Petisi Rakyat Papua (PRP) adalah front rakyat yang berisi 122 organisasi dan individu-individu dari berbagai sektor, bersama menolak kebijakan Otonomi Khusus lalu menuntut Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi rakyat Papua. PRP pertama kali di launching pada 4 Juli 2020.
Sejarah singkat Otonomi Khusus.
PRP lahir di tengah keinginan rakyat Papua untuk bebas dari penjajahan Indonesia. Sejak 1961 TRIKORA, operasi militer oleh Indonesia terus dilakukan, 1962 Perjanjian New York, perjanjian Roma dilakukan tanpa keputusan kolektif masyarakat asli Papua. 1963 Papua digabungkan secara paksa (aneksasi) ke Indonesia, 1969 dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), kemudian lahirnya resolusi 2504, November 1969 yang melampirkan hasil PEPERA. Negara Indonesia melakukan upaya penaklukan rakyat Papua untuk merampas kekayaan alam dan manusia. Krisis ekonomi di dunia sejak 1997 kemudian berdampak pada krisis ekonomi dan politik di Indonesia, adanya gerakan rakyat yang mendobrak kekuasaan Soeharto (rezim orde baru), menyebabkan terbukanya ruang demokrasi. Rakyat Papua merespon dengan adanya Dialog nasional, Tim – 100 dengan Presiden B.J Habibie namun tidak menemukan resolusi politik bagi rakyat Papua. 23-26 Februari dilakukan Mubes Rakyat Papua yang melahirkan PDP dan memilih Theys Hiyo Eluay dan Tom Beanal sebagai pimpinan PDP. Hasil dari mubes tersebut adalah melakukan kongres Rakyat Papua II (Kongres rakyat Papua I, pada 1 Des 1961). Kongres rakyat Papua II dilakukan pada 29 Mei – 4 Juni di GOR cendrawasih. Perdebatan dan konsolidasi rakyat Papua terus meningkat hingga terbentuk satgas Papua dan meningkatkan kesadaran rakyat saat itu. 10 November 2001 Theys dibunuh di Kota Jayapura, kemudian Megawati sebagai presiden Indonesia mensahkan UU No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus (otsus).
Otsus lahir sebagai upaya negara untuk memanipulasi tuntutan masyarakat Papua untuk menentukan nasib sendiri sebagai negara bangsa yang merdeka. Ada 4 tipe penentuan nasib sendiri yang dalam sejarah gerak masyarakat terjadi di dunia ialah: Otonomi khusus, negara federal, pemisahan diri sebagai sebuah teritori, dan pengakuan sebuah komunitas internasional. Keempat jalur ini melalui metode referendum (pemilihan umum yang demokratis). Namun negara melakukan isolasi rakyat di Papua dengan memaksakan UU otonomi khusus, hal ini merupakan wujud penjajahan yang dipertahankan sejak 1960-an. Otonomi khusus dalam kerangka Indonesia untuk mengangkat harkat dan martabat Orang asli Papua, gagasan ini mengandung makna rasisme kronis dalam praktik penjajahan Indonesia. Otsus mengatur beberapa hal yaitu: lambang -lambang, partai politik, pembagian wilayah (DOB), kewenangan daerah, bentuk susunan pemerintahan, perangkat dan kepegawaian, peraturan daerah, keuangan, perlindungan masyarakat adat, ekonomi, HAM, kepolisian daerah, kekuasaan peradilan, agama, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan,pendidikan, pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, dan keuangan. Beberapa unsur-unsur ini disederhanakan dalam tiga aspek yaitu: adat, perempuan dan agama. Otsus memiliki sebuah badan hukum yaitu Majelis Rakyat Papua yang dibentuk pada 2005.
Penguncuran dana senilai Rp 146,635,998,777,500 atau USD 9.993.968.138.43 di dua provinsi sejak 2001 – 2021 (20 tahun) digunakan untuk membangun infrastruktur di Papua. Pembangunan infrastruktur di Papua dibarengi dengan penambahan eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Hak-hak masyarakat Papua tidak dijamin secara menyeluruh. Pembangunan infrastruktur seperti jalan, bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit disertai dengan aktivitas pemodal/pengusaha di Papua. Perizinan perusahaan kelapa sawit, perizinan perusahaan pertambangan dan jasa pendidikan serta kesehatan swasta semakin banyak jumlahnya dibandingkan milik pemerintah. Pemekaran wilayah baru adalah syarat untuk memperluas aktivitas eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Pemekaran akan berdampak pada meluasnya kemiskinan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Provinsi Papua yang hidup di bawah garis kemiskinan ada 944,49 ribu jiwa pada September 2021. Jumlah tersebut mencapai 27,38% dari total populasi. Persentase tersebut merupakan yang tertinggi dibanding 33 provinsi lainnya. Menurut daerah tempat tinggal, terdapat 895,26 ribu jiwa penduduk di pedesaan Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut mencapai 36,5% dari total populasi. Artinya, lebih dari sepertiga penduduk di pedesaan Papua hidup miskin. Sementara jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan Papua yang hidup miskin hanya 49,23 ribu jiwa atau 4,94% dari total populasi. Data tersebut menunjukkan disparitas penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan Papua sangat lebar sehingga dibutuhkan perhatian untuk memperbaiki kondisi masyarakat perdesaan di provinsi paling timur Indonesia tersebut. Penduduk Papua dikategorikan miskin bila pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup pokoknya di bawah Rp 600,79 ribu per kapita per bulan atau Rp 2,99 juta per rumah tangga miskin per bulan pada September 2021.
Dapat dilihat dengan jelas bahwa data BPS memaksakan kebudayaan orang Papua yang bergantung terhadap uang, bukan bergantung pada tanahnya. Kebudayaan yang ditanamkan adalah ketergantungan uang, produk dan persaingan. Hal ini mengkonfirmasi kebijakan Otsus turut menyebabkan penjualan tanah adat, dan menciptakan stigma bagi masyarakat.
Operasi militer yang tidak berakhir akhir-akhir ini terjadi di beberapa wilayah misalnya : Nduga (2018), Intan Jaya (2020), Maybrat (2020), Pegunungan Bintang (2021) dan lain-lain adalah bukti kekuatan penjajahan Indonesia menggunakan pola militeristik. Dampak dari semua ini adalah pemusnahan masyarakat asli Papua, diskriminasi etnik (rasisme), kematian dini, kurang gizi, persoalan kualitas pendidikan yang rendah dan kesehatan yang rendah dsb.
OTSUS sampai kapanpun tidak akan menjawab kebutuhan rakyat Papua untuk bebas dari penindasan berlapis.
Lahirnya PRP
PRP sebagai alternatif front yang bergerak untuk menggalang kekuatan rakyat bersama melawan penjajahan Indonesia di Papua. Sejak 2020 jumlah organisasi dan individu yang terlibat terus bertambah hingga 122 organisasi (data 2022). PRP melakukan kritikan kepada pemerintah dan bersama menolak kebijakan-kebijakan penjajahan Indonesia di Papua. PRP juga tergabung 3 organisasi solidaritas dan 119 organisasi nasional Papua. Membangun sistem front yang demokratik dan melayangkan serangan pada penjajahan.
Jumlah suara yang digalang kurang lebih 714.000 suara dan masih terus melakukan penggalangan. Rakyat Papua harus terlibat bersama untuk menunjukan bahwa kita menolak tunduk untuk dijajah.
Respon Negara terhadap PRP
Serangkaian cara dilakukan kolonial untuk menghadang PRP sepanjang 2020-2022, salah satunya penangkapan Victor F Yeimo sebagai juru bicara PRP dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada 9 Mei 2021. Penangkapan Victor Yeimo disengajai untuk meloloskan kepentingan Pekan Olahraga Nasional (PON), 2021, lalu Peparnas, 2021. Sejumlah aksi penolakan OTSUS Jilid II direpresif oleh negara, penembakan terjadi di P3W terhadap massa aksi mahasiswa Papua di Jayapura. 2022 sejak Maret – Mei tuntutan Tolak Pemekaran, Cabut Otsus, dan Penentuan nasib sendiri direspon dengan penembakan di Yahukimo, pemukulan di Timika, represif di kota-kota lainnya. 10 Mei 2022 akibat aksi yang meluas di seluruh Indonesia, Papua, dan Timor leste dilakukan penangkapan terhadap 7 kawan di Jayapura, salah satunya Juru Bicara Nasional PRP Jefry Wenda. Rentetan peristiwa ini juga mengkonfirmasi kepentingan militer Indonesia di Papua, yang didanai oleh penjajah serta penguasa atau pemodal. Hal ini menunjukan kemenangan kecil rakyat untuk bersatu melawan penjajahan.
Sejak 2020 hingga Mei 2022, demonstrasi massa terus dilakukan, di berbagai wilayah, negara kembali memunculkan politik pecah belahnya. Yan Mandenas, Marthinus Awoitauw, Befa Yigibalom, Eltinus Omaleng, Willem Wandik, dan Paulus Waterpauw beberapa pejabat kolonial Indonesia adalah orang-orang yang dimanfaatkan untuk menciptakan konflik horizontal. Dibalik bupati-bupati dan pejabat publik, didukung oleh partai-partai nasional Indonesia yang berkepentingan dalam politik pembagian kekuasaan wilayah bahkan elit-elit militer Indonesia turut berkepenting. Partai politik berperan aktif dalam pemecahan kekuatan rakyat. Beberapa partai politik nasional justru diketuai oleh purnawirawan militer.
Menteri kementerian dalam Negeri yang dipimpin oleh Tito Karnavian menunjukan bahwa dominasi militer akan semakin parah jika kita masih tetap bersama Indonesia.
Veronica koman terancam tidak bisa kembali ke Indonesia karena memperjuangkan HAM dan Demokrasi bagi rakyat Papua. Surya Anta dan beberapa kawan-kawan ditangkap setelah melakukan protes atas kejahatan Indonesia di Papua. Haris dan Fathia sebagai peneliti dan pekerja HAM dikriminalisasi ketika membuka rahasia kepentingan militer terhadap investasi di Papua. Ditengah gejolak massa yang sadar muncul penawaran BUMN, CPNS, Beasiswa, honorer, polisi, TNI khusus Orang Asli Papua, ingat bahwa negara sedang krisis, pola ini adalah upaya penaklukan sosial untuk membendung gerakan rakyat. Ada 20.000 honorer yang tidak dijadikan PNS, ada ribuan PNS yang ditolak aplikasinya, mahasiswa Papua tidak dibayarkan beasiswa di Luar negri maupun dalam negeri, polisi dan tentara hanya digunakan untuk tujuan menghadang gerakan massa. Jika rakyat hanyut dalam kepentingan ini kita akan hanyut dalam kepentingan politis penjajah Indonesia.
Apa yang harus kita Lakukan?
Kebijakan politik Indonesia tidak akan terhenti bila rakyat tidak mengkonsentrasikan kekuatan politiknya pada wadah demokratik. Penjajahan Indonesia tidak akan membebaskan Victor Yeimo dan tahanan politik lainnya dengan mudah, tidak akan membiarkan rakyat Papua memiliki ruang demokrasi kepada rakyat. Semakin kita bergerak maju kita akan semakin dapat melihat siapa musuh dan siapa kawan dalam perjuangan. Kebudayaan solidaritas, demokratis, dan kritis adalah kebudayaan yang harus disebarluaskan. Penjajahan akan terus dilakukan bila kita diam, alternatif yang dapat kita lakukan adalah mendesak semua pihak untuk terlibat dalam aksi massa, pengorganisasian masa, dan rebut kembali tanah yang dirampas.
Bebaskan Victor Yeimo, Tolak Pemekaran, Cabut OTSUS, dan Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat Papua!