Pencetus Pembangunan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ekonomi politik Indonesia sangat diwarnai oleh kepentingan negara-negara hegemonik yang berperan mendukung pembangunan Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia. Untuk menyuplai dana bantuan yang besar, Indonesia akhirnya menggadaikan tanah, air beserta manusianya untuk dieksploitasi atas nama keadilan dan kesejahteraan yang dibungkus dalam semangat pembangunan/development.
Pembangunan dan modernisasi adalah dua cita-cita besar masyarakat kapitalis. Pembangunan diklaim sebagai wujud baru dari kapitalis. Pembangunan atau developmentalism diciptakan dan dikembangkan dalam rangka membendung banjir semangat anti-kapitalisme bagi rakyat di dunia ketiga. Gagasan pembangunan dimulai tahun 1940-an, tepatnya tanggal 20 Januari 1949, saat Presiden Amerika, Harry S Truman mengumumkan kebijakan pemerintahannya. Para pakar ilmu sosial Amerika turut mendukung pembangunan. Hasil study merekalah yang telah melahirkan gagasan pembangunan dan modernisasi harus menjadi pilar utama kebijakan bantuan dan politik luar negeri Amerika Serikat. Antara tahun 1948 hingga pertengahan dekade akhir 60an, kekuasaan Presiden Amerika Serikat nyaris sangat besar dalam bidang politik luar negeri. Ada dua hal yang dilakukan oleh Amerika untuk menghadapi pengaruh Uni Soviet. Pertama adalah mengirim bantuan ekonomi dan militer ke Yunani dan Turki. Hal ini didasari alasan bahwa jika dua negara ini dikuasai oleh Uni Soviet, maka ladang-ladang minyak di Timur Tengah akan dikuasai oleh Uni Soviet. Kedua, Amerika mengembangkan Marshall Plan yaitu kebijakan bantuan ekonomi untuk memulihkan kembali negara-negara Eropa yang runtuh akibat Perang Dunia II. Amerika akhirnya memberikan bantuan pada Jepang yang kalah perang dengan harapannya untuk membendung pengaruh komunis dikawasan Timur Jauh. Amerika secara bertahap mengubah Jepang dari Sistem kerajaan menjadi sistem demokrasi. Proyek Demokratisasi Jepang telah menguntungkan Amerika untuk memonitor perkembangan komunis dari dekat.
Pembangunan adalah proses evolusi dari tradisionalis menuju modern. Tradisionalisme sendiri dianggap sebagai penghalang kemajuan yang dicita-citakan oleh Kapitalisme. Modernitas yang didambahkan masyarakat kapitalis, merefleksi pada bentuk perkembangan dan kemajuan teknologi dan mendukung paradigma barat tentang perubahan sosial yang berdampak pada ketidakadilan dan ketergantungan, menguatkan proses dominasi kultur dan pengetahuan, dan memperkokoh penindasan politik serta mempercepat kerusakan lingkungan sebagai bagian intergral dari pada sistem ekonomi kapitalis yang eksploitatif.
Jika merujuk pada apa yang dikatakan oleh Michael. P Todaro, ia mengungkapkan bahwa “Pembangunan adalah suatu proses yang berdimensi jamak yang melibatkan perubahanperubahan besar dalam; struktur sosial, sikap masyarakat dan lembaga-lembaga nasional, percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan dan pemberantasan kemiskinan absolut”. Namun impementasi pembangunan yang terjadi selama ini di Papua memperlihatkan sisi buruk pembangunan sebagai wujud baru kapitalis dan sebagai upaya menghilangkan orang asli Papua dari atas negerinya melalui dominasi pada hampir semua sektor.
Pambangunan Sebagai Alat Dominasi
Setelah perbudakan dihapus, hegemoni muncul dalam ekonomi pasar bebas. Kapitalisme pun dianggap selalu memiliki masa depan karena kapitalisme selalu mencari cara untuk mempertahankan status quo. Henry Lefebvre mengatakan bahwa kapitalisme bisa bertahan hidup lewat penciptaan ruang. Tanah menjadi salah satu ruang yang paling digemari sejak tanah menjadi salah satu komoditi yang paling dicari oleh investor. Dalam proses reproduksi ruang, negara bebas membagi wilayah tanpa memperhatikan manusia yang hidup diatas wilayah tersebut. Relasi kuasa mempengaruhi ketersedian ruang yang secara tidak langsung berdampak pada problem-problem sosial. Lalu seperti apakah sebenarnya pemerintahan itu dijalankan sedemikian rupa sehingga negara berhasil menghantam rakyat Indonesia secara umum dan secara khusus Papua melalui program pembangunannya?
Reformasi adalah puncak kemenangan gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa Indonesia yang berhasil menjatuhkan Rezim Diktator Soeharto. Sayangnya, reformasi yang diadopsi Indonesia adalah bagian dari promosi-promosi yang dilakukan oleh pembangunan NeoLiberal, Bank Dunia, IMF serta negara-negara hegemoni di Utara, yang tercermin melalui kebijakan desentralisasi kekuasaan/otonomi daerah, pemekaran/DOB serta DPR dari pusat sampai daerah yang terpisah. Semuanya itu dibungkus dalam diskursus Good Goverment versi Bank Dunia dan IMF. Rosa Luxemburg menuliskan bahwa revolusi bukan akumulasi dari reformasi sosial, sebab satu atau dua puluh ribu aksi reformasi, tidak akan perna menghasilkan tatanan masyarakat sepanjang fondasi dasar tatanan tersebut belum mengalami perubahan. Revolusi selalu menyasar pada tatanan masyarakat bukan tampilan kelembagaannya. Fondasi dasar yang berubah sejak tampuk kekuasaan dirampas oleh Soeharto tidak hanya membawah penderitaan dalam era orde baru saja, tetapi di era reformasi pun problem yang dihadapi Indonesia masih sama karena fondasi tersebut terus diperkokoh dengan program-program pembangunan yang disusun oleh kelas borjuasi sebagai kelas pemilik yang terus mencari cara untuk mempertahankan kuasa hegemoniknya.
Sejak Soeharto memimpin Indonesia dan mengganggap kekecauan ekonomi Indonesia sebagai dosa pemerintah orde lama, Indonesia akhirnya dikembalikan ke PBB. Selain Soeharto menandatangani UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Soeharto juga menandatangani Kontrak Karya dengan Freeport tertanggal 7 April 1967. Denise Leith mengatakan bahwa Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menandatangi kontrak dengan Jakarta dan menjadi aktor ekonomi dan politik utama di Indonesia. Soeharto dengan semangat Demokrasi Pancasilanya berhasil melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Salah satu programnya adalah membawah Revolusi Hijau, yaitu perubahan cara bercocok tanam dari tradisional menuju modern dengan metitikberatkan pembangunan pada bidang pertanian. Selain itu program transmigrasi dengan memindahkan penduduk dari luar Papua menuju Papua juga menjadi awal dominasi masyarakat Non-Papua hampir dalam segala aspek perekonomian di Papua, sekalipun nasib transmigran dalam program Repelita tidak semuanya baik seperti yang dijanjikan oleh Pemerintah, tetapi setidaknya 9.916 KK telah dipindahkan ke Papua dalam Repelita I-III dan disusul dengan 137.800 KK yang dikirimkan ke Papua lagi dalam Repelita IV. Bahkan catatan Tirto juga menuliskan bahwa lebih dari 267 KK atau 1000 transmigran dipindahkan ke Papua saat Pra-Repelita yaitu pada tahun 1964 atau sebelum aneksasi Papua melalui Pepera, 1 Juli 1969.
Era reformasi dianggap membawah angin segar bagi rakyat Indonesia, tetapi tidak sepenuhnya segar karena fondasi dasar Indonesia masih sama. Lahirnya Otonomi Khusus di Papua pada 21 November 2001 dapat dikatakan sebagai pembangunan berkelanjutan di Papua. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pertama kali dipopulerkan oleh World Commision On Environment and Development pada tahun 1987 melalui laporan Our Commom Future. Laporan tersebut mengambil isu penting terkait Ekologi dan Lingkungan, yaitu bahwa pada kenyataannya banyak kegiatan pembangunan telah mengakibatkan kemiskinan dan kemerosotan serta kerusakan lingkungan. Ada beberapa prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang digariskan dalam Deklarasi RIO tentang lingkungan dan pembangunan. Ada empat prinsip yang penting untuk dilihat saat berbicara tentang Pembangunan Berkelanjutan di Papua, yang pertama ada prinsip manusia menjadi pusat perhatian dalam pembangunan berkelanjutan, ada prinsip perempuan memiliki peran penting dalam pengolaan lingkungan dan pembangunan, ada pula prinsip yang menekankan tentang lingkungan dan sumber daya alam masyarakat yang mengalami penindasan, dominasi, dan kependudukan harus dilindungi dan terakhir dan terpenting ada prinsip masyarakat adat yang dianggap memiliki peran penting dalam pengolaan lingkungan dan pembangunan karena mereka mempunyai pengetahuan dan kearifan lokal dan pada prinsip ini menekankan dengan jelas posisi negara harus mengakui dan sepatutnya mendukung identitas, budaya, dan kepentingan masyarakat adat. Pembangunan Berkelanjutan ini biasanya akan dilihat melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) nasional dan RPJP daerah.
Dalam perencanaan pembangunan biasanya akan dilihat dari dua aspek, yaitu proses dan isi atau subtansi. Aspek proses ini akan menunjukan bagaimana artikulasi kepentingan dipilah dan diagregasikan dalam pembangunan, sebagai contoh sebuah pembangunan infrastuktur dilakukan untuk mendukung kepentingan kelompok pemodal yang sudah mendukung kepala daerah terpilih atau oknum-oknum pemangku kebijakan melalui sejumlah dana yang diberikan saat pilkada/pemilu. Sedangkan dalam aspek isi, rencana pembangunan akan berkaitan dengan problem sosial dalam sebuah daerah, yang mana prioritas permasalahan yang disusun mencerminkan urgensi yang dihadapi oleh daerah. Dalam apsek proses tadi, kita akan melihat pemikiran Roxa Luxemburg yang dalam disertasinya, ia menuliskan tentang Pemerintah Rusia pada saat itu melihat borjuasi Polandia sebagai salah satu alat dari rencana kekuasaan mereka, baik politik maupun ekonomi. Sementara Borjuasi Polandia melihat pemerintahan Tsar saat itu sebagai penyokong kunci bagi kekuasaan kelas mereka sendiri didalam negeri, sekaligus sumber tak terbatas bagi upaya akumulasi kapital. Aspek Proses menunjukan bahwa pembangunan menjadi wujud kasih sayang seorang mama yaitu Pemerintah daerah pada anak-anaknya, yaitu kelas pemodal atau kapitalis. Dimana setiap kebijakan pemangku kekuasaan akan berpihak pada kelas pemodal. Sedangkan dari aspek isi atau subtansi, kita akan menemukan bahwa ada akibat dibalik pembangunan dan modernisasi yang mengharuskan pemerintah sebagai mama harus melahirkan kembali kebijakan yang meredam situasi urgen yang berpotensi melahirkan polemik, perlawanan rakyat atau bahkan masalah-masalah sosial seperti kriminalitas, pengangguran dsb. Dua aspek ini berada didalam tubuh Otonomi Khusus sebagai sebuah pembangunan berkelanjutan di Papua.
Selain RPJP, ada juga RPJM atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah dengan jangka waktu 5 tahun. RPJM ini biasanya merupakan visi misi dari Kepala Daerah terpilih. Ditingkat daerah, RPJM harus berpatokan pada RPJP Nasional dan RPJP Daerah. Kita akan melihat bahwa setiap Calon Kepala Daerah di Papua akan memiliki visi misi yang dijabarkan dalam RPJM dan tentunya harus berpatokan pada RPJP Nasional seperti Otonomi Khusus. Oleh sebab itu, sekalipun ada pihak yang menolak keberlanjutan otonomi khusus, tetapi masih melibatkan diri dalam Pemlihan Kepala Daerah, sama artinya dengan mendukung keberlanjutan Otonomi Khusus karena siapapun Gubernur terpilih di Papua tugasnya adalah melanjutkan fungsi utama Otonomi Khusus melalui RPJM bukan memberhentikan Otonomi Khusus sebagai produk pusat pada daerah.
Saat melihat Otonomi Khusus dan Kebijakan pembangunan seperti RESPEK atau Rencana Strategis Pembangunan Kampung yang dikembangkan oleh Mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu, ada yang menarik dari tujuan pembangunan tersebut, yaitu pembangunan dijalankan dari kampung ke kota. Dalam sebuah mata kuliah Politik Pemerintahan Desa, seorang Dosen mengatakan bahwa jika ingin bertemu dengan masyarakat asli, turunlah ke kampung. Ini dikuatkan dengan salah satu tulisan yang mengatakan bahwa 80% penduduk pribumi Papua hanya akan ditemui diperkampungan, tetapi di Kota-kota besar seperti Kota Jayapura, kita tidak akan melihat hanya pribumi yang tinggal di Kampung tersebut, seperti Kampung Yoka, yang masyarakatnya adalah masyarakat hetrogen atau campuran, keadaan inipun tidak terlepas dari pembangunan disekitar wilayah kampung, yang alhasil membuat Kampung Yoka tidak bisa menjalankan aturan yang berkaitan dengan aturan adat, tetapi harus mengatur kampungnya dengan aturan yang bersifat umum. Pembangunan dikampung pada akhirnya tidak bisa sepenuhnya membawah keberhasilan dalam implementasinya karena faktanya kondisi pribumi yang tinggal di Kampung justru mengalami kemerosatan daya hidup secara terus menerus karena mengalami tekanan dari dua ujung, yaitu kebijakan pemerintah dan tekanan pasar.
Dalam tulisan Cypri Jehan Paju Dale tentang Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistematik dengan fokus studi kasus di Manggarai Raya, NTT. Tulisan tersebut menunjukan bagaimana potensi daerah, yang merupakan milik masyarakat setempat, dipromosikan untuk menarik investor asing agar bersedia menanamkan modal dan ikut mengelolah kekayaan bahkan keajaiban dunia milik rakyat NTT. Dalam pengolaan SDA, kepemilikannya dipegang oleh kelas pemodal, yang difasilitasi oleh kelas penguasa. Klaim pembangunan hanya sebagai penunjang aktivitas pemodal dalam penguasaan alam NTT seperti dalam konteks Komodo. Dulunya masyarakat setempat hidup berdampingan dengan semua satwa yang ada dialam terbuka termaksud komodo, tetapi ketika komodo menjadi sebuah komoditi yang dijual dan disebarluaskan ke berbagai negara untuk kepentingan pariwisata, riset dan pengembangbiakan, akses masyarakat setempat dan komodo pun dibatasi, masyarakat dianggap mengganggu ketenangan hidup komodo. Komodo pun akhirnya bukan hanya milik Indonesia saja, tetapi komodo telah ada di Singapura, Jepang, Belanda, Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Ceko, Hongaria dan lainnya.
Kasus Manggarai Raya hanya salah satu contoh ketamakan penguasa karena praktek seperti ini telah terjadi hampir diseluruh pelosok Indonesia, termaksud di Papua yang merupakan wilayah kolonialisme Indonesia. Jika NTT, Bali dan NTB dimasukan dalam MP3EI dengan fokus pembangunan pariwisata, Papua dilebeli miskin dan tertinggal sebagai upaya menguatkan posisi pembangunan infrastruktur dengan otonomi khusus yang diklaim memberikan keadilan dan kesejahteraan. Dengan keberlanjutan otonomi khusus berdasarkan UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua yang merupakan landasan perpanjangan Otonomi Khusus sampai tahun 2041. Kita tau bahwa Papua telah dipromosikan sebagai daerah termiskin dan tertinggal dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah, yang sebenarnya semuanya telah dijadikan komoditi. Emas adalah salah satu kekayaan milik Papua. Emas juga menjadi salah satu aset investasi yang nilainya selalu meningkat. Emas ini akhirnya menjadi salah satu alat tukar nyawa rakyat Papua sejak Kontrak Karya Freeport pertama kali ditanda tangani oleh Soeharto dulu.
Beberapa waktu lalu, Smelter Freeport diresmikan di Gresik, Jawa Timur oleh Jokowi dengan perkiraan akan menampung lebih dari 40.000 tenaga kerja. Muncul pertanyaan bahwa Papua Dapat Apa? Sejak adanya Freeport di Papua bahkan sejak Indonesia melalui Holding Industry Pertambangan Indonesia (MIND ID) memegang saham Freeport sebesar 51,2% dan bahkan sampai saat Erick Tohir mengumumkan keuntungan Freeport yang dikabarkan mencapai 40T pertahun, Papua terkhusus rakyat Amungme memang tidak perna mendapatkan apa-apa. Mimika merupakan Kabupaten dengan presentase kemiskinan 14,54%, angka yang oleh pemerintah dinyatakan telah menurun. Berbeda dengan Intan Jaya yang ditahun 2020 menduduki angka 40,71% sebagai Kabupaten Termiskin di Papua. Klaim miskin berdasarkan penghasilan ini membawah kekuatan pada kelas Pengusa untuk mengobral Blok Wabu sebagai upaya menggelapkan mata rakyat agar setuju dengan pengolaan Blok Wabu, yang akan dianggap membawah dampak terhadap pembangunan dan pemberantasan kemiskinan di Intan Jaya. Faktanya sebelum pengeloaan Blok Wabu dijalankan, akses rakyat Intan Jaya terhadap alamnya diputuskan melalui operasi militer di Intan Jaya yang membuat masyarakat sipil di Intan Jaya kehilangan nyawanya. Semua ini membawah Papua sebagai daerah operasi militer yang bahkan tidak mampu diakui oleh Pemerintah Indonesia sendiri.
Merdeka 100%
Pembangunan yang berasal dari Pemerintah adalah pembangunan yang telah disetel berdasarkan kepentingan pemerintah itu sendiri. Seorang Dosen Pembangunan Politik berkata “kita ikut rapat dari pagi sampai malam dan saling beradu argumentasi, itu percuma, sudah ada keputusan yang dibuat, kita kumpul hanya sebagai formalitas. Orang bilang musyawarah untuk mufakat, tapi kenyataannya adalah mufakat kemudian musyarawarah”. Kita tentu ingat dengan usaha evaluasi Otsus yang dilakukan oleh MRP tahun lalu. MRP tidak akan mungkin bisa mewakili suara rakyat Papua untuk menolak Otonomi Khusus karena Otonomi Khusus menjadi mama bagi MRP dan untuk membawah suara rakyat untuk menolak Otonomi Khusus adalah sebuah kemustahilan. Termaksud dengan upaya mereka saat ini mengemis Smelter Gresik juga tidak perlu ditoleransi, bukan Smelter Gresik yang seharusnya diperjuangkan rakyat Papua, tetapi penutupan Freeport sebagai akar penjarahan Papua oleh kekuataan negara imprealis AS dan oleh kolonialisme Indonesia. Sampai kapanpun tidak akan ada pejabat politik yang berperan sebagai Yesus, berkorban demi keselamatan manusia, semua pejabat atau kelas-kelas penguasa sibuk menyiapkan panggung yang absolut untuk dirinya melalui modal yang diterimanya dari akumulasi APBD, APBN, Otsus, dan dukungan dari korporat.
Miskin, tertinggal dan terbelakang adalah doktrin pembangunan terbaik yang digunakan untuk mendukung jalannya Pembangunan dan Modernisasi untuk menghancurkan tatanan masyarakat tradisional yang sejak dulu telah hidup secara komunal, kemudian mereka dipisahkan oleh tatanan masyrakat yang eksploitatif dengan memaksa mereka untuk menjadi manusia yang produktif, tetapi juga manusia yang konsumtif.
Imprealisme yang semakin matang akan menunjukan jalan bagi sosialisme. Penyebaran ideologi yang dibenci oleh musuh untuk menanamkan benih perlawanan dalam tubuh mahasiswa dan rakyat perlu terus dikerjakan karena dampak perang dingin yang menembus tembok-tembok kampus juga telah mempengaruhi pola pikir dan pola berjuang kaum intelektual Papua. Jika banyak kaum intelektual yang terjun menjadi borjuis karena semua percaya bahwa solusi menyelamatkan rakyat tertindas hanyalah dengan menjadi pejabat untuk merubah sistem. Banyak kaum intelektual Papua telah termakan doktrin bahwa untuk mempunyai kehidupan sejahtera hanya bisa didapatkan dengan pembangunan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia, yang mana itu semua milik Amerika, yang sejak doktrin Truman semakin bernafsu menguasai negara-negara dunia ketiga termaksud menguasai Indonesia yang telah menjadikan Papua sebagai tumbal untuk kemakmuran dan kemajuannya. Tidak akan ada sistem yang bisa dirubah selama ideologi dan paradigmanya belum dirubah. Kekuatan revolusi dibutuhkan untuk menghancurkan Imprealisme sebagai wujud penjajahan global. Sosialisme pada praktiknya memang belum final, tetapi Coen Husain Pontoh dalam esainya menunjukan bahwa dua negara kecil seperti Kuba dan Kerala berhasil mempraktekkan sosialisme yaitu dengan membangun subjek manusia berdasarkan kebutuhan intrisiknya, tetapi dipandang miskin berdasarkan ukuran konsumerisme dan pendapatan perkapita. Sebagai negara sosialis, dua negara ini berhasil menunjukan kedaulatan dan kemandiriannya dan diakui oleh World Bank dan WHO selaku institusi yang merepresentasikan kapitalisme. Merujuk pada apa yang dikatakan Tan Malaka bahwa Komunisme/Sosialisme adalah alat perlawanan untuk mencapai kemerderkaan 100% maka pemutusan ketergantungan ekonomi terhadap negara-negara imprealis sudah selayaknya diperjuangkan oleh kekuatan rakyat sebagai jantung revolusi.
****
Referensi :
- Cypri Jehan Paju Dale – Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistematik; 2013
- Dede Mulyanto – Roxa Luxemburg “Sosialisme dan Demokrasi” ;2019
- David Harvey – Imprealisme; 2010
- Coen Husain Pontoh – Pembangunan Berwawasan Manusia “Tawaran Alternatif”; 2021