Analisa Harian Otsus Telah Gagal: Perspektif Orang Amber di Papua (Bagian...

Otsus Telah Gagal: Perspektif Orang Amber di Papua (Bagian II)

-

Pada bagian pertama tulisan ini, telah saya jelaskan secara singkat perihal gagalnya Otsus sejak awal dirancang hingga ditetapkan sebagai undang-undang. Saya juga menjelaskan implementasi Otsus yang pada kenyataannya tidak dirasakan oleh sebagian besar Orang Asli Papua (OAP). Otsus dan program percepatan pembangunan yang digaungkan oleh Jakarta dengan kepercayaan tinggi bahwa dapat menyelesaikan masalah di Papua, terang tidak terbukti. Salah satu program yang selalu dipertontonkan di publik tentang keberhasilan Negara membangun Papua adalah soal infrastruktur, misal pembangunan jalan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, program pembangunan jalan hanyalah strategi guna memberikan karpet merah dan mempercepat mobilisasi investor untuk masuk dan menghancurkan hutan dan manusia Papua.  Otsus yang oleh Jakarta disebut sebagai “jalan tengah” penyelesaian konflik yang diciptakan Indonesia di Papua, justru menciptakan konflik baru. Kehadiran Otsus justru menambah masalah baru dalam kehidupan masyarakat Papua. 

Bagian kedua tulisan ini akan membahas soal dampak pemekaran yang oleh Indonesia dikatakan sebagai strategi “mensejahterakan OAP”. Apa betul pemekaran wilayah berdampak signifikan terhadap kesejahteraan OAP? Kenapa pemekaran dijadikan indikator untuk mengukur kesejahteraan OAP? Lantas, bagaimana dampak pemekaran terhadap kehidupan OAP? Apakah kehidupan OAP semakin baik dalam segala bidang kehidupan atau justru semakin buruk?  

Pemekaran: Solusi atau Polusi?

Ben, saya turun di pelabuhan Merauke dan berharap bisa bertemu orang Papua, ternyata yang saya lihat adalah orang pendatang (amber). Orang Papua seperti pendatang di Papua. Di sini (Tanah Merah) baru saya benar-benar melihat orang asli Papua.”

Di atas, adalah kesan awal seorang kawan yang baru datang dari Yogyakarta. Dia langsung mengeluarkan kegelisahannya ketika bertemu saya. Saya pikir, respon demikian adalah hal yang wajar mengingat selama ini, masyarakat di luar Papua hanya mengetahui situasi Papua sejauh televisi dan berita-berita online maupun cetak yang telah diframing mengikuti kemauan si pemilik media. Semua keberhasilan yang diberitakan oleh berbagai media tentang pencapaian pembangunan di Papua seakan mampu meyakinkan masyarakat di luar Papua bahwa masyarakat Papua merasakan dampak dari pembangunan. Namun yang perlu dipertanyakan, orang Papua mana yang merasakan semua “kebijakan” tersebut?

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, pemekaran wilayah mesti atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan ekonomi, serta perkembangan di masa datang. Memekarkan sebuah daerah tanpa adanya persiapan yang memadai dari berbagai segi yang telah disebutkan, akan memunculkan masalah yang serius. Situasi demikian terlihat nyata di Papua. Berbagai usaha dilakukan Jakarta dan elit-elit lokal Papua agar pemekaran segera dilaksanakan. Mayoritas masyarakat Papua menolak pemekaran tersebut dengan alasan-alasan yang logis. Dari pemerintahan (MRP) sampai para aktivis menentang keputusan sewenang-wenang tersebut. Dalam UU Otsus (sebelum direvisi) telah mengatur bahwa, sebuah wilayah hanya boleh dimekarkan jika permintaan pemekaran tersebut datang dari MRP dan DPRP. Rasionalisasi dari aturan tersebut dapat diterima. Siap tidaknya sebuah daerah untuk dimekarkan sepenuhnya diketahui oleh pemerintah setempat dengan memperhatikan komponen-komponen yang telah diatur dalam UU Otsus. Bagaimana bisa Jakarta dan para elit lokal memaksakan pemekaran tanpa terlebih dahulu berkomunikasi dengan pemerintah daerah? 

Pemekaran pada kenyataanya membuat OAP semakin termarjinalkan di tanahnya sendiri. Pemekaran sebuah wilayah selalu diikuti dengan kedatangan para migran yang jelas ditempatkan sebagai tenaga ahli pada bidang-bidang yang dibutuhkan dalam pemerintahan. Pada titik ini, dalam mencari pekerjaan, orang Papua dengan sengaja dikalahkan oleh berbagai macam regulasi peraturan. OAP pasti akan (di)kalah(kan) bersaing dengan para migran maupun transmigran dalam hal politik dan ekonomi. Mereka kalah bukan karena mereka tidak bisa, melainkan tidak adanya analisis sosial (terkait kesiapan SDM) sebelum memekarkan sebuah wilayah. Pemekaran yang bersifat top down dan kebijakan berbasis ekopol, jelas merusakan masyarakat asli. 

Saya akan mengajak para pembaca untuk melihat bagaimana dampak pemekaran wilayah dalam bidang politik, ekonomi, dan sosio-budaya bagi kehidupan OAP. Kita akan sama-sama melihat sejauh mana OAP merasakan dampak yang signifikan dari pemekaran daerah tersebut. Setahu saya, OAP yang merasakan dampak pemekaran hanya mereka yang sering dikategorikan sebagai “elit-elit lokal Papua”. Mereka sebenarnya adalah boneka milik Jakarta. 

Bidang Politik

Pemekaran adalah ambisi Jakarta yang dijalankan oleh para elit lokal Papua. Para elit lokal mau menjalankan ambisi Jakarta karena mereka mendapat untung yang tidak sedikit. Hadirnya daerah pemekaran hanya akan menguntungkan para elit lokal Papua dan investor yang difasilitasi oleh Negara Indonesia. Mayoritas OAP hanya mendapat bibit-bibit kebencian antar sesama. Seiring terciptanya elit-elit lokal baru, polarisasi dalam masyarakat muncul dan bibit-bibit permusuhan antar setiap suku yang berada di daerah pemekaran tak dapat dihindarkan. Permusuhan dan perpecahan hadir karena saling rebut jabatan guna menjadi orang nomor satu di daerah. Di tingkat elit lokal, konfrontasi ini berjalan kondisional sesuai dengan terakomodasi atau tidak kepentingan para elit lokal. Namun berbeda ditingkat akar rumput, konfrontasi urat saraf antar para pendukung berjalan lama dan menuju pada hancurnya keharmonisan antar masyarakat yang terlanjur fanatik. Kefanatikan ini tidak tercipta sendiri. Sifat tersebut hadir melalui retorika-retorika kosong dan penuh janji manis, serta doktir-doktir berpenyakit yang diberikan oleh para tim sukses dan calon bupati/gubernur. 

Keterwakilan OAP dalam DPRD se-Papua sangat memprihatinkan. Bisa dilihat seperti dilansir dari website resmi DPR Papua: “Mencermati hasil pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 17 April 2019 dimana keterwakilan orang asli Papua yang duduk di lembaga DPRD kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat sangat minim seperti di Kota Jayapura dari total 40 kursi DPRD, orang asli Papua hanya 13 orang, Kabupaten Jayapura dari 25 kursi DPRD, orang asli Papua hanya 7 orang, Kabupaten Sarmi, dari 20 kursi DPRD hanya 7 orang asli Papua, di Kabupaten Boven Digoel dari 20 kursi DPRD hanya 4 orang asli Papua, di Kabupaten Merauke dari 30 kursi, orang asli Papua hanya 3 orang, di Kabupaten Keerom dari 23 kursi DPPRD orang asli Papua hanya 7 orang, Sementara di Papua Barat, dari 20 kursi DPRD Kabupaten Sorong keterwakilan orang asli Papua hanya 3 orang, di Kabupaten Fakfak dari 20 kursi DPRD orang asli Papua hanya 8 orang, di Kabupaten Raja Ampat dari 20 kursi DPRD, orang asli Papua hanya 9 orang, di Kota Sorong dari 30 kursi DPRD orang asli Papua hanya 6 orang dan di Kabupaten Teluk Wondama dari 25 kursi DPRD, orang asli Papua hanya 11 orang.”

Data di atas menunjukkan, dalam bidang politik, OAP dibuat tak berdaya di atas tanahnya sendiri. Pemarjinalan dalam ranah politik terlihat nyata. Situasi di atas akan lebih parah jika Jakarta dan elit-elit lokal Papua tetap bersekuku agar pemekaran tetap diadakan. Bukan tidak mungkin, dengan hadirnya pemekaran, keterwakilan OAP di DPRD hanya tinggal sejarah. Konsekuensi logis dari hilangnya keterwakilan OAP dalam anggota legislatif adalah tidak terakomodasinya aspirasi-aspirasi OAP. Saya sulit membayangkan bagaimana nasib OAP jika tidak ada perwakilannya yang duduk di kursi legislatif. Masih ada perwakilan saja OAP sudah tak berdaya, apa jadinya jika tak ada? 

Setiap kali terjadi pemekaran, maka dengan sendirinya dibutuhkan orang-orang yang berkompeten untuk mengisi jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Orang-orang yang berkompeten ini pasti diambil dari luar wilayah yang baru dimekarkan. Jikalau pun ada OAP yang mengisi bidang-bidang dalam pemerintahan, jumlahnya pasti sangat minim. Hadirnya pendatang mengisi posisi penting dalam pemerintahan akan berdampak pada kebijakan yang tidak berpihak pada OAP.   

Pemekaran juga merupakan politik pengamanan yang dilakukan oleh Jakarta. Pemekaran harus dilakukan agar ada alasan untuk penambahan Kodam dan Polda baru. Hal ini adalah strategi lain untuk meredam aspirasi merdeka bangsa Papua yang semakin mengkristal. Semakin sebuah wilayah dikapling-kapling, maka akan semakin rapuh persatuannya. Seperti dilansir dari Tirto.id (3/3/2020), hal yang sama dikatakan oleh Pastor Anselmus Amo MSC, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke bahwa, “Dengan pemekaran, paling tidak ada Kodam baru, berarti militer semakin banyak. Polda baru. Anggota semakin banyak. Untuk mengurung ini. Jadi mereka mengamankan posisi selatan. Barat sudah, berarti mengurung (OPM) di tengah dan utara.”

Bidang Ekonomi

Suatu sore, saya mengajak kawan saya berkeliling Tanah Merah (Ibu kota Boven Digoel) guna menunjukkan kepadanya letak pemukiman yang didominasi oleh pendatang dan OAP. Saya mengajaknya ke kampung Wet (asal nama dari wetan. Dulunya kampung ini menjadi camp pembuangan PKI, Hatta, dan Syarir) di mana kampung ini menjadi salah satu basis dari OAP. Kami terus berjalan hingga tembus ke Jalan Trans Papua penghubung Tanah Merah-Mindiptana. Sepanjang jalan Trans Papua dipenuhi oleh toko-toko, kios, bengkel, dan rumah makan milik pendatang. Saya katakan kepadanya, hampir di seluruh Papua, sebagian besar OAP selalu berada di pinggiran kota dan jauh dari jalur-jalur strategis perekonomian. Mereka termarjinalkan disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang saya sebutkan adalah, bagaimana dampak dari pemekaran kabupaten terhadap derasnya arus pendatang yang masuk ke Papua. Kedatangan mereka dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan soal bisnis yang lebih memadai, memaksa OAP yang tinggal di dalam kota dan kalah bersaing dalam segi bisnis harus bergeser ke pinggir. Di dalam kota, OAP kalah bersaing dengan pendatang, sehingga untuk bertahan hidup, mereka dipaksa oleh keadaan (yang dibuat oleh Jakarta) untuk bergerak ke pinggiran kota agar tetap hidup.

Di lain kesempatan, saya mengajak dia berbelanja di pasar Sentral Kilometer 4 Arah Mindiptana. Pada momen ini, saya tunjukkan kepada kawan saya bagaimana lemahnya pendampingan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan OAP. Saya katakan, “Mama-mama dorang ini, dari saya masih kecil hingga sekarang, jenis sayuran yang dijual tetap sama: daun singkong, daun genemo (daun melinjo), jatung pisang, kangkung rawa, dan bunga pepaya. Untuk rempah-rempah, mama-mama biasanya berjualan cabe, kunyit, lengkuas, serey dan kemanggi. Sedangkan jualan lainnya lebih bervariasi, mulai dari jual sagu sampai pisang. Bandingkan dengan pendatang, jualan mereka menunjukkan kualitas bertani dan kemampuan membeli pupuk.”

Sayur-sayuran dan rempah-rempah yang mereka jual sudah membedakan kualitas bertani antara mama-mama Papua dan pendatang. Kelompok sayur, umbi-umbian, dan rempah-rempah yang dijual oleh mama-mama Papua adalah kelompok tumbuhan yang dalam proses berkembangannya tidak membutuhkan keahlian khusus dan tidak terlalu membutuhkan pupuk. Ada jenis tumbuhan yang hanya ditanam dan dibiarkan tumbuh tanpa perawatan dan ada pula yang memang tumbuh liar di alam. Saya katakan, kalau ada mama-mama Papua yang berjualan sayur bayam, kangkung cabut, dan sayuran lainnya yang harus ditanam dengan memerlukan sedikit keterampilan bertani, jelas hanya sedikit. Selebihnya, mama-mama membeli dari pendatang yang mempunyai kebun. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak ada progress yang signifikan dari pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan. OAP tidak diberdayakan dan ambisi pemekaran tetap digembar-gembor. 

Cahyo Pamungkas, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa wilayah-wilayah yang didominasi oleh pendatang memiliki indeks pembangunan manusia yang lebih tinggi dibanding wilayah yang didominasi warga asli. Hal itu diakibatkan tingkat ekonomi yang lebih baik. Pernyataan tersebut hadir guna menyikapi rencana pemerintah memekarkan beberapa wilayah di Papua. Cahyo menyoroti bahwa, pemekaran akan menghasilkan magnet yang menarik para pendatang untuk masuk berbisnis di Papua. Ketika pendatang hadir di wilayah yang baru dimekarkan, maka OAP akan terpinggirkan karena kalah secara kemampuan dan pengalaman. OAP pada akhirnya akan menjadi penonton di rumah sendiri.

Jakarta meyakini bahwa Otsus dan pemekaran daerah bertujuan untuk mensejahterakan OAP. Tapi data dan fakta dillapangan menunjukkan hal sebaliknya. Papua menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia per Maret 2020. Terdapat sebanyak 26,64% atau 911,37 ribu penduduk miskin di Papua. Provinsi selanjutnya yang memiliki kemiskinan tertinggi adalah Papua Barat. Jakarta boleh berkelit, tapi data dan fakta rill menunjukkan kontradiksi-kontradiksi dari semua aturan yang dikeluarkan.

Bidang Sosio-Budaya 

Pada sensus 2010, jumlah penduduk asli Papua sekitar 73,57 persen (2.121.436 jiwa), sementara jumlah pendatang 22,84 persen (658.708 jiwa). Lima kabupaten dengan mayoritas non-Papua adalah Merauke (62,73%), Nabire (52,46%), Mimika (57,49%), Keerom (58,68%), dan Kota Jayapura (65,09%). Ke-23 kabupaten lain di Papua dan Papua Barat masih didominasi oleh orang asli Papua. Meski begitu, enam kota lain berpotensi berubah di masa mendatang dengan orang non-Papua adalah Kab. Jayapura (38,52%), Yapen Waropen (21,91%), Biak Numfor (26,18%), Boven Digoel (33,04%), Sarmi (29,75%), dan Waropen (20,41%).

Data di atas menunjukkan situasi yang memprihatikan dalam kehidupan sosial budaya OAP. Disparitas antara pendatang dan OAP semakin hari semakin menghawatirkan. Semakin berkurangnya populasi OAP tidak hadir dengan sendirinya, dia hadir melalui sebuah sistem yang disusun secara terstruktur dan dijalankan secara masif. Program Transmigrasi dimulai dari zaman Belanda (1902), berlanjut pada zaman Soekarno 1964 (lima tahun sebelum Pepera 1969) dan zaman Soeharto 1970-an. Memasuki era reformasi, program tersebut berubah nama menjadi pemekaran hingga saat ini. Faktor lain yang mempengaruhi berkurangnya populasi OAP dikarenakan banyaknya pendatang yang hadir di Papua untuk mencari kerja. Pemekaran ibarat kran air dan pendatang adalah air, ketika kran air dibuka, maka air menghujam dengan deras. Lalu siapa yang mempunyai kuasa membuka kran tersebut? Jakarta (baca: pemerintah) adalah sosok yang membuka kran tersebut dengan tujuan-tujuan yang telah disebutkan. Semakin banyak pendatang yang hadir di Papua, otomatasi budaya OAP sedikit demi sedikit akan tergerus habis digantikan oleh budaya baru. 

Determinasi dari semakin berkurangnya OAP tak bisa terlepas dari sistem pemerintahan Indonesia yang terwujud melalui peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya sebuah sistem yang dibalut dengan kebijakan “pembangunan infrastruktur dan ekonomi bagi masyarakat Papua” semua hal tersebut tidak akan terjadi. Ketika melihat kondisi demografi saat ini, patutnya kita bertanya, apakah masuk akal semua jargon pemerintah soal alasan diperpanjangnya Otsus? Apakah pemekaran untuk kesejahteraan orang Papua? Orang Papua yang mana?

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip bunyi Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa

Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,

Karna tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan” 

***

Baca juga Otsus Telah Gagal: Perspektif Orang Amber di Papua (Bagian I)

Benediktus Fatubun
Penulis adalah pegiat literasi di Papua dan saat ini sedang menempuh pendidikan Magister di Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan