Analisa Harian Pengorganisiran Masyarakat Perspektif Paulo Freire dan Saul Alinsky

Pengorganisiran Masyarakat Perspektif Paulo Freire dan Saul Alinsky

-

Filsuf Tiongkok bernama Lao Tse pada abad ketujuh sebelum masehi (7 sm) mengatakan “Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka, belajarlah bersama mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu; bangunlah dari apa yang mereka punya; tetapi pendamping yang baik adalah, ketika pekerjaan selesai dan tugaspun dirampungkan, rakyat berkata, kami sendirilah yang mengerjakan”.  Pemikiran Lao Tse ini menjadi prinsip dasar dalam pengorganisiran masyarakat tertindas sampai sekarang sekalipun perkembangan teori sosial telah maju pesat.

Dalam Catatan Pertama: Pengalaman Belajar Praktek Pengorganisasian Masyarakat, yang diterbitkan oleh Simpul Belajar Pengorganisasian Masyarakat, 2001, pengembangan pemikiran Lao Tse terbaru adalah Model dan Startegi Paulo Freire dan Saul Alinsky. Keduanya adalah aktivis dan intelektual Marxis berbeda bangsa dan negara. Paulo Freire berasal Brazil yang memiliki metode pendidikan orang dewasa (pedagogy), menolak pendidikan dengan sistem bank dan lebih dialogis/partisipatif serta terobosannya yang paling dikenal adalah mengurangi buta aksara di Brazil sebelum akhirnya diasingkan ke Amerika Serikat. Metode serta strateginya lebih kepada masyarakat tradisional (pedesaan dan indigenous people). Tujuannya mendidik rakyat agar terlatih melihat fenomena sosial dan tidak memiliki kecenderungan tunduk dan patuh kepada penguasa karena rasa hormat mereka. Poin utama Freire  adalah pentingnya  pengorganisir masyarakat adat/masyarakat pedesaan dengan pendekatan budaya dalam upaya membangun kehidupan yang lebih baik melalui pendidikan dialogis supaya terbentuk pemahaman baru namun pada konteks setempat.

Berbeda dengan Freire, Saul Alinsky berasal dari Amerika Serikat memiliki pemikiran dan cara yang lebih konfrontatif, karena menyangkut metode dan pengorganisiran masyarakat urban/perkotaan. Menurutnya persoalan yang dihadapi masyarakat perkoataan biasanya demikian jelas dan eksplisit yang umumnya berujung kepada ketidakadilan. Sehingga tuntutan-tuntan komonitas ini (perkotaan) lebih bersifat nyata. Karena itu adalah strategi utama adalah mengajak anggota komonitas membangungun organisasi komonitas (organisasi rakyat) yang kuat dan mampu menjalankan aksi-aksi umum. Keduanya memberikan metodelogis pengorganisiran rakyat dengan tujuan demokratis yang terinspirasi dari metode kuno Lao Tse dan Marxisme sebagai yang muktahir dalam teori sosial.

Strategi pengorganisiran masyarakat untuk mencapai keadilan sosial ditawarkan berdasarkan pengalaman mereka tanpa membatasi kepentingan politik apapun. Komonitas perkotaan/urban yang dimaksudkan adalah yang terdampak langsung eksploitasi kekuasaan dan kapitalisme, biasanya membutuhkan respon langsung dan cepat, seperti buruh, petani dan nelayan di perkotaan, kaum perempuan, kaum miskin kota; pedagang kecil hingga anak-anak jalanan, serta kaum marjinal lainnya. Di Amarika Latin dan Asia pemikiran Freire dianggap cukup representatif dalam melihat kondisi masyarakat adat atau masyarakat pedesaan yang dominan. Sedang pemikiran Alinsky hanya menjadi alternatif  di Amerika Latin dan Asia, namun besar mempengaruhi negara-negara di dunia seperti Amerika Serikat dan Eropa sejak 1960 an.

Di Indonesia pemikiran keduanya  cukup penting dalam pengorganisiran rakyat tahun 1990-an, terutama pemikiran Paulo Freire dalam pengorganisiran masyarakat adat untuk pengawal perubahan sosial, perampasan lahan dan manipulasi kekuasaan yang marak di era Soeharto. Namun kerja-kerja pengorganisiran ini menjadi terbatas pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang akhirnya menjadi kritik tersendiri. Terutama karena para pengorganisir lebih banyak terikat pada LSM ketimbang melakukan pengorganisiran mandiri hingga ke pelosok-pelosok pedalaman. LSM juga memiliki kecenderungan propgramatik, terbatas waktu, dan bergantung pada funding (pendanaan lembaga asing). Kritik balik juga ditujukan kepada kaum kiri karena kegagalan mereka membangun basis organisasi rakyat terpimpin dan mandiri, bahkan mungkin juga gagal mengadobsi berbagai metode praktis untuk pengorganisiran masyarakat. Sehingga strategi dan metode pengorganisiran masyarakat adat dan pedesaan cenderung melekat pada praktek LSM ketimbang organisasi-organisasi kiri itu sendiri.

Pulau Jawa sebagai pusat arus pemikiran dan pengetahuan Marxisme  tidak terlepas dari represifitas kekuasaan dan militer. Seperti sejak pembanataian sipil G30S PKI 1965, pelarangan terhadap organisasi-organisasi kiri atau yang terafiliasi, kriminalisasi aktivis, hingga, hingga pembredelan buku. Beruntung karakteristik perjuangan Marxis dalam organisasi/serikat rakyat Indonesia telah berakar dalam pergerakan Indonesia sejak lama. Yaitu sejak diperkenalkan Sneevliet melalui ISDV 1908 dan kini menjelma kedalam pergerakan buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota serta kaum marjinal lainnya. Sehingga metode dan strategi Alinsky tidak asing di pusat-pusat kota di Jawa, seperti pengorganisiran masyarakat untuk menentang penggusuran pemukiman, pengalihan fungsi lahan, korupsi, meningkatnya harga bahan pokok dan sebagainya. Di Era Orde Baru kelas-kelas tertindas tersebut terdidik melihat Soaharto sebagai musuh demokrasi dan penyebab ketimpangan sosial serta krisis ekonomi, sehingga terkonsolidasi kedalam gerakan-gerakan untuk mengulingkan Soeharto hingga berhasil mengulingkannya pada 21 Mei 1998.

Masih dalam Catatan Pertama: Pengalaman Belajar Praktek Pengorganisasian Masyarakat, yang diterbitkan oleh Simpul Belajar Pengorganisasian Masyarakat, 2001. Terpenting dari pemikiran  Freire dan Alinsky adalah masyarakat adalah subyek pengorganisiran seperti yang juga dituangkan oleh Lao Tse abad tujuh (7 sm). Bahwa tujuan pengorganisiran haruslah bertujuan untuk kepentingan dan kebutuhan rakyat sebagai yang utama. Hanya dengan cara ini masyarakat akan terlepas dari keterasingan (alienasi) serta mengkikis budaya konsumtif. Lebih jauh dikatakan “jadi pengorganisiran masyarakat bukan sekedar mobilisasi masyarakat untuk kepentingan (objek), tetapi suatu proses pergaulan/pertemanan/persahabatan dengan suatu komonitas masyarakat yang lebih menitikberatkan pada inisiatif massa kritis mengambil tindakan-tindakan secara sadar”.

Sebagai ideolog Marxis di abad moderen keduanya tidak mungkin menolak yang disebut revolusi Sosialis untuk merubah sistem-sistem penindasan  secara revolusioner, termasuk untuk menentukan nasib sendiri suatu bangsa. Pemikiran keduanya adalah metodelogi praktis pengorganisiran yang kemudian dikembangkan untuk menjawab tiap tantangan perubahan sosial serta karakteristik masyarakat modern dan kelas-kelas tertindas masyarakat saat ini. Sebab revolusi sosialis adalah sebuah tindakan kolektif rakyat yang sadar akan penindasan.

Pada konteks kita di Papua itulah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah, terutama menyikapi pandangan dan perdebatan sempit soal kebangsaan, nasionalisme, revolusi atau reformisme dimana semuanya itu adalah perdebatan klasik dalam tubuh partai-partai Sosialis di Jerman ratusan tahun lalu. Soal-soal Papua adalah Marxisme bahkan tidak berakar dalam gerakan massa dan organisasi-organsiasi revolusiner, tidak ada organisasi basis sectoral yang revolusioer. Sehingga Pemikiran Freire dan Alinsky ini menjadi penting di Papua terutama karena secara sosiologis masyarakat Papua sedang memasuki era industri, yaitu fase eksploitasi besar-besaran dimana bukan saja menyasar kekayaan alam tetapi juga tiap manusia diatas Tanah Papua. Keduanya memberikan landasan teoritik dan praksis bagi aktivis di Papua. Dan memberikan klasifikasi dari karakteristik sosiologis masyarakat adat di pedesaan dan masyarakat perkotaan serta taktis dalam melakukan pengorganisiran. Ketiga, pengorganisiran masyarakat mewajibkan para pengorganisir melihat rakyat sebagai subjek (pelaku) pergerakan.

 

Referensi:

  1. Santso, Lustiyon, Dkk.,2015. Seri Pemikiran, Estimologi kiri. Penerbit AR-RUZZ Media, Sleman Yogyakarta.
  2. Ahcmad Wazir Wicaksono, Taryono Darusman,. 2001. Catatan Pertama, Pengalaman Belajar Praktek Pengorganisasian Masyarakat di Simupul Belajar.Penerbit Simpul BelajarPengorganisira Rakyat, Bogor.
  3. Freire, Paulo,.2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Penerbit LP3ES, Jakarta.
  4. Editor Escobar, DKK,.2016. Dialog Bareng, Paulo Freire. Penerbit IRCi (bekerja sama dengan LKiS),Yogyakarta.

 

Namek Varcos
Penulis adalah aktivis pemuda Papua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan