Analisa Harian Persatuan Kita dan Perjuangan Pembebasan Nasional

Persatuan Kita dan Perjuangan Pembebasan Nasional

-

“Persatuan itu relatif maka perjuangan itu mutlak.” V. I. Lenin.

Tidak terlepas dari sejarah perjuangan pembebasan nasional bangsa tertindas di seluruh dunia dalam menghadapi dominasi negara-negara imperialisme dan kolonialisme yang hegemonik. Begitu juga perjuangan pembebasan nasional Papua saat ini, yang telah, sedang, dan masih terus berjuang membebaskan dirinya dari rantai cengkraman penindasan dan penghisapan negara-negara imperialisme, terutama Amerika Serikat (AS) dan majikan–setianya, kolonialisme Indonesia di Papua saat ini yang hampir memakan setengah abad lebih. Dari sekian banyak gerakan pembebasan nasional di seluruh dunia, salah satu gerakan perlawanan rakyat yang telah bebas dari penjajahan yang letaknya secara geografis mendekati wilayah Papua adalah gerakan perjuangan pembebasan rakyat Timor–Leste (Maubere) saat itu. Perjuangan rakyat yang heroik saat ketika menghadapi musuh sejatinya kolonialisme Indonesia.

Selain itu, di luar dari Asia, perjuangan pembebasan nasional melawan dominasi imperialisme di Afrika Selatan dan juga di Amerika Latin dengan cita-cita membangun masyarakat sosialis, masyarakat tanpa kelas, seperti revolusi di Kuba yang dipimpin oleh Fidel Castro dan Ernesto Che Guevara yang akhirnya berhasil menjatuhkan rezim diktator Batista. Selain itu, perjuangan yang dipimpin oleh Hugo Chavez Fiere yang terinspirasi oleh Simon Bolivar dan juga didorong kuat oleh kawan dekatnya Fidel Castro sehingga berhasil mengambil alih kekuasaan melalui kudeta militer di Venezuela. Dan masih banyak lagi perjuangan pembebasan nasional maupun perjuangan untuk mewujudkan sosialisme hingga saat ini yang sedang berlangsung di berbagai negeri, yang tentu saja masih relevan untuk dijadikan pembelajaran dalam menyusun program, stratak (strategi-taktik) perjuangan yang tepat bagi gerakan perjuangan pembebasan nasional di Papua.

Berkaca pada perjuangan pembebasan nasional Papua sejak awal tahun 1960-an hingga saat ini yang telah kita lalui, banyak memberikan pelajaran penting bagi gerakan perjuangan dalam mengusir penjajah Indonesia dari bumi tercinta kita Papua. Gejolak perlawan rakyat yang tiada pernah berhenti, baik perjuangan bersenjata (gerilya), aksi masa (sipil kota),  dan di luar negeri melalui jalur diplomasi. Dan dalam dinamika pasang naik dan surut perjuangan pembebasan nasional tidak ada motif lain, selain perjuangan melawan musuh bersama rakyat Papua, yaitu kolonialisme dan imperialisme yang berkuasa atas tanah Papua.

Masih dalam ingatan sejarah, setelah terbukanya pipa kran demokrasi di Indonesia, saat setelah di tumbangkan rezim diktator Soeharto pasca 1998 telah memberikan wajah baru bagi demokrasi di Indonesia dalam hal kebebasan berekspresi atau menyampaian pendapat secara terbuka baik di Indonesia secara umum dan khususnya di Papua. Di tengah perubahan, perbaikan demokrasi di Indonesia, degan terakumulasinya kesadaran rakyat Papua untuk menentukan status politik Papua sebagai sebuah negara yang merdeka, kemudian dikonsolidasikan dalam front persatuan perjuangan melalui Musyawarah Besar (Mubes) tahun 2000 dan kemudian, dikukuhkan melalui Kongres Rakyat Papua (KRP) II tahun 2000 dengan kendaraan politik yaitu Presidium Dewan Papua (PDP) yang dipimpin oleh Theys Hiyo Eluay sebagai pemimpin gerakan pembebasan nasional Papua.

Tentu saja konsolidasi tersebut merupakan konsolidasi bersejarah yang terbesar bagi gerakan rakyat Papua, yang pertama muncul berdasarkan kesadaran rakyat yang menginginkan kejelasan atas status politiknya sebagai sebuah negara yang ingin merdeka dari penjajahan Indonesia. Namun sayang, gerakan tersebut tidak bertahan lama, ketika Theys dibunuh oleh militer Indonesia dalam hal ini Kopassus karena ketakutan kolonialisme Indonesia akan gerakan perjuangan pembebasan nasional yang semakin kuat dan nampak saat itu.

Konsolidasi-konsolidasi selanjutnya yang berpengaruh hingga hari ini adalah dengan dibentuknya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Vanuatu tahun 2014 lalu, sebagai wadah persatuan gerakan perjuangan rakyaat Papua. ULMWP dibentuk mewakili tiga faksi perjuangan, yaitu West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Negara Federal Republik Federal Papua Barat (NRFPB), dan Parlemen Nasional West Papua (PNWP). Tidak bisa kita pungkiri bahwa dibentuknya ULMWP sebagai wadah persatuan merupakan desakan atau tuntutan negara-negara Pasifik di Melanesian Spearhead Group (MSG) guna menjadi salah satu anggota MSG. Artinya, terbentuknya ULMWP di Vanuatu menjadi sebuah wadah persatuan tidak berdasarkan pada kebutuhan (situasi objektif) di tanah air, juga dilakukan tanpa didahului konsolidasi-konsolidasi secara matang, dengan memperdebatkan ide, program, stratak, serta metode perjuangan yang tepat.

Hal ini akan nampak ketika persaingan diantara kelompok tua dalam ULMWP yang ambigu dan keras kepala hanya bertarung dalam memperebutkan jabatan dan mengabaikan situasi objektif penindasan dan penghisapan yang dihadapi rakyat Papua. Akibatnya, muncul perbedaan pandangan di antara faksi yang semakin tajam sehingga menimbulkan perpecahan yang sangat fatal di internal ULMWP itu sendiri.

Dinamika perjuangan dan persatuan pergerakan rakyat Papua saat ini telah cacat. Melihat situasi ini, muncul pertanyaan penting yang harus dijawab oleh semua gerakan perjuangan pembebasan nasional Papua hari ini, apa yang menjadi titik tolak dari persatuan kita? Dan bagaimana kita dapat bersatu sehingga persatuan itu mampu menerima berbagai macam pandangan yang berbeda dari faksi atau komponen gerakan dan individu dalam gerakan perjuangan? Singkatnya, persatuan seperti apa yang harus dibangun? Tanpa menjawab pertanyaan ini, tentu saja kita akan sulit menempatkan stratak dan programatik perjuangan bersama sebagai acuan gerakan perjuangan pembebasan nasional.

Saya tegaskan lagi disini bahwa kemenangan-kemenangan revolusi di berbagai negeri jajahan dalam menumbangkan kekuasaan kolonialisme maupun negara-negara imperialisme selalu saja membutuhkan yang namanya “persatuan nasional”. Itulah kunci utama dalam sejarah perjuangan gerakan pembebasan nasional yang tak dapat dibantahkan. Itulah pangkal titik awal kita untuk bersatu. Dan supaya kita dapat bersatu, ada tiga prinsip yang harus ditegakan dalam persatuan:

Pertama: persatuan yang demokratik. Nafas dari persatuan adalah “demokrasi”. Tanpa itu persatuan hanya omong kosong. Artinya, dalam persatuan sudah menjadi keharusan untuk menghargai kebebasan berekspresi (bebas berpropaganda), kebebasan bagi setiap kelompok atau setiap faksi dan organisasi di dalam persatuan itu sendiri untuk menjelaskan ekspresi dan pandangan politik perjuangan dan organisasinya, persatuan yang bisa saling berdebat secara ilmiah dengan menyampaikan, atau mengutarakan pikirannya yang matang dan dewasa.

Kedua: persatuan yang progresif. Persatuan yang tidak memandang latar belakang, suku, ras, agama, etnis, dan persatuan yang tidak memandang kepentingan satu kelompok semata karena keras kepala.

Ketiga: persatuan kerakyatan. Persatuan yang mementingkan kepentingan rakyat, dengan melibatkan rakyat Papua, mendorong rakyat turut aktif berpartisipasi dalam perjuangan pembebasan nasional, dan persatuan yang sadar akan musuh sejati rakyat Papua, yaitu, kolonialisme dan imperialisme sebagai musuh sejati rakyat.

Adalah sebuah hukum sejarah, bahwa perjuangan melawan penindasan dan penghisapan karena kehadiran kolonialis Indonesia maupun penindasan dalam bentuk lain yakni eksploitasi karena imperialisme. Kedua sistem penindasan tersebut harus dihadapi secara sistematis pula melalui pengalaman berjuang secara kolektif, pengalaman aksi secara kolektif dan dengan programatik perjuangan yang tepat, maka niscaya kemenangan itu akan terwujud.

Sehingga, menjadi kebutuhan yang mendesak hari ini adalah, mendorong semua komponen gerakan di tanah air Papua, baik pemuda–mahasiswa, masyarakat adat, perempuan, buruh, amber, komunitas teologia: protestan, katolik, islam, dan secara umum rakyat Papua yang menganggap dirinya bagian dari bagsa Papua, untuk bersama-sama membangun persatuan nasional sebagai kekuatan penggerak revolusi di Papua.

***

Catatan: tulisan ini awalnya dimuat di Koran Kejora cetak Edisi II Juni 2019 tentang “Persatuan Kita dan Perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat”. Kami menerima dari penulis untuk diterbitkan ulang untuk kepentingan propaganda dan pendidikan.

Jefry Wenda
Penulis adalah Juru Bicara Nasional Petisi Rakyat Papua (PRP).

2 KOMENTAR

  1. Kepada kawan-kawan tim redaksi Lao-Lao. Terima kasih sudah mengubdate tulisan-tulisan yang luar biasa ini. Teruslah bersama rakyat tertindas dan menyuarakan suara-suara yang terus dibungkam. Salam rovolusi!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan