Analisa Harian Martabat Manusia dan Kasus Mutilasi di Timika Papua ...

Martabat Manusia dan Kasus Mutilasi di Timika Papua  

-

Martabat adalah nilai yang melekat dalam diri manusia yang mendasari penghormatan terhadap manusia itu sendiri. Tingkatan harkat kemanusiaan serta kedudukan yang terhormat pada harkat manusia adalah nilai manusia sebagai makhluk Tuhan yang dibekali cipta, rasa, karsa dan hak-hak serta kewajiban asasi manusia. Martabat juga diartikan sebagai tingkat harkat kemanusiaan dan harga diri. Martabat manusia merupakan norma dasar yang mesti dipahami oleh setiap orang tanpa terkecuali. Hal ini penting agar setiap orang benar-benar memahami betapa mulianya pribadi manusia. Bahwa tidak ada duanya makhluk yang diciptakan begitu mulia di bumi selain manusia sendiri, dan bahwa keberadaan manusia melampaui semua makhluk di bumi.

Jika setiap orang benar-benar memahami martabat manusia maka niscaya seseorang atau sekelompok orang tidak memperlakukan sesamanya secara tidak manusiawi dan tidak bermoral.

Aksi kekerasan, pembunuhan, pembantaian serta rasisme terhadap rakyat Papua dalam sistem negara kolonialisme Indonesia yang telah hidup bertahun-tahun sampai hari ini merupakan tindakan immoral dan asosial karena bertentangan dengan martabat manusia.

Sesudah West Papua merdeka secara de facto dan De Jure pada 1 desember 1961 yang dilengkapi dengan atribut negara seperti lagu kebangsaan, bendara negara, batas wilayah, kekayaan sumber daya alam, akan tetapi kemenangan dan kebahagian rakyat West Papua itu hanya menikmati selama 18 hari, dikarenakan  pada 19 Desember 1961 Presiden  Ir. Soekarno mengeluarkan maklumat tentang operasi Militer Tri Komando Rakyat (Trikora) yang di pimpin jendral major Soeharto saat itu.

Wilayah West Papua jadi perebutan antar negara imperialis, kolonial Belanda, dan kolonial Indonesia, sementara hak kedaulatan West Papua tidak dihargai sama sekali. Fase tahun 1961 hingga 1969 adalah fase kelam dan sungguh tragis bagi bangsa West Papua karena semua yang di lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang Papua seperti Perjanjian New York (New York Agreement) pada 15 Agustus 1962 antara Belanda dan Amerika tanpa melibatkan rakyat Papua, Perjanjian Roma (Roma Agreement) pada 30 September 1962 di Roma Italia antara Belanda dan Amerika tanpa melibatkan rakyat Papua, kedudukan militer pada 1 Mei 1963 di West Papua, dan penandatangan PT. Freeport Indonesia pada 7 April 1967 sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, serta Pepera pada bulan Juli hingga Agustus 1969 yang melanggar prinsip hak asasi manusia dan demokrasi yang penuh dengan kekerasan militeristik.

Papua hari ini dibawa kendali kolonisasi dan kapitalisasi hingga hari ini. Rakyat Papua masih terus ditekan, dibunuh, dipenjara. Probowo Subianto yang melakukan operasi militer di West Papua pada 1996, Moeldoko yang terlibat dalam operasi militer di Timor Leste pada 1996 – 1999, Luhut Pandjaitan yang terlibat dalam operasi militer di Timor Leste pada 1975, mereka masih berkuasa di Indonesia. Artinya Indonesia benar-benar negara dengan sistem militerisme, otoriter, dan melakukan praktek kolonisasi di Papua yang anti terhadap kemanusiaan, anti terhadap demokrasi, anti terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta anti terhadap ajaran agama dan budaya yang menghargai dan melindungi manusia. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 mengatur tentang setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Penghilangan nyawa. Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang. Artinya yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara.

Tetapi kasus pelanggaran HAM terus bertambah tanpa proses hukum dan penyelesaian. Kasus Wamena Berdarah tahun 2002 dan 2003, kasus Biak Berdarah tahun 1998 dan 1999, Paniai Berdarah 2014, Abepura Berdarah, Wasior Berdarah, serta berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi terhadap rakyat Papua.

Menurut laporan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam operasi militer di Nduga selama kurung waktu 2018 hingga 2020 terdapat 240 orang meninggal dunia. Ada yang dibunuh langsung menggunakan senjata, ada juga diculik, hilang secara paksa. Operasi militer bukan hanya di Nduga akan tetapi di Maybrat, Intan Jaya, Yahukimo, Puncak Papua, Pegunungan Bintang, Oksibil dan beberapa daerah di West Papua.

Perihal kasus konflik di Papua dari sisi pelanggaran HAM, ekspansi sumber daya alam, dan berbagai problematika lainnya, banyak laporan yang sudah dipublikasikan di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli), dan PBB bagian Dewan Hak Asasi Manusia (UN Human Right) harapannya agar pemerintah Indonesia bisa mengurangi tingkat kasus kejahatan, genoside di Papua. Akan tetapi laporan-laporan resmi di atas pemerintah Indonesia menolak, hal ini pernah terjadi pada saat Jokowi melakukan kunjungan kerja pada 10 Februari 2020 di Australia dan aktivis Veronica Koman serahkan data korban seperti ditulis, “Kami juga menyerahkan nama beserta umur dari 243 korban sipil yang telah meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018, baik karena terbunuh oleh aparat keamanan maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian.” Akan tetapi data korban tersebut Mahfud MD bantah dan sebut sebagai data sampah.

Tak berhenti disitu, pelanggaran HAM masih terus terjadi. Pada 22 Agustus 2022 sekitar pukul 21.50 WIT di Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika, Papua terjadi  pembunuhan yang dilakukan oleh institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pembunuhan ini terjadi secara tersistematis, terkonsep, dan terprogram layaknya anggota militer ahli dan intelijen. Mereka membunuh 4 orang warga sipil asal Nduga diantaranya Arnold Lokbere (29), Irian Nirigi (38), Lemaniol Irigi (29), Atis Tini (29). Anggota TNI menembak mati, sesudah itu dimutilasi secara biadab.

Kasus kejahatan di atas ini merupakan pelanggan HAM berat dan bagian dari kepentingan kolonialisme dan kapitalisme di Papua yang tak terpisahkan atas akumulasi sejarah kelam yang buram.

Kejadian ini terjadi juga sesudah HUT NKRI. Tempat pada malam harinya Jokowi tiba di Timika yang tidak lain adalah untuk kepentingan PT Freeport dan G20 di Bali pada November mendatang. Akan tetapi kehadiran presiden merupakan murni upaya politik pengalihan agar publik melupakan dan menghilangkan kejahatan pembunuhan terhadap 4 warga sipil dan setelah berselang waktu Bupati Timika Eltinus Omaleng di jarat KPK atas dugaan kasus korupsi.

Dalam situasi yang sama kejadian TNI letakan uang di atas peti jenazah di Mappi pada 30 Agustus 2022, dua warga masyarakat sipil atas nama Bruno Anonim Kimko dan Bapak Yohanes Kanggum disiksa oleh personel militer dari Unit Infanteri Yonif Raider 600 Modang yang bertugas di Mappi.

Penganiayaan bengis ini mengakibatkan saudara Bruno Anonim Kimko meninggal dunia. Karena komandan pos militer ingin mempercepat proses pemakaman, seorang perwakilan tentara, Mayor Stevy G. Titiheru memberikan pembayaran kompensasi uang sebesar 200 juta kepada kerabat selama upacara pemakaman. Anggota TNI yang meletakan uang di atas peti jenazah lalu foto bersama itu sangat tidak sopan dan merendahkan harkat dan martabat orang asli Papua. Sangat biadab.

Harga diri orang Papua kenapa gampang begitu saja ditawar dengan nilai uang dengan harga yang paling murah? Karena selama ini uang sudah menjadi standar bagi aparat TNI untuk menyelesaikan masalah perlakuan tidak manusiawi itu. Sehingga pembunuhan penyiksaan terhadap orang asli Papua terus menerus terjadi. Karena uang yang dibayarkan sebagai pengganti nyawa, dianggap hal yang biasa bagi aparat di Papua, maka gampang saja TNI menghilangkan nyawa manusia OAP. Sedangkan keluarga tidak sadar bahwa tawaran nilai uang tidak sama dengan harkat dan martabat manusia apa lagi dengan tawaran yang sangat murah.

Karena agitasi dan propaganda Indonesia yang menutupi kasus-kasus di atas tidak berhasil maka Indonesia menutupinya dengan kasus dugaan korupsi Gubernur Papua, Lukas Enembe yang saat ini menjadi kontroversial di publik.

Sebenarnya situasi dan peristiwa yang terjadi Papua kalau di baca secara menyeluruh maka kebijakan pemerintah di Papua murni kepentingan ekonomi dan Politik. Bukan untuk membangun tanah dan manusia Papua.

***

Midi Vilexz Kogoya
Penulis adalah Aktivis di Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jember

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Apabila Prabowo jadi Presiden

Selalu ada jejak yang ditinggalkan saat diskusi walau diskusinya bebas, pasti ada dialektikanya. Walau seminggu lebih sudah berlalu, namun ada...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan