Editorial Bagaimana Eksistensi Masyarakat Adat Saat Ini?

Bagaimana Eksistensi Masyarakat Adat Saat Ini?

-

Sejarah manusia dimulai sejak tiga juta tahun lalu. Melalui proses evolusi dari primata menjadi manusia (homo sapiens). Dari kehidupan yang paling sederhana (tribal) hingga modern. Dari hanya sekelompok kecil yang hidup dengan cara berpindah-pindah (nomaden) menjadi kelompok besar yang menetap di suatu wilayah yang hingga manusia membentuk negara saat ini. Evolusi dari pola hidup nomaden ke masyarakat modern terjadi dalam waktu yang sangat lama, melebihi perkembangan era modern yang terjadi relatif singkat.

Manusia awalnya bermodalkan insting untuk bertahan hidup. Perilaku sehari-harinya hanya mencari makan di waktu siang dan kembali ke tempatnya pada malam. Setelah mengenal sistem keluarga, manusia melepaskan diri dari kelompok besar dan membuat kelompok yang lebih kecil. Dari keluarga manusia menemukan sistem pertanian untuk merubah pola perburuhan dan meramu hingga membuat persenjataan. Perubahan ini terjadi kurun waktu ribuan tahun.

Menurut Lewis Hendri Morgan[1] (1818-1881) pakar antropologi dari Amerika, perkembangan tersebut diklasifikasikan ke dalam delapan tingkatan. Pertama, zaman liar tua, zaman sejak ada adanya manusia sampai ia menemukan api. Meramu mencari akar-akaran dan tumbuh-tumbuhan. Kedua, zaman liar madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api sampai ia menemukan senjata busur panah, sehingga merubah mata pencarian dari meramu menjadi pencari ikan di sungai dan berburu. Ketiga, zaman liar muda, sejak manusia menemukan busur panah sampai kepandaian membuat barang-barang tembikar, masih berburu. Keempat, zaman barbar tua, sejak menemukan kepandaian membuat tembikar sampai mulai berternak dan bercocok tanam. Kelima, zaman barbar madya, sejak manusia berternak dan bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda logam. Keenam, zaman barbar muda, sejak kepandaian membuat benda logam sampai mengenal tulisan. Ketujuh, zaman peradaban purba (civilstation). Terakhir adalah zaman peradaban masa kini.

Sedangkan menurut pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan, Karl Marx[2] (1818-1883) menjelaskan perkembangan masyarakat yang lebih kompleks ke dalam komunisme primitif (masyarakat komunal), masyarakat kelas, masyarakat budak, masyarakat feodal (feodalisme), masyarakat kapitalis, menuju kepada masyarakat sosialis. Dengan dengan berpegang teguh kepada filsafat materialismenya, Karl Marx menjelaskan setiap perkembangan di dalam masyarakat tersebut terjadi dengan waktu yang sangat lama dan adanya kontradiksi sosial di setiap akhir perkembangan sebelum berubah kepada perkembangan selanjutnya.

Berbeda dengan Morgan dan Marx, Elman Service[3] persingkat ke dalam empat kategori perkembangan masyarakat, sesuai peningkatan ukuran populasi, sentralisasi politik, dan stratifikasi sosial. Menurutnya terdapat manusia kawanan (band), suku (tribe), kedatuan (chiefdom), dan negara (state). Elman menjelaskan, masyarakat kawanan adalah bentuk masyarakat tradisional yang paling kecil, yang terdiri atas beberapa lusin individu saja, yang lebih kepada sekelompok keluarga dekat, misalnya suami, istri, anak, istri dari anak, cucu, sepupu dan sebagainya. Sedangkan tipe yang lebih besar adalah suku yang terdiri dari satu kelompok lokal beranggotakan ratusan individu. Suku memiliki ciri saling mengenal antara individu sehingga belum ada istilah orang asing.

Perkembangan selanjutnya menunjukan tingkat kerumitan organisasi yaitu, kedatuan, sudah terdiri dari ribuan individu. Kedatuan mulai terdapat adanya spesialisasi ekonomi, membutuhkan produktivitas makanan yang tinggi, dan kemampuan menghasilkan serta menyimpan kelebihan pangan, untuk diberikan kepada para spesialis, misalnya datu atau birokrat, era kedatuan itu sendiri munculnya desa-desa yang dipimpin oleh datu yang adalah individu titisan dewa, dan ciri-ciri serupa. Menurut para ahli arkeologi kedatuan mulai muncul sekitar 5500 SM, dengan bukti-bukti yang menyertai seperti bangunan monumental, pemakaman sejumlah jenazah dengan benda-benda mewah, dan sebagainya.

Selanjutnya adalah negara. Negara sebagai suatu kemajuan terkini dari perkembangan masyarakat manusia hari ini (modernitas), yang memiliki ciri jumlah individu dalam negara yang menjangkau ratusan juta, atau seperti Tiongkok dan India yang mencapai milyaran jumlah penduduk, dimana memungkinkan para penduduk untuk tidak saling mengenal satu dengan yang lain. Negara dilengkapi dengan sistem yang rumit dan lebih kompleks.

Namun demikian masyarakat tradisional tidak hilang dalam perkembangan manusia sejak zaman liar tua hingga peradaban masa kini, atau era komunisme primitif hingga kapitalisme, atau era kawanan hingga kepada negara saat ini. Itu disebabkan kemajuan antara masyarakat di berbagai benua tidak terjadi secara bersamaan walaupun umumnya memiliki ciri perkembangan yang sama. Ini terungkap dalam buku berjudul The Word Until Yesterday (Dunia Hingga Kemarin), penulis Jared Diamond[4] yang meneliti 39 masyarakat tradisional di seluruh dunia dan membandingkannya dengan setiap perkembangan modern saat ini.

Diamond menemukan suatu fakta tentang keberadaaan masyarakat yang hidup secara tradisional di berbagai belahan dunia dengan mempertahankan nilai-nilai tradisional hingga saat ini. Mereka itu telah terkapitalisasi ke dalam negara-negara modern yang memiliki bentuk yang sama dengan negara-negara Eropa dan Amerika, namun masih tetap berada kedalam kategori masyarakat tradisional (suku) dengan segala nilai-nilai yang berbeda dengan masyarakat modern. Seperti misalnya masyarakat pegunungan di Papua New Guinea (PNG), masyarakat Baliem dan Lani (Papua), masyarakat Indiana Pume di Venezuela, India Yahi di Kalifornia, Mozambik, Uganda, Indiana Piraha di Brazil, Indian Yanomamo di Venezuela, Inuit di Alaska, Nuer Sudan, hutan Khatulistiwa Afrika, Indiana Ache di Paraguay, Pulau Luzon di Filipina, Kepulauwan Andama di Teluk Benggala, Aborigin di Australia.

Keberadaan masyarakat yang hidup secara sederhana dengan kekhasan budaya itu pertama kali ditemukan Colombus pada 1492. Colombus menemukan masyarakat bukan Eropa yang masih hidup secara tradisional di berbagai penjuru dunia saat Eropa, sebagian Amerika, sebagian Afrika, dan Asia, telah memiliki negara-negara modern dan segala keunggulan sistemnya. Pelayaran Eropa selanjutnya memperkenalkan kebudayaan modern bangsa Eropa melalui praktek imperialisme dan kolonialisme di seluruh dunia. Praktek itu terjadi selama ratusan tahun sebelum berakhir pada Perang Dunia ke II tahun 1945. Imperialis Eropa dan Amerika bersepakat untuk memerdekan wilayah-wilayah jajahan secara independen. Sedangkan masyarakat tradisional yang terdiri dari suku-suku terkapitalisasi ke dalam sistem negara modern.

Masyarakat tradisional dipaksa untuk mengakui pemerintah dan negara modern sebagai kekuasaan tertinggi atas mereka. Para pimpinan masyarakat tradisional yang biasa sebagai sentral yang mengarahkan, mempertahankan teguh nilai-nilai tradisional selama ribuan tahun tergeser perannya dengan kepimpinan modern yang kompleks dan rumit dipahami karena berbeda dengan sistem tradisional mereka. Pergeseran budaya juga perubahan orientasi ekonomi dan politik negara menjadikan masyarakat tradisional menjadi terancam eksistensinya.

Negara mengatur semua kehidupan mereka, seolah-olah apa yang dikeluarkan negara adalah sah dan benar sehingga harus dipatuhi. Negara mengklaim batas-batas penjajahan Eropa atau Amerika menjadi milik sah negara. Masyarakat dipaksa untuk melepaskan tanah mereka kepada negara dan merubah pola kehidupan mereka yang tergantung terhadap wilayah mereka itu. Seperti keseluruhan tanah Papua yang dibagi oleh Belanda bagian barat (kini Papua), sedangkan untuk Jerman, dan Inggris wilayah Papua timur kini menjadi Papua New Guinea. Keseluruhan negara Afrika juga dibentuk berdasarkan pengalaman dan basis teritorial jajahan Eropa.

Tantangan lain yang harus diterima oleh masyarakat tradisional adalah sifat negara yang cenderung memaksakan kebijakan pada masyarakat.  Baik dengan berbagai aturan perundang-undangan yang membatasi masyarakat, hingga kebijakan-kebijakan pembangunan yang cenderung eksploitatif. Negara bahkan tidak segan menggunakan kekerasan (represifitas) untuk menindak masyarakat yang memperjuangkan hak-hak kulturlnya sebagai suatu bangsa yang telah ada jauh sebelum kehadiran negara.

Pengakuan Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat

Perkembangan masyarakat tradisional dengan segala tantangan dan persoalan itu mendapat perhatian serius oleh banyak negara dan berbagai komunitas internasional. Dan untuk mengidentifikasi siapa dan bagaimana kehidupan suatu masyarakat tradisional dalam komunitasnya itu oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diidentifikasi tentang siapa dan bagaimana masyarakat ini hidup. Menurut United Nation Ekonomic and Social Council (Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa) mereka disebut masyarakat adat atau tradisional, adalah suku-suku dan bangsa, yang karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelumnya, menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka.

Senada dengan PBB, James Anaya[5] seorang peneliti tentang masyarakat adat, mendefinisikan masyarakat adat adalah indigeneous karena akar turun temurun kehidupan mereka menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dengan tanah dan wilayah di mana mereka huni, atau akan huni (dalam arti kembali ke wilayah setelah mengalami peminggiran atau pengusiran paksa). Mereka juga disebut peoples dalam arti mereka merupakan komunitas yang unik dengan eksistensi dan identitas mereka yang berkelanjutan secara turun-temurun, yang menghubungkan mereka dengan komunitas, suku, atau bangsa dari sejarah masa lampaunya[6].

Sampai 1989 International Labour Organization (ILO) secara serius mendorong perlindungan kepada masyarakat adat melalui konvensi 169 tahun 1989 dengan tahapan perlindungan serta advokasi terhadap masyarakat adat. Dalam konvensi tersebut, ILO tidak membuat definisi pasti tentang masyarakat adat, tetapi memberikan gambaran praktis tentang siapa itu masyarakat adat yang dimaksud. Antara lain elemen-elemen masyarakat, tentang gaya hidup tradisional, kebudayan dan arah hidup berbeda dari masyarakat nasional, misalnya dalam hal penghidupan, bahasa, adat dan sebagainya. Elemen-elemen penduduk asli, gaya hidup tradisional, kebudayaan dan cara hidup yang berbeda dari populasi nasional, memiliki organsiasi sosial dan lembaga politik, hidup dalam sejarah berkelanjutan dalam daerah tertentu[7]. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Kongres I tahun 1999, mendefinisikan masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah, dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Berbagai definisi komunitas masyarakat adat atau masyarakat tradisional ini adalah upaya mengidentifikasi masyarakat asli di seluruh bagian bumi yang telah hidup dan berkembang dengan caranya sendiri. Identifikasi ini menjadi penting selain sebagai data tentang peradaban manusia yang terjadi di setiap belahan dunia berbeda, juga sebagai upaya pelestarian terhadap eksistensi mereka, sekaligus sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia yang terus diperjuangan selama ini, dimana dalam perjuangannya masyarakat adat selalu menjadi komunitas yang rentan terhadap ketidakadilan karena perampasan hak-hak mereka.

Hukum Internasional dan Hak-Hak Masyarakat Adat

Pengakuan PBB terhadap masyarakat adat adalah kesatuan dari usaha panjang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) secara umum. Dimana perjuangan manusia untuk penegakan HAM sudah sejak zaman Magna Carta tahun1215 (abad pencerahan) terus hingga puncaknya pada Perang Dunia I dan II yang meninggalkan trauma mendalam seluruh umat manusia. Tidak dipungkiri upaya ini melibatkan berbagai tokoh di setiap masa, dan juga kontribusi berbagai aliran agama tentang pentingnya saling mengasihi dan menghargai.

Dalam buku Hak-Hak Masyarakat Adat dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, ditulis Rafael Edi Baskoro, perbincangan tentang masyarakat adat bahkan baru muncul pada Konferensi Berlin 1884-1885, dengan menggunakan istilah populasi adat (indigenous populations) tetapi konsepnya berbeda dengan apa yang kita pahami sekarang ini. Sebab istilah tersebut masih dipakai hanya untuk mengidentifikasikan penduduk asli di Afrika yang masih di bawah kekuasaan kekuatan kolonial besar (great powers), untuk membedakan dari warga negara atau penduduk dari bangsa-bangsa. Menurutnya baru sampai di akhir Perang Dunia I, dikembangkannya sebuah doktrin berdasarkan “perwalian” (truusteeship). Yang dipraktekan dalam Liga Bangsa-Bangsa. Pasal 22 dari Konvenan Liga Bangsa-Bangsa mengatur tentang “Bangsa yang belum mampu untuk berdiri sendiri di tengah kondisi dunia modern yang berat” dan “melihat dalam ketentraman dan perkembangan mereka sebuah peradaban leluhur”.

Hingga deklarasi Universal HAM pada 1948 dan mendorong negara-negara dunia untuk mengakuinya sekaligus mengadopsi ke dalam sistem hukum nasional masing-masing. Sekaligus menjadi rambu-rambu kepada berbagai negara dengan kepentingannya, juga negara berbagai pandangan ideologi, untuk saling menghormati batasan, terhadap HAM umat manusia. Bahkan belum secara jelas memberikan gambaran tentang masyarakat adat dan upaya melindungi serta menghormati hak-hak mereka sebagai sebuah entitas manusia. Pada tahun 1971 PBB membentuk sub komisi CHR, yaitu sub-komisi untuk pencegahan diskriminasi dan perlindungan kaum minoritas atau Sub-Commissions on Prevention of Discrimination and protection of Minorities, yang kini bernama Sub commission on Protection and Promotion of Human Rights.  Dimana menurut Rafael Edi Baskoro hasil studi dari komisi ini berupa laporan multi volume oleh pelapor khusus Jose Martines Cobo[8]. Studi tersebut mengambil data tentang masyarakat adat di seluruh dunia. Setelah itu studi Jose Martines Cobo ini, memiliki dampak bagi kebijakan protektif PBB terkait masyarakat kedepannya.

Pada tahun 1989 ILO dalam konferensi Internasionalnya mengambil keputusan tertinggi, yaitu mengadopsi konvensi No. 169, tentang masyarakat adat dan kesukuan di negara-negara merdeka (Indegenous and Tribal Peoples In Independn Countries). Konferensi ini sekaligus menjadi keputusan penting ILO terkait dengan perjuangannya tentang buruh dan masyarakat adat sejak 1920, sekaligus konferensi ILO 169 itu menyempurnakan Konvensi 107 tahun 1957 yang belum secara spesifik mampu proteksi kepada masyarakat adat yang notabe berada dalam sistem negara modern dan merdeka. Walaupun demikian proses implementasi ILO 196 baru bisa berjalan pada 5 September 1991, selanjutnya pada 23 Desember 1994 PBB mengeluarkan resolusi 49/214 bahwa Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia harus diperingati pada 9 Agustus setiap tahun. Tanggal tersebut adalah pertemuan pertama di tahun 1982 kelompok kerja PBB untuk masyarakat adat[9]. Tahun 1998 baru dirativikasi oleh 13 negara. Hingga hari ini konvensi ILO 169 menjadi salah instrumen hukum penting bagi masyarakat adat di berbagai belahan dunia karena menjadi pijakan kuat secara hukum untuk usaha mempertahankan hak-hak mereka.

Pada akhirnya tahun 2007 PBB membuat satu lagi keputusan penting, yaitu deklarasi universal hak asasi manusia untuk perlindungan masyarakat adat atau United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous People. Yang mana diiungkapkan oleh Abdon Nababan[10] dalam sambutan buku saku AMAN, bahwa perjuangan melalui tim perumusan drafnya telah dilakukan 1994 dan baru menyerahkan hasilnya ke PBB tentang HAM PBB pada Februari 2006. Tepatnya pada 29 Juni 2006, persidangan pertama Dewan HAM PBB di Jenewa mengadopsi Deklarasi ini dengan suara mendukung 30 negara, abstain 12 negara dan tidak mendukung 2 negara yaitu Kanada dan Rusia. Deklarasi ini kemudian dibahas dan disahkan dalam Sidang Umum PBB di New York pada 13 September 2007 dengan suara pendukung 144 negara, abstain 11 negara dan tidak mendukung 4 negara yaitu Kanada, AS, Australia, Selandia Baru, serta tidak hadir 30 negara. Menurut Abdon Nababan, Indonesia adalah negara yang konsisten mendukung pengesahan deklarasi ini, baik di Sidang Dewan HAM maupun di Sidang Umum PBB.

Deklarasi ini sekaligus adalah komitmen PBB tentang penegakan HAM secara fokus dapat dilakukan kepada bagian-bagian masyarakat yang benar-benar mengalami ancaman kemanusiaan. Seperti kemajuan hukum secara internasional yang dilakukan ILO pada konvensi 169. PBB dengan kemajuan dan berbagai rintangannya hingga mendeklarasikan hak masyarakat adat secara spesifik, bagaimana hak kolektif menentukan nasib sendiri, hak atas tanah, hak menentukan mode dan bentuk-bentuk pembangunan, dan berbagai hak fundamental lainya.

Dengan proses panjang nan melelahkan tersebut, pencapaian lembaga penegakan HAM ini adalah sebuah usaha yang harus diapresiasi masyarakat dunia karena kerja keras untuk memperjuangkan HAM masyarakat adat, di antara bangsa-bangsa yang notabe miliki latar belakang kepentingan ekonomi, politik, bahkan juga budaya sejak masa kolonialisme, dan berubah menjadi negara-negara kapitalis dan imperialisme sekarang ini. PBB dan ILO mampu untuk mendesak negara-negara dunia untuk melihat HAM sebagai sebuah syarat penting dalam menjalankan aktivitas ekonomi maupun politiknya. Sehingga yang terjadi adalah, banyak negara yang telah meratifikasi dan berkomitmen untuk penegakan HAM. Sedangkan  negara-negara yang hingga kini belum bisa menerima keputusan hukum Internasional itu, akan menjadi persoalan tersendiri bagi agenda ekonomi mereka bersifat multilateral maupun bilateral karena menjadi pertimbangan tersendiri negara penegak HAM dunia.

Hak Masyarakat Adat di Indonesia

Negara yang merdeka 17 Agustus 1945 silam ini memiliki keberagaman suku bangsa, adat-istiadat, ras bahkan juga agama. Untuk menjamin itu foundnding fathers nya telah merumuskan sebuah konstitusi bernama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), Pancasila sebagai pandangan untuk mengamalkannya. Sehingga tidak ada kediktatoran, memberi rasa keadilan, tanpa kemiskinan, dan tanpa pelanggaran HAM. Itupun jika UUD 45 dan Pancasila sungguh-sungguh diamalkan. Faktanya Indonesia adalah negara dengan tingkat kesanjangan sosial yang tinggi, persoalan pelanggaran HAM tinggi, baik di era Presiden Soekarno (1945-1965) maupun Soehato (1966-1998).

Tidak banyak peraturan memberikan jaminan tentang masa depan bagi masyarakat adat. Padahal masyarakat adat adalah komunitas utama yang tersebar di seluruh nusantara dari Sabang sampai Merauke. Diketahui bahwa total jumlah masyarakat adat di Indonesia (termasuk Papua) mencapai 70 juta jiwa[11]. Kesejahteraan sebagai tujuan utama negara bangsa Indonesia ini justru dianulir oleh kekuasaan korup dan tidak konsisten dengan berbagai peraturan.

Sehingga masyarakat adat yang memiliki keberadaan, basis utama di pedesaan (kampung) terpaksa berubah dengan meninggalkan pedesaan untuk mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak di perkotaan (urbanisasi). Karena kemiskinan, ketertinggalan, identik desa atau kampung-kampung, diperparah dengan semakin maraknya perusahaan yang masuk untuk menguasai wilayah adat membuat mereka semakin tidak berdaya.

Banyak peraturan perlindungan masyarakat adat di pedesaan (kampung), misalnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sebelum akhirnya mendapat dukungan melalui amandemen kedua konstitusi UUD 1945 Pasal 18 b disebutkan “Negara mengakui dan menghormati eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisional yang dimilikinya” dan Pasal 28. I disebutkan “Negara menghormati identitas budaya dan hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus mendapat perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan dari negara”.

Soeharto jatuh pada 1998 menjadi momentum reformasi bagi negara ini. Dengan melakukan pembenahan pada berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara melalui amandemen UUD 45, perubahan Undang-Undang Pemerintah Daerah No. 32 Tahun 1999, Undang-Undang HAM Nasional No. 39 Tahun 1999, diikuti Undang-Undang Pengadilan HAM, bahkan Indonesia ikut meratifikasi berbagai kovenan HAM internasional, yang mana hal itu tidak mungkin dilakukan di era Orde Baru. Sejak itu Indonesia dinilai oleh banyak negara menjadi cukup ramah terhadap penegakan HAM, walau pendapat itu dibantah masyarakat adat sendiri, melalui organisasi masyarakat adat terbesar yakni AMAN yang masih mengusahakan pengakuan melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang macet bertahun-tahun di badan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

***

Tulisan ini sebagai sebuah pengantar dalam rangka peringati Hari Masyarakat Adat Internasional 9 Agustus 2022.

Referensi:

[1] Lihat Handro Yonathan Lekito “Potret Manusia Pohon” 99-100: 2012

[2]Lihat Ted Sprague“Mengenal dasar-dasar filsafat Marxisme bagian II. Materialisme Historis”1-7: 2012.

[3]Lihat Jared Diamond “The Until Yesterday (dunia hingga kemarin)” 16: 2017

[4] Di tulisa oleh Jared Diamond, profesor geografi asal Universitas of California

[5]Lihat Rafael Wdy Baskoro “Hak-hak Masyarkat Adat dalam konteks pengelolaan Sumber daya alam” 5-6: 2006

[6]Rafel Edy Baskoro;2006;5

[7]LihatKonferensi ILO 196 Tahun 1989 Mengenai Masyarakat Hukum Adat: Sebuah Panduan.

[8]Jose Martines Cobo, Study of the Problem of Discrimination againts Indigenous Populatin, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7&Adds.1-4

[9] https://tirto.id/hari-masyarakat-adat-internasional-9-agustus-2021-sejarah-dan-tema-gisW

[10]Sekretaris Jenderal AMAN

[11] http://ditjenppi.menlhk.go.id/dari-media/339-peran-masyarakat-adat-dalam-penanggulangan-dampak-perubahan-iklim.html#:~:text=Saat%20ini%20jumlah%20masyarakat%20adat,dalam%20lebih%20dari%201.100%20suku.

Sumber Buku:

Bosko, R. E. (2006). Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta: ELSAM.

Diamond, J. (2017). The World Until Yesterday (Dunia Hingga Kemarin). Jakarta:KepustakaanPopluer Gramedia.

Mulyanto, Dede. (2012). Geneologi Kapitalisme, Antropologi dan EKonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik. Jogjakarta: Resist Book.

H.Y Lekito. (2012). Manusia Pohon.

Buku saku Undang-Undang Dasar 1945

Deklarasi PBB Tentang Hak-hak Masyarakat Adat

Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Kompilasi Instrumen Hak Asasi Manusia yang diterbitkan ELSAM/PBI

Tulisan Mengenal Filsafat Dasar Marxisme yang ditulis oleh Ted Sprague

Yason Ngelia
Penulis adalah aktivis Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) dan Pengasuh Rubrik Analisa Harian.

1 KOMENTAR

  1. Puji Dan sykur saya panjatkan kehadirat Tuhan….saya melihat Dan melihat membaca sebagian Dari coretan ini pikiran dan pun terbangun Oleh sebab itu tulisan ini amat sangat bermanfaat untuk perkembangan pengetahuan manusia papua.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan