Analisa Harian Sawit dan Perjuangan Masyarakat Adat Keerom

Sawit dan Perjuangan Masyarakat Adat Keerom

-

Kabupaten Keerom dimekarkan dari Kota Jayapura, Provinsi Papua pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002. Secara geografis Keerom berada di timur Kota Jayapura (hari ini Ibu Kota Provinsi Papua) dan berbatasan langsung dengan Papua New Guinea (PNG).

Keerom sejak 1982 telah menjadi wilayah pertama perkebunan sawit di Papua. Masuknya perusahan sawit tersebut dilakukan dengan cara-cara manipulatif dan intimidatif. Oleh sebab itu masyarakat adat Keerom selama kurang dari 39 tahun masih memperjuangkan hak atas tanah mereka sambil berharap arus perubahan dan pembangunan tidak menghimpit mereka.

Pada 19 Oktober 1982 tanah adat masyarakat Keerom dengan luas 50.000 hektar terpaksa dilepas dan diberikan kepada PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II). Perkebunan sawit oleh negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Alasan dibalik kehadiran PTPN II adalah untuk memajukan taraf hidup masyarakat adat, membuka keterisolasian daerah, membuka lapangan pekerjaan, serta mensukseskan program transmigrasi yang digagas oleh Soeharto.

Selain itu, tujuan politik yang kita ketahui bersama adalah mempersempit pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang pada saat itu dibawa pimpinan Zet Rumkorem dan Jakcop Prai yang bermarkas di salah satu kampung di Arso, sehingga pemerintah melalui Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berkepentingan melakukan berbagai operasi penumpasan dan klaim kedaulatan di wilayah perbatasan. Operasi itu menyebabkan pengungsian besar-besaran masyarakat adat ke PNG.

Berdasarkan dokumen Dewan Adat Keerom (DAK) surat pelepasan ke PTPN II ditandatangani oleh 24 orang kepala suku atau pemilik ulayat, termasuk Servo Tuamis, Ketua DAK saat ini yang ketika itu masih berusia 20-an tahun. Sebagai saksi hidup, Servo mengatakan penandatanganan surat tersebut sarat akan intimidasi dan manipulasi oleh pemerintah dan keamanan, mereka  digiring untuk menandatangani dokumen secara paksa, ada perubahan total lahan yang awalnya hanya 500 hektar menjadi 50.000 hektar, tidak ada ganti rugi, dan dari ke-24 orang kepala suku tersebut tidak semua ikut menandatangani pelepasan karena masih mengungsi ke PNG.

Menyadari akan pelanggaran dan ketidakadilan itu, masyarakat adat terus memperjuangkan hak mereka dengan beragam cara. Baik dilakukan dengan protes terbuka, maupun menempuh jalur hukum. Antaranya dengan memberikan kuasa kepada Laboratorium Klinik Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua yang baru terbentuk dan dipimpin oleh Bambang Widjojanto di Jayapura. Advokasi hukum tersebut memiliki kemajuan pada tahun 1986 dengan pemerintah menurunkan tim survei untuk menghitung jumlah tanah per meter.

Tim tersebut melaporkan total harga tanah adalah 54 juta rupiah untuk 50.000 hektare. Masyarakat adat menolak dan tidak mengambil sepeserpun karena dianggap sangat murah. Anehnya uang tersebut telah diambil oleh beberapa oknum warga migran di tahun 1997.

Selama proses persengketaan serta gugatan berlangsung, PTPN II eksis beroperasi dan tidak terganggu sama sekali. PTPN II berhasil membuka sekitar 12.000 hektare dan menarik pekerja atau buruh yang mayoritas adalah penduduk transmigrasi di lahan inti perusahaan dan lahan plasma atau perkebunan rakyat.

Satu persatu target ekonomi politik pemerintah dan ABRI tercapai. Pertama, kelompok TPNPB pun semakin terhimpit hingga jauh ke wilayah PNG, begitu juga dengan aktivitas gerilyanya yang tidak lagi berpusat di kawasan itu. Kedua,  berhasil menjadikan Keerom sebagai pusat kependudukan baru melalui program transmigrasi, dan mampu menarik pekerja secara nasional maupun lokal. Masyarakat adat yang terhimpit secara ekonomi tidak memiliki pilihan selain bekerja di perkebunan itu.

Pada tahun 2011 masyarakat adat Keerom yang diwakili DAK berunding dengan PTPN II yang di wakili oleh J. Wurengga. Perundingan ini difasilitasi oleh Kepala Biro Tata Pemerintahan Provinsi Papua atas nama Petrus Korowa, Komnas HAM atas nama Ridho Saleh, dan Komisioner Perwakilan Papua atas nama Adrian Salman Walli. Perundingan hanya menyepakati penundaan berbagai sengketa dan sidang-sidang.

Tahun 2017, setelah tidak adanya kejelasan dari berbagai perundingan dan proses hukum selama 35 tahun PTPN II, masyarakat adat kembali melakukan aksi-aksi pemalangan menuntut ganti rugi penggunaan lahan terpakai sekitar 12.010 hektar dari 50.000 hektare yang dilepas secara paksa. Diketahui lahan itu berada di antara tiga distrik, yaitu Distrik Arso, Arso Timur, dan Skamto, dengan pembagian kebun plasma 3.600 hektare, Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) 5.710,50 hektare, Intisus 2.506,38 hektare, dan lain-lain 193,26 hektare.

Dalam video yang di buat oleh West Papua Update (WPU) berjudul Keerom, 30 Tahun Setelah Sawit Masuk menjelaskan tentang latar belakang berbagai aksi yang telah dan akan dirancang oleh masyarakat adat. Aksi-aksi masyarakat yang menurut para pembuat film sebagai aksi yang minim advokasi dari berbagai NGO dan organisasi gerakan saat itu (2017), terutama karena lambatnya respon dan solidaritas-solidaritas terhadap masyarakat adat Keerom. Pada film itu nampak rapat-rapat masyarakat adat yang kemudian ditindaklanjuti dengan aksi berupa pemalangan di beberapa titik perkebunan PTPN II dan secara simbolis masyarakat mengambil kembali tanah menjadi milik mereka (ritual adat) dan memberikan bibit kelapa sawit kepada perwakilan PTPN II. Sejak 2017 PTPN II tidak nampak lagi beroperasi.

Masuknya PT TSP di Arso Timur

PT Tandan Sawita Papua (PT TSP) terletak di Arso Timur Kabupaten Keerom, berbatasan langsung dengan PNG. PT TSP adalah anak perusahan dari PT Rajawali Group yang telah beroperasi di Arso Timur sejak 2008 lalu, selain itu ternyata dimiliki oleh Green Eagle Group. PT TSP yang beroperasi di wilayah administrasi Kabupaten Keerom ini adalah usaha patungan milik Rajawali Group dan perusahaan Perancis Lois Dreyfus Komoditas, namun sekarang ini PT Rajawali Group telah bergeser dibawah naungan BW Plantations dengan Rajawali sebagai pemegang saham utama. Penguasaan lahan PT TSP diketahui 18.000 hektare berada dalam luasan 50.000 hektare lahan sengketa antara masyarakat adat dan PTPN II sejak 1982.

Pemerintah dan PT TSP diketahui memecah belah masyarakat adat pada tingkat suku dan kampung. Karena hanya melakukan negosiasi kepada masyarakat adat di wilayah Arso Timur yang terdiri dari kampung Pitewi, Amyu, Kriku, Suskun, Yetti, Skonfro, Kibay, dan Kikere dengan berbagai janji dan rayuan soal pembangunan, kesejahteraan, dan lapangan kerja sehingga secara suka rela masyarakat mengijinkan operasi PT TSP di Arso Timur.

Selama 12 tahun PT TSP beroperasi. Masyarakat adat Keerom juga ikut menjadi pekerja atau buruhnya. Dimana dalam temuan soal kondisi dan keadaan buruh di perkebunan 1-5 milik Tandan Sawita kondisi buruh secara umum sangat memprihatinkan. Kebanyak dari buruh PT TSP adalah Buruh Harian Lepas (BHL), yang di dalamnya adalah banyak anak-anak asli Keerom sendiri. Masyarakat adat tidak memiliki kekuatan untuk melawan kesewenangan tersebut sehingga memilih diam, sambil berharap pada perundingan dan gugatan yang mereka lakukan.

Keerom Hari ini

Perusahaan sawit raksasa PTPN II di Arso Keerom maupun di Prafi dan Masni, Manokwari juga memiliki motif ekonomi dan politik yang serupa, yaitu memobilisasi penduduk transmigrasi, membuka keterisolasian, membaurkan penduduk dan mengusir atau mempersempit ruang gerak TPNPB. Hingga kedua perusahaan angkat kaki pun hanya meninggalkan jejak pelanggaran HAM dan sengketa-sengketa lahan tanpa penyelesaian.

Masalah-masalah ini bukanlah tidak nampak di mata. Tahun 2011 penelitian berjudul Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak Atas Pembangunan, dan Kegagalan Otonomi Khusus di Papua: Studi Kasus Kabupaten Keerom yang dipublikasi oleh peneliti Pastor Jhon Jonga dan Cipry Dale 2011 menggambarkan secara jelas setiap persoalan dan ancaman di kabupaten ini. Para peneliti melaporkan menyangkut kependudukan, dimana jumlah orang asli Papua di Keerom pada tahun 2010 hanya 40 persen dengan penduduk non Papua 60 persen.

Diskriminasi pada sektor pelayanan publik dan hanya menyasar wilayah-wilayah padat penduduk dan pusat penduduk migran. Begitu juga dengan kantor-kantor pelayanan pemerintah, seperti pemindahan ibu kota secara diskriminatif dari Waris, wilayah masyarakat adat Keerom basis penduduk migran karena dianggap telah lebih maju. Bidang kesehatan pun berlaku sama, akses utama kesehatan berada di pusat-pusat penduduk migran, demikian juga di bidang pendidikan. Represifitas militer melalui sejarah sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), diskriminasi saat perekrutan CPNS dengan tidak mengakomodir anak-anak asli Keerom terus terjadi. Kesimpulan kritis penelitian adalah upaya sistematis dibalik kebijakan diskriminatif pada bidang sosial, ekonomi, dan politik.

Masalah perekrutan CPNS menjadi ASN tidak hanya dalam penelitian sepuluh tahun lalu terakhir, pada 2 Oktober 2020 masa protes atas hasil penerimaan CPNS dan membakar salah satu gedung di Kantor Bupati Keerom. Aksi yang kemudian ditanggapi represif oleh polisi dengan menembak beberapa warga dan menangkap lainnya. Secara mengejutkan di tahun 2018 media-media nasional dan lokal mengatakan 5 suku Asli di Kabupaten Keerom telah punah.

“Dewan Adat Skamto, Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua menyebutkan lima suku di kabupaten tersebut punah. Ketua Dewat Adat Skamto, Didimus Warare   mengemukakan lima suku yang sudah punah di Keerom, yakni suku Yaper, suku Bagi, suku Tu, suku Totar, dan suku Tagusom”. Bahkan saat penulisan tulisan ini kami mendapati informasi dari warga di Keerom bahwa di kampung Workwana (Arso kota) hanya ada sisa 1 orang saja salah satu marga di Workwana.

Melihat kondisi seperti ini, Indonesia mungkin berbangga? Kondisi daerah yang menjadi lahan PTPN II ini telah membuka akses keterisolasian di Keerom, memobilisasi penduduk transmigrasi dan para pencari kerja nasional dan lokal, mempersempit wilayah operasi TPNPB serta berhasil membangun kota/kabupaten baru di era Otsus Papua hari ini. Strategi dan pendekatan pembangunan kolonialis ini mirip apa yang dilakukan Inggris di Australia, Afrika, dan Amerika, Perancis di Pasifik (Kanaki), Belanda di Suriname yang berhasil secara sosial, politik dan budaya memarjinalisasikan penduduk aslinya, meredam perlawanan-perlawanan masyarakat adatnya dan masyarakat adat terpaksa bersedia menerima perubahan yang tidak mereka inginkan.

Perjuangan Tidak Selesai

Setelah 39 tahun sawit di Papua (PTPN II) mengajarkan kepada kita soal-soal advokasi masyarakat adat yang tidak pernah selesai dari pangkal hingga ujungnya. Soal-soal seperti proses litigasi maupun non litigasi yang kandas tidak memilki kepastian baik yang ditinggalkan oleh LBH Papua maupun LKBH Uncen sejak 1980an, sampai sekarang advokasi hukum masyarakat adat sebatas pemantauan ketimbang proses dan keputusan pengadilan yang final. Kesadaran masyarakat adat masih berada ditingkatan elit, seperti DAK misalnya. Sedangkan kampung-kampung masyarakat adat masih mudah untuk dimanipulasi dan dipecah belah. Ini menjadi kesimpulan tentang gagalnya pengorganisasian dan kerja penyadaran pada tingkat basis (keluarga, marga, maupun tiap suku di Keerom) secara serius dan berkesinambungan.

Gerakan-gerakan sosial perjuangan rakyat, mahasiswa, gerakan pemuda, masih berkutat hanya di kota-kota atau pusat-pusat pemerintahan, politik, dan studi. Sama sekali menghiraukan persoalan-persoalan yang lebih sektor rill, bahkan membatasi agenda gerakan pada wacana politik ketimbang persoalan rill yang dihadapi rakyat. Sehingga perjuangan masyarakat adat seperti ini tidak memiliki perhatian serta koneksi sama sekali dengan gerakan-gerakan sosial, gerakan-gerakan politik, solidaritas, maupun gerakan mahasiswa yang terbiasa berkoar-koar mengatasnamakan penindasan rakyat kecil.

Keerom adalah contoh paling dekat untuk melihat kontradiksi advokasi-advokasi masyarakat kecil (kaum marjinal), bagaimana kondisi masyarakat adat yang notabene berada di pusat pemerintahan, pusat pergerakan, pusat studi utama Papua, namun perjuangan masyarakat adat masih dilihat sebelah mata. Seolah perjuangan masyarakat adat hanya urusan antara pengusaha sawit dan kami masyarakat adat.

***

Referensi:

  1. Penyunting YL Franky dan Selwyn Morgan. Atlas Sawit Papua Dibawah Kendali Penguasa Modal. PUSAKA. 2015.
  2. Baca: https://laolao-papua.com/2020/08/02/perjuangan-buruh-pt-tandan-sawita-papua-di-keerom-bagian-i/ (Diakses pada 4 Desember 2021)
  3. Baca: https://www.mongabay.co.id/2018/03/12/kala-masyarakat-tuntut-hak-ulayat-dari-perusahaan-sawit-negara-di-keerom-bagian-1/ (Diakses pada 4 Desember 2021)
  4. Baca: https://www.merdeka.com/peristiwa/tak-terima-hasil-cpns-2018-massa-rusak-dan-bakar-kantor-bupati-keerom.html (Diakses pada 4 Desember 2021)
Beni May
Penulis adalah aktivis mahasiswa asal Keerom yang sementara berdomisili di Kota Jayapura

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan