Belajar dari Pengembangan Ekonomi Tradisional Mama-Mama di Fiji: Sebuah Refleksi dan Kritik untuk Pemerintah yang Selalu Wacanakan Ekonomi Kerakyatan di Papua
Oleh Roberth Jitmau
Fiji adalah salah satu Negara Melanesia di Kepulauan Pasifik yang perekenomiannya cukup maju. Walaupun ekonomi Negara ini sepenuhnya digerakan oleh para migran atau pendatang seperti orang India, Cina, New Zeland, dan Australia, namun ekonomi mikronya seperti di pasar-pasar dan kerajinan kreatif atau kerajinan tangan sepenuhnya diisi dan dikuasai oleh perempuan-perempuan Fiji atau di Papua kita sebut dengan mama-mama. Salah satu gambaran yang tepat untuk menunjukan kenyataan ini adalah keberadaan pasar sentral atau pasar tradisional di pusat Kota Suva, ibukota Fiji, yaitu Suva Manucipal Market. Dan, gambaran ini bisa dijadikan perbandingan untuk pengembangan ekonomi orang asli Papua pada tataran mikro ke bawa seperti pembangunan pasar mama-mama Papua di Jayapura dan pembangunan pasar- pasar lainnya bagi mama-mama di seluruh tanah Papua. Berikut ini kita akan membahas beberapa gambaran yang bisa dilihat dari pasar di pusat Kota Suva:
Letak Lokasi Pasar
Lokasi pasar ini letaknya di down town (pusat kota) Suva, Fiji. Dekat dengan pusat- pusat bisnis dan mall-mall terbesar di Fiji. Sedikit menjorok kelaut dan bersebelahan dengan terminal bis dan pelabuhan laut Kota Suva. Pasar ini cukup besar panjangnya kira-kira 300 meter lebih. Sedangkan lebarnya 400 meter lebih.
Jadi alasan di Papua bahwa pembangunan pasar harus jauh dari pusat kota adalah sesuatu yang sudah tidak relevan lagi. Mengingat di Suva, pasar ini sudah dimasukan sebagai salah satu bagian dari pusat-pusat perkantoran, pariwisata, dan bisnis yang ada di Suva, Ibu Kota Fiji.
Aktivitas dan Kebersihan Pasar
Pasar ini buka dari pagi hari hingga sore. Kira-kira pada jam enam sore pasar ini sudah tutup. Pasar ini buka hanya dari hari Senin-Sabtu. Pada hari Minggu pasar ini tutup. Ketika tutup barang-barang penjual yang sudah diatur dibiarkan begitu saja untuk dijual pada hari berikutnya tanpa harus takut kehilangan barang-barang jualan. Penjual pada gedung pasar utama menggunakannya sepanjang hari. Sedangkan pada hari Jumat-Sabtu di luar pasar dikhususkan untuk para penjual dari kampung-kampung dan pulau-pulau yang ada disekitar Suva. Biaya retribusinya pun tidak mahal.
Kebersihan pasar ini sangat di jaga. Kita hampir tidak menjumpai tumpukan sampah dan bau busuk seperti pasar- pasar di Papua. Penanganan sampahnya lanngung ditangani oleh petugas pasar. Para penjual dan pengunjung pasar sangat sadar dengan tidak membuang sampah secara sembarangan. Karena itu, pinggiran pantai yang membatasi pasar tampak bersih. Tidak seperti Kota Jayapura dan kota-kota lainnya di Papua yang pantainya bertumpukan sampah plastik.
Jadi, sangat tidak beralasan jika Walikota Jayapura sangat takut jika didirikan pasar mama-mama di tangah Kota Jayapura karena masalah sampah. Persoalan ini hanya kembali ke kesadaran masyarakat dan pengetatan aturan oleh oleh Pemerintah Kota Jayapura.
Pengguna Pasar dan Komoditas yang Dijual
Pasar ini seluruhnya dikuasai oleh mama-mama melanesia sama seperti mama-mama Papua. Sisanya adalah penjual dari Cina dan India. Komoditas yang dijual ada berbagai macam, mulai dari keladi, pisang, petatas, singkong, sayur mayur, buah- buahan, ikan, daging, bumbu-bumbu dapur, dan makanan jadi atau langsung bisa dimakan berupa kasbi, ikan, dan daging domba yang dijual seharga 2 dolar dan 10 dolar saja.
Yang dijual di pasar mama-mama di Suva juga dapat ditemukan di Papua. Selain sagu, sirih, dan kapur, juga dapat menemukan sirup yang dibuat dari buah segar dan dijual oleh penduduk lokal hanya dengan harga 50 sen.
Jika di pasar-pasar di Papua Anda bertemu para penjual ikan yang berasal dari Makasar, Buton, dan pedagang migran lainnya, namun di Suva, anda akan bertemu para penjual ikan yang seluruhnya adalah orang-orang Melanesia. Dan, jika itu hari pasar jatuh pada hari Sabtu, pasar akan disesaki para pedagang dari desa-desa di sekitar Suva dengan berbagai komuditas yang beraneka ragam pula dan umumnya berasal dari hasil pertanian penduduk lokal.
Keuntungan yang Diperoleh dari Proteksi yang Dilakukan oleh Pemerintah
Di sektor ekonomi mikro terutama pedagang Pasar, mama-mama di Suva tidak terlalu kawatir, seperti di mama-mama di Papua:
Pertana: yang harus berdemo untuk menuntut proteksi sebagai akibat dari persaingan dengan migran yang masuk.
Kedua: Yang harus mengeluh karena komoditas yang jadi andalan untuk dijual agar mendapatkan penghasilan juga dijual lagi oleh para pengguna gerobak motor hingga ke gang-gang, bahkan di mal-mal, hypermarket, pertokoan, agro, saga, dan lain-lain.
Ketiga: Yang selalu mengeluh karena pemerintah sama sekali tidak menyediakan pasar khusus untuk mereka dan mempromosikan dagangannya. Bahkan tidak membatasi masuknya komuditas tertentu dari luar sehingga produk lokal juga bisa diminati.
Pemerintah Fiji betul-betul memproteksi para pedagang lokal yang umumnya didominasi oleh mama-mama, seperti:
Pertama: Menyiapkan sentra atau pasar khusus untuk mama-mama menjual kerajinan tangannya. Dan ini ada dapat temukan di pusak kota Suva. Tidak seperti di Papua yang pemerintahnya membiarkan mama-mama pengrajin bersusah payah memasarkan hasil kerajinan tangannya di jalan-jalan. Bahkan pemerintah membatu mempromosikan produk ini sebagai bagian dari nasionalisme Fiji dengan semboyang Buy Fiji Made and Together We Built Fiji yang disebar lewat baliho yang terpapang di pusat kota Suva.
Kedua: Menjadikan produk lokal sebagai makanan utama dalam setiap acara-acara resmi. Bahkan gencar mengampanyekan apa yang dinamakan dengan Fast Food dan Slouw Food lewat LSM yang ada disini dengan mengajak masyarakat untuk menanam makanannya sendiri. Karena itu jangan heran ketika Anda ke pasar di Kota Suva Anda akan menemukan berbagai komoditas lokal yang di jual.
Ketiga: Mama-mama tidak perlu kuatir karena jualannya tidak laku. Atau pulang dengan tangan kosong seperti situasi yang kita temui di pasar-pasar di Jayapura atau kota-kota lainnya di Papua.
Keempat: Mengatur harga barang antara harga mal, hypermarket, swalayan, dan pasar tradisional sehingga mama-mama tidak kuatir.
Kelima: Memberikan harga sewa yang murah untuk pengguna pasar bahkan mengaturnya sebaik mungkin agar bisa digunakan oleh semua pedagang.
Dengan demikian bagaimana dengan Papua, apa kita mau melakukannya atau tetap berwacana?
***
Catatan: tulisan ini adalah hasil studi lapangan di Suva, Fiji oleh kawan almarhum Roberth Jitmau. Awalnya ditulis dan diposting di blog pribadinya rojit2.blogspot.com. Dimuat lagi disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda.