Catatan dari Kampung Narasi Ketimpangan di Pasar Papua

Narasi Ketimpangan di Pasar Papua

-

Pertengahan November 2021, saya menginjakkan kaki di Pasar Ransiki, Kabupaten Manokwari Selatan. Jalan masuk menuju pasar dipenuhi oleh ojek-ojek menggunakan helm kuning yang parkir rapi di pinggiran jalan. Masuk menuju ke dalam pasar, pandangan kita akan tertuju pada jejeran hasil bumi mama-mama Papua yang dijual beralasan karung putih. Kios-kios di belakangnya adalah jejeran penjual dari para migran yang mengadu nasib di seantero tanah Papua.

Ini adalah pandangan jamak jika melihat pasar sebagai barometer perekonomian di sebagian besar tanah Papua. Inilah wajah dan narasi ketimpangan yang membutuhkan penjelasan lebih dalam. Apa yang sebenarnya terjadi? Tampak luar kita melihat narasi ketimpangan yang nyata. Jika lebih mendalaminya, kita akan menemukan sumber permasalahan struktural yang mengakar kuat. Saya tidak mengetahuinya secara mendalam jawabannya. Sangat perlu perhatian serius untuk memahami nalar ekonomi Papua di tengah desakan ekonomi global.

“Begitu-begitu sudah” ungkapan pasrah kepada situasi stagnan tanpa perubahan di Papua. Stagnasi ketimpangan vulgar itu kita lihat di pasar-pasar Papua. Sektor perekonomian dengan gamblang kita lihat “dikuasai” oleh para migran. Tapi yang pasti, sumber-sumber produksi ekonomi tidak penuh menjadi kedaulatan rakyat Papua. Basis-basis sumber ekonomi rakyat Papua yang subsisten sudah goyah dengan sistem ekonomi kapitalistik. Semuanya diangkut oleh hadirnya investasi yang mengeruk sumber daya alam Papua.

Ransiki dan Sanggeng: Narasi Ketimpangan?

Sebagian besar mama-mama berjualan di lapak Pasar Ransiki, Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat. Foto: I Ngurah Suryawan.

Foto ini saya ambil di Pasar Ransiki, suatu pagi pada 26 November 2021. Setiba, saya ingat foto yang nyaris sama dipublikasikan Majalah Suara Papua sekitar tahun 1970-1980 yang diterbitkan oleh sebuah organisasi Papua di Belanda. Nyaris tidak ada banyak perbedaan kedua foto ini 1940an tahun lebih.

Seperti biasanya kondisi pasar-pasar tradisional di Papua adalah didominasi oleh para migran yang menguasai kios-kios. Di sisi yang lain mama-mama Papua menggelar dagangan hasil bumi di lantai pasar. Lokasi pasar saat itu banyak jalan-jalan yang rusak. Para mama-mama di Pasar Kenangan sebenarnya telah dibangunkan pasar khusus untuk mereka menggelar dagangan hasil bumi yang mereka bawa dari kampung-kampung di sekitar Ransiki dan kampung di pegunungan. Saat itu, saya melihat mama-mama berjualan buah-buahan seperti langsat, jeruk, rambutan. Ada juga aneka jenis sayuran dan bawang, tomat, rica, dan hasil kebun lainnya.

Para migran menyewa kios-kios yang berada di sekeliling pasar. Keseluruhan dari mereka adalah para migran yang lahir dan besar di Ransiki atau baru beberapa tahun mengadu nasib di Ransiki. Para migran yang berjualan di kios-kios ini adalah para pedagang yang bermodal besar yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari dari berbagai macam jenis. Di samping itu tidak ketinggalan adalah warung makan berbagai jenis mulai lalapan, bakso, soto, nasi goreng, nasi campur, dan berbagai macam makanan lainnya. Tidak ada satupun warung masakan Papua.

Warung makanan juga banyak tersedia di Pasar Ransiki. Salah satunya adalah warung nasi “SM” ini dimiliki oleh seorang migran bernama Haji JB yang sudah hampir 15 tahun tinggal di Ransiki. Dengan berjualan nasi campur juga ia berhasil naik haji dan menyekolahkan anak-anaknya di kampung halaman. Ia juga berhasil mengajak saudara-saudaranya di kampung halamannya untuk mengadu nasib di Ransiki. Saat saya menengok ke belakang warung, ada dua pegawai Pak Haji JB sedang mencuci piring dan memasak nasi dan sayur. Seorang pegawai warung nasi yang saya temui mengaku sudah hampir satu tahun sejak Februari 2013 berada di Manokwari. Sebelumnya ia sempat bekerja lama di Oransbari sebagai pelayan warung makan. Merasa tidak betah, akhirnya ia diajak oleh Haji JB yang mengetahui dia menganggur dan tidak memiliki pekerjaan lagi.

Jalan masuk menuju pasar, terdapat penjual sandang (baju-baju) dari para migran. Di depannya ada pos penjaga pasar yang digunakan sebagai pangkalan untuk ojek-ojek menunggu penumpang. Deretan motor-motor ojek parkir rapi di depan pasar menunggu penumpang. Selanjutnya adalah deretan kios berbagai jenis hingga saya melihat satu lapak penjual VCD (Video Compact Disk) bajakan lagu-lagu dangdut.

Narasi tidak jauh berbeda terjadi di Pasar Sanggeng, Kota Manokwari, Papua Barat. Pada suatu sore di bulan September 2009 saya melihat sebuah “garis pembatas” yang jelas. Banyak kesan, kisah, dan kompleksitas yang dapat saya tangkap. Pasar Sanggeng berada di pinggiran pantai, dimana pasar ikan menjadi satu di dalamnya. Memasuki ruas jalan Pasar Sanggeng dari jalan umum, saya sudah disapa dengan tawa mama-mama yang menggelar dagangan hasil buminya. Berjejer mama-mama berdagang dengan alas plastik dan koran yang mulai basah. Beragam hasil bumi dijual hanya beralas koran atau karung, mulai berbagai jenis sayur, cabai, ubi kayu, pisang. Berbagai hasil bumi ini dijual dengan cara mengelompokkannya atau dengan diikat. Cabai yang sudah dikelompokkan dan sayur yang telah dikat dijual dengan harga Rp. 5000-Rp. 10000. Ubi kayu dan rambutan juga dijual dalam bentuk ikatan-ikatan.

Sebagian besar mama-mama berjualan di lapak Pasar Ransiki, Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat. Foto: I Ngurah Suryawan.
Sebagian besar mama-mama berjualan di lapak Pasar Ransiki, Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat. Foto: I Ngurah Suryawan.

Sore itu suasana pasar sangat ramai. Mama-mama Papua berjualan bergelar karung dan koran, tepat berada di depan kios-kios triplek yang disewa untuk pedagang yang sepertinya berasal bukan dari Papua. Saya melihat baru memasuki Pasang Sanggeng, di kios triplek semi permanen adalah pejual gorengan, di sebelahnya adalah penjual mie ayam dan soto ayam. Berseberangan jalan adalah pedagang- pedagang baju, VCD dan DVD bajakan yang juga didominasi oleh para pedagang pendatang. Di ujung pasar adalah pasar ikan dan terminal angkutan kota. Bersebelahan dengan Pasang Sanggeng, terdapat pasang tingkat, yang sering disebut Pasting (Pasar Tingkat) tiga lantai yang didominasi oleh para pedagang pendatang berjualan berbagai jenis pakaian, peralatan elektronik, VCD dan DVD bajakan. Saya juga melihat beberapa sudut pasar yang didominasi oleh tukang cukur dan penjual emas di lantai dasar Pasar Tingkat Sanggeng.

Jalan menyusuri pasar Sanggeng masih berupa tanah sehingga ketika musim hujan, seperti saat saya datang, air menggenang dimana-mana. Langkah saya kemudian menuju pasar ikan. Seikat ikan berisi 4 ekor ikan kecil-kecil dijual seharga Rp. 30.000. Suasana sore itu gaduh sekali. Perahu-perahu yang bersandar tampak sibuk menurunkan banyak ember-ember ikan. Saat si nelayan bersiap menurunkan hasil tangkapannya, para pedagang yang sudah tampak menunggu lama di pinggiran pantai berebut untuk mendapatkannya. Di ujung dalam pasar adalah terminal angkutan kota.

Kembali ke narasi ketimpangan di tanah Papua, kita perlu memahaminya secara mendalam. Di dalamnya, silang-sengkarut akumulasi sistem ekonomi yang kapitalistik selalu akan membayangi. Pertanyaannya, bagaimana ekonomi mama-mama ini bisa berkembang di tengah sistem ekonomi yang kapitalistik yang merambah Papua sekarang ini? Bisakah ekonomi mama-mama Papua tersebut beradaptasi dengan perubahan tersebut? Atau malah kita perlu menciptakan ekonomi alternatif mama-mama Papua? Ujungnya adalah apakah narasi ketimpangan tersebut bisa disudahi dan bagaimana caranya?

***

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Apabila Prabowo jadi Presiden

Selalu ada jejak yang ditinggalkan saat diskusi walau diskusinya bebas, pasti ada dialektikanya. Walau seminggu lebih sudah berlalu, namun ada...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan