Catatan dari Kampung Kelompok Ongohbete dan Nenandubete Minyak Kayu Putih di Kampung...

Kelompok Ongohbete dan Nenandubete Minyak Kayu Putih di Kampung Wasur Merauke  

-

Suatu hari di Kampung Wasur, Kabupaten Merauke, tepatnya 12 April 2016, saya menuju ke rumah Kepala Kampung Wasur saat itu, Tobias Gebze. Saya melihat dari depan rumahnya mama-mama berkumpul di rumah panggung persis di belakang rumah Tobias Gebze sendiri. Sambil melambaikan tangan saya meminggirkan motor untuk tujuan bertemu dengan mereka. Seorang mama yang menuntun anaknya bersuara kecil, “Dong (mereka) sedang memasak daun kayu putih.” ujarnya singkat memberikan informasi kepada saya. Saya semakin penasaran karena dari pinggir jalan saya sudah melihat mesin berwarna silver berdiri di panggung berbahan semen di ujung bangunan rumah panggung.

Saat saya memasuki rumah panggung, saya sudah disapa Tobias Gebze bersama mama-mama yang lain. Dari depan rumahnya saya melihat dua mama yang membawa karung putih besar berisi daun-daun kayu putih. Dua karung besar itu kemudian ditimbang oleh mama yang lain dan disaksikan oleh Tobias Gebze sendiri. Perlahan setelah selesai ditimbang, ia mulai mencatat jumlah dari daun kayu putih tersebut. Tempat “memasak” (penyulingan) daun kayu putih baru mulai persiapan awalnya pada tahun 2013 dan mendapatkan bantuan alat penyulingan dari Dinas Kehutanan pada awal tahun 2015. Usaha ini bukan yang pertama di Kampung Wasur karena yang memulai usaha penyulingan ini adalah Emiliana Gebze yang kemudian membentuk kelompok sendiri bernama Ongohbete, yaitu bahasa Marori Mengey yang berarti untuk kebaikan kita. Sementara kelompok yang dikoordinir oleh Tobias Gebze sendiri bernama Nenandubete yaitu bahasa Marori Mengey yang berarti untuk kita sendiri. Dua kelompok penyulingan daun kayu putih untuk menjadi minyak inilah yang berada di Kampung Wasur dan mulai berkembang mengikuti kelompok-kelompok lain di Kampung Yanggandur dan Rawa Biru. 

Tobias Gebze menuturkan bahwa daun kayu putih sudah diketahui dari dulu oleh para nenek moyang dari marga Marori Mengey yang berkhasiat untuk menghangatkan badan. Dalam bahasa Marori Mengey pohon kayu putih sendiri secara umum dinamai Ru. Dari penuturan tetua Marori Mengey kepada Tobias, daun kayu putih biasanya digunakan oleh para nenek moyang untuk menyegarkan kepada badan-badan yang sakit sehabis berburu atau bekerja di tengah hutan. Cara yang dilakukan adalah daun-daun kayu putih ini biasanya akan diletakkan di atas tempat tidur, biasanya di atas tikar-tikar. Mereka akan tidur beralasan daun-daun kayu putih di atas tikar tersebut. Harumnya daun kayu putih sudah terasa di dalam ruangan dan kemudian melekat di badan. Keesokan harinya jika bangun tidur badan terasa sudah harus karena uap-uap naik ke badan saat tidur dan meresap dengan baik. Hal itulah yang menyebabkan badan terasa segar. Cara lain yang dilakukan adalah mandi dengan air daun kayu putih. Cara ini lebih segar lagi karena air dan aroma daun kayu putih langsung meresap ke seluruh tubuh sehingga sangat bermanfaat untuk menghilangkan kelelahan. Cara-cara itulah yang dilakukan oleh para tetua dari suku Marori Mengey untuk memanfaatkan khasiat daun kayu putih untuk menjaga kebugaran tubuh mereka. Mereka memanfaatkan langsung daun kayu putih. Namun kini generasi selanjutnya memproses kembali daun kayu putih menjadi minyak.

Tobias Gebze menjelaskan bahwa pohon Ru (kayu putih) dan daunnya yang ada di kawasan Taman Nasional Wasur, termasuk di Kampung Wasur, Yanggandur, dan Rawa Biru ada dua jenis, yaitu, yang berdaun kuning dan berdaun merah. Masing-masing daun dari pohon Ru tersebut menjadi simbol dari marga dari suku Marori Mengey. Pohon Ru yang berdaun kuning ini adalah salah satu simbol dari marga Gebze sedangkan yang daunnya merah adalah milik dari marga Balagaize. Daun Ru yang berwarna merah ini dalam bahasa Marori Mengey disebut dengan Mor yang sering digunakan tali untuk membuat rumah/pondok. Mor ini dengan seluruh batangnya dimanfaatkan sebagai tali oleh marga Balagaize untuk membuat pagar dari kebun-kebun mereka.Tobias Gebze melanjutkan telah mencoba kedua daun tersebut yang menghasilkan minyak warna hijau jika “memasak” daun Ru berwarna merah dan minyak berwarna bening bagi daun yang berwarna kuning. Oleh sebab itulah seluruh masyarakat sekarang mengambil daun berwarna kuning untuk mengolahnya menjadi minyak kayu putih yang berbau harum.    

Tobias Gebze menjelaskan tentang Ru (pohon kayu putih) dan menunjukkan daunnya. Foto: I Ngurah Suryawan.
Tobias Gebze menjelaskan tentang Ru (pohon kayu putih) dan menunjukkan daunnya. Foto: I Ngurah Suryawan.

Potensi daun kayu putih yang termasuk melimpah di Kampung Wasur dan di seluruh kampung di wilayah Taman Nasional Wasur dimanfaatkan betul oleh masyarakat. Mama-mama di kampung akan menghimpun kelompok-kelompok sendiri untuk mempersiapkan diri mencari daun kayu putih di wilayah marga mereka masing-masing. Melihat usaha yang bersemangat dari mama-mama di Kampung Wasur itulah yang membuat Dinas Kehutanan Kabupaten Merauke berinisitif untuk menyumbangkan mesin penyulingan untuk memproduksi minyak kayu putih. Sementara rumah panggung yang menjadi aktivitas penyulingan adalah bantuan dari Yayasan Kasih Mulia, sebuah yayasan yang bekerjasama dengan keuskupan Merauke untuk membantu usaha-usaha kecil yang dilakukan oleh para jemaat di Kabupaten Merauke.

Saat ini, meskipun baru mulai beroperasi pada awal tahun 2015, namun usaha dari kelompok Nenandubete terbukti berhasil menggerakkan ekonomi mama-mama di Kampung Wasur. Saya menyaksikan sendiri beberapa kelompok mama-mama menunggu taxi (angkutan umum) yang mereka sewa untuk mencari kayu bakar di beberapa wilayah di kawasan Taman Nasional Wasur. Sementara kelompok yang lain mencari kayu bakar di beberapa daerah yang menjadi wilayah adat mereka. Mereka akan mulai untuk berkumpul di pinggir jalan trans Papua Merauke pada pagi hari mulai jam 08.00 WIT. Mereka telah menyiapkan karung-karung putih tempat daun kayu putih, makan siang sebagai bekal karena mereka baru akan meninggalkan hutan menuju kampung pada sore hari. 

Saya menyaksikan sendiri dua mama duduk-duduk di pinggir jalan menunggu rombongan lain yang lebih besar dengan taxi datang bergabung. Pada saat itu hari menginjak siang dan rombongan mama-mama yang menggunakan taxi belum juga datang. Kedua mama ini dengan sabar menunggu. Mereka harus berjalan kaki menuju hutan selama 45 menit untuk memetik daun kayu putih. Kedua mama ini menyiapkan dirinya dengan beras dan sayur yang sudah dimasak dari rumah. Beras akan dimasak di hutan sambil mencari daun kayu putih. Mereka menuturkan bahwa aktivitas mencari daun kayu putih seminggu bisa mereka lakukan tiga sampai empat kali. Usaha memasak daun kayu putih ini dirasakan sangat membantu rumah tangga mereka. Di tempat penyulingan, daun kayu putih dari mama-mama ini bisa diproses dua sampai tiga kali tergantung daun kayu putih yang ada. 

Proses penyulingan daun kayu putih oleh mama-mama Papua. Foto: I Ngurah Suryawan.
Proses penyulingan daun kayu putih oleh mama-mama Papua. Foto: I Ngurah Suryawan.

Tobias Gebze menuturkan bahwa usaha penyulingan daun Ru sekarang mulai mendapat perhatian dari mama-mama Papua. Setiap keluarga biasanya akan mengumpulkan daunnya sendiri-sendiri untuk kemudian dibawa ke lokasi penyulingan. Satu keluarga datang kemudian ditampung, ditimbang isinya untuk mengetahui berapa berat daun tersebut dan berapa liter minyak yang bisa dihasilkan. Tobias menuturkan dari pengalamannya bersama mama-mama yang memasak daun kayu putih, daun yang beratnya 125 kg akan sampai dua kali proses penyulingan untuk menghasilkan minyak. Bagi mama-mama yang siap untuk memasak yang perlu dipersiapkan selain daun kayu putih juga kayu bakar. Seluruh masyarakat di Kampung Wasur dipersilahkan untuk bergabung dalam usaha penyulingan daun kayu putih tersebut. Rumah panggung dan mesin penyulingan yang ada sekarang di belakang rumah dari kepala kampung adalah milik masyarakat.

Jika sudah menjadi minyak kayu putih, masyarakat sendiri bebas untuk menjualnya dengan harga yang bebas pula. Jika tidak mendapatkan pembeli, Yayasan Kasih Mulia yang membantu rumah panggung siap membeli Rp. 100.000/liter. Namun demikian, masyarakat merasakan bahwa harga tersebut sangat rendah dan sebaliknya mereka bisa menjual lebih dari harga tersebut kepada para pembeli yang datang langsung ke Kampung Wasur. Para pembeli ini berasal dari Kota Merauke atau pembeli dari orang Tionghoa di kota yang berani membeli lebih mahal dari Rp. 100.000 dan dalam jumlah yang banyak. 

Saya bersama dengan kelompok penyulingan minyak kayu putih Nenandubete (untuk kita sendiri) di Kampung Wasur Kabupaten Merauke Provinsi Papua. Foto: I Ngurah Suryawan.
Saya bersama dengan kelompok penyulingan minyak kayu putih Nenandubete (untuk kita sendiri) di Kampung Wasur Kabupaten Merauke Provinsi Papua. Foto: I Ngurah Suryawan.

***

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan