari keterlibatan CAI dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), New York Agreement, Roma Agreemet, Kontrak Karyaa Freeport I, Pepera 1969, dan masih banyak lagi. Pada waktu itu, AS dan Indonesia menggunakan pendekatan adat. Maksudnya mereka mendekati pemuka adat dan orang-orang yang mudah kompromi dengan mereka guna melegalkan kekuasaan Indonesia.
Seperti Marthen Indey, Yohanes Dimara, Frans Kasiepo, dan Silas Papare. Hingga saat ini, CAI bahkan Badan Inteligen Negara (BIN) dan lainnya ikut mengendalikan situasi politik, pelanggaran HAM dan lain sebagainnya. Mereka memainkan peran luar biasa guna mengamankan wilayah Papua. Sejumlah jenderal berbintang yang memiliki jatah pembagian wilayah adat untuk membuka perusahaan hutan, sawit, pertambangan dan lainnya pun ikut memainkan peran.
“Tidak ada tanah Papua yang kosong. Semua tanah milik orang Papua sudah dibagi-bagi habis. Dari Sorong sampai Merauke dan dari pantai sampai pegunungan, semua menjadi milik para menteri, jenderal dan lainnya. Pembangunan infrastruktur jalan dan konflik bersenjata dan perang suku di Timika, Nduga, Intan Jaya, Lanny Jaya, Pegunungan Bintang dan lainnya, yang menjadi daerah merah ada kaitanya dengan kepentingan ekonomi”. kata Wirya, ketua WALHI Papua.[9]
Hal ini ia sampaikan dalam sebuah diskusi tentang MoU Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC dengan PT. Tunas Sawa Erma (TSE) anak perusahaan dari PT. Korea Indonesia (Korido) yang mencaplok dan menguasai tanah adat milik masyarakat adat di Jair, Boven Digoel, Papua di sekretariat Kesuskupan Agung Merauke pada Jumat, 05 Januari 2021 lalu.
Di dalamnya peran kaum klerus dan awam biasa yang selalu aktif di gereja, oraganisasi keagamaan dan kegerejaan. Selain masuk melalui pintu agama, ada pula yang masuk melalui pintu kekeluargaan. Mereka manfaatkan posisi, kedudukan, tahta dan jabatan untuk membangun bisnis untuk anak cucu dan komunitas mereka yang berkepanjangan.
Pada saat itu diskusi dilakukan di perpustakaan asrama mahasiswa katolik Taboria dengan Suara Kaum Awam Katolik Regio Papua dengan perwakilan kelompok awam Katolik Ppaua, yang diwakili oleh Jhon Gobai, anggota DPR Papua dari jatah Otsus Papua dan Thomas Belau, eks salah satu pimpinan Freeport Indonesia. Di dalam kesempatan ini sungguh memperlihatkan bagaimana tanah Papua seolah-olah tak ada tuan dan orang-orang asing yang menjadi tuan tanahnya.
Tentunya ini bukan hal baru. Sejak lama Romo Joop Josephus M. Beek (akranya dikenal Romo Beek), seorang pastor Yesuit yang memiliki jaringan rahasia dengan BA Santamaria (akrab dipanggil ‘Bob’), seorang agen inteligen Austalia dan Amerika yang mengendalikan wilayah Asia dan Pasifik ikut berperan penting pada abad ke-18 untuk menentukan status Papua. Bahkan sebelum segala sesuatu Papua belum terjadi seperti hai ini.
Romo Beek memiliki hubungan dengan Ali Mortopo, seorang muslim yang sangat dekat dengan Soekarno. Bahkan berperan penting dibalik peristiwa G30S hingga demi memenangkan Pepera 1969 di tanah Papua. Sungguh seperti benih lama yang sudah tumbuh dalam postur gereja katolik dan GKI di Tanah Papua. Namun, tidak tahu bagaimana perkembangannya setelah Indonesia berhasil menganeksasi dan mengintegrasi tanah Papua.
Jaringan ini sangat kuat dalam postur agama dan gereja. Hingga pada 10 Mei 1962 menggerakan 19 orang diantaranya, 10 orang dari perwakilan katolik dan 9 orang dari GKI di tanah Papua, kebanyakan dari tenaga katekis migran dari Kei dan Indonesia wilayah lain. Kemudian ketemu Soekarno di Jakarta untuk menyerahkan tanah Papua dan masa depan orang di dalam bingkai NKRI.[10]
Soal ini Made Supriatma, seorang peneliti yang tekun menjalankan investigasi dengan keterlibatan para intelijen dan jenderal di Asia Pasifik, secara khusus di Indonesia hingga Papua pernah menulis di IndoProgres. Sebuah media yang berbasis online dengan judul Kamerad Dalam Keyakinan: Pater Joop Beek, SJ dan Jaringan BA Santamaria di Asia Tenggara.[11]
Belakangan ini banyak pemuka agama dan gereja ikut berperan penting di dalam. Tak hanya untuk menciptakan Papua Tanah Damai seratus persen. Juga untuk menciptakan penderitaan, kematian, dan bakal kehancuran atas nama “Papeda” sekalipun—bukan makanan khas Papua. Banyak sekali para pemuka agama ‘berselingkuh’ dengan peguasa, pengusaha, dan perusahaan.
Beberapa oknum pastor, uskup, dan pendeta sangat dekat dan aktif membangun komunikasi dengan umat yang memiliki tanah adat, yang mengandung emas, tambang, uranium dan lain sebagainnya. Tetapi pada saat yang sama, mereka juga secara terpisah makan minum, jalan sama-sama dan mendapatkan banyak keuntungan dari sejumlah penguasa, pegusaha, dan perusahaan.
“Tanah ini milik gereja katolik, keuskupan Jayapura. Tetapi bapa uskup jual ke pengusaha. Kita kalau kelolah tanah misi gereja seperti ini baik, sebenarnya kita tidak susah. Tetapi bapa uskup tidak pernah mau dengar kami. Dia selalu dengar pengusaha dan penguasa”, kata seorang pastor katolik di keuskupan Jayapura ketika dia menjelaskan tentang status tanah di Gramedia Jayapura pada Januari 2021 lalu kepada saya, Soleman Itlay.[12]
Ini hanya sebagai contoh kasus. Bahkan ini menandakan bahwa sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme itu sudah lama berakar dalam postur agama dan gereja-gereja di tanah Papua. Hari ini memang ada yang masih pertimbangkan, malu, takut, hargai dan mengikuti [semacam] dogma gereja walaupun itu salah, tapi karena itu uskup, pastor dan pendeta yang lakukan, makan biarkan saja, diam saja dan lain sebagainya.
Namun, paling tidak satu per satu, orang mulai mencium aroma sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme yang semakin tumbuh dan kuat dalam masing-masing agama dan gereja di tanah ini. Sampai kapanpun posisi tiga raja, bahkan empat raja kalau ditambahkan dengan agama akan selalu eksis. Karena dari dalam maupun luar, mereka saling mendukung, menguntungkan dan menguatkan penguasa.
Kalau ditanya mengapa kamu lakukan demikian? Apa yang mereka jawab adalah seperti pepata kuno Romawi “banyak jalan menuju Roma”. Mereka akan katakan ini hanya sebuah upaya menuju Papua damai sejati. Tetapi tidak tahu apa yang kadang mereka bahas diam-diam, secara tertutup, terbatas dan rahasia tanpa melibatkan orang Papua.
Katanya lagi, kita tidak bisa menggunakan cara-cara emosinal, sentimental, dan setrusnya. Jalan diplomatis dan dialogis adalah kunci untuk menciptakan Papua Tanah Damai tanpa kekeran dan kejahatan. Bahkan tanpa harus menjatuhkan pertumpahan dan memakan korban jiwa. Meski demikian, siapapun tidak tahu seberapa banyak jiwa yang ditelan dengan jalan hitam seperti ini.
Dari sudut pelayanan yang penuh kemurniaan, sungguh-sungguh, dengan hati nurani, ketulusan dan keihklasan bagi orang Papua patut memberikan jempol. Perjuangan, pengorbanan dan nyawa para misionaris, migran dan pemuka agama yang hilang akibat melayani orang Papua patut dikenang, dihormati, dihargai dan tidak layak untuk melupakan sepanjang masa.
Sebab mereka membangun peradaban orang Papua dari titik nol yang tidak ada apa-apanya, penuh kegelapan, rintangan dan tantangan yang amat berat. Tetapi apapun alasannya, apabila terdapat indikasi terselubung dibalik nama Tuhan, agama, kemanusiaan, kebaikan, pembangunan, kemajuan, kesejahteraan, kerukunan, kemajemukan dan prdamaian harus dilihat dengan jelih. Bila perlu dikritis apabila itu memang sangat merugikan orang lain.
Ada banyak fakta yang sangat menarik, dimana banyak pemuka agama bermitra dengan pemerintah dan umat tertindas. Masing-masing membentuk organisasi keagamaan dan kegerejaan. Semuanya memiliki orientasi yang berbeda. Ada yang mendukung pemerintah dan ada pula yang menentang pemerintah. Seakan-akan agama dan gereja menjadi wahana kompentisi untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Kelompok yang selalu berjalan bersama dengan pemerintah antara lain Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP) dan lainnya. FKUB menghimpun dari semua denominasi agama, baik Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya. Sedangkan masing-masing komunitas agama dan aliran yang sama memiliki satu payung hukum.
Seperti PGGP yang menyatukan antara Protestan dan Papua, komuniitas serupa untuk kaum Muslim, Budha dan Hindu pun ada. Dari pemerintah pusat hingga daerah kelompok ini sudah berakar lama dan tumbuh berkembang dimana-mana. Basisnya sangat kuar, besar dan luas sekali.
Ada pula komunitas agama yang menurut pemerintah kontra dengan mereka dan menjadi pendukung dari kelompok nasionalis pro kemerdekaan di mata orang Papua dan separatis di mata pemerintah berwenang. Organisasi itu adalah Dewan Gereja Papua yang di dalamnya terdapat perwakilan dari Gereja Kemah Injil (GKI) Di Tanah Papua, Persekutuan Gereja-Gereja Baptis di West Papua (PGBWP), Gereja Injili Di Indonesia(GIDI) dan Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua (GKIP).
Kelompok ini tidak memiliki komunitas di tingkat kabupaten/kota, akan tetapi soal basis umat tidak perlu diragukan. Jika hendak dibandingkan, jumlah pendukung atau penganut mereka tidak kalah jumlah, bahkan bisa saja melampaui jumlah pendukung organisasi seperti FKUB, dan PGGP yang menjalar hingga di kabupaten/kota yang ada di tanah Papua.
Mereka ini paling senang mengkampanyekan Papua Penuh Damai (PAPEDA) yang sesungguhnya menyangkal realitas dimana Papua sesungguhmnya Penuh berdarah, bukan tanah yang diberkati Tuhan, bukan surga kecil yang jatuh ke bumi. Tetapi menjadi neraka besar di Indonesia paling timur, menjadi sarang kekerasan dan kejahatan, pelanggaran HAM dan kelak akan disebut bak neraka pemusnahan etnis pribumi minoritas dan inferioritas.
Sementara itu, agama lain, seperti Islam, Hindu dan Budha ini tidak memiliki sikap keprihatinan dan keberpihakan yang jelas. Sama seperti gereja katolik yang selalu memilih jalan netral dan independen. Gereja-gereja ini mempunyai sikap yang abu-abu dan tidak jelas lebih berpihak kepada siapa. Namun partisipasi individu pemuka agama dan gereja masing-masig bisa dikelompokan: apakah dia mendukung siapa dan sedang apa.
Sikap pemuka agama yang paling kritis dan terbuka adalah selalu datang dari Dewan Gereja Papua. Mereka ini selalu lantang menyuarakan penderitaan, kerinduan dan harapan anggota jemaatnya. Mereka secara terang-terangan melawan pelanggaran HAM dan mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi orang Papua. Juga mendukung penuh akan adanya upaya dialog yang melibatkan pihak pemerintah pusat dan orang Papua guna menyelesaikan konflik berkepanjag di tanah Papua.
Sama-sama memiliki peran yang besar dan pengaruh yang luas di tengah dinamika sosial masyarakat. Kadang kala mereka jalan sama-sama. Tapi kadang kala pula jalan sendiri-sendiri dengan paham, kepentingan dan ideologi yang berbeda. Sama-sama orang Indonesia dan Papua sekalipun kadang kalang diadudombakan dengan isu dan kepentingan terselubung masing-masing.
Paling menarik dari kedua kelompok ini, salah satunya yang mendukung segala kebijakan pemerintah pusat dan daerah, selalu menjadi senjata ampuh yang paling mematikan bagi orang Papua yang tertindas dengan dalil tertentu. Memang patut diakui bahwa kadang-kadang benar dan kadang-kadang terkesan hanya menipu orang Papua.
Tetapi pada waktu tertentu, terutama kalau ada peristiwa yang mengenaskan dan konflik di Papua, mereka sama-sama dilibatkan untuk meredahkan kondisi keamanan, ketertiban dan kedamaian umum. Pengertian sederhana lain mereka menjadi orang-orang yang bertugas untuk cebo kotoran dan menghapus kesalahan bagi para pelaku kekerasan, dan kejahatan serta kerusuhan di daerah tertentu. Inilah yang mungkin pantas disebut jika mereka tidak kurang dan lebih dari pemadam kebakaran atas konflik bersenjata hingga perang suku tertentu.
Hubungannya Dengan Kolonialisme, Kapitalisme, dan Imperialisme
Kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme merupakan tiga serangkai yang tidak sekedar memilik sistem dan pusat produksi. Akan tetapi pada saat yang sama ketiganya memiliki kedekatan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Posisi paling tertinggi jatuh di tangan imperialisme, dan kapitalisme mengendalikan sistem perekonimian melalui jalan kolonialisme.
Kekuasaan di lapangan dapat dikendalikan kolonial. Pada tingkatan menengah dapat diatur oleh kapitalis global, nasional dan lokal yang memiliki saham di tanah Papua. Namun pada tingkatan lebih atas lagi, semua orientasi eksploitasi sumber daya alam, pelanngaran HAM maupun pendudukan berjalan lancar dalam kendali imperialisme yang mendapatkan keuntungan lebih besar.
Beberapa negara Eropa dan Asia, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, China dan lainnya memiliki saham yang luar biasa. Di lapangan mereka percayakan Indonesia untuk mengendalikan segala kondisi dan potensi pemberontakan. Mereka masuk melalui pintu kekuasaan Indonesia. Pada saat yang sama juga mereka mendapatkan pemasukan ‘ilegal’ atas nama pendudukan Indonesia.
Tiga sistem ini tidak akan pernah hidup dan memiliki nafas panjang. Salah satu pemasok oksigen terbesar bagi sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme, bahkan monarki di Indonesia hingga sistem nepotisme di Papua sekalipun berada di bawah ketiak agama dan gereja. Papua itu basis mayoritas Protestan dan Islam. Kemudian menyusulah Katolik, Hindu dan Budha.
Praktik kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme di Papua tidak akan pernah hidup lama jika agama dan gereja yang memiliki kekuatan masa jauh dari segala bentuk komunikasi, negosiasi dan kompromi tertentu. Kedekatan pemuka agama dan gerejalah yang mampu mempertahankan nafas dari mereka. Bahkan memperlemah posisi umat masyarakat pribumi yang menjadi korbannya.
Kalau agama tidak ada, sungguh kolonial akan mati dalam satu detik. Kalau gereja tidak ada, kapitalisme akan jatuh dalam satu detik. Jika urat-urat nadi seperti organisasi pro imperialisme tidak ada, maka dia akan sirna sepanjang masa. Namun, yang memperpanjang nafsu mereka dan menciptakan penderitaan, kerusakan lingkungan, kemiskinan dan kematian bagi kau pribumi adalah oknum pemuka agama dan gereja di tanah Papua.
Posisi strategis, entalah sadar atau tidak sadar, mereka sangat menguntungkan pihak penguasa yang memperluas wilayah pendudukan di samping target meningkatkan eksploitasi terhadap sumber daya alam di tanah Papua. Tetapi di lain pihak, dia menekankan ruang gerak pemberontakan dan perlawanan yang berpotensi timbul dari kaum pribumi yang hendak menghambat kerja-kerja mencari keuntungan dengan pendekatan etis teologis.
Mereka selalu menguatkan posisi kolonial yang merintis jalan—menaruh badan dalam rangkah mempermudah akses produksi kapitalisme yang dapat dikendalikan pula dari sistem induk paling tertingginya, yaitu imperialisme. Pada saat yang sama mereka selalu memperlemah eksistensi—kesadaran kaum pribumi untuk menjaga hak-hak dasar, sumber mata pencarian hidup dan nasib serta masa depan anak cucu.
Pihak asing—penguasa, pengusaha dan perusahaan—memiliki modal, alat produksi, tenaga terampil dan intelektual yang mumpuni selalu memanfaatkan peran dari tokoh-tokoh agama dan adat guna melegalkan ekspansi, kekuasaan, keutuhan, kedaulatan dan eksploitasi sumber daya alam atas nama keamanan, kerukunan, dan kedamaian (rust en orde).
Tidak heran apabila di Papua sini terdapat banyak kaki tangan—mata-mata—yang sengaja dibentuk, dididik, dipeliharan dan dibina agar menjadi “sekedar pemadam kebaran” atau menjadi juru selamat pada momen tertentu. Tak hanya selalu untuk mendukung kepada peemerintah berwenang, juga untuk menjadi penyambung lidah dari masyarakat kelas yang tidak diperhitungkan sama sekali di bawah.
Dari Merauke hingga Sorong kini menjadi basis daerah pendudukan modern, lahan kapitalisme dan nafas paling segar bagi imperialisme. Disana pasti memiliki kelimpahan sumber daya alam luar biasa. Posisi itu dapat memungkinkan jika akan senantiasa menarik daya pikat watak kapitalisme dan imperialisme yang menindas kaum etnis pribumi minoritas selama bertahun-tahun. Sekali lagi tidak heran karena nafas dari mereka ada di tangan pemuka adat dan agam di Papua.
Posisi mereka akan semakin baik dan kuat karena kadang kala di dalam sistem kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme di Papua di dalamnya terdapat kaki tangan—mata-mata—penguasa, pegusaha dan perusahaan tertentu. Hubungan kedekatan antara gereja dengan penguasa dan pengusaha—pemodal akan selalu lebih menguntungkan mereka.
Tetapi akan menjadi penyakit bagi eksistensi manusia. Kaum minoritas sangat rentan mengalami pelanggaran hak-hak dasar hidup di segala sektor akibat berada pada posisi dilematis antara mendapat perhatian dari pemuka agama dan gereja atau justru mereka memperlemah posisi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sampai kapanpun tidak akan ada perubahan selama virus ada dalam tubuh manusia—postur agama dan gereja disini.
Setelah menyadari ini semua, kami—penulis seakan-akan ingin kembali pada abad ke-17. Lalu bertanya kepada misionaris. Bahkan kepada para pemuka agama dan gereja, baik migran Papua juga non Papua yang lahir besar Papua, juga migran Indonesia yang datang hanya untuk melayani orang Papua di Papua. Termasuk di dalamnya juga ingin bertanya orang pibumi Papua yang aktif melayani umat dan membangun relasi dengan penguasa, pengusaha dan perusahaan. Lebih awal diajukan bagi misionaris Eropa yang datang ke tanah Papua.
Pertanyaanya: untuk apa para misionaris datang ke tanah Papua? Datang atas perintah siapa? Panggilan hati nurani atau atas perintah pimpina gereja mereka, kampus, ordo, tarekat, kongregasi, kampus dan atau negara? Apakah datang untuk melayani pegawai dan militer yang pada waktu itu menguasai Papua atau untuk melayani orang Papua yang hidup dalam katanya dalam kegelapan?
Apakah mereka datang untuk menkristenkan, mengkatolikan, mengislamnkan orang Papua atau untuk kepentingan apa? Apakah mereka datang untuk membaptis orang Papua atau menipu orang Papua? Apakah mereka datang untuk menyelamatkan orang Papua atau ikut menindas orang Papua atas nama Tuhan, agama, kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, pembangunan, kemajuan, kesejahteraan, dsb?
Pertanyaan yang sama juga perlu diajukan untuk para pastor, pendeta, haji, maha guru dan lainnya dari kaum migran Indonesia ataupun pribumi Papua. Pertanyaannya: untuk apa mereka berani meninggalkan kampung halaman, keluarga dan datang ke tanah Papua? Apa yang membuat mereka ingin menjadi hamba Tuhan untuk melayani umat di tanah Papua? Apakah mereka datang dengan kehendak bebas sendiri atau atas panggilan, suruhan dari orang lain, lembaga gereja, negara dan militer? Apa yang mendorong mereka ingin menjadi seorang pelayan disini? Datang kesini untuk melayani migran Indonesia atau pribumi Papua: pegawai pemerintah, aparat keamanan dan militer? Atau mau layani masyarakat sipil, umat Allah dan atau mau layani, baik orang asli Papua maupun non Papua sama-sama?
Datang untuk menyelamatkan orang Papua atau mendukung otoritas pemerintah guna mencaplok hak-hak dasar serta menindas kaum minoritas disini? Datang untuk mengindonesiakan atau mempapuakan? Datang untuk mengeropakan, mengasiakan dan mengasingkan? Atau hendak menyadarkan, memanusiakan, dan membebaskan, bukan sekedar membangun, memajukan, mensejahterakan, dan memusnahkan?
***
Catatan: Victor Wenda adalah mahasiswa yang sedang kuliah di Jayapura dan anggota jemaat Baptis Papua dan Soleman Itlay adalah umat katolik yang saat ini berdomisili Jayapura.
Referensi:
[1]S. Wismoady Wahono. 2004. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 470.
[2]Hingga saat ini belum dapat dipastikan siapa penulis dari Kitab Ibrani.
[3]https://www.99.co/blog/indonesia/agama-terbesar-di-dunia/
[4]Baca Injil Matius 10:16.
[5]https://republika.co.id/berita/o0hiow313/tiga-motif-bangsa-eropa-kuasai-afrika
[6]Lenin tidak memperlihatkan agama sebagai alat tawar bagi kolonial, kapitalis dan imperialis. Tetapi bukan tidak mungkin, bahwa hampir semua daerah koloni yang dilirik dengan ketertarikan ekonomi sarat dengan komunikasi politik religiusitas.
[7]https://scholarworks.bgsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1047&context=africana_studies_conf
[8]Pim Schoorl, Belanda di Irian Jaya, Amternar di Masa Penuh Gejolak (1945-1962) hal. 2.
[9]Dalam diskusi terbatas soal polemik MoU yang melibatkan uskup agung Merauke, Mgr. Petrus C. Mandagi, MSC dan PT. Tunas Sawa Erma (TSE) di asrama mahasiswa katolik Tauboria pada 2021.
[10]Ada dokumen rahasia yang saya simpan Dokumen itu berjudul “Penggembala Umat Mengenal Umat dan Kampung Halamannya”.
[11]https://indoprogress.com/2016/09/kamerad-dalam-keyakinan-pater-joop-beek-sj-dan-jaringan-ba-santamaria-di-asia-tenggara/
[12]Pastor ini dia memberitahu saya pada saat kami hendak membicarakan dinamika gereja katolik di tanah Papua.