Pilihan Redaksi Aliansi Perempuan Pembebasan Nasional Papua: Kapitalisme Akar Kekerasan Perempuan

Aliansi Perempuan Pembebasan Nasional Papua: Kapitalisme Akar Kekerasan Perempuan

-

Aliansi Perempuan untuk Pembebasan Nasional Papua

109 Tahun Hari Perempuan Internasional: Kapitalisme Akar Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua

Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tahun pada tanggal 8 Maret adalah momentum bersejarah bagi gerakan perempuan dan rakyat di seluruh dunia. Gerakan perempuan muncul dari realitas objektif penindasan oleh sistem kapitalisme.

Kapitalisme adalah paham ekonomi politik yang bertumpu pada penimbunan kekayaan atau akumulasi modal dan perluasan sasaran produksi atau wilayah. Kapitalisme menciptakan kolonialisme, menduduki wilayah-wilayah yang melimpah sumber daya alamnya. Ini membuktikan mengapa Indonesia menginvasi Papua dan membawa masuk perusahan PT. Freeport milik Negara Imperialis Amerika di Tanah Papua.

Kapitalisme merestui praktek kolonialisme Indonesia dan terus melanggengkan praktek militerisme di Papua. Lebih kurang 15 kali operasi Militer di tanah Papua dilakukan antara tahun 1963 sampai 2004, kekuatan reaksioner dan represif ini sengaja dilakukan oleh negara untuk memukul mundur gerakan rakyat Papua dan melindungi perusahaan milik kapitalis di Papua. Dalam Laporan HAM Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM antara 1963-2009 dengan judul “Stop Sudah!” menyebutkan kekerasan yang didukung dan dilakukan oleh Negara ditemukan sebanyak 138 orang perempuan mengalami bentuk kekerasan seksual, yaitu: perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pengungsian, percobaan pembunuhan, pemaksaan aborsi, dan eksploitasi seksual. 

Resesi ekonomi dunia di awal 2019 dan munculnya Covid-19 berdampak pada perubahan siklus kerja di perusahaan-perusahan milik kapitalis, banyak perusahaan dengan modal kecil gulung tikar akibatnya muncul depresi ekonomi berkepanjangan di Indonesia dan secara global. Sebagai jalan keluar rezim Jokowi-Ma’ruf mengesahkan secara sepihak undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law),  memaksakan perpanjangan Otsus Jilid II dan terus mengirim Militer ke Papua, perampasan lahan masyarakat terus terjadi, PHK buruh massal, kapitalisasi alat kesehatan, pemotongan subsidi, pemotongan biaya pendidikan, dan sebagainya. Pengontrolan media massa dan pendistribusian informasi palsu oleh negara membuat masyarakat tidak sadar bahwa tanah dan haknya sedang direnggut. 7 anak dipukuli dan 1 orang tewas di Sinak, Puncak Papua adalah wujud fasis (militer-kapital) yang dianut dalam pemerintahan Indonesia. Operasi militer dalam 5 tahun terakhir di Nduga, Intan Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak Papua mengakibatkan 60 ribu lebih orang mengungsi, sementara wilayah Papua lainnya menjadi operasi militer melalui Intelijen Indonesia, perampasan tanah, penciptaan kepala suku tandingan, politik pecah belah, pemekaran wilayah administrasi, rasisme, pemerkosaan, kekerasan seksual, diskriminasi antara perempuan dan laki-laki serta orientasi seksual lainnya (seksisme).

Perempuan-perempuan di daerah terdampak operasi militer harus menempuh hutan dengan kaki telanjang, dan ketakutan. Perempuan menuju tempat yang tidak diketahui membawa anak-anak menyeberangi kali, sungai, berhadapan dengan binatang buas, kelaparan, penyakit akibat kondisi alam, melahirkan di tempat yang tidak layak. Kematian adalah resiko yang diterimanya pada situasi militer. Selain itu perempuan terdampak perampasan lahan dengan pola investasi, kehilangan akses atas hutan sagu, tanah adat, dan rentan mengalami krisis pangan dan gizi buruk. Perempuan harus terlibat dalam perlawanan karena terjebak dalam penyakit kapitalisme yang membenarkan penjajahan (kolonialisme) serta melanggengkan pembunuhan oleh militer. Perempuan harus keluar dari rasa nyaman untuk dirinya sendiri juga bersama laki-laki dan rakyat luas mengakhiri penindasan.

Sekalipun tanah Papua adalah wilayah dengan sumber daya alam melimpah namun data BPS 2016 menyatakan bahwa Papua dan Papua Barat menempati posisi daerah miskin dengan angka 28,40% dan 25,73%. Ironis nasib rakyat Papua dan secara khusus perempuan Papua yang mengalami kekerasan berlapis di bawah kapitalisme dan kolonialisme Indonesia. Maka dalam rangka memperingati 109 tahun Hari Perempuan Internasional, kami yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Papua untuk Pembebasan Nasional Papua menyatakan sikap dan menuntut :

Pertama: Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat.

Kedua: Tolak Blok Wabu, Tutup PT. Freeport Indonesia, BP Tangguh, dan seluruh perusahaan  multinational corporate milik kapitalis di Tanah Papua.

Ketiga: Tolak Otonomi Khusus Jilid II, pemekaran provinsi, kabupaten, dan desa di seluruh Tanah Papua.

Keempat: Tarik militer organik dan non-organik dari Tanah Papua.

Kelima: Hentikan operasi militer di Nduga, Puncak Papua, Maybrat, Pegunungan bintang, Yahukimo, Intan Jaya, dan Seluruh Tanah Papua.

Keenam: Palang Merah Internasional segera turun ke Papua menangani pengungsi korban operasi militer Indonesia terhadap rakyat Papua.

Ketujuh: Hentikan kekerasan seksual terhadap perempuan Papua.

Kedelapan: Stop diskriminasi terhadap perempuan Papua.

Kesembilan: Adili penyiksa 7 anak oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Sinak Puncak Papua.

Kesepuluh: Hentikan perampasan lahan dan penghancuran ruang hidup rakyat Papua.

Kesebelas: Kembalikan hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas oleh Negara

Kedua belas: Segera mengakomodir hak anak dan perempuan di dalam kebijakan publik.

Ketiga belas: Segara hentikan perampasan tanah di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.

Keempat belas: Menolak pembangunan landasan antariksa di Biak.

Kelima belas: Roda pemerintahan Puncak Papua segera dikembalikan dari Timika ke Puncak Papua untuk menangani pendidikan (SD, SMP, dan SMA) dan pengungsi korban operasi militer Indonesia di Puncak Papua.

Keenam belas: Bubarkan Dewan Adat tandingan buatan NKRI.

Ketujuh belas: Segara sahkan RUU PKS.

Kedelapan belas: Uncen, BP PON Papua, Gubernur segera memperhatikan korban penggusuran paksa Rusunawa Uncen.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami akan terus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, penindasan, dan penghisapan terhadap rakyat dan bangsa West Papua.

Tanah Air West Papua, 07 Maret 2022

Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!

Koordinator – Dhena

***

Yang tergabung dalam Aliansi Perempuan untuk Pembebasan Nasional Papua: Gempar-P, Garda-P, Sekolah Alternatif, Sinak Bersatu, Green Papua, Aktivis Mahasiswa, Dewan Adat Biak, Forum Peduli Kawasan Biak, dan individu-individu.

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

1 KOMENTAR

  1. Selamat pagi dan selamat berjuang terus. Tahan dan berjuang terus. Pasti Tuhan mengasihi dan memberkati. Karena apa yang sementara di perjuangkan adalah mengenai kebebasan, suatu tindakan Keselamatan terhadap umat Tuhan, baik bagi anak-anak, Nona-nona/gadis-gadis, tetapi juga ibu-ibu atau juga nene. Kalau kaum perempuan merasa aman-nyaman maka disitulah pihak laki-laki akan diperhatikan dengan baik. Untuk itu juga akan berjuang dengan doa-doa kami, sehingga nantinya mencapai keberhasilan dalam perjuangan ini. Tuhan mengasihi dan menyertai sampai Merdeka.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

LBH Papua: Pemerintah dan Komnas HAM Melanggar Hak Buruh Moker PT. Freeport

Siaran Pers Pemerintah dan Komnas HAM Republik Indonesia Turut Melanggar...

May Day 2024: Mari Bikin Barisan Revolusioner di Papua!

Nampaknya 1 Mei yang diperingati di seluruh dunia sebagai Hari Buruh Internasional tidak begitu popular di Papua. Kebangkitan perlawanan...

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang memiliki perhatian terhadap perkembangan Papua pasti bisa membedakan kedua Irian...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan