Saat ini kita sedang merayakan kembali kemenangan rakyat Papua yang tertunda pada 1 Desember 2021. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya kita akan memaknai itu? Inilah yang akan saya jawab dalam uraian reflektif berikut.
Sudah sejak awal kita menjadikan 1 Desember sebagai puncak perjuangan dalam sejarah kebangsaan West Papua. Namun, kesempatan emas masa lalu itu hanya selang waktu yang singkat diruntuhkan kembali oleh kolonial Indonesia. Di sanalah awal mula benih kebangsaan itu memikat dan menampakkan diri pada setiap orang Papua tanpa kecuali. Sejak itu, 1 Desember kita merayakan sebagai perayaan kebangkitan sekaligus harapan demi memperjuangkan kebebasan politik.
Pentingnya Mengukur Proses
Namun, ada satu hal yang riskan selalu menemani perjuangan yakni kegagalan. Di satu sisi, kegagalan sebuah jalan menuju tujuan dari harapan. Di lain pihak, lebih mendasar adalah kegagalan penghayatan untuk melihat proses. Artinya, kita gagal melihat dan menghayati makna yang lebih besar dari harapan yakni suatu gerak maju langkah demi langkah. Kita membiarkan semua proses sebagai angin lalu yang kita lupakan segera. Kita tidak menghargai setiap proses yang yang dilewati baik yang berdampak baik maupun buruk. Artinya kita, hanya memelihara harapan tanpa melakukan suatu perbaikan dengan evaluasi yang kritis. Suatu tindakan merekonstruksi cara berjuang. Suatu tindakan untuk menimbang dan mengukur setiap proses dengan tepat dan objektif.
Tidak dapat dipungkiri itu semua terjadi di depan mata kita. Tidak salah jika mengakui kita terpecah belah dan setiap orang yang tidak ingin bersama lagi membuat fraksi baru untuk berjalan dengan caranya sendiri. Ini ibarat sekali dayung tetapi perahunya tak terarah karena dayungannya tak serentak dan tak terarah. Hal itulah yang membuat kita menjadi sulit bersatu. Ada sesuatu keinginan yang egois di dalam sosok-sosok yang sebenarnya didorong oleh nafsu kekuasaan yang sebenarnya berjalan dalam bisu. Namun, dampaknya kita rasakan, yakni keterpecahan organisasi gerakan. Hal ini tidak lain adalah kecolongan kita karena tidak memahami dan menilai proseses itu sendiri. Tidak memahami sejauh mana musuh memanfaatkan setiap proses yang berjalan. Tidak memahami sejauh mana upaya kita membangun persatuan dengan memelihara relasi baik antar-pejuang.
Sejak perpecahan Rumkorem dkk hingga kini OPM dan ULMWP adalah lagu yang diputar ulang lagi dan lagi. Tak hanya dalam organisasi besar, di dalam organisasi aktivis sosial politik dan kemanusiaan pun terjadi hal yang sama. Hanya aktor, masa, dan nama organisasi yang berbeda. Selalu kembali jatuh dalam lubang yang sama yakni perceraian bahkan kadang menjadi permusuhan emosional. Boleh kita meyakini bahwa itu merupakan perwujudan ungkapan, “Banyak jalan menuju Roma” tetapi jika kebencian terus tumbuh antar-organ perjuangan ungkapan itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah kalimat yang kosong. Hanya menjadi kalimat untuk memberi harapan palsu pada rakyat. Berbeda halnya jika perdebatannya lebih substansial: perdebatan rasional dan objektif sebagai corong untuk melihat keseluruhan realitas perkembangan perjuangan orang Papua. Misalnya mempedebatkan bagaimana mencapai pembebasan? Bagaimana setelah bebas? Seperti apa ideologinya? Bagaimana menjamin kesetaraan? Bagaimana menjadi negara yang mampu meminimalkan kekerasaan dalam bentuk apapun? Dan sebagainya. Jika perdebatan hanya sekedar pengakuan atau berebut struktur organisasi itu adalah ketololan yang sengaja dipelihara untuk menahan dan menghambat kemajuan dalam perjuangan.
Karena ketiadaan evaluasi kritis inilah yang membuat pejuang menampilkan wajah yang terkesan buruk dan tanpa arah kepada rakyat. Tidak hanya itu, rakyat Papua menyaksikan baik yang sedang dilakukan oleh pejuang dan juga pihak oposisi (lawan). Mereka semakin menyadari bahwa “sedang dipermainkan”. Mereka tidak diberi kepastian atas jaminan hidup dan juga harapan menuju pembebasan. Rakyat hanya diberi asupan-asupan kekhawatiran dan keputusasaan karena para pejuang tidak memberi suatu jalan kepastian. Tidak heran jika kemudian mereka lebih memilih menjadi oposisi karena mengikuti tawaran “harapan hidup”: ketersediaan kesenangan dan “keamanan dan kenyamanan” yang cukup bagi mereka.
Bila suasana seperti ini berlanjut, tidak bisa tidak kita akan semakin kehilangan harapan dari rakyat Papua. Dengan itu, secara tidak langsung kita sedang menciptakan jalan mundur bagi gerakan perjuangan. Terlebih lagi bagi Rakyat yang pada dasarnya mendasarkan diri pada arahan dari perwakilan yang ada. Perwakilan itu yakni pejuang pembebasan yang saat ini yang terus berjuang. Maka, perlulah menjadi perwakilan yang sesungguhnya membawa aspirasi dari rakyat West Papua dengan menunjukan kepastian kepada rakyat Papua. Karena inilah tujuan utama gerakan itu ada dan harus terus dibawa hingga di tempat tertinggi.
Perlunya Memahami Realitas secara Menyeluruh
Kita perlu apresiasi bahwa terbentuknya Petisi Rakyat Papua (PRP) adalah satu langkah maju. Walaupun saat ini rakyat mempertanyakan apa yang sudah dibuat dalam rangka penolakan Otsus Jilid 2. Di mata mereka sudah tertumpuk bahwa PRP sudah gagal. Terlepas dari itu, sebenarnya tantangan PRP itu adalah tantangan hasil dari polarisasi karena ketidakpenuhan harapan akan masa depan Papua ini. Rakyat merasakan itu. Bahkan saat ini mereka sedang dalam jalan dua arah. Mereka adalah warga sipil yang berada pada posisi yang dualis. Mereka bisa diarahkan kemana saja. Polarisasi yang ada ini perlu untuk dipahami baik sehingga ini tidak menjadi tantangan tetapi justru dilihat sebagai peluang untuk para pejuang lebih membangkitkan semangat juang lagi. Oleh karena itu, PRP harus hadir dengan memberikan dampak yang sesungguhnya dari harapan sebagai penyatuan rakyat Papua.
Tidak hanya berhenti di sini, harus menjadi wadah penyatuan untuk 20-40 tahun kedepan. PRP harus menunjukkan jalan itu: jalan menuju pemenuhan harapan rakyat yakni untuk membebaskan rakyat Papua dari ketertindasan. Paling tidak membuat suatu rencana jangka panjang hingga 40 tahun mendatang dan melakukan sosialisasi ala kadarnya agar harapan pembebasan itu tumbuh. Dari pada disogokan isu-isu PBB akan begini, ULMWP akan begitu, Ia sedang begitu, dan sebagainya. Ini isu sogokan yang terbangun karena tidak ada harapan. Hal ini yang mesti kita hindari.
Berbagai isu pemecah belah selalu (selama ini) akan berjalan dua arah. Di satu sisi akan menjadi keuntungan dan di sini lain bisa merugikan perjalan panjang perjuangan. Untuk itulah memahami reaksi sosial (dialektika realitas) adalah tanggung jawab para pejuang. Karena dengan itulah aksi nyata itu menjadi punya ruang untuk menengok kembali setiap langkah rakyat dan pejuang sebagai tombak pergerakan. Untuk itulah Mogok Sipil Nasional (MSN) menjadi hal yang penting dan merupakan salah satu praktek praktis yang bisa menjadi kekuatan untuk melihat reaksi pejuang berjalan bersama rakyat.
Mengapa itu menjadi penting? Selama ini perjuangan kita seakan ada jarak antara pejuang dan rakyat Papua dalam perjalanan perjuangan. Jarak tersebut adalah ungkapan langsung relasi antara pejuang pembebasan dan rakyat Papua. Menghitung reaksi melalui aksi potes itu tidaklah cukup untuk mengukur. Mengapa? Karena aksi protes itu sangat tergantung pada kondisi psikologis sosial yang bisa saja dibentuk dan dapat diubah-ubah kapanpun dan sangat tergantung pada emosi kolektif. Misalnya aksi rasisme, itu hanya karena dorongan emosi menjadi pemicu sehingga massa meledak. Setelahnya aksi-aksi tersebut mulai diredakan pada aksi di hari-hari berikut. Kita telah melihat aksi tersebut dihadang dengan konflik horizontal yang telah dirancang seketika untuk membuat keos suasana. Artinya di sini ada ruang yang secara langsung musuh memilikinya untuk mengacaukan suasana. Singkatnya, motif ideologi massa belum benar-benar terbentuk. Setidaknya dengan berpacu pada harapan besar yang ada saat ini. Bukan pada emosi sesaat belaka.
MSN berpeluang menjadi gerakan yang sistematis digerakan oleh semua rakyat. Di sana tidak ada ruang intervensi langsung oleh negara. Hanya dapat berupa pengalih kebutuhan. Namun dasar kita jelas bahwa penolakan kita adalah produk kolonial maka itu mampu mematahkan segala reaksi musuh. Hal ini menjadi penting karena kita memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari orang Papua. Hanya perlu suatu koordinasi yang baik untuk memenuhi ruang-ruang yang sulit terakomodir. Misalnya di perkotaan yang justru lebih banyak bergantung pada produk luar. Tetapi selalu ada jalan untuk mengatasi kesulitan semacam ini.
Tidak hanya itu, MSN juga harus menjadi corong wacana kepapuaan. MSN harus menjadi wadah ‘barapen bersama’ untuk menghasilkan suatu makanan yang lezat yang mampu mengenyangkan semua Orang Papua dalam perjalanan panjang ini. Batu sebagai pembentukan ideologi. Daun sebagai solidaritas dan kesadaran kesatuan dari setiap organ penggerak. Babi sebagai harapan yang terus memberi harapan untuk terus berjuang. Ubi sebagai daya juang dari setiap pejuang. Uap hasil memasak sebagai pengingat usaha dengan terus melakukan evaluasi kritis dan mendalam. Sehingga, MSN itu dapat menjadi praktek bersama untuk dua langkah kedepan sambil mempersiapkan langkah-langkah besar selanjutnya. Ini adalah salah satu contoh yang harus dilakukan.
Berjalan Bersama
Apa yang ingin disampaikan sebenarnya? Tidak lain tidak bukan adalah suatu aksi bersama yang dilakukan setiap hari. Ini adalah suatu cara untuk bagaimana kita berjalan bersama. Selama ini kita hanya berjalan terpisah antara gerakan pejuang dan rakyat, maka itulah yang ingin dirubah. Mengapa? Karena perjuangan pembebasan bukan hanya milik ULMWP, OPM, WPNA, PNWP, WPNCL, TPNPB, KNPB, AMP, dan sebagainya setiap gerakan yang ada tetapi adalah milik rakyat Papua seluruhnya. Maka sangat relevan jika perjuangan ini kita maknai ulang bahwa perjuangan ini adalah perjuangan bersama. Tidak hanya di dalam lingkarang orang Papua namun dengan membuka diri bekerja sama dengan solidaritas yang memiliki harapan pada pembebasan maupun mereka yang membatasi diri pada solidaritas kemanusiaan.
Sehingga, kita tidak hanya membuat saling menantikan harapan, tetapi berjalan bersama memperjuangkan kemerdekaan melalui aksi-aksi bersama dengan keterlibatan seluruh elemen rakyat Papua maupun solidaritas. Maka Mogok Sipil ataupun gerakan bersama lainnya seperti Pasar Mama, Gerakan Papua Mengajar, Gerakan Sastra, Gerakan melalui seni, Gerakan masyarakat adat, Gerakan Advokasi, dan segala macam gerakan yang menggerakkan membawa Rakyat Papua pada harapan besar adalah hal yang paling utama kita harus dorong bersama. Karena dengan inilah Perjuangan itu akan berjalan bersama hingga Rakyat Papua terbebas dari penindasan dalam bentuk rasialisme maupun penjajahan (kolonialisme). Baik karena motif ekonomi (kapitalisme) maupun politik (imperialisme).
***