Siapa yang tidak kenal dengan dia? Imam, misiolog lulusan Roma, anggota Pax Christy Asia Pasific, kordinator Jaringan Damai Papua (JDP), penulis cemerlang, sosok yang humanis dan humoris serta pejuang kemanusiaan terkemuka dari Papua, Pater Dr. Neles Kebadabi Tebai, Pr. Nama “Kebadabi” diberikan oleh keluarganya dalam bahasa suku Mee di Papua saat tabisan imamatnya, yang berarti pembuka jalan atau pembuka pintu.
Nama “Kebadabi” ini menjadi motto tabisannya, sebab saat itu tidak ada ayat dalam kitab suci khusus yang menjadi favoritnya atau menyentuhnya. Pater Neles selalu percaya bahwa dalam beberapa hal spirit nama adat ini nampak. Semisal ia menjadi Imam Papua pertama yang sekolah di Roma, kemudian setelahnya banyak imam Papua lainnya. Ia juga menjadi Imam Katolik Papua pertama yang berhasil mengantongi gelar Doktor.
Imam kelahiran Godide pada 13 Februari 1964 yang pernah menerima pengahargaan Tjii Haksoon dan Peace Word pada 13 Maret 2013 di Seoul, Korea Selatan ini merupakan intelektual terkemuka dari Papua.
Pater menghabiskan hampir seluruh hidupnya bagi almaternya (23 tahun masa imamat), Sekolah Tinggi Teologi Filsafat “Fajar Timur” (STFT) Abepura dan tanah airnya, Papua. Ia memfokuskan seluruh jasa dan tenaganya bagi perjuangan Papua untuk Papua menjadi “Tanah Damai”.
Melalui JDP yang ia dirikan bersama rekan-rekannya pada 2009, Pater Neles mendedikasikan hidupnya bagi perjuangan perdamaian di tanah Papua melalui dialog damai antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia.
Pater Neles tidak tangung-tangung masuk keluar hutan, naik turun gunung, menyusuri sungai dan lautan hanya untuk mempertemukan pihak-pihak yang selama ini bergejolak di Papua. Ia pun mendekati semua pejabat publik baik di Papua maupun di luar Papua mulai dari pucuk pimpinan sampai bawahan.
Semua ini beliau lakukan agar semua pihak yang menjadi aktor dalam konflik Jakarta-Papua atau Papua-Jakarta yang sudah berlangsung lama, mendalam, dan menyeluruh itu bisa diselesaikan dengan cara-cara yang damai, humanis dan ahimsa (non violence atau tanpa kekerasan).
Puncak dari perjuangan Pater Neles adalah ketika beliau ditunjuk oleh Presiden Jokowi sebagai Kordintaor Dialog Jakarta-Papua dari pihak Papua dan Dr. Muriddan Widjojo sebagai kordinator untuk pihak Jakarta. Keduanya ditugaskan untuk menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses, tahapan, dan mekanisme dialog Jakarta-Papua. Di tengah-tengah kesibukannya itu beliau jatuh sakit kanker tulang belakang.
Pada Minggu, 14 April pukul 12.15 WIB ketika umatnya mengarak Kristus sebagai Raja di Yerusalem, Pater Neles tutup usia di ruang ICU lantai 3 Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta pada usia 55 tahun.
Sepenggal gambaran tentang sosok Pater Neles ini mau menunjukkan bahwa Pater Neles merupakan sosok yang mau agar Papua itu bukan manjadi daerah konflik dan medan operasi militer tetapi sebaliknya Papua menjadi Tanah yang damai dan sarana yang Pater Neles tawarkan adalah Dialog Damai.
Sebelum kita membaca lebih dalam pada inti pembahasan tulisan ini alangkah baiknya kita melihat lebih dekat apa itu perjuangan dialog damai yang konsisten diperjuangkan oleh Pater Neles Tebai? Sebab hampir semua orang Papua dan Pemerintah Indonesia belum cukup paham dengan konsep dan mekanisme dialog damai yang ditawarkan oleh Pater Neles. Bahkan kerapkali Pater Neles dicurigai baik dari dan oleh orang Papua juga pemerintah Indonesia.
Dari orang Papua sendiri, terlebih mereka yang kontra dengan sistem “NKRI Harga Mati” atau pihak-pihak yang pro dengan perjuangan Papua merdeka acapkali Pater Neles dicap sebagai Pastor Mata-Mata dari pihak Indonesia. Sedanglan dari pihak Pemerintah Indoensia (Jakarta) Pater Neles dicurigai sebagai “Pastor Pejuang Papua merdeka”.
Prasangka yang serupa juga dilabeli kepada Dr. Muriiddan Widjojo (almarhum) sahabat karib Pater Neles, kordintaor JDP untuk Jakarta dan peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoneisa (LIPI) yang mengedit buku Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future (Jakarta, 2009).
Lika-Liku Perjuangan Dialog Damai: Bak Merebus Batu?
Pertama, ada dua hal penting yang hemat penulis perlu dipahami baik oleh kedua belah pihak, baik Papua maupun Jakarta.
Dialog bukan tujuan tapi sarana. Banyak orang baik dari pihak Papua dan Jakarta melihat dialog ini sebagai tujuan atau tepatnya solusi atas konflik Jakarta-Papua. Pihak Papua mengira jika berdialog pasti Papua akan merdeka, sementara dari pihak Jakarta mereka mengira bahwa jika mau dialog maka harus dialog yang dalam bingkai “NKRI Harga Mati”.
Padahal sekali lagi perlu ditekankan bahwa dialog itu bukan tujuan atau solusi, dialog itu sarana atau jalan (sesuai nama adatnya Kebadabi yang artinya pembuka jalan atau pembuka pintu) untuk mencapai solusi atas dasar kesepakatan bersama, yakni perdamaian atau Papua Tanah Damai.
Jadi, sangat keliru dan merupakan kerancuan berpikir jika ada opini liar yang bertebaran di tengah masyarakat bahwa dialog damai itu merupakan solusi atas konflik Papua-Jakarta. Dialog itu juga sama seperti tuntutan rakyat Papua untuk referendum, bahwa Referendum atas konflik Papua itu bukan solusi tapi hanyalah sarana untuk menjadi solusi. Solusi itu baru tercipta ketika hasil referendum itu diumumkan.
Kedua, Pater Neles dan JDP bukan merupakan mediator dialog Jakarta-Papua atau Papua-Jakarta, Pater Neles dan JDP hanyalah fasilitator dialog Jakarta-Papua.
Mereka yang memfasilitasi agar sembilan aktor kunci konflik Papua-Jakarta itu bisa duduk bersama, mengidentifikasi masalah-masalahnya dan mencari solusi-solusinya atas dasar kesepakatan bersama kedua belah pihak yang bertikai.
Pihak yang akan menjadi mediator antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia adalah pihak ketika yang dipilih atas dasar kesepakatan bersama antara orang Papua dan pemerintah, yaitu pihak ketiga yang independen, bukan merupakan pihak ketiga yang hanya ditunjukan oleh salah satu pihak.
Ketiga, dialog itu tidak instan, tetapi sebuah proses. Banyak orang juga masih mengira bahwa jika kita berdialog, maka Papua akan merdeka atau Papua dalam NKRI final. Padahal, dialog yang didorong oleh Pater Neles itu bukan dialog yang bersifat sekali jadi atau instan, dialog ini adalah sebuah proses yang berulang-ulang dan berlapis-lapis. Jika nanti terdapat miskomunikasi atau perseteruan, maka itu menjadi tanda untuk rehat, ketika kepala sudah tenang dan keadaan kembali cair, maka dialog akan dilanjutkan lagi. Jadi, dialog itu tidak sekali jadi tetapi merupakan sebuah proses alot.
Konsep dan mekanisme dialog damai yang ditawarkan oleh Pater Neles dan kawan-kawanya sebagai sarana penyelesaian konflik Jakarta-Papua itu dapat dijumpai dalam buku kecil berwarna kuning keemansan yang ditulis oleh Pater Neles sendiri dengan judul Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua yang diterbitkan oleh SKPKC Jayapura pada 2009. Buku ini membahas dengan cukup detail mengenai pikiran Pater Neles tentang dialog Jakarta-Papua atau Papua-Jakarta.
Dalam dialog itu semua pihak yang bertikai duduk bersama, mengindentifikasi masalah-masalahnya dan mencari opsi-opsi atau solusi-solusinya bersama-sama. Semua masalah yang dibahas dalam dialog itu adalah masalah-masalah yang sudah disepakati bersama oleh kedua belah pihak yang bertikai. Siapa-siapa saja yang akan berdialog?
Ada sembilan aktor kunci yang hemat Pater Neles perlu dilibatkan, yakni TNI-Polri, TPN-OPM, orang Papua (yang ada di Papua), paguyuban para migran di Papua, orang Papua (di luar Papua), Investor, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Yang menjadi pekerjaan rumah besar di sini adalah menyatukan sembilan aktor konflik ini.
Sebab masing-masing punya perbedaan-perbedaan yang secara substantif sangat kontras. Jika kita bagi besar ada dua perbedaan substansinya, yakni ideologi “NKRI Harga Mati” dan ideologi “Papua Merdeka Harga Mati”.
Lantas apa jawaban Pater Neles. Hemat Pater Neles, sesuai prinsip konsep dialog damai bahwa semua isu yang dibahas dalam dialog adalah isu-isu yang sudah disepakati bersama dan solusi-solusi yang disepakati juga merupakan opsi-opsi atau solusi-solusi yang sudah disepakati bersama, isu dan solusi “NKRI Harga Mati” dan “Papua Merdeka Harga Mati” jelas tidak akan dibahas dan disepakati dalam dialog karena satu pihak akan setuju dan pihak lain tidak akan setuju. Yang menjadi kunci dalam dialog adalah kepercayaan, keterbukaan, dan kesepakatan.
Pertama, Rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia harus dan wajib hukumnya untuk saling percaya, di sini semua stigma, sterotipe, lebel, cap, arogansi, gengsi, ambisi, prasangka, diskriminasi, rasisme, dan lainnya mesti dibuang. Kedua, rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia harus saling terbuka untuk berbicara, jika sudah ada kepercayaan pasti bersemi keterbukaan. Di sini secara jujur dan terbuka keduanya saling berdialog. Ketiga, kesepakatan, bahwa apa yang sudah dibicarakan dan ditentukan sebagai solusi atau opsi itu disepakati bersama. Jika sudah disepakati maka kedua belah pihak akan tertantang untuk menjaga dan menjalankan hasil kesepakatan itu.
Bahwa karena solusi itu adalah kesepakatan bersama maka keduanya akan memiliki rasa bertanggung jawab untuk merealisasikannya. Kira-kira demikian gambaran singkat tentang dialog damai yang diperjuangkan oleh Pater Neles.
***
✊