Minggu ketiga bulan November tahun 2013 saya mengirim pesan singkat ke beberapa Tahanan Politik Papua (Tapol) di Lapas kelas II Abepura dari rumah tahanan Polresta Kota Jayapura, satu diantara mereka adalah Bapa Filep Karma. Saya mengkonfirmasi pemukulan kepada saya oleh beberapa oknum tahanan yang di provokasi polisi. Mereka yang menyerang dan melukai kemudian dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Abepura dan menunggu saya sesuai arahan polisi.
Seingat saya, saya mengirim pesan seperti ini “bapa beberapa hari lalu sa di pukul oleh beberapa tahanan dan mereka telah dipindahkan ke Lapas ada beberapa yang berdasarkan perintah polisi menunggu saya di Lapas”. Seingat saya juga balasan Bapa Filep begini “iya anak trapapa jangan kuatir nanti bapa bicara dengan mereka disini, kalau sudah di sini (lapas) aman”. Belakangan saya ketahui bahwa Bapa Filep tidak hanya Tapol Papua, tetapi pembina bagi para Narapidana di Lapas, dan secara khusus sebagai pembina bagi atlit tinju Lapas bahkan sampai sekarang.
Singkat cerita sore hari di Januari 2014 saya duduk di pohon Ketapang samping Aula Gereja GKI Emaus Lapas sambil mengamati warga binaan bermain sepak bola, dari kejauhan terlihat seorang yang saya kenal itu berpakaian keki pegawai negeri sipil, dengan pin Bintang Kejora (BK) berjalan turun. Saya ketuhui bahwa Bapa Filep baru saja pulang konsultasi kesehatan dari RS Dok II Jayapura. Sampai dekat saya menyambutnya, “Sore bapa, ehh ko su sampai, bagaimana aman, iyo trapapa kalau disini aman mereka semua di kenal bapa, trapapa masuk penjara juga ada ospek ko mahasiswa to, sambil tertawa”.
Setelah menjelaskan duduk persoalan hingga kami lima orang mahasiswa ditangkap sedang empat lainya hanya di tahan tiga minggu dan saya kemudian di proses hukum, beliau menyimak kemudian menasehati dan lanjut bercerita kisahnya sebagai spirit bagi saya waktu itu. “Kamu yang sekarang masuk penjara ini lebih enak, sudah banyak fasilitas dan diperhatikan, bapa kitong dulu itu masuk penjara itu disiksa bisa berhari-hari. Tahun 1998 itu bapa pu kepala belakang ini di pukul langsung pingsan, tahunya saja tidak selamat, setelah sadar, di ruang tahanan ditanya-tanya dan disiksa, sampai mereka puas baru berhenti, Tapol sakit itu tidak berobat, tetapi sekarang ini lebih baik. Itu mungkin karena kekuatan kampanye-kampanye dan solidaritas”.
Hari itu untuk pertama saya bercerita banyak hal dan lebih dekat dengan tokoh karismatik ini. Nama dan wajahnya tidak asing bagi saya terutama karena sejak kuliah 2008/2009 para aktivis HAM dan Mahasiswa di Jayapura mulai mengkampanyekan kesehatan beliau yang turun dan harus di operasi sekitar 2010. Sejak di Lapas, dan setelah bebas saya berjumpa dengannya di setiap kesempatan baik di Jayapura maupun di luar Jayapura.
Saat itu di Lapas Abepura 2013 itu penuh dengan puluhan Tapol Sipil, seperti Filep Karma, Forkorus Yoboisembut, Edison Waromi, dan glolongan muda seperti Dominikus Serabut, Selfius Bobi, Viktor Yeimo, dan lain sebagainya. Semua dengan latar belakang masing-masing dan pemikiran-pemikirannya masing-masing. Pemikiran-pemikiran mereka itu lebih “enak” didengarkan di penjara kecil (Lapas) ketimbang setelah mereka keluar (penjara besar) dan berjalan sendiri-sendiri.
Orang yang Sederhana
Filep Jakob Samuel Karma adalah seorang yang sederhana bukan karena setiap waktu mengenakan seragam pegawai, tetapi tutur katanya pun demikian. Sebagai seorang intelektual, dikenal secara luas, memiliki jaringan komunikasi luas, tutur katanya sederhana muda diterima oleh siapapun. Apa yang dia inginkan dan kerjakan akan disampaikan tanpa berputar-putar, tanpa berusaha meyakinkan, dan mengharapkan orang untuk percaya juga. Dia paham benar apa yang dia kerjakan. Bisa di lihat bahwa orang seperti ini memiliki karakter yang kuat siapapun tidak akan merubah prinsipnya.
Netralitas dalam gerakan
Dengan ketokohan dan popularitas yang dia miliki sejak lama banyak kelompok perjuangan Papua merdeka ingin “memanfaatkan” menjadikannya sebagai pemimpin politik utama Papua. Terutama setelah kematian Theys Hiyo Eluay tidak ada pemimpin karismatik yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Papua. Persatuan-persatuan yang telah diupayahakan dalam bentuk solidaritas, front-front, bahkan hingga mendeklarasikan negara sekalipun gagal melahirkan pemimpin politik besar bagi bangsa Papua. Filep adalah Tokoh sentral kandidat dalam posisi ini sehingga oleh beberapa kalangan mengupayakan ini, penulis awalnya mendukung ide seperti ini.
Menjelang pembebasannya “secara paksa” dari Lapas pada 2015. Beberapa organisasi gerakan terutama kaum muda berinisiatif untuk menggalang dukungan dan menjadikan momen pembebasannya itu untuk mengukuhan secara informal di hadapan rakyat Papua sebagai tokoh bangsa Papua. Ide itu ternyata diam-diam di tolak pula oleh beberapa gerakan karena ketidakpuasan mereka atas kasus Biak berdarah 1998. Penjemputan dilakukan secara meriah, Filep Karma diarak dari Lapas Abepura menuju anjungan EKspo Waena.
Singkat cerita Filep Menolak ide pengukuhan dirinya itu dan kemudian menarik diri dan memilih caranya sendiri. Seperti biasa, sindiran serta tudingan sana sini atas keputusan politik dia untuk tidak memihak itu sebagai bentuk sikap karena dipengaruhi oleh oknum-oknum lain. Tetapi Filep tetap bersikap bagaimana seorang pejuang, lebih dari itu sebagai seorang bapa yang netral dengan tidak memilih pergaulan politiknya dengan semua kalangan dan kelompok gerakan politik di Papua baik muda maupun tua.
Teologi Pembebasan ala Mansar Filep
“Saya tidak beragama tetapi pengikut Yesus Kristus”. Semua yang mengenal dirinya pasti tahu bahwa ini adalah salah satu kalimat pamungkas yang sering di keluarkan untuk membela keyakinan dan gerakan perjuangannya bahwa Yesus Kristuslah panutan dia berjuang. Sehingga dia menolak untuk masuk dalam denominasimanapun sebagai mana juga dirinya menolak untuk berpihak ke dalam salah satu kubu politik gerakan perjuangan Papua Merdeka. Sebagai pengikut Yesus, Filep komitmen dengan perjuangan dan juga pernikahannya walau ditinggal isterinya karena keputusan politik, seperti yang dicatat oleh Fransiska Manam 31 November 2021 di Kantor Elsam Papua dan dipublis di akun media sosial miliknya beberapa hari lalu. Ini sebagai penggambaran bahwa Filep Karma adalah seorang Kristen (pengikut kristus) tulen dalam arti sebenarnya.
Selain cara pelayanan Yesus Kristus yang sering dia bicarakan, terdapat tokoh-tokoh lain yang seingat saya sering dia sebut-sebut sebagai inspirasi perjuangannya, yakni Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela. Menurut Filep Perjuangan Kemerdekaan Papua harus dilakukan secara damai dan tanpa kekerasan seperti yang dia pahami dari berbagai bacaannya dan yang dilakukan ini. Atas dasar itu Filep juga tidak segan-segan mengkritik bentuk perjuangan Papua dengan jalan kekerasan mengunakan senjata apapun. Jangankan itu dirinya akan marah dan tidak terlibat demosntrasi jika massa aksi tidak tertip dan merusak fasiltas umum.
Tahun 2020 saya izin menelponnya setelah mendapat balas konfirmasi, saya telfon. “Bapa, ade-ade mereka dari OKP di Merauke rencana buat diskusi minggu depan, tema rasisme mereka undang berbagai tokoh Papua selatan, Intelektual dan Bapa salah satu. Mereka minta saya coba kontak bapa pu kesediaan” saya cerita panjang lebar soal rencana dan mengatakan bahwa akan mengarahkan kawan-kawan untuk mengawalnya disana. Dia tertawa “bapa tidak perlu pengawal dan bapa mau sekali hadir tetapi bapa sementara tidak bisa keluar karena sementara sedang berdoa dan puasa di minggu-minggu ini, bapa bahwa pergumulan perjuangan ini dalam doa puasa”. Kemudian setelahnya saya baru kembali bertegur sapa denganya pada acara korban pelanggaran HAM Papua di 2021 lalu.
Gerakan 1000 Tapol
Salah satu bentuk perjuangan damai yang pernah saya dengar darinya saat di Lapas adalah penuhi penjara Indonesia dengan ribuan Tapol. “Kita parah Tapol ini hanya beberapa, puluhan saja tetapi Indonesia sudah pusing bagaimana kalau kita merancang 1000an Tapol Papua, Indonesia nanti mereka stress pusing, penjara di seluruh Papua tidak muat, mereka tidak mampu memberikan makan. Kita kibarkan bintang kejora secara damai dan satu persatu ditangkap dunia akan melihat itu”.
Strategi dan taktiknya selalu nampak sederhana dan muda dipahami, tetapi sulit untuk dilakukan. Sepertinya halnya ketika memimipin pengibaran bintang kejora di Tower Biak 1998, yakni untuk mencari perhatian internasional melihat keinginan rakyat Papua untuk merdeka. Kemudian bersama Yusak Pakage pengibaran di laparangan Trikora pada 2004 yang membuatnya ditangkap dan dihukum 15 tahun penjara.
**
Filep Karma memang seperti itu tidak ada jejak kekerasan dalam pergerakannya. Tetapi akan terus menginsipirasi gerakan perlawanan damai dengan semua hal yang pernah dia buat; seperti berpakaian, tutur kata, semangat juang, pergaulan tanpa batas, dan cinta yang besar untuk tanah air. Selamat jalan bapa sayang..