Perempuan Refleksi untuk Perempuan Papua di Hari Anti Kekerasan Perempuan

Refleksi untuk Perempuan Papua di Hari Anti Kekerasan Perempuan

-

Oleh Vo Nguyen Giap Mambor

Catatan Saya di Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Bahan Reflektif untuk Perempuan-Perempuan Tanah (Papua)

“… merupakan sebuah sumber kebahagiaan yang amat sangat, untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan bagi negeri kita yang menderita oleh begitu banyak luka, begitu sedihnya jika kita tinggal dan diam mengingkari ini semua …” Minerva Mirabal (1926-1960).

Uraian Minerva di atas sangat menyentuh saya. Minerva “memiliki keteguhan” seperti kedua saudaranya, Maria dan Patria. Tiga wanita terhebat sepanjang massa yang pernah saya kenal, dan sangat pantas, jika hari kematian mereka (secara tak wajar, sadis, dan biadab) diperingati sebagai hari anti kekerasan terhadap perempuan di seluruh penjuru dunia.

Nah, bagaimana konteks “perayaan” hari anti kekerasan terhadap perempuan di Papua, dalam konteks ketika situasi Papua seperti: pertama, ruang demokrasi ditutup, kedua, penegakan hukum “dipolitisir”, ketiga, kebebasan pers ditutup (dan dibungkam), keempat, isolasi seluruh wilayah Papua dan Papua Barat, kelima, proses “lip service” pembangunan di kedepankan, keenam, proses pembantaiaan etnis (genocida) terus dikedepankan, ketujuh, mereka pro-demokrasi dipukul mundur, kedelapan, NGO dibuat “tidur” oleh kekuasaan melalui fund raising (entah dari dalam negeri atau luar), kesembilan, terus terjadi kriminalisasi aspirasi politik (ada sekitar 70 tahanan politik), ke sepuluh, mimbar akademik dan non-akademik untuk mahasiswa di “kencingin” kekuataan militer, ke sebelas, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi OAP dibuat tak berdaya?

Bagaimana perempuan-perempuan tanah (Papua) melihat, merasakan, mengamati, dan menghadapi situasi seperti ini?

Pertanyaan reflektif yang perlu dilahirkan, terutama untuk perempuan-perempuan Papua yang saya kagumi dan banggakan hari ini adalah: Pertana, kaum perempuan mengambil peran apa, bagaimana, dan seperti apa untuk “sedikit” mengatasi “segudang” persoalaan, dan kebekuaan demokrasi itu? Kedua, siapa aktor yang perlu kita (kaum feminis) lawan, dan bagaimana cara melawan, dan seperti apa cara yang (sedikit mendekati) tepat? Ketiga, metode taktis atau “jangka” penjang seperti apa yang perlu dibangun? Keempat, jaringan yang dibangun selama ini dengan kelompok-kelompok perempuan di tingkat lokal (Jayapura, dan di setiap kabupaten atau kota seluruh Papua dan Papua Barat), Nasional (Jakarta, Sumatera, Sulawesi, dan Makassar), dan tingkat internasional sudah sejauh mana, dan seperti apa?

Dari pertanyaan reflektif di atas, muncul beberapa “argumentasi” awal untuk menjawab, juga melihat “peluang” untuk berpartisipasi secara aktif?

Pertama, memetakan masalah; masalah yang saya maksudkan disini, tidak sebatas bicara masalah KDRT, kesetaraan gender, poligami, kesamaan dalam dunia politik, atau perdebatan-perdebatan lain yang merupakan perdebatan basi, dan sudah sering di degungkan oleh seluruh aktivis perempuan di Indonesia (yang tidak mengalami penindasan dan penghisapan “sejahat seperti kita” untuk saat ini), tetapi perempuan-perempuan Papua bagaimana keluar dari “lingkaran” pembahasan itu, dan lebih memfoksukan pada masalah di depan mata, yakni, “Partisipasi perempuan tanah dalam pembebasan nasional bangsa Papua Barat”.

Jika ingin memulai pemetaan dengan sedikit baik, coba baca dulu disertarasi Budi Hernawan dari Australia National University (ANU) judulnya The politics of torture and re-imagining peacebuilding in Papua, Indonesia, bisa didownload di lama resmi ANU. Sobat Budi dalam disertasinya menyusun dengan rapi periode kekerasan di Papua pada “Zaman Orde lama, Orde Baru, reformasi, termasuk usai Otsus diberikan”. Budi merinci aktor-aktor yang paling banyak melakukan kekerasan, seperti TNI, Polri, pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan menemukan siapa yang paling “terkena” dampak dari “kekerasan” itu, termasuk statistik perempuan dan laki-laki, dan bagaimana kelompok-kelompok yang menerima kekerasan “menyikapinya”.

Membaca disertasi Ini penting, selain sebagai pengetahuaan (data), juga agar kaum feminis mampu memetakan persoalan-persoalan Papua sejak 1969 hingga kini, dan bisa dengan mudah “menemukan” jawaban awal dari beberapa persoalan di Papua yang telah saya sebutkan, juga agar ‘sedikit’ memiliki kemampuan “menyusun” waktu, atau era.

Shadia Marbahan, tokoh perempuan Aceh mampu “berkibar” di kancah internasional karena mampu dan sangat-sangat baik memahami Aceh (padahal dia beragama non-nasrani, tapi mampu mempengaruhi Eropa yang mayoritas sedikit “anti” dengan Islam dan jilbab), dan punya kemampuan diplomasi yang cukup bagus, perempuan-perempuan Papua perlu belajar dari Marhbahan.

Kedua, setelah memetakan persoalan, memahai masalah dengan baik, mengetahui siapa aktor yang harus dilawan, maka selanjutnya membentuk wadah atau front “persatuan kaum perempuan” untuk melakukan perlawanan.

Aktor yang melakukan perlawanan terhadap kaum perempuan Papua hari ini (menurut saya) bukan suami, pacar, bukan pemerintah lokal Papua (yang dianggap tak akomodir 30% kursi dalam legislatif atau tak berikan jatah di eksekutif), bukan juga sesama aktivis Papua, tetapi aktor yang perlu dilawan adalah Negara.

Lebih kongkrit, para aktor itu adalah TNI/Polri, Multi-national Cooperation (perusahan-perusahan asing, juga jika ada perusahan lokal, Papua, yang menindas), dan termasuk pemerintahan asing (Amerika, Australia, Inggris, dan lain-lain, melalui program-program pemberdayaan perempuan yang sebenarnya “menindas dan membelenggu” perempuan Papua agar tak melakukan perlawanan secara radikal).

Ini tiga aktor, yang penting untuk dilawan oleh “kekuataan” kaum perempuan, atau kalian bisa memiliki “pandangan” yang berbeda dengan saya terkait aktor yang harus dilawan saat ini, tidak harus sama bukan?

Ketiga, temukan metode dan strategi yang tepat untuk melawan aktor-aktir tersebut. Perhitungan secara matang perlu dilakukan, dan apa kebutuhan yang paling mendesak untuk “melawan secara bersama-sama”. Saya melihat, membentuk front (jangka panjang), atau front taktis (sementara) menjadi urgent dan perlu untuk dilakukan.

Front jangka panjang bisa berupa Partai. Ini seperti yang dilakukan Marbahan dkk, yang membentuk Partai Sira (dengan satu unit perempuan yang sangat kuat, dan matang baik dalam aksi di lapangan, di hutan, maupun diplomasi). Organisasi yang dibentuk, atau entah apa nama “unit persatuan” ini, harus mencerminkan jiwa perlawanan, dan semangat melawan para aktor-aktir yang telah di identifikasi tadi. Jika tak melakukan identifikasi secara baik, dikuatirkan hanya bersifat “perjuangan” sementara, artinya tak jauh-jauh beda dengan gerakan-gerakan perempuan di Indonesia pada umumnya.

Saya memang mendengar, ada banyak organ, ikatan, gerakan, atau kelompok-kelompok perempuan Papua yang terbentuk, tapi sejauh ini saya tak lihat ada aksi “mengorganisir” semua perempuan Papua secara terdidik dan berintelek. Semua bias, mengerjakan agenda kampus, LSM, pegawai negeri, DPRP/DPRD, atau bahkan banyak perempuan Papua hilang ditelan bumi, bahkan ada yang sering melancong ke luar negeri tanpa diketahui tujuan dan arahnya.

Coba bayangkan, jika dalam sebuah “wadah” yang terbentuk nanti, ada perempuan-perempuan hebat macam Hanna Hikoyabi, Nafi Sanggenafa, Fience Tebay, Frida Klasin, Erna Mahuze, Heni Lani, Ester Haluk, Ice Murib, Olga Hamadi, Ribka Haluk, Maria Duwitau, Angela Flassy, Yohana Yembise, Frederika Korain, Rosa Moiwend, Raga Kogoya, Bernarda Materay, Dominggas Nari, Grace Roembiak, Ivone Tedjuari, Paula Makabory, Leonie Tanggahma, Ciska Abugau, Lien Maloali, Anum Siregar, Joyce Hamadi, Yakoba Lokbere, Diana Gebze, Joyce Hamadi, Yemima Krey, Liba, Sofia Zonggonau, Bernarda Edowai, Aprilia Wayar, Yulana Lantipo, Ligia Giay, Ruth Ohoiwutun, Selphy Yeimo, Pdt. Dora Balubun, dan lain-lain–maaf terlalu banyak, jadi saya tak bisa sebut satu persatu.

Coba anda bayangkan, semua ini berkumpul untuk “mengikrarkan” komitmen perempuan tanah (Papua) dalam “sebuah wadah”, yang akan komitmen untuk “melawan” untuk pembebasan nasional bangsa Papua Barat. Saya yakin, jika terbentuk, kita pasti merayakan hari anti kekerasan pada 25 November 2015 mendatang dengan sedikit tersenyum, karena kemajuan-kemajuan dan kontribusi-kontribusi yang sudah diberikan dengan “wadah” tersebut. Sebuah refleksi di hari perempuan, yang memang menjadi harapan dan kerinduan bersama, khusus rakyat bangsa Papua Barat.

Akhir kata, selamat merayakan anti kekerasan terhadap perempuan. Mari kita sampaikan salam hormat sekali lagi kepada Mirabal bersaudara (Minerva, Patria, dan Maria), karena kesungguhan mereka untuk melawan, walau taruhannya nyawa, dan karena telah menjadi insipirasi untuk kaum feminis di dunia.

Allah ninom!

***

Catatan: tulisan ini ditulis oleh Vo Nguyen Giap Mambor dan diterbitkan pada 26 November 2014 di akun facebook pribadinya. Kami merasa penting untuk diterbitkan kembali disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda.

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan