Pilihan Redaksi Kritik Marx Terhadap Hegel

Kritik Marx Terhadap Hegel

-

Ditulis oleh Cyril Smith[1]

Hegel lah yang pertama kali mengetahui bahwa “setiap filsafat … diperuntukkan untuk zamannya sendiri dan ditelikung oleh batasan-batasan zaman yang bersangkutan.” Tapi hal itu menimbulkan sebuah pertanyaan: bagaimana sebuah pandangan filsafat dapat tetap hidup sesudah “zamannya” lewat? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut menggiring kita (melewati argumentasi filosofis) ke arah jalur penetrasi yang lebih mendalam, yakni membedah pengertian mengenai konsep “zamannya” dan konsep zaman kita. Itu lah mengapa kunci untuk menjawab apa yang masih hidup dari pemikiran Hegel terdapat dalam kritik Marx terhadap Hegel.

Pertama-tama, mari kita bahas mengenai apa yang dimaksud Marx dengan “kritik”. Hal itu terkait erat dengan ide Hegel mengenai “peleburan” (aufheben)[2]: untuk menegasikan dan, dengan demikian, memelihara kebenaran yang terdapat di dalam sesuatu. Hal tersebut sama dengan sikap Marx terhadap agama: yang penting bukan menolak sentimen religius karena sentimen tersebut “tidak benar”, tanpa dasar, sehingga tak perlu kemudian merencanakan sebuah bentuk agama baru. Tetapi, kita harus menemukan aspek-aspek cara hidup yang menimbulkan adanya agama dan, kemudian, merevolusionerkan aspek-aspek tersebut. Agama adalah “hati dunia yang tak berhati”, sehingga yang penting adalah mendirikan sebuah dunia yang berhati. Ketimbang menemukan sebuah solusi yang bersifat ilusi, kita harus, dalam praktek, menemukan solusi yang bersifat nyata.

Karya filosofis Hegel adalah sebuah upaya untuk meringkas esensi keseluruhan sejarah filsafat, dan baginya hal tersebut merupakan sejarah secara keseluruhan. Sehingga, kritik Marx terhadap Hegel adalah sebuah kritik terhadap ilmu filsafat itu sendiri. Ia mengambil kesimpulan bahwa filsafat tidak bisa menjawab pertanyaan yang telah dibawa oleh filsafat ke permukaan. Karena, pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bersifat filosofis, tapi bersifat praktis. Ketika Marx mengklaim bahwa karyanya bersifat ilmiah (wissenschaftlich), itu tidak berarti bahwa ia sedang menjelaskan seperangkat doktrin, yang terdiri dari “teori-teori”, tapi, dengan melacak kontradiksi ilmu-pengetahuan yang ada hingga ke akarnya, yakni cara hidup manusia yang tidak manusiawi, ia bisa menjelaskan kebutuhan untuk merevolusionerkan cara hidup tersebut, untuk melangkah dari kontemplasi ke solusi revolusioner yang “kritis-praktis”.

Hal tersebut sedikit sekali hubungannya dengan cerita basi mengenai Hegel, sang idealis, dan Marx, sang materialis, cerita basi mengenai transisi dari ‘idealisme’ dan ‘demokrasi’ ke ‘materialisme’ dan komunisme, atau cerita basi mengenai Marx yang mencampakkan sistem konservatif Hegel, demi mempertahankan metode revolusionernya. Apabila kita menerima seperangkat prasangka yang dahulu pernah disebut sebagai “Marxisme”, maka kita tak akan bisa, bahkan, menjawab pertanyaan kami yang pertama sekalipun. (Itu hanya lah sebagian kecil dari permasalahannya yang ada.)

Hampir dalam seluruh hidupnya, Marx, terus-menerus kembali pada Hegel, setiap saat mempertajamnya, baik perbedaannya maupun persetujuannya pada Hegel. Marx memulai kritiknya terhadap Hegel dengan sejarah filsafat Yunani, dalam tesis doktoralnya. Ia mengamati secara kritis ringkasan Hegel mengenai sejarah filsafat politik, yang berjudul Philosophy of Right (Filsafat Hukum). Setelah bisa menunjukkan bahwa konsepsi Hegel mengenai negara modern didasarkan pada relasi ekonomi borjuis, Marx kemudian bisa mengidentifikasi sudut pandang Hegel mengenai ekonomi-politik. Sekarang ia bisa memulai kritiknya terhadap pencapaian-pencapaian pemikiran ekonomi borjuis, sebagai ekspresi tertinggi ketidakmanusiawian masyarakat borjuis. Dalam setiap tahap kerjanya, Marx, menggunakan studinya terhadap Hegel untuk menemukan koneksi esensial antara sikap filsafat terhadap dunia dengan bentuk-bentuk keterasingan sosial yang secara alamiah tidak manusiawi, eksploitatif, dan menindas.

Tesis doktoral Marx, yang dikerjakannya antara tahun 1839 dan 1841, adalah mengenai “Perbedaan antara Filsafat Alam Demokritean dan Epikurean.” Caranya memperlakukan dua filsafat atomis Yunani tersebut kontradiktif dengan pendapat Hegel—dan pendapat hampir semua orang—karena ia menekankan keaslian Epikurus. Marx mendeklarasikan bahwa tujuannya adalah menemukan sumber kesadaran-diri manusia dan ide dalam realitas material. Yang lainnya adalah pendiriannya bahwa filsafat harus “keluar menuju dunia.” Karena eksistensi tidak sesuai dengan essensi, maka filsafat harus menjadi praktis, dan “memalingkan hasratnya terhadap dunia yang nampak.” (I: 85.) Lebih jauh lagi, “dunia yang berhadapan dengan sebuah filsafat yang bersifat total di dalam dirinya semata, adalah…. sebuah dunia yang terkoyak-koyak.” (I: 491) Hal itu lah yang mengarahkan kritik Marx pada agama.

Berbeda dengan Kant, Marx menganggap bahwa keyakinan agama bukan hanya sebuah ilusi. Semua tuhan/dewa, baik bagi si penyembah berhala maupun si Kristen, memiliki sebuah eksistensi yang nyata. Bukan kah dewa Moloch berkuasa di zaman purbakala? Bukan kah dewa Apollo di Delphi adalah sebuah kekuatan yang nyata dalam kehidupan orang-orang Yunani? (I: 104)

Pada tahun 1843, Marx memulai karyanya dengan menganalisa secara rinci bagian tentang negara dalam Philosophy of Right-nya Hegel. Karya Hegel tersebut merupakan puncak karya terakhirnya, yang berupaya menjelaskan tentang kekuatan negara modern yang dipahami, secara rasional, guna merekonsiliasikan kontradiksi-kontradiksi dalam “masyarakat sipil”, yakni, masyarakat borjuis. Masyarakat sipil dipahami sebagai “ajang perang bagi kepentingan pribadi”, dan filsafat menunjukkan bagaimana negara mengekspresikan kesatuan suatu kehidupan dari satu bangsa. Negara adalah “aktualitas kebebasan yang konkrit”. Kritik Marx terhadap filsafat negara Hegel membuat ia bisa melihat bahwa masyarakat sipil dan negara adalah terasing dari kehidupan manusia yang sejati yang, pada waktu itu, disebut terasing dari “demokrasi yang sejati”.

Tak lama kemudian, setelah ia menyelesaikan karyanya mengenai negara, Marx membuat tiga langkah maju ke depan, yang bisa merubah hidupnya: ia melihat pentingnya peranan revolusioner proletariat; ia menemukan bahwa apa yang ia namakan sebagai “demokrasi sejati” terkait erat dengan apa yang disebut oleh yang lain sebagai “komunisme”; dan ia menyadari bahwa ia harus membuat sebuah studi kritis tentang ekonomi-politik. Hegel melihat “ruh” maju dengan cara seperti ini: dalam setiap tahapan penyingkapannya, ruh-totalitas kehidupan dan aktifitas manusia berkontradiksi dengan apa yag telah diproduksi oleh dirinya, yang kini berhadapan dengannya sebagai sesuatu yang asing. Filsafat merefleksikan keterasingan tersebut, dan menyelesaikannya melalui refleksi yang, menurut Hegel, melalui ruh yang menciptakan dirinya. Relasi negara dengan masyarakat sipil merupakan sebuah kasus utama dalam upaya tersebut. Pada tahun 1844, kritik Marx, baik terhadap filsafat maupun ekonomi-politik, telah mencapai tingkatan yang bisa menemukan sesuatu yang lain ketimbang kategori-kategori dan ekspresi yang ditemukan Hegel: kemanusiaan memang menciptakan dirinya sendiri—hal itu merupakan penemuan Hegel yang hebat—tapi yang fundamental bukan lah tindakan ruh, tidak pula kerja filsafat, tapi tenaga kerja material.

Dengan demikian, kritik Marx terhadap Hegel melangkah dari sejarah filsafat kuno ke konsepsi negara. Kemudian baru terlihat bahwa “bentuk-bentuk politik berasal dari masyarakat sipil dan anatomi masyarakat sipil dapat ditemukan dalam ekonomi-politik”. Kritik terhadap ekonomi-politik lah yang menjadi konsentrasi Marx sampai dengan akhir hayatnya, tetapi hal tersebut bisa disalahpahami. Marx tidak terlibat dalam “kritik terhadap kapitalisme”, seperti yang sering kita dengar. Hal itu bisa menjebak kita ke dalam perangkap utopian. Tugasnya adalah untuk mempelajari ekspresi teoretis tertinggi yang dihasilkan oleh relasi-relasi borjuis, dan menunjukkan bagaimana teori-teori tersebut menyembunyikan cara bagaimana relasi-relasi tersebut menolak esensi manusia. Relasi-pertukaran pemilikan pribadi, yang diajukan oleh para tokoh Pencerahan, sebagai dasar bagi kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, sebenarnya merupakan “musuh bagi relasi sosial sebenarnya”. Uang dan kapital menggabungkan manusia menjadi bersama-sama, tapi hanya dengan cara memisahkan mereka. Karena masyarakat telah terfragmentasi, relasi-relasi sosial borjuis memegang kekuasaan atas individu-individu yang digabungkannya. Manusia memperlakukan sesamanya—dan dirinya sendiri—sebagai benda, sementara kapital menjadi subyek nyata yang memerintah hidup mereka.

Hegel telah berupaya mengekspresikan bagaimana kebebasan berkembang hanya pada tingkatan masyarakat secara keseluruhan, apa yang ia sebut sebagai “Ruh”. Sementara Marx, telah melangkah melewati impian tradisional filsafat, ia berupaya menyingkap kemungkinan individu sosial, yang kebebasan perkembangannya memiliki syarat—tanpa “kebebasan perkembangan semua orang” maka kebebasan perkembangan individu tak bisa terwujud.

***

Catatan: tulisan ini diterjemahkan oleh kawan-kawan gerakan kiri di Indonesia untuk kepentingan materi pendidikan politik. Kami terbitkan kembali disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda.

Pustaka:

[1] Tulisan ini merupakan makalah yang ditulis oleh Cyril Smith untuk seminar Hegel pada tanggal 18 Juni, 1999. [ed.]

[2] Untuk lebih jelasnya, kata “aufheben” dari Hegel berkaitan dengan fase ketiga dialektika, yang dikenal dengan fase sintesis. Di dalam fase tersebut, terjadi aufheben yang artinya terjadinya negasi dan pengangkatan. Terjadinya negasi berarti bahwa tesis dan antitesis sudah dilewati dan tidak ada lagi, sedangkan pengangkatan memiliki arti bahwa walaupun tesis dan antitesis dinegasikan, tapi kebenaran dari tesis dan antitesis tetap dipertahankan dan disimpan dalam sintesis dengan bentuk yang lebih sempurna. [ed.]

Redaksi Lao-Lao
Teori pilihan dan editorial redaksi Lao-Lao

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan