Analisa Harian Film The Woman King: Mari Kita Belajar Dari Prajurit...

Film The Woman King: Mari Kita Belajar Dari Prajurit Perempuan di Afrika

-

Pengantar

Kesetaraan gender adalah pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak diskriminasi berdasarkan identitas gender mereka yang bersifat kodrati. Isu ini adalah salah satu tujuan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB yang berusaha untuk menciptakan kesetaraan dalam bidang sosial dan hukum, seperti dalam aktivitas demokrasi dan memastikan akses pekerjaan yang setara dan upah yang sama. Dalam praktiknya, tujuan dari kesetaraan gender adalah agar tiap orang memperoleh perlakuan yang sama dan adil dalam masyarakat, tidak hanya dalam bidang politik, di tempat kerja, atau bidang yang terkait dengan kebijakan tertentu.

Film the Woman King ini menjadi tolak untuk setiap perempuan dalam memperjuangkan hak hidupnya sebagai manusia, untuk keluar dari sentimen-sentimen yang merendahkan perempuan. Misalnya “Perempuan menurut Bangsa Yunani” Pakar sejarah menulis tentang peradaban Yunani bahwa diantara anak cucu mereka masih ada yang memuji orang kota. Bagi mereka, perempuan tidak memiliki kedudukan sama sekali selain sebagai pemuas pria dan alat perkembangbiakan. Undang-undang Yunani meposisikan perempuan tak lebih dari pembantu, meskipun ada beberapa perbaikan karena keteguhan hati sebagian kaum wanita. Kondisi ini terus berlangsung sampai bangsa Yunani dikuasai oleh hawa nafsu syahwat. Mereka kemudian dikendalikan tabiat-tabiat binatang dan kemewahan. Kata itulah perempuan pelacur dan yang berakhlak buruk memiliki posisi terhormat dalam komunitas bangsa Yunani. Kedudukan mereka di masyarakat bahkan sangat mulia dan menjadi rujukan masyarakat di kalangan meraka. Tidak ada pendapat yang “Brillian” bagi mereka, kecuali dengan bimbingan perempuan-perempuan tersebut, di antara mereka bahkan ada yang sampai pada tingkatan disembah atau dipertuhankan, seperti Aphrodite.

Perempuan dalam Konsep Kehidupan Kristiani dan Peradaban Eropa.

Pada masa berikutnya, orang-orang Kristen membangun konsep-konsepnya untuk menghancurkan pemikiran para filosof dan pendeta Yahudi. Pandangan gereja dengan jelas telah disebutkan dan ditentukan melalui khutbah para pemimpin mereka mengenai perempuan. Di antara pandangan tersebut ada yang mengatakan bahwa perempuan merupakan pintu masuknya setan ke dalam tubuh manusia. Dialah yang mempengaruhi Adam agar mendekati pohon terlarang, dan dia pula yang melawan aturan Tuhan serta yang merusak citra sejati seorang lelaki. Chry Sustam, seorang Uskup Nasrani mengemukakan pendapatnya tentang wanita sebagai berilkut: “Wanita adalah biang kejelekan yang kita tidak akan dapat melepaskan diri dari-nya. Ia merupakan godaan yang selalu mengitari kita dan bahaya yang disuka. Wanita adalah pembunuh sekaligus pecinta, dan petaka yang bertopeng. Jadi, dari berbagai bangsa dan kaum tersebut adalah banyak pendapat orang non Islam yang dengan angkuhnya menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak berharga. Akan tetapi setelah kehadiran Yesus, yang diutus oleh Allah kemuka bumi ini dengan membawa ajaran injil kristus, terangkatlah derajat perempuan dan hak-haknya perempuan sebagai seorang perempuan yang terhormat, sekaligus membantah secara tegas tanggapan salah megenai perempuan sebelum kehadiran Kristen.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Dr.Socratez Yoman dalam bukunya “perempuan Bukan Buadak Laki-laki” di halaman 09 bahwa perempuan dan laki-laki setara, dan dalam daftar isinya menjelaskan bahwa,Buku ini ditulis untuk memberikan tantangan tersendiri kepada laki-laki,yang telah beradab-abad lamanya hidup dalam keyakinan teologi bahwa laki-laki lebih superior dari pada perempuan. Pandangan teologi dengan stigma-stigma serta label yang menyesatkan ini telah menciptakan ruang praktek kekerasan dan aksi-aksi yang merendahkan martabat perempuan.

Dalam tulisan ini penulis ingin memberitahukan bahwa stigma yang digunakan untik merendahkan martabat perempuan adalah hal yang salah, karena banyak perempuan di luar sana yang juga memperlihatkan bahwa mereka adalah manusia yang harus dihargai oleh setiap mahluk yang ada di bumi ini, hal itu mereka membuktikan dengan Perjuangan,Film,Musik,dan lain sebagainya. Dalam tulisan ini ada sebuah cerita dari Film “The Woman King” dalam alur cerita film di bawah ini akan menjelaskan bahwa perempuan sebagai pejuang sudah ada sejak lama, dimana banyak perempuan bisa yang memimpin bangsa bahkan menjaga keutuhan bangsa dari bangsa lain.

Potensi perjuangan perempuan ini tidak hanya mentok di dunia barat, namun meluas hingga hari ini perempuan Papua menjadi pejuang di atas Tanahnya. Perjuangan perempuan Papua pun tak jauh beda dari apa yang tertulis dalam alur cerita film di bawah ini,bahwa banyak perempuan papua yang telah muncul dari Tahun 1950-an sampai dengan 2022 ini. Kualitas politik perempuan Papua dalam memperjuangkan HAM di Bangsa Papua sangan luar biasa, sebelum lanjut pada tahap dimana perjuangan perempuan Papua mulai terlebih dahulu dimulai dengan sinopsis Film The Woman King sebagai pengantar untuk mematakan stikma-atikma di atas untuk memahami bahwa perempuan bukalah mahluk yang lemah tetapi perempuan juga bisa memimpin suatu Bangsa.

Sinopsis Film The Woman King

“The Woman King” adalah film epik sejarah yang menceritakan tentang Agojie, unit prajurit wanita yang melindungi Kerajaan Dahomey di Afrika Barat selama abad ke-17 hingga ke-19. Mengambil latar tahun 1820-an, film ini mengikuti kisah Jenderal Nanisca (Viola Davis), pemimpin kelompok pejuang yang semuanya adalah perempuan, yang dijuluki Agojie, membebaskan para perempuan Dahomey yang diculik oleh para penjual budak dari Kekaisaran Oyo.

Hal ini memprovokasi Raja Ghezo (John Boyega) dari Dahomey untuk mempersiapkan perang habis-habisan dengan Oyo. Nanisca mulai melatih generasi baru prajurit untuk bergabung dengan Agojie untuk melindungi kerajaan.Bukan rahasia bahwa pemenang Academy Awards Viola Davis (yang juga berperan sebagai produser di film ini), merupakan bintang yang mampu menghidupkan cerita epik ini. Davis mampu menyelami tingkat kedalaman dan nuansa emosional yang mengesankan sebagai Nanisca, sang pemimpin Agojie. Karakter yang diperankannya bisa dibilang cukup kompleks. Ia adalah seorang pemimpin yang tegas, protektif, defensif, namun juga penuh cinta dan kerapuhan — walaupun ia tak ingin menunjukkan “kelemahan” itu di hadapan para prajuritnya.

Nanisca mencintai para wanita yang bergabung bersamanya di tengah peperangan, mencintai wanita-wanita muda yang baru akan memulai perjalanannya sebagai seorang pejuang kemerdekaan — merdeka dari penjajah, perbudakan, dan trauma serta rasa sakit yang mereka bawa bersama dirinya. Ia adalah sosok pemimpin yang ingin membawa semangat juang kepada para saudara perempuannya di wilayah tersebut, bahwa semua orang memiliki latar belakang serta ide yang berbeda, namun tetap memiliki hak untuk hidup dan setara.

Karakter keras Nanisca harus diadu dengan Agojie muda bernama Nawi (diperankan dengan sangat memukau oleh Thuso Mbedu), yang ambisius dan sama kokohnya seperti sang jenderal. Nawi merupakan seorang anak perempuan yang diserahkan oleh sang ayah kepada kerajaan karena ia menolak untuk dinikahkan dengan orang tua kaya. Hubungan antara Nanisca dan Nawi bermula sulit. Keduanya sering bertengkar saat petarung muda berulang kali mempertanyakan beberapa peraturan bahkan desas-desus yang menyelimuti Agojie, termasuk penggunaan ritual sihir tertentu.”Menjadi seorang pejuang tidak membutuhkan sihir atau ritual apa pun, namun kemampuan dan semangat untuk terus maju.” Kutipan ini — bisa dibilang merupakan salah satu yang terngiang baik untuk Nawi maupun audiens. Pengembangan karakter Nawi pun tak kalah bersinarnya dengan sang jenderal.

Mengimbangi seorang Viola Davis tentu bukan pekerjaan mudah bagi Mbedu. Namun, entah bagaimana ia mampu menancapkan begitu banyak sisi emosional karakter yang ia perankan, dan itu terlihat begitu mudah dan natural. Pun para Agojie lain seperti Izogie (Lashana Lynch), Amenza (Sheila Atim), hingga prajurit muda Fumbe (Masali Baduza). Tak berlebihan jika menyebutkan ansambel pemain di “The Woman King” semuanya seimbang, serta memiliki momen-momen penting dalam pembangunan karakter dan cerita.Film seperti “The Woman King” bisa dibilang jarang ditemui pada era saat ini di tengah lautan film-film blockbuster lainnya. Sutradara Gina Prince-Bythewood (“The Old Guard”), dan penulis naskah Dana Stevens, mampu mengemas film dengan sentuhan aksi dan drama yang menggetarkan bagi siapa pun yang menontonnya.

Adapun “The Woman King” merupakan adaptasi dari cerita yang ditulis oleh Stevens bersama Maria Bello pada tahun 2015 setelah ia mengunjungi Benin, tempat di mana Kerajaan Dahomey diduga berada beberapa abad lalu.Asal usul Agojie tidak didokumentasikan secara lengkap, namun para akademisi menduga mereka lahir karena kebutuhan. Kerajaan Dahomey, yang dikenal karena perang strategis dan serangan budak mereka, mencoba melawan dengan merekrut dan melibatkan wanita ke dalam jajaran militer. Setiap wanita yang belum menikah bisa terdaftar.

Film tak hanya mengandalkan aksi dan koreografi untuk adegan-adegan di peperangan. Intensitas juga dirasakan penonton saat para tokoh utama harus menghadapi hal-hal lain di luar medan perang: luka masa lalu, trauma, dan rasa bersalah yang terus menghantui, tuntutan untuk selalu menjadi kuat, hingga kewaspadaan agar mereka mampu hidup menyelamatkan para penduduk yang tertindas oleh ketidakadilan dan penjajah yang tak berprikemanusiaan. Emosi-emosi inilah yang membuat “The Woman King” berbeda dari film-film konvensional lainnya yang mengambil tema yang sama. Film ini seakan menggelitik penonton dengan pertanyaan, “Bagaimana kita bisa menilai seseorang itu kuat?”. Apakah karena ia seorang prajurit?; Apakah karena ia mendahulukan kepentingan kerajaan daripada dirinya?; Apakah karena ia berani berkorban?; Apakah karena ia mampu berdiri sendiri?; dan lainnya.

Meski berlatarkan ratusan tahun lalu, entah mengapa film ini mampu terasa begitu dekat di masa kini. Isu tentang hak dan perjuangan perempuan — hingga sekarang pun — rasanya masih sama dan harus terus digaungkan.Film ini menjadi pengingat sekaligus suara bagi para perempuan korban pemerkosaan yang biadab; bagi mereka yang masih merasa tidak mampu memilih jalan hidupnya; bagi mereka yang ingin merdeka dari segala ketidakadilan dan keterbatasan.

Secara keseluruhan, “The Woman King” bukan hanya sekadar soal peperangan, kekuatan, dan perempuan. Namun, film ini menggali lebih dalam ke ketukan dramatis yang sudah dikenal — yang bersandar pada tema umum soal cinta, persaudaraan dan komunitas, serta moralisme yang jelas.

Prajurut Perempuan Papua

Perjuangan perempuan Papua dalam mempertahankan harkat dan martabat orang asli Papua, sudah lama dilakukan sejak manusia papua ada di muka bumi papua yang di tandai dengan kisah perempuan papua mengembangkan budaya pertanian tradisional, membuat nyaman serta pakaian tradisional,mempertahankan ekonomi kerakyatan tradisional papua menciptakan yang menjadi pewaris Tanah Air Adat Papua dari dahulu kala hingga saat ini.

Peran perempuan papua dalam kanca polotik papua terus berkembang ke arah yang modern, dimana pada tahun 1950-an hingga tahun 1961 ketika belanda memberikan ruang politik yang seluas-luasnya kepada Orang Asli Papua terlihat dalam barisan anggota Nieuw Guinea Raad (Dewan Perwakilan Rakyat di masa pemerintahan belanda atas wilayah Papua) ada seorang perempuan atas nama Hanasby Tokoro yang menjadi anggota New Guinea Raad. Pada perkembanganya beliau juga terlibat sebagai salah satu Anggota Komite Nasional Papua yang turut membahas tentang perangkat kenegaraan Negara West Papua yang dilegalkan menggunakan peraturan pemerintah pada masa pemerintah Belanda atas Papua yang selanjutnya disebut sebagai Nenagara Boneka Buatan Kolonial Belanda oleh Presiden Repiblik Indonesia pada poin pertama isi Trikora yang dicetuskan pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Yogyakarta.

Selanjutnya pada tahun 1980-an melalui nyanyian-nyanyian ratapan dan bala kemanuasiaan Oksilia Nonim (Doktoranda pertama di Bidang Antropologi) selain itu Mama Yoseph Alomang yang awalnya menjadi korban kekejaman Militeristik berdiri menjadi pejuang politik Papua. Dan kemudian pada 1990-an bersamaan dengan Gerakan Reformasi Indonesia, banyak perempuan papua yang terlibat dalam HAM Orang Asli Papua seperti yang dilakukan pejuang perempuan Papua sebelumnya melalui organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan juga Parlemen Jalanan di papua.

Terlepas dari itu,ada mama Tineke Rumkabu dan Insar-Insar di Biak berdiri Bersama para pejuang HAM di manara Air memperjuangkan hal politik Orang Asli Papua, Mama Tineke Rumkabu dan kawan-kawan hingga menggelar Pengadilan Rakyat Internasional Australia. pada Tahun 2000-an keatas terlihat Gerakan Mama Papua yang tergabung dalam SOLPAP memperjuangkan Pasar Khusus bagi Mama Papua.

Masih di Tahun 2000-an ke atas juga mulai terlihat adanya Perempua Papua Yang Menjadi Advokat perempua Puapua yang berdiri paling depan dalam memberikan bantuan Hukum terlebih khusus untuk Orang Asli Papua.pada tahun 2010-an mulai terdengar suara perempuan papua pejuang hak politik orang papua di kancah internasional.Dialah Leoni Tanggahma,Kiprah mama Leoni Tanggahma sebagai perempuan Papua pejuang hak politik Orang Asli Papua terlihat pada saat beliau ikut terlibat aktif dalam pembentukan wadah Persatuan Papua tingkat internasioanl untuk memperjuangkan hak politik Orang Asli Papua.

Dan banyak sekali pejuang perempuan papua yang belum diketahui dalam memperjuangkan hak politik Orang Asli Papua.kisah perjuangan perempuan Papua di atas menunjukan kualitas politik perempuan papua yang luar biasa yang telah berjalan dari tahun 1940-an sampai dengan tahun 2022 ini.

Kesimpulan

Dari cerita Fim ini mematahkan seluluruh stikma buruk laki-laki di dunia Ini terhadap Wanita bahwa, perempuan bukanlah mahluk yang lemah. Seperti yang dikatakan Pendeta Socratez Yoman dalm bukunya yang berjudul “Perempuan bukan Budak Laki-Laki” bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diberikan kuasa dan mandate penuh dari Tuhan Allah untuk menguasai seluruh ciptaan Tuhan. Bukan untuk saling menguasai dan menindas dan meremehkan sesamea manusia. Perempuan Papua hari ini harapan untuk masa depan,banyak perempuan papua yang telah memperjuangkan hak-hak orang asli papua dan Sebagian telah gugur dari perjuangan untuk membela Tanah Air West Papua akan tetapi banyak perempuan Papua juga yang telah lahir sebagai pejuang untuk melanjutkan perjuangan demi membebaskan Tanah leluhur west papua.

Untuk perempuan Papua yang telah lahir sebagai pejuang hari ini,saya ucapkan selamat datang di surga yang terlantar. Jangan lupa untuk memperjuangkan hak hidup Orang Asli Papua,yang telah kau lahirkan sebagai manusia namun Mereka labeli sebagai Teroris, Moyet,dan lain sebagainya. Kami berharap suapay ke depan ada banyak pejuang perempuan papua yang harus mengihilangkan stigma penjajah itu untuk menuju kebebasan sejati .Kemerdekaan itu hal yang pasti maka kita harus berjuang untuk membebaskan manusia, hidup perempuan Papua.

***

Referensi:

Lembaga Darut Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, cetakan 1 (Bandung: Penerbit Mizan, 1990), 30.

“The Woman King” melakukan pemutaran perdana dunianya di Festival Film Internasional Toronto pada 9 September 2022, dan Sony Pictures merilis film tersebut di bioskop Indonesia mulai dari, 5 Oktober 2022.

Perempuan bukan Budak Laki-Laki (Dr. Socratez Yoman)

suarapapua.com

 

 

Sehend Sama
Penulis adalah aktivis mahasiswa Papua di Aliansi Mahasiswa Komite Kota Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan