Analisa Harian Proklamasi 14 Desember 1988: Aktualisasi Visi Zending I.S.Kijne Untuk...

Proklamasi 14 Desember 1988: Aktualisasi Visi Zending I.S.Kijne Untuk Kemerdekaan Orang Papua

-

Tulisan ini tidak bertujuan mendegradasikan peristiwa politik 1 Desember 1961 yang baru kemarin diperingati sebagai hari yang dinyatakan sebagai hari lahirnya embrio kemerdekaan politik orang Papua. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan kitong generasi power rangers hingga generasi android yang sering mengatakan bahwa agama dan gereja di Papua telah menjadi candu yang memina bobohkan rakyat dari perjuangan melawan kolonialisme di Papua. Bagi saya, di sisi yang lain itu benar, tapi di sisi yang lain kitong tidak bisa menuduh demikian. Walau memang benar bahwa sejarah masuknya kolonialisme di Papua diawali dengan masuknya agama samawi tapi agama juga bisa menjadi senjata pembebasan melawan kolonialisme.

Agama samawi pertama kali masuk ke tanah Papua dibawah oleh Carl Willem Ottow dan Johan Gotlib Geissler pada tanggal 5 Februari 1855. Masuknya agama yang dibawah oleh Ottow dan Geissler, dua orang berkembangsaan Jerman itu, membuka jalan bagi masuknya kolonialisme dan kapitalisme di Bumi Cendrawasih. Sekali lagi hal dapat dibenarkan karena sebelum masuknya agama yang dibawah oleh dua orang zending pertama itu dan kemudian diestafetkan oleh para zending setelah Ottow dan Geissler. Papua selama itu tak tersentuh secara administrasi oleh dunia luar. Bahkan tidak tertaklukan oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara Indonesia termaksud kerajaan Tidore. Kecuali kleim tanpa penaklukan.

Namun setelah datangnya dua orang zending yang diutus oleh zending Gosner asal Jerman dan zending Heldring asal Belanda lalu dikuti para zending lainnya. Maka berangsur-angsur orang Papua dan wilayahnya mulai ditaklukan dan disinggai oleh kapal-kapal dagang dari luar. Serta mulai diminati Belanda yang kalah dalam mempertahankan Indonesia sebagai wilayah jajahannya pasca Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Lirikan Belanda untuk menjadikan Papua sebagai wilayah ekonomi-politiknya (wilayah jajahannya) diawali dengan pembubaran pemerintahan sendiri Tidore terhadap Papua pada tahun 1946. Diperkuat lagi dengan pendatanganan akta penyerahan kedaulatan kemerdekaan bangsa Indonesia kepada negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949 oleh Ratu Juliana tanpa keresidenan Papua (Drooglever, Hal 149-). Bahkan pada tahun 1952 Belanda memasukan wilayah Papua secara resmi ke dalam wilayah kerajaan Belanda dengan merubah konstitusinya demi memasukan Papua menjadi bagian dari kerajaan Belanda (buku Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat. Hal 85-86).

Keinginan Belanda menjadikan Papua sebagai wilayah yang menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi kolonial Belanda (atau wilayah jajahan Belanda) bukan isapan jempol belaka. Pada tahun 1946 satu tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Kerajaan Ratu Juliana membentuk Studecommissie Nieu Guinea guna melakukan studi dan analisa situasi politik masa depan orang Papua sebagai kolonis Belanda. Dan di tahun yang sama (1946) Belanda mulai membangun perumahan layak huni dan membuka lahan-lahan di Holandia (Jayapura) dan Manokwari. Serta membentuk Dewan Transmigrasi dan Emigrasi pada tahun 1947 guna persiapan eksodus orang-orang peranakan Indo-Belanda atau kolones-kolones Belanda ke Manokwari dan Jayapura yang sudah dibangun perumahan layak huninya.

Pembaca yang Budiman perlu ketahui bahwa pengiriman kolones-kolones Belanda ke Papua itu benar terlaksana. Atau dengan kata lain, perjuangan Blouw With seorang Belanda yang memperjuangkan agar kolones-kolones Belanda bisa tinggal di Papua berhasil (Paiki. Hal 26).

Setelah Belanda berhasil mengkoloni wilayah Papua yang peradaban barunya diletakan oleh para zending membuat Indonesia yang baru merdeka dari penjajahan Belanda sok jadi pahlawan untuk Papua. Dengan mentalitas kolonialisme, Indonesia melakukan konfrontasi politik hingga militer melawan Belanda yang sudah berhasil mengkoloni Papua. Tujuan Presiden Soekarno melakukan konfrontasi terhadap Belanda dalam hemat saya tidak lain adalah Soekarno ingin merasakan bagaimana menjadi kolonial seperti Belanda dan Jepang.

Jika hal di atas tidak benar maka para Marhaenisme dan orang-orang komunis di Indonesia harus segera bersolidaritas bersama Fron Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) guna menuntut bangsa dan negara yang dimerdekan melalui proklamasi 17 Agustus 1945 agar memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi orang Papua. Karena Seokarno adalah otak dibalik aneksasi Papua dan anggota komunis Indonesai adalah relawan-relawan Indonesia dalam perampasan Papua.

Perasahan ingin menjadi penjajah adalah warisan non fisik yang diwariskan oleh bangsa penjajah kepada bangsa yang dijajah secara mental. Hal ini yang disebutkan Fran Fanon sebagai mentalitas budak. Konfrontasi Indonesia melawan Belanda untuk dapat menjajah Papua sebagai realisasi mentalitas budak dimenangkan oleh Indonesia. Kemenangan Indonesia ditandai dengan penyerahan administrasi Irian Barat (Papua) ke Indonesia pada 1 Mei 1963 sesuai perjanjian New York yang dibuat oleh Indonesia dan Belanda di Markas Besar PBB pada tanggal 15 Agustus 1962.

Pembaca yang budiman perlu ketahui dan hal ini akan terus penulis ingatkan dalam setiap kesempatan. Bahwa kekuasan pemerintahan Indonesia dinyatakan berakhir pada tahun 1988 sesuai poin ke dua perjanjian Roma. Poin ke dua perjanjian Roma menyatakan bahwa Indonesia memerintah Papua selama 25 tahun terhitung masa normalnya pada 1 Mei 1963 setelah penyerahan administrasi Irian Barat ke Indonesia sesuai perjanjian New York 15 Agustus 1962. Namun fakta di lapangan membuktikan bahwa Indonesia masih memerintah (menjajah) Papua sebagai wilayah yang dirintis para zending dan misionaris hingga saat ini.

Penjajahan di Papua dari Belanda ke Indonesia adalah pertarungan dua bangsa yang berbeda ras dengan bangsa Papua. Namun yang menyamakan ke duanya adalah Belanda dan Indonesia dapat menyentuh dan menjajah Papua karena wilayah dan tanah Papua telah meninggalkan peradaban masyarakatnya yang lama dan hidup dengan peradaban baru yang diletakan oleh para zending. Salah budaya peradaban baru adalah konflik tidak lagi mesti harus diselesaikan dengan perang suku, namun dengan cara damai hasil konsepsi peradaban baru.

Jadi seandainya tidak ada proyek zending ke Papua, dan Papua masih tertutup oleh dunia luar dan menjadi wilayah “hitam” yang masyarakatnya saling mempertahankan batas-batas wilayahnya dengan perang suku. Maka jangankan Belanda dan Indonesia. Amerika yang memenangkan perang dunia ke II pun tak akan bisa mengeksploitasi sumber daya alam orang Papua seperti yang terjadi sekarang ini. Saya tidak ragu soal itu, masuknya agama modern ke Papua membuka pintu masuknya kolonialisme di Bumi Cendrawasih. Itu sebabnya, masuknya agama dinilai sebagai pembuka jalan masuknya kolonialisme dan kapitalisme di Papua dapat dibenarkan.

Namun ada hasil kerja 35 tahun dari seorang zending yang tidak bisa hanya dihayati sebatas pengetahuan dan peninggalan sejarah. Tetapi selayaknya didiskusikan dan dikonsepkan sebagai sebuah konsep perjuangan dalam gerakan pembebasan bangsa Melanesia Barat/Papua Barat dari kolonialisme/penjajahan yang masuk ke Papua setelah mereka para zending berhasil membangun peradaban baru di Papua yang menjadi kesempatan masuknya kolonilisme dan kapitalisme di Papua.

Zending yang saya maksudkan dan apa yang telah dibuatnya selama 35 tahun berada di Papua dan konsep yang ditinggalkan bagi Papua gunakan mencapai kemerdekaan Jasmani (Politik) adalah pendeta Isack Samuel Kijne. Pendeta Kijne adalah seorang warga negara Belanda yang datang ke Papua tahun 1923 bersama dua orang pendeta yakni F. Slump dan J. Eidendal, (Numberi. Hal 403). Pendeta Isack Samuel Kijne dalam pandangan warga GKI di Tanah Papua adalah bapak GKI di Tanah Papua dan juga bapak pembangunan sumber daya manusia bagi orang Papua (Isir. Hal 151-152). Karena selama 35 tahun pengabdiannya di Papua, ia telah membangun beberapa sekolah bagi pribumi Papua dan menjadi bagian tak terpisahkan dari lahirnya GKI di Tanah Papua sebagai gereja yang mandiri/terlepas dari zending Belanda dan Jerman.

Dari Kijne kitong punya orang tua yang hidup di masa itu tahu bahwa sesungguhnya kitong masyarakat pribumi West Niue Guinea/Papua Barat/Melanesia Barat yang beragam suku adalah satu bangsa. Bangsa Melanesia. Kesadaran itu tersemai melalui sekolah guru yang dibangun Kijne di Miei, Kabupaten Teluk Wondama. Sekolah di Miei itu dibangun pada tahun 1924 dan tiap tahunnya ratusan pemuda Papua mendapatkan pendidikan di sana dan dipersiapkan menjadi elit-elit Melanesia Barat yang melihat jauh melampaui batas-batas suku (Drooglever. Hal, 55).

Pembentukan nasionalisme terbentuk sangat cepat melalui sekolah yang dibangun Kijne karena sekolah tersebut dikhususkan bagi pribumi Papua. Tidak seperti sekolah yang dibangun Ottow dan Geissler serta Van Haselt di Mansinam yang didominasi orang-orang Ambon dan Kei. Dan juga dikarenakan sekolah tersebut berpolah asrama sehingga para para pelajar yang berbeda suku itu memiliki waktu luang yang tinggi dalam membangun relasi sosial yang melampui sekat suku sehingga perasaan berbeda suku namun satu bangsa atau perasaan nasional lahir sebagai kesadaran baru.

Selain itu sekolah yang dibangun Kijne adalah sekolah formal dan dikhususkan bagi suku-suku pribumi Melanesia. Dr. F.C. Kamma dalam buku “Ajaib Di Mata Kita” Seri III mengatakan bahwa Kijne telah berhasil membangun pendidikan ini menjadi sekolah Formal (SPG) bagi murid-murid pribumi (Kamma III, Hal 414). Sekolah yang dibangun Kijne-lah yang menurut hemat penulis membentuk kessadaran baru bagi pribumi Papua bahwa mereka terdiri dari suku-suku yang berbeda-beda, namun mereka adalah satu bangsa yakni bangsa Melanesia.

Kesadaran baru sebagai satu bangsa inilah yang saya sebut diatas sebagai peradaban baru. Atau dari tidak tahu menjadi tahu sebagai satu bangsa, bangsa Melanesia. Yang dikemudian hari perasaan sebagai bangsa Melanesia itu dijadikan pembeda dari dua bangsa yang berjuang menjajah Papua yakni bangsa Melayu Indonesia dan Belanda.  Factor pembeda dari sudut ras/kebangsaan ini pun menjadi dasar pribumi Papua menuntut hak sebagai sebuah bangsa seperti bangsa Indonesia dan Belanda, yakni hak untuk merdeka dan berdaulat sendiri.

Dan keinginan orang Papua yang dididiknya untuk merdeka dan berdaulat sendiri sebagai sebuah bangsa disadari oleh Kijne sebagai pendiri sekolah. Sehingga sebagai seorang Pendeta yang didalam kaca mata rohani warga GKI di Tanah Papua telah menganggapnya sebagai Nabi bagi orang Papua, ia membuat satu pernyataan/pesan profetis yang diyakini sebagai nubuatan Nabi kepada bangsa Melanesia Barat dan kepada bangsa-bangsa di dunia terlebih khusus Belanda dan Indonesia.

“Di atas batu ini, saya meletakan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepintaran akal budi serta marifat yang tinggi, ia tak akan dapat memimpin bangsa ini. Kelak bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” I.S.Kijne, Bukit Aitumeri, Kabupaten Teluk Wondama, 25 Oktober 1925.

Pesan profetis yang disampaikan pendeta Kijne di atas jika diperadabkan dengan kondisi Papua yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mulai melimpah hingga membanjiri dunia pengangguran di Bumi Cendrawasih. Namun fakta data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua sejak dianeksasi oleh Indonessia pada 1 Mei 1963 hingga sekarang ini masih menjadi juara umum propinsi paling miskin di Indonesia. Dan juara termiskin itu terjadi disegala bidang kehidupan yang dijadikan indikator analisis pembangunan manusia membuktikan bahwa pesan profetis dari seorang nabi bagi orang Papua itu ya dan amin.

Pesan yang terbukti kebenarannya itu harus diwujudnyatkan oleh orang Papua agar dapat bangkit dan memimpin dirinya sendiri dengan cara berjuang untuk merdeka dan berdaulat sendiri dari kolonialisme Indonesia. Sebab ada satu pesan profetis lagi yang dibuat oleh pendeta Kijne guna menyimpulkan cita-cita orang Papua untuk mencapai kemerdekaan jasmani (Politik) yang dianekdotkan dalam cerita tentang Tom dan Reggi dalam buku Kota Emas yang ditulisnya. Pesan tersebut terbaca “Yang jadi dimimpi barangkali tak jadi. Kendati tak jadi berarti abadi”. Pesan itu ditulis pada tahun 1958 atau tahun dimana Kijne menulis cerita Tom dan Regi dan juga tahun dimana Ia pulang ke Belanda setelah 35 tahun mengabdi di Papua.

Kijne membuat pesan profetis itu karena ia tahu bahwa orang Papua menginginkan kemerdekaan jasmani (politik) dan keinginan untuk merdeka secara politik itu telah dan sedang diperjuangkan oleh orang Papua. Keinginan merdeka orang Papua dari kolonialisme yang dilihat Kijne sebagai mimpi yang berpeluang tidak akan terjadi dan ketika tidak bisa tercapai/terjadi maka keinginan itu akan abadi dalam cerita.

Konon katanya, pernyataan itu dibuat pula lantaran para elit Papua waktu itu menolak ide pendeta I.S.Kijne agar GKI yang telah menyatakan berdiri sendiri pada 26 Oktober 1956 sekaligus berdiri menjadi negara Papua yang merdeka dan berdaulat sendiri untuk menyelamatkan orang Papua dari kolonialisme Belanda dan Indonesia, namun ditolak F.S. Rumainum dengan alasan orang Papua belum ada yang sarjana.

Terlepas dari pesan yang konon katanya itu. Penulis hendak menegaskan bahwa pesan profetis I.S.Kijne di bukit Aitumeri pada 25 Oktober 1925 yang telah di Imani oleh orang Papua sebagai nubuatan itu harus diaktualisasikan melalui tindakan perjuangan dan tidak sekedar diaminkan dalam kata-kata. Karena ketika pesan profetis Kijne hanya diaminkan dalam kata-kata atau pun diaminkan (baca:dibenarkan) dalam integrasi politik ke dalam Indonesia, maka dikemudian hari rakyat bangsa Melanesia Barat/Papua Barat akan abadi hanya dalam cerita sebagai akibat dari sejarah kolonialisme di Papua sebagaimana suku aborijin di Australia sekarang ini dan suku-suku bangsa di dunia yang telah punah akibat kolonialisme.

Tetapi sebaliknya, orang Papua akan abadi dan selamat dari ancaman kepunahan serta mendapatkan kesukaan yang akan terus bertambah bila dibagikan dan kesukaan itu lebih berharga dari emas. Kesukaan tersebut dapat diperoleh jika orang Papua mencapai Kota Emas sebagaimana dalam cerita Tomi dan Regina pada bagian cerita ke 21 tentang Tuhan Yang Baik. Kota Emas tentuhnya adalah negara Papua.

Aktualisasi cerita Tom dan Regi

Bagaimana nubuatan itu diaktualisasikan lewat tindakan perjuangan agar keinginan mencapai Kota Emas (Negara Papua) yang adalah mimpi orang Papua ketika tercerahkan oleh para zending (tahun-tahun masukannya zending dan misionaris dapat dibilang sebagai masa pencerahan bagi orang Papua). Sehingga orang Papua tidak hanya akan abadi dalam cerita, namun abadi sebagai sebuah bangsa yang eksis di muka bumi.

Bagi saya untuk abadi di muka bumi! Kitong tidak perlu mengkritik agama dan gereja sebagai candu yang meninabobohkan rakyat dari perjuangan pembebasan nasional sehingga ancaman kepunahan itu semakin nyata. Mengapa? Karena Pendeta I.S.Kijne tidak saja meninggalkan pesan profetis yang saya sendiri yakini sebagai nubuatan dari seorang nabi untuk orang Papua, tanpa meninggalkan pesan kepada orang Papua, bagaimana mewujudkan itu. Tetapi sejatinya, sebelum meninggalkan Papua untuk kembali ke Belanda. Kijne telah meninggalkan visi yang harus diaktualisasikan oleh orang Papua agar mencapai kemerdekaan politiknya dengan cara yang orang Papua inginkan sendiri, bukan dengan cara yang diinginkan Belanda mau pun Indonesia. Perang bersenjata.

Pesan pendeta Kijne kepada orang Papua bagaimana cara yang harus orang Papua lalui untuk mencapai kemerdekaan politik, dikemas oleh Kijne dalam cerita tentang Tom dan Reggi dalam buku Kota Emas yang telah saya singgung di atas. Dalam buku tersebut orang Papua yang telah “dicerahkan” yang dikisahkan sebagai Tom ingin mencapai Kota Emas (Negara Papua) yang disampaikan kepada Regi (para zending/pemerintah Belanda) pada bagian ke tiga cerita dengan judul “Kota Emas”. Pada bagian ketiga itu. Tom berkata kepada Regi dengan nada tanya, bahwa Regi tahu apa yang Tom suka? Tom mau bersayap, sampai pandai terbang. Lalu terbang ke sana, ke kota terang itu, yang ada dibelakang bukit jauh itu, dekat matahari.

“Regi!” seruh tom “Ya Tom!” jawab Regi.

“Regi. Engkau tahu apa yang saya suka? Saya mau bersayap, sampai pandai terbang. Saya mau terbang ke sana. Ke kota terang itu, di belakang bukit jauh itu, dekat matahari!

Dari penggalan cerita di atas saya berkesimpulan bahwa keinginan dari Tom (orang Papua) untuk merdeka secara politik itu ada ketika orang Papua mendapati dirinya adalah sebuah bangsa hasil pendidikan sekolah para zending terutama yang dibangun pendeta Kijne. Namun masih ada rasa tidak percaya diri karena merasa belum mampu sehingga ia ingin bersayap (berpendidikan) sampai pandai terbang (sampai mencapai pendidikan yang tinggi) barulah keinginan mendirikan negara Papua itu diwujudkan. Di sini SDM Papua menjadi persoalan dan itu tak bisa dibantah. Namun jika hari ini SDM Papua dianggap menjadi masalah sehingga Papua belum bisa bernegara maka orang Papua jangan pernah mara ketika dianggap sama seperti monyet karena hanya monyet yang sejak penciptaannya sampai sekarang ini tidak mengalami evolusi pengetahuan.

Keinginan merdeka sebagai sebuah bangsa adalah hasil kerja para zending dan didikan Belanda. Namun tidak dapat terwujud di saat itu karena dibatasi oleh pemikiran diri sendiri bahwa kitong orang Papua belum berpendidikan tinggi. Sehingga belum layak bicara tentang merdeka atau berkeinginan merdeka. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Drs. S.M Paiki bahwa Jendral Doglas Machartur yang telah mendapatkan informasi tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia dan kemerdekaan Indonesia sedang dibahas menawarkan atau tepatnya bertanya kepada Silas Papare, Nicolas Jouwe dan Marcus Kaisepo, apakah mereka ingin Papua merdeka sekarang atau tidak.

Silas Papare yang dinobatkan oleh pemerintah Indonesia sebagai pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 14 September 1993 atau tepat ketika ajal menjemputnya dengan tegas berkata kepada Machartur bahwa dia ingin merdeka sekarang juga saat ditanya. Namun sebaliknya jawaban dari Nicolas Jouwe dan Marcus Kaisepo kepada Jendral Machartur bahwa orang Papua belum bisa merdeka karena orang Papua masih bodoh sehingga biar orang Papua ikut Belanda, nanti Belanda yang memberikan kemerdekaan kepada orang Papua (Paiki. Hal 37-38). Hal ini konon katanya, membuat Silas Papare berbalik mendukung Indonesia yang berhasil mengusir Belanda dengan harapan Indonesia akan memberi kemerdekaan bagi Papua Barat karena tidak sepakat dengan Nicolas Jouwe dan Marcus Kaisepo.

Ingin merdeka tapi merasa diri masih bodoh menjadi sumber malapetaka yang bagi Kijne adalah celaka dalam bagian ke empat cerita Tom dan Regi dalam buku Kota Emas. Hemat saya. Kijne menganggap pikiran orang Papua yang merasa diri belum mampu sebagai sebuah kecelakaan yang dibuat orang Papua sendiri sehingga tidak menyatakan keinginannya untuk merdeka waktu itu kepada Machartur tapi sebaliknya menolak dengan alasan ikut Belanda dulu. Pilihan ini bagi Kijne itu adalah pilihan “kecelakaan” karena tidak melihat ke depan kesusahan dan penderitaan orang Papua nantinya dalam Belanda maupun Indonesia nantinya.

Celaka bagi orang Papua digambarkan dalam cerita Kota Emas bagian ke 5 yang mengkisahkan Tom tidak melihat boneka Sarinah. Sehingga kakinya tersantuk kursi membuat Tom jatuh, kursi pun jatuh dan Boneka Sarina pun jatuh dan kepala dari boneka tersebut pun pecah. Kecelakaan itu membuat mereka berdua berpisah namun kemudian mereka berdamai lagi. Perdamaian itu diawali dari Regina yang dihantui perasahan bersalah lalu mencari Tom yang mengalami kesusahan yang satu ke kesusahan yang lain.

Ketika Regina dan Pit Kasuari mendapati Tom yang tertidur dengan posisi wajahnya menghadap ke tanah tak berdaya. Regi membangunkannya, dan Tom hendak berlalu meninggalkan Regi dan Pit Kasuari. Namun Regi yang sudah memegang lengan baju Tom berkata kepada Tom agar tidak lari lagi dan jangan marah lagi. Karena dirinya (Regi) amat menyesal dan mengakui semuanya adalah kesalahannya, juga mengakui dirinya yang jahat.

Jika dikontekskan atau diaktualisasikan maka sejatihnya hal itu sudah terjadi, walau tidak serunut cerita. Namun esensinya tepat karena Belanda sudah mengakui sikap politiknya atas Papua secara tersirat. Pengakuan itu telah disampaikan oleh Deputy Menteri Luar Negeri Belanda ketika didatangi beberapa mantan tahanan politik Melanesia Barat tanggal 24 Oktober tahun 2000 di Belanda.

Kata Deputy Luar Negeri Belanda kepada para eks tapol Melanesia Barat. Bahwa: 1). Belanda hanya mengakui orang Papua yang berjuang di dalam negeri sementara mereka yang ada di Belanda adalah warga negara Belanda. 2). Belanda mengakui status politik Papua yang diberikan Indonesia (wilayah otonomi khusus dari Indonesia). 3). Belanda hanya dapat membantu kalau perjuangan Papua merdeka sudah sangat siap merdeka. 4). Hubungan Belanda dan Indonesia adalah hubungan bisnis. 5). Belanda dan negara-negara Eropa akan menegur Indonesia kalau ada pelanggaran HAM di Papua. (Paiki. Hal 148-149).

Dari pengakuan Drs. Dirk Jan Wierenga, Deputy Menteri Luar Negeri Belanda di atas. Saya berpendapat bahwa Belanda telah mengakui kesalahananya di waktu itu yang menganggap orang Papua masih bodoh untuk bernegara dengan mengakui eksistensi perjuangan orang Papua di tanah air untuk merdeka dengan mengatakan bahwa Belanda hanya mengakui orang Papua yang berjuang di dalam negeri. Dan akan menebus kesalahan pemerintah kerajaaan belanda yang menganggap orang Papua waktu itu masih bodoh untuk bernegara dengan berjanji akan membantu perjuangan Papua ketika persoalan Papua ditetapkan menjadi agenda PBB. Dan akan menegur Indonesia bila ada pelanggaran HAM di Papua yang dilaporkan. Ini poin pentingnya walau terlihat mencuci tangan namun esensi adalah pengakuan. Seperti Regi yang telah mengakui kesalahannya kepada Tom.

Regi sudah mengakui kesalahanya! Sekarang tinggal orang Papua (Tom) menyatakan kepada Belanda (Regina) bahwa orang Papua sudah bisa terbang mencapai Kota Emas dengan sayap (kepandaiannya) sendiri, bukan sayap yang ditinggalkan Belanda. Dan berdasarkan kesimpulan pribadi saya bahwa keinginan Tom (orang Papua waktu itu) untuk bersayap (berpendidikan) sampai pandai terbang (berpendidikan tinggi) barulah terbang mencapai Kota Emas sebagaimana visi yang ditinggalkan zendeling, pendeta Isac Samuel Kijne tentang Kota Emas sudah diaktualisasikan oleh Dr. Thomas Wapai Wanggai, HG, MPA, Ph.D.

Dr. Thomas Wanggai adalah seorang cendekiawan, pemimpin politik dan budayawan, filsuf dan nasionalis asal Papua Barat dan merupakan advokat penentuan nasib sendiri Papua Barat dan indentitas Melanesia. Dr. Thom pernah dihukum enam bulan di penjara militer Indonesia dan setelah dibebaskan, ia kembali ke Jepang guna menyelesaikan gelar sarjana hukumnya di Okayama University lalu melanjutkan studi ke Amerika Serikat sebagai Fulbright Scholar dimana ia memperoleh gelar Master Administrasi Publik diikuti dengan gelar Ph.D. dalam Filsafat Politik di Universitas Negeri Florida (cerita singkat Dr. Thomas Wapai Wanggai. Muye Voice.blogspot.com).

Setelah balik dari perjalanan keluar negeri untuk menenun sayap pendidikan agar pandai dan bisa terbang sebagai yang diinginkan pada buku Kota Emas.  Dr Thom yang disebut-sebut sebagai Nelson Mandela-nya orang Papua memproklamasikan kemerdekaan Negara Republik Melanesia Barat di stadion Mandala Jayapura pada tanggal 14 Desember 1988. Proklamasi Negara Republik Melanesia Barat di sertai dengan pengibaran bendera bintang 14 diaukui sebagai perisiwa politik berkekuatan hukum nasional Indonesia dan hukum internasional serta sesuai perjanjian Roma yang menjadi perjanjian internasional terakhir antara Belanda dan Indonesia dalam sengketa Papua.

Bendera yang berkibar di Stadion Mandala Jayapura pada 14 Desember 1988 itu disebut bendera bintang 14 karena jumlah bintangnya berjumlah 14 dan tersusun membentuk salib di atas warnah dasar hijau dan memiliki tiga baris dengan corak warna hitam, putih dan merah. Bintangnya adalah bintang berjari tujuh bukan bintang berjari lima seperti bintang kejora/bintang lusiver. Negara Republik Melanesia Barat adalah konsep yang disiapkan Thomas Wapai Wanggai ketika ia sudah bersayap dan sudah pandai terbang sebagaimana keinginan Tom dalam buku Kota Emas. Konsep itu pun dipersiapkan selama 20 tahun atau disiapkan dari tahun 1964 sampai dengan 1988 dengan 163 pasal dalam undang-undang dasar negara yang telah disiapkan. Lalu diaktualisasikan (diproklamasikan) pada tanggal 14 Desember 1988 sebagai penggenapan visi zending, Isak Samuel Kijne yang diimani sebagai nabi bagi orang Papua.

Tetapi juga sebagai peletak dasar peradaban orang Papua dengan pesan profetis yang amat sangat terkenal “Di atas batu ini, saya meletakan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepintaran akal budi serta marifat yang tinggi, ia tak akan dapat memimpin bangsa ini. Kelak bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”ataukah kita mau mengikuti konsep dan jalan kekerasan yang ditinggalkan Belanda untuk menggenapi kata-kata Kijne yang lain bahwa “Yang jadi dimimpi barangkali tak jadi. Kendati tak jadi berarti abadi”.

Jadi agama dan gereja di Papua tidak bisa dianggap sebagai candu bagi rakyat sebagaimana kesalahan tapsir kebanyakan orang menapsirkan pernyataan Karl Marx bahwa agama adalah candu. Karena ada kontruksi nasionalisme Papua yang dicetuskan oleh seorang filsuf Papua Barat dengan berguru pada pikiran seorang zending yang meletakan dasar peradaban baru yang baik bagi orang Papua dan telah diakutilisasikan oleh Dr. Thomas Wapai Wanggai melalui proklamasi 14 Desember 1988 sebagai anti tesis atas peristiwa 1 Desember 1961. Salam satu tujuan.

 

Referensi Buku:

  • Quo Vadis Papua (Fredi Numberi 2013)
  • Ajaib Di Mata Kita III (F.C.Kamma 1976)
  • Bahasa Menunjukan Bangsa (S.M.Paiki 2012)
  • Tindakan Pilihan Bebas (P.J.Droglever 2010)
  • Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat (Yayasan Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian Barat. 1986
  • Syukur Bagi-Mu Tuhan Kau B’Kan Tanahku Papua (Robert Isir 2007)
  • Cerita Kota Emas Seri IV (I.S.Kijne 1956)

Referinsi Internet:

Philipus Robaha
Penulis adalah aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan