Analisa Harian Pemerintah Masih Sepihak: Refleksi Pemikiran Pastor Neles Tebay

Pemerintah Masih Sepihak: Refleksi Pemikiran Pastor Neles Tebay

-

“Selama ini yang namanya dialog hampir tidak ada. Dan selama dialog tidak ada pasti besok, minggu depan, bulan depan akan terjadi lagi, karena hasrat tidak pernah terjawab.” Pastor Amandus Rahadat, Pr.

Kutipan di atas [1] mengingatkan saya pada sosok Pastor Neles Kebadabi Tebay, Pr (Pater Neles) yang terus dengan gigih berupaya untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua melalui jalan damai (dialog). Itu sebabnya ia dan rekan-rekannya dirikan Jaringan Damai Papua (JDP), [2] lembaga yang tugasnya mengadvokasi dan mendialogkan berbagai persoalan Papua yang hingga kini tak kunjung tuntas itu. Pater Neles adalah seorang Imam Projo yang sebelumnya bertugas di Keuskupan Jayapura. Pater Neles meninggal pada tanggal 14 April 2019.

Kepergian Pater Neles seolah meninggalkan ‘ruang kosong yang sunyi’ dalam mencari simpul asal muasal masalah di Papua. [3] Sementara Papua (Baca: Papua dan Papua Barat) terus mengalami penetrasi pembangunan yang justru melahirkan konflik horizontal dimana-mana. Pater Neles, dalam berbagai kesempatan, telah banyak menyuarakan bahwa akar masalah di Papua adalah konflik ideologis, dan bukan sebaliknya seperti pragmatisme (soal makan-minum dan infrastruktur). Untuk itulah, semestinya pemerintah tidak hanya sekadar menjawab masalah Papua dengan membangun jalan, bandara, apalagi Pekan Olahraga Nasional (PON) yang belakangan menuai kritik keras dari berbagai kalangan di Papua. Sebab, selain menelan anggaran yang begitu besar [4], perhelatan PON terkesan dipaksakan sementara kondisi pendidikan dan kesehatan di Papua justru sangat memprihatinkan.

Tidak dipungkiri bahwa berbagai paket kebijakan pembangunan yang disodorkan pemerintah di Papua itu bukannya tak penting, namun bukankah penghargaan terhadap martabat manusia jauh lebih mendasar? Itu sebabnya pemerintah tak bisa ‘secara diam-diam’ membangun Papua di samping terus abai terhadap upaya-upaya rekonsiliasi dan restitusi bagi warga Papua. Sebab hanya dengan begitu Papua bisa menjadi tanah damai sebagaimana upaya yang ditempuh Pater Neles Tebay dan kawan-kawan melalui JDP.

Dalam bukunya Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, Pater Neles menegaskan bahwa, “Selama ketidakpercayaan orang Papua ini belum teratasi, segala niat baik yang datang dari pemerintah, termasuk niat untuk menyelesaikan konflik Papua melalui dialog, sama sekali tidak akan dipercayai dan diterima begitu saja oleh orang Papua. Oleh sebab itu, masalah ketidakpercayaan ini mesti diatasi terlebih dahulu sebelum ‘pihak Jakarta’ dan ‘Papua’ bertemu dalam perundingan.” [5] Dari sini kita menjadi tauh bahwa situasi pra kondisi untuk menuju dialog itu harus benar-benar diwujudkan di bumi Papua. Ironisnya, kekerasan dan konflik bersenjata masih terus menghantui warga Papua di kampung-kampung.

Pater Neles, melalui bukunya itu memuat lima belas pokok pikiran yang mesti dilalui oleh para pihak. Aspek-aspek teknis penyelesaian masalah melalui dialog pun diutarakan dengan begitu lengkap oleh Pater Neles, termasuk apa dan sipa saja yang terlibat dalam dialog tersebut. Meski demikian, buku tersebut sangat utopis dalam memandang problem Papua. Sebab dari 15 pokok pikiran menyangkut dialog itu, hal paling krusial justru tidak menjadi agenda dialog Jakarta-Papua. Seperti yang dikatakan Pater Neles, “Tidak membahas kemerdekaan Papua dalam dialog.” Tentu saja gagasan Pater Neles ini bisa kita pahami sebagai bentuk keprihatinan Imam Katolik yang mengedepankan cinta kasih dibandingkan konflik. Lantas, siapakah yang dapat menjamin konflik Papua berakhir paska dialog itu?

Padahal, melalui riset sosial yang dikerjakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Papua dan kemudian dibukukan dengan judul Papua Road Map setidaknya telah memberikan gambaran terkait kondisi dan dinamika sosial politik di Papua. Buku itu kemudian memunculkan empat poin penting yang semestinya dapat menjadi rujukan pemerintah dalam menimbang persoalan Papua. Empat poin itu antara lain: Pertama, masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang asli Papua sejak 1970. Kedua, kegagalan pembangunan terutamanya di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta, dan keempat adalah pertanggungjawaban atas kekerasan Negara di masa lalu terhadap warga Negara Indonesia di Papua. [6]

Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur telah melakukan dialog dengan warga Papua. Berbagai kesepakatan pun diambil. Mulai dari membolehkan bendera Bintang Kejora berkibar di bawah Bendera Mera Putih hingga perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua. [7] Tak hanya itu, bahkan untuk terselenggaranya Kongres Rakyat Papua II (KRP II) yang berlangsung di Jayapura ketika itu, pun mendapat bantuan dana dari Gus Dur sendiri. Namun siapa sangka, konflik Papua masih terus ‘berdengung’ hingga kini. Pelajaran penting apa yang mesti diambil oleh kedua belah pihak? Bahwa dialog tanpa rekonsiliasi dan restitusi serta meluruskan kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik warga Papua adalah sebuah kesia-siaan.

Jika dicermati, perihal kontradiksi sejarah serta konstruksi identitas politik inilah yang justru makin mempertegas konflik di Papua. Seperti senyap, namun sistematis dan terstruktur. Berbagai organisasi gerakan dari kalangan sipil, pekerja media (jurnalis), dan mahasiswa Papua melalui Petisi Rakyat Papua (PRP) terus menyerukan agar pemerintah harus berdialog dan memberikan kesempatan kepada warga Papua untuk menentukan masa depan politiknya sendiri terus bergulir ketimbang mereka yang bersekukuh untuk keberlanjutan Otonomi Khusus (Otsus Jilid II). [8]

***

Referensi:

[1] Nonton: https://www.youtube.com/watch?v=y6Q-h4eoWHY dikutip pada 19 Januari 2022.

[2] Baca: https://nasional.tempo.co/read/1483713/uu-otsus-papua-jaringan-damai-papua-prihatin-jokowi-tak-tepati-janji/full&view=ok dikutip pada 29 Januari 2022.

[3] Baca: https://tirto.id/kepergian-neles-tebay-jalur-dialog-jakarta-papua-yang-jadi-sunyi-gcll dikutip pada 29 Januari 2022.

[4] Baca:  https://money.kompas.com/read/2021/10/09/000600626/ini-rincian-lengkap-dana-apbn-yang-tersedot-untuk-biayai-pon-xx-papua?page=all dikutip pada 29 Januari 2022.

[5] Tebay, Neles. 2009. Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura Irian Jaya : Jayapura.

[6] Baca: http://lipi.go.id/risetunggulan/single/buku-road-map-papua/16 dikutip pada 29 Januari 2022.

[7] Baca: https://www.nu.or.id/post/read/100191/alasan-gus-dur-ubah-nama-irian-jaya-menjadi-Papua dikutip pada 29 Januari 2022.

[8] Baca: https://www.suara.com/news/2021/07/16/164710/sampaikan-sejumlah-sikap-petisi-rakyat-papua-keras-tolak-otsus-papua-jilid-ii?page=all dikutip pada 29 Januari 2022.

Ferdinando Septy Yokit
Penulis adalah pegiat literasi di Papua.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan