Analisa Harian Otsus Telah Gagal: Perspektif Orang Amber di Papua (Bagian...

Otsus Telah Gagal: Perspektif Orang Amber di Papua (Bagian I)

-

Sebagai pengantar, saya ingin memberitahukan kepada pembaca sekalian, artikel ini adalah tulisan lama saya guna merespon pertanyaan salah satu kawan perihal berhasil apa tidaknya Otsus bagi mayarakat Papua. Pertimbangan terkait relevansi isu membuat saya tetap mempertahankan beberapa contoh kasus dalam tulisan ini.

Sekitar 22 tahun (5 tahun-nya saya habiskan di luar Papua) saya hidup bersama-sama dengan Orang Asli Papua (OAP). Saya berusaha memahami kehidupan mereka sejauh penglihatan saya. Untuk yang tak dijangkau mata, saya berusaha memahami melalui buku, majalah, buletin, jurnal, dan berbagai sumber lainnya. Saya berusaha memahami kehidupan mereka dari berbagai macam dokumentasi yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Saya berusaha memahami kehidupan mereka bukan dengan tujuan agar menjadi ahli tentang persoalan Papua dan manusianya, melainkan agar saya dapat merasakan apa yang mereka rasakan. Saya berusaha memahami kehidupan mereka supaya dalam berucap dan bertindak, tidak menambah luka dan duka bagi mereka.

Sebelum lanjut, perlu digarisbawahi dan dipertegas, tulisan ini tidak bermaksud menciptakan konflik horisontal antara pendatang dan OAP. Tulisan ini ingin menunjukkan siapa yang diuntungkan dengan hadirnya Otsus dalam bidang pembangunan infrastruktur dan pemekaraan daerah? Dan sejauh mana dampak Otsus dirasakan oleh sebagian besar orang asli Papua, terkhusus masyarakat akar rumput.

Gagal Sejak Awal

Bagaimana bisa kita katakan Otsus berhasil jika dari awal didesain dan disahkan penuh dengan kebohongan dan pemaksaan terhadap OAP? Pertanyaan ini menjadi sebuah tanya yang sifatnya kondisional untuk dijawab. Jawabannya menjadi kondisional sesuai dengan kaca mata mana yang kita gunakan. Apakah kita melihat OAP sebagai manusia yang seharusnya berdaulat atas tanah dan budayanya atau sebaliknya. Pertanyaan ini akan gampang kita temui jawabannya kalau saja, sebagian besar masyarakat (yang tinggal di Papua maupun di Indonesia) mau membaca sejarah lahirnya otsus. Kalau tidak mau membaca, maka diam dan dengarkan apa yang mereka ceritakan.

Apa buktinya Otsus didirikan di atas fondasi kebohongan dan pemaksaan terhadap OAP? Reformasi 98 terjadi dan bangsa Papua menyatakan sikap bahwa mereka bukan bagian dari Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya pengibaran Bendera Bintang Kejora dan tuntuntan merdeka dan terlepas dari Indonesia. Menanggapi aspirasi tersebut, Jakarta, melalui Presiden B. J. Habibie melakukan dialog nasional dengan “wakil” masyarakat Papua yang dinamakan “Tim 100” pada 26 Februari 1999. Dalam pertemuan tersebut, Tom Beanal, ketua “Tim 100” menegaskan bahwa rakyat Papua ingin berdiri sendiri (merdeka). Menghadapi aspirasi tersebut, Menteri Sekretaris Negara, Akbar Tanjung mereduksi tuntuntan merdeka dengan mengatakan bahwa yang diinginkan oleh masyarakat Papua adalah daerah Otonomi Khusus, bukan kemerdekaan.[1] Di sini kita melihat bahwa, penolakan-penolakan terhadap Otsus sudah dilakukan oleh orang Papua namun tetap dilawan dengan berbagai legitimasi kekuasaan dan regulasi peraturan. Tindakan mereduksi tuntutan dan menganggap enteng sebuah persoalan merupakan bentuk penghinaan terdapat OAP.

Pembunuhan Theys H. Eluay oleh Kopassus pimpinan Letkol Hartomo adalah perbuat yang sangat keji. Theys diundang oleh Letkol Hartomo ke markas Kopassus Hanurata di Hamadi, Jayapura guna mengikuti  acara resepsi  peringatan Hari Pahlawan 10 November 2001. Setelah mengikuti acara tersebut, Theys ditemani oleh sopir pribadinya, Aristoteles Masoka, langsung pulang. Malam jahaman itu tiba ketika mereka sampai di tikungan Entrop, Skyland, sebuah mobil Toyota Kijang menghalang mereka. Aristoteles Masoka berhasil melarikan diri ke markas Kopassus guna melaporkan kejadian tersebut kepada Letkol Hartomo. Namun nahas, kepergiannya ke markas Kopassus membuatnya tidak pernah kembali ke rumah. Aristoteles Masoka hilang bak ditelan bumi. Paginya, Theys ditemukan tak bernyawa di dalam mobilnya di Km 9 Desa Koya, Kecamatan Abepura.[2] Sungguh perbuatan yang sangat memalukan yang dilakukan oleh Negara yang katanya beradab dan beriman. Theys dibunuh karena pemerintah Indonesia merasa terganggu dengan aktifitas politiknya, terkhusus kegiatan Kongres Rakyat Papua (KRP) tahun 2000.

Setelah kemantian Theys, situasi di Papua semakin memanas. Berbagai elemen masyarat menuntut agar pelaku yang membunuh Theys harus diungkapkan. Tak lupa, dalam aksi-aksi tersebut, tuntutan referendum tetap disuarakan dengan lantang. Derasnya arus tuntutan tersebut tidak dihiraukan secara serius oleh Indonesia. Agar dianggap serius dalam menuntaskan kasus pembunuhan Theys, Jakarta membentuk tim investigasi yang seolah-olah bekerja untuk mengusut pelaku pembunuhan Theys. Mereka juga dengan genjarnya melakukan lobi-lobi politik Otsus dengan elit-elit Papua yang ada di pemerintahan. Lobi-lobi dengan dalil kesejahteraan bagi OAP selalu digaungkan. Jakarta mengatakan bahwa Otsus adalah “jalan tengah” untuk mengakhiri konflik di Papua. Faktanya, kehadiran Otsus justru menciptakan konflik baru. Pendekatan Otsus terbentuk, namun sebenarnya Otsus lahir dari sebuah upaya meredam aspirasi kemerdekaan rakyat papua. Keistimewaan-keistimewaan yang dituliskan dalam UU Otsus bagi OAP hanya omong kosong belaka. Fakta di lapangan menunjukkan sebuah kebijakan kontradiktif. Otsus lahir guna kepentingan ekonomi-politik elit-elit Jakarta dan Papua, maka untuk itu dalam prosesnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari rakyat Papua.

Bagaimana Implementasi Otsus?

Sebuah kebijakan yang dilandaskan pada semangat ekonomi-politik jelas membawa masalah dalam kehidupan masyarakat (akar rumput) di mana kebijakan tersebut dijalankan. Hal ini terlihat jelas dalam penerapan Otsus di Papua yang justru menciptakan konflik baru. Konflik lama belum diselesaikan, Indonesia justru menambah konflik baru dengan menghadirkan Otsus di Papua. Otsus semacam pil gila yang membuat masyarakat saling sikut setelah menelannya. Saling sikut antar OAP dan pecahnya solidaritas kebersamaan itulah tujuan Indonesia. OAP harus tetap bertengkar dengan OAP, suku A harus tetap bersaing secara tidak sehat dengan suku B untuk mendapatkan sebuah posisi di pemerintahan. Belum lagi kecemburuan sosial antara pendatang dan OAP yang diciptakan melalui sistem Pemerintahan Indonesia. Otsus itu ibarat buah kedondong, di luar terlibat bagus, namun didalam banyak duri. Menciptakan konflik seperti apa dan dalam bidang apa? Mari kita lihat sama-sama.

Dalil pembangunan Infrastruktur (jalan) untuk pemerataan pembangunan, ekonomi dan memberikan akses jalan kepada OAP. Untuk kasus ini, Jalan Trans Papua Merauke-Boven Digoel dan Jalan Trans Papua yang melintasi Taman Nasional Lorentz akan menjadi topik pembahasan saya.

Jalan Trans Papua Boven Digoel-Merauke pada tahun 2000-an hingga kira-kira akhir 2010 sangat memprihatinkan. Kondisi jalan sangat rusak dan banyak jembatan yang putus. Kalau menggunakan mobil, waktu tempuh yang dibutuhkan dari Boven Digoel-Merauke kurang lebih satu bulan. Kalau menggunakan motor kita bisa menempuhnya dalam waktu kurang lebih satu minggu. Itupun harus bersama-sama rombongan dan syukur-syukur motor tidak hambak (gangguan). Dinas-dinas terkait, dengan anggaran Otsus, bekerja semaksimal mungkin hingga akhirnya jalan semakin baik. Jalan sepanjang 400 Km lebih tersebut sebagian besar sudah di aspal. Waktu tempuh semakin singkat. Jika sebelumnya kita memerlukan waktu sebulan untuk sampai ke Merauke (begitupun sebaliknya), sekarang kita hanya butuh waktu kurang lebih 7-10 jam untuk sampai ke tempat tujuan. Luar biasa bukan? Apakah OAP merasakan dampaknya? Sedikit.

Pembangunan infrastruktur sudah berhasil. Pertanyaan selanjutnya adalah, seberapa banyak OAP merasakan dampak dari pembangunan jalan tersebut? Untuk tujuan atau keperluan apa OAP menggunakan jalan tersebut? Tujuan ekonomi (bisnis) atau bukan? Dan seberapa besar dampak jalan tersebut bagi kehidupan OAP? Apakah dengan kehadiran jalan tersebut kehidupan OAP menjadi lebih baik atau lebih buruk? Atau jangan-jangan, kehadiran jalan tersebut justru memuluskan mobilisasi bisnis di Papua? Atau jalan-jalan tersebut justru memuluskan pendatang yang tidak kelihatan (baca: investor) untuk merusak hutan dan manusia Papua? Masih banyak pertanyaan kritis yang dapat kita ajukan hingga Negara Indonesia menjadi panik dan pada akhirnya melakukan pelanggaran HAM lagi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa rusaknya jalan penghubung antar kedua kabupaten diakibatkan karena anggaran jalan yang sering dikorupsi dan truk-truk yang memuat barang-barang jualan melebihi kapasitas yang ditentukan. Kualitas aspal yang jelek ditambah dengan beban truk yang over, jelas merusak (berlubang) jalan. Jalan berlubang tersebut dibiarkan saja. Ketika truk melewati jalan berlubang, maka akan tertanam. Saat tertanam, sopir akan menggali tanah yang berlumpur pada ban tersebut dan membuangnya keluar sebagai taktik agar truk tersebut bisa keluar. Aktivitas semacam itu dilakukan secara terus menerus hingga berhasil menciptakan sumur-sumur di sepanjang jalan Trans Papua Boven Digoel-Merauke. Apa yang dibawa oleh truk-truk itu? Apakah truk-truk tersebut milik OAP? Jelas bukan. Truk-truk tersebut milik kaum pemodal yang datang dari luar papua untuk mencari makan di Papua. Jalan yang rusak tersebut akhirnya diperbaiki. Biaya perbaikan jalan jelas diambil dari dana Otsus. Iya, dana Otsus yang katanya untuk OAP itu.

Saya perlu mengingatkan kepada pembaca, jalan trans tersebut dibuat melintasi kurang lebih tujuh perusahaan Sawit[3]. Jalan trans jelas sangat berguna bagi investor-investor untuk memperlancar bisnis kecil-kecilan mereka di luar dari bisnis besarnya. Peredaran minuman keras dan judi adalah bisnis kecil-kecilan yang dijalankan oleh tangan kedua dan ketiga. Tangan kedua adalah militer dan tangan ketiga adalah masyarakat. Tangan ketiga dalam menjalankan bisnis titipan, masih harus membayar uang keamanan kepada militer.[4] Masalah lain yang perlu diketahui ialah sawit-sawit tersebut ditanam di atas tanah adat milik OAP yang hingga detik ini masih menyisakan polemik. Ada puluhan jenis pohon dan spesies unggas serta beribu-ribu hutan sagu yang hilang dari hadirnya beribu hingga berjuta-juta pohon sawit. Ada ratusan ribu hutan adat yang harus diambil oleh perusahaan dengan cara-cara kotor.

Dinas Pekerjaan Umum adalah “lahan basah”. Penyebutan tersebut sudah menjadi candaan yang serius dalam masyarakat Boven Digoel. Dikatakan “lahan basah” karena di bagian ini, permainan kotor sangat banyak dilakukan. Korupsi, perkoncoan politik dan tawar menawar proyek dengan memperhatikan backroand politik dan etnis sangat kental terasa. Konsekuensi logis dari permainan tersebut adalah hadirnya kongkalikong antar para cukong dan elit-elit lokal di Boven Digoel. Saat pilkada, para cukong yang memiliki Commanditaire Venootschap atau Perseroan Komanditer (CV) berubah menjadi tim sukses atau donatur untuk partai-partai tertentu. Hal itu harus dilakukan agar kedepannya, jika jagoannya menang, mereka akan kebagian proyek-proyek pemerintah. Politik balas jasa dilakukan. Kasus ini tidak hanya berlaku ketika pembuatan jalan, namun berlaku pula untuk berbagai macam pembangunan infrastruktur. Ada banyolan di masyarakat, jalan Trans Papua Boven Digoel-Merauke memang dikondisikan agar tetap rusak. Jalan tersebut harus tetap rusak agar proyek jalan terus. Proyek jalan terus, maka uang Otsus jalan terus. CV tersebut didominasi oleh orang Papua atau pendatang? Jelas pendatang.

Kita beralih ke pembangunan jalan yang melintasi Taman Nasional Lorentz yang sekarang digugat oleh UNESCO. Pembangunan jalan yang dibanggakan oleh Jokowi dan masyarakat kebanya. Jalan yang katanya bertujuan untuk mensejahterakan OAP. Namun fakta dilapangan menunjukkan kontradiksi-kotradiksi dalam penerapanya. Kontradiksi-kontradiksi tersebut tidak terlalu mengagetkan karena saya sudah mengetahui motif dari pembangunan jalan tersebut. Ibaratnya, kalau ingin mengambil buah durian yang berada dalam hutan tersebut, kita harus membuat jalan menuju kesana. Motif pembangunan seperti itu adalah hal klise di Papua. Seperti dikansir dari Koran Tempo, 5 Agustus 2015, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menegur Indonesia karena menemukan pembangunan jalan sepanjang 190 Km di dalam  kawasan Taman Nasional Lorentz dibangun tanpa Kajian Environmental Impact Assessment (EIA) atau analisis mengenai dampak lingkungan yang mengacu pada nilai-nilai universal luar biasa atau Outstanding Universal Value (OUV). UNESCO juga menemukan bahwa, jalan Trans Papua digunakan sebagai akses untuk melakukan aktivitas pembalakan liar di dalam kawasan Taman Nasional Lorentz.[5]

Jalan Trans Papua yang melewati kawasan wisata Taman Nasional Lorentz maupun jalan Trans Papua via Boven Digoel-Merauke adalah sedikit contoh dari banyaknya partek lancung yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan dalil “kesejahteraan bagi rakyat papua”. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tujuan pembangunan jalan tersebut hanyalah upaya memobilisasi para investor masuk dan merusak hutan dan budaya OAP.

Kedua-kasus di atas sedikit menjawab pertanyaan kita tentang siapa yang sesungguhya merasakan semua pembangunan infrastruktur tersebut. Tulisan singkat ini sekaligus ingin mengingatkan (sebagian besar) masyarakat di luar Papua bahwa, mobil Toyota Hilux, Mitsubishi Strada, Ford Ranger, Mitsubishi Pajero, hingga Toyota Kijang Innova, yang digunakan sebagai mobil penumpang atau digunakan untuk mengakut sayuran dan sempat viral di media sosial, kenyataannya buka milik OAP Papua. Jadi stop mengasosiasikan kekayaan dan kebahagiaan sebuah bangsa hanya dengan melihat hal-hal yang sifatnya material. Akan lebih baik jika kalian bertanya, berapa persen dari OAP yang memiliki mobil terus? Atau siapa pemilik mobil-mobil tersebut? Itu hanyalah dua kasus dalam bidang infrastruktur yang penulis jadikan contoh. Masih banyak kasus lainnya. Salam.

Bersambung.  

Referensi:

[1] Jurnal berjudul ‘UU Otonomi Khusus Bagi Papua: Masalah Legitimasi dan Kemauan Politik’ ditulis oleh S. Widjojo dan Budiatri Aisah Putri

[2] Giay. Benny. 2006. Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua. Galang Press, Yogyakarta.

[3] Informasi selengkapnya silakan kunjungi: https://www.mongabay.co.id/2019/02/11/kesepakatan-rahasia-hancurkan-hutan-papua-berikut-foto-dan-videonya/ Diakses pada tanggal 10 Agustus 2021

[4] Baca lebih lanjut, Kontras, Laporan Penelitian Bisnis Militer di Boven Digoel, Februari-Maret 2004. Ini adalah laporan yang ditulis berasarkan hasil investigais pada tahun 2004. Laporan ini saya sajikan sebagai gambaran umum mengenai kondisi di lapangan.

[5] Koran Tempo, Kamis 5 Agustus 2021.

Benediktus Fatubun
Penulis adalah pegiat literasi di Papua dan saat ini sedang menempuh pendidikan Magister di Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan