“Lukas Enembe Penghianat Rakyat Papua!” Pernyataan tersebut muncul di halam facebook Petisi Rakyat Papua (PRP) setelah gubernur yang sering silang pendapat dengan Jakarta itu tiba-tiba menyatakan mendukung Daerah Otonomi Baru (DOB) dan meminta agar Papua dibagi menjadi tujuh (7) berdasarkan wilayah adat di Papua. Padahal awalnya orang nomor satu di Papua itu menolak DOB. Apakah itu pertanda bahwa Lukas Enembe penghianat? Bisa ya, bisa tidak. Tergantung kacamata politik yang kita gunakan untuk melihat.
Jika bercermin pada dinamika kepemimpinan Enembe sejak menjadi Gubernur Papua, ia mendulang pujian dari rakyat Papua terutama rakyat awam politik. Karena sikapnya yang terkadang bertolak belakang dengan Jakarta sehingga rakyat membanggakannya sebagai gubernur yang berani melawan arogansi Jakarta dalam membangun Papua. Berbeda dengan gubernur-gubernur sebelumnya yang dinilai tak punya nyali melawan Jakarta.
Pujian dari masyarakat awam politik terhadap Enembe bukanlah berita hoax yang sering diproduksi penguasa. Tapi benar dan nyata. Dalam satu kesempatan, saya dan seorang mentor politik saya berbincang-bincang dengan buruh bangunan yang lagi istirahat dari kerjanya. Dengan polos buruh bangunan yang telah beruban dan berasal dari kaki Gunung Cyclop, Sentani mengatakan bahwa, dari gubernur ganti gubernur cuman Lukas Enembe yang berani dan hebat. Alasannya, Enembe berani menentang kebijakan Jakarta. Yang lain hanyalah budak Jakarta.
Selain seorang buruh di atas dari kelas proletariat. Kitong juga mungkin belum lupa ketika Lukas Enembe di tahun 2017 di periksa oleh Bareskrim Polri terkait dana beasiswa mahasiswa luar negeri. Benyamin Gurik intelektual muda Papua yang sekarang menjadi Ketua KNPI Papua mengkonsolidasikan rakyat turun ke jalan untuk membela Lukas Enembe.
Apa motif aksi bela Enembe? Saya tidak tahu. Tapi yang pasti, apa yang dilakukan Benyamin Gurik pada 8 September 2017 itu berhasil. Berhasil untuk diri sendiri. Benyamin Gurik berhasil menjadi Ketua KNPI Papua yang prosesnya sarat dengan politik pelumas. Sementara yang didapatkan kaum awam atas jempol keberaniannya untuk Lukas Enembe, pemilik rumah mewah yang dibangun di atas lahan ± 10 hektar di Kampung Koya Tengah, Distrik Muara Tami adalah jempol terbalik, menurut saya.
Lukas Enembe yang dipuji rakyat hanya jago bersilang pendapat dengan Jakarta di media massa tapi dia tidak berani melepaskan pin garuda di dada sebagaimana Elieser Jan Bonay, Gubernur Papua pertama (1963-1964).
Bahkan bagi saya, Enembe tidak punya kekuatan untuk melawan Jakarta hingga ronde terakhirnya sebagai gubernur. Kenapa bisa? Ada teori kekuasaan yang menjelaskan bahwa pihak penguasa (kekuasan) punya kuasa untuk atau dapat merubah manusia yang awalnya kritis menjadi budak.
Dan itulah yang terjadi kepada Lukas Enembe. Dia awalnya dinilai seperti seekor singa oleh rakyat, kini terlihat seperti tikus basah. Awalnya menolak pemekaran DOB tapi kini dirinya mendukung DOB. Bahkan meminta tujuh (7) propinsi sesuai tujuh wilayah adat di tanah Papua. Sikap Enembe yang tidak konsisten menolak DOB, melainkan maju mundur macam suntung itu, ada sebabnya.
Penyebabnya adalah dalam bekerja sebagai pejabat publik di tanah ini, ia dan juga para elit politik Papua lainnya tidak bekerja dengan jujur dan tidak takut Tuhan sebagai yang dinubuatakan oleh Pdt. Isac Samuel Kijne, peletak peradaban baru bagi orang Papua. Bahwa, “Barang siapa bekerja dengan jujur dan dengar-dengaran serta takut akan Tuhan, ia akan berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran lainnya”.
Lukas Enembe yang mendulang jempol keberanian dari akar rumput di Papua dan dibela melalui aksi bela Enembe yang diorganisir oleh Benyamin Gurik, tidak akan mendapatkan tanda heran yang satu kepada tanda heran yang lainnya. Sebagaimana yang dinubuatkan Isac Samuel Kijne. Dan orang di atas tanah Papua yang kerja tidak jujur dan tidak takut Tuhan, sudah tentu adalah pembohong alias penghianat. Pula akibat dari tidak bekerja dengan jujur dan dengar-dengaran serta tidak takut Tuhan. Maka pada saatnya nanti, dia (Lukas Enembe) akan bernasib sama seperti Barnabas Suebu. Ditangkap dan dipenjarahkan.
Sebaliknya, jika Enembe dapat bekerja dengan jujur dan takut akan Tuhan, ia bukan saja akan terhindar dari nasib sial yang dialami Banabas Suebu. Tapi juga dia bukan saja akan konsisten menolak pemekaran DOB di Papua, tapi bisa lebih dari itu. Bahkan dia tidak akan takut sehasta pun terhadap gertakan Jakarta, terutama Titto Karnavian. Namun karena dia tidak jujur dan tidak takut Tuhan, maka dia akan menjadi penakut dan bernasib sama seperti Barnabas Suebu.
Barnabas Suebu ditangkap di Jakarta setelah tidak lagi menjadi gubernur dan dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan korupsi. Padahal ketika menjadi Gubernur Papua, Suebu paling penurut terhadap Jakarta. Apa lagi nanti Enembe yang sering silang pendapat dengan Jakarta, dan punya catatan merah di Bareskrim Republik Indonesia. Silakan berkesimpulan.
Agar kesimpulan Anda kuat, kitong coba bertanya. Kenapa soal DOB, Enembe tidak lagi silang pendapat dengan Jakarta tapi justru mendukung? Ada aksi maka ada reaksi. Setelah Ricky Ham Pagawak (RHP), Bupati Mamberamo Tengah yang juga wakil ketua bagi Lukas Enembe di Partai Demokrat Propinsi Papua digrebek KPK atas dugaan penyalagunaan kewenangan. Semuanya seakan berubah sesuai skenario Jakarta.
RHP awalnya pun merupakan bupati yang sangat frontal menolak DOB di tanah Papua, sama seperti Lukas Enembe. Pada akhir bulan Mei tahun ini, RHP menerima pendemo tolak DOB di halaman kantonya, dan menyatakan mendukung rakyat menolak DOB.
Tapi ketika KPK kembali mengusut kasus suap-gratifikasi di Mamberamo Tengah, pada 7 Juni 2022, beberapa hari setelah RHP menyatakan mendukung DOB seperti komandannya di kantor Dok II, Jayapura, rakyat dibuat telan luda karena RHP berbalik 180 derajat dari yang awalnya menolak kemudian menyatakan mendukung DOB mengikuti dukungan pemekaran yang diminta Lukas Enembe, yakni 7 Propinsi sesuai wilayah adat di Papua.
“Sebagai Ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah, saya menyatakan siap menerima dan siap mengamankan keputusan serta kebijakan Negara untuk DOB yang mana mengikuti pernyataan Gubernur Papua yaitu kalau boleh ada tujuh DOB di Propinsi Papua,” tegas Bupati RHP di Cenderawasih Pos (20/06/2022) beberapa hari setelah pengusutan kasus suap di Mamberamo Tengah.
Hemat saya, Ricky Ham Pagawak tidak mengikuti Lukas Enembe soal pemekaran, tapi sebaliknya. Lukas Enembe yang mengikuti saran RHP untuk dukung DOB. Karena setelah KPK usut kembali kasus suap proyek di Mamberamo Tengah, dan berita pengusutan kasus suap tersebut mengisi ruang publik. Ada dampak psykologis bagi gurita yang menerima suap. Terutama terhadap RHP sebagai “raja” di Mamberamo Tengah.
Dampak psykologi dari raja modern di Mamberamo Tengah itulah yang kemudian menjangkiti orang nomor satu di Papua, yang dibanggakan karena keberaniannya menentang Jakarta, pada akhirnya menjilat ludahnya sendiri. DOB yang awalnya ditolak akhirnya diterima.
Saya berani berpendapat bahwa Enembe merubah sikap politiknya karena kiriman “angin” dari RHP. Kiriman angin itu bisa jadi bahwa, RHP mengadu ke bosnya bahwa mereka dalam bahaya bila kasus suap proyek di Kabupaten Mamberamo Tengah dilanjutkan KPK. Agar tidak dilanjutkan maka, Enembe harus bertemu Titto Karnavian sebagai otak dibalik pemekaran DOB di Papua, dan menyatakan mendukung DOB dengan deal bawah meja bahwa kasus suap proyek di Mamberamo Tengah jangan dilanjutkan. Itu adalah alasan sebenarnya Lukas Enembe bertemu Titto.
Enembe tidak mungkin bertemu Titto tanpa alasan yang mendesak apa lagi menyangkut bayang-bayang penjara yang mulai terlihat jelas. Hal ini mengingat, Enembe hendak mengadukan Titto kepada presiden. Sehingga jika bukan karena kasus suap proyek yang tentu Lukas Enembe nikmati, tidak mungkin dia berani bertemu Mendagri yang pernah memberi peringatan pemecatan kepada gubernur kesayangan rakyat awam Papua yang bodoh.
Artinya, Lukas Enembe dan para elit politik di Papua yang dibanggakan oleh rakyat Papua karena keberanian mereka menentang kesewengan Jakarta lewat media massa hanya omong kosong politik. Omong kosong seperti itu bukan karena mereka pada dasarnya adalah boneka politik Jakarta. Sehingga dengan mudanya, Jakarta bisa mengatur gaya berpolitik mereka untuk membentuk penilaian-penilaian politik yang menciptakan gep-gep politik di Papua.
Tapi karena para elit politik di Papua terutama Lukas Enembe sebagai gubernur yang juga adalah pembina politik di tanah Papua, tidak punya etika dan moral politik yang kuat. Mereka mudah tergoda oleh rayuan kekuasan untuk memperkaya diri. Upaya memperkaya diri itulah yang kemudian menyeret mereka untuk menyalahgunakan mandat rakyat, dan terjebak dalam jerat penguasa, yakni korupsi.
Dan korupsi itu kemudian digunakan oleh kekuasaan tertinggi untuk meneror dan mengontrol kekuasan di wilayah. Jadi Lukas Enembe yang awalnya menolak pemekaran DOB berubah menjadi mendukung alias penghianat rakyat. Karena tidak bekerja dengan jujur dan dengar-dengaran serta tidak takut akan Tuhan sebagaimana yang dinubuatkan Pdt. Isac Samuel Kijne.
Sehingga dia (Enembe) kemungkinan tidak akan berpindah dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lainnya. Melainkan dia hanya dapat lolos dari jebakan yang satu ke jebakan yang lain dengan cara menghianati suara rakyat. Dan hal itu hanya akan bertahan selama kekuasannya di wilayah masih kuat. Setelah kekuasannya menipis, dia akan ditangkap KPK sebagaimana Barnabas Suebu. Karena bayaran yang setimpal bagi penghianat adalah dipenjarakan, dan Suebu telah merasakannya. Semoga Lukas Enembe juga.
***
vox populi vox dei
Suara Rakyat, suara Tuhan Pasti akan terkenal Karma Pak Enembe.