Analisa Harian Paniai Berdarah dan Wajah Kolonialisme di Papua

Paniai Berdarah dan Wajah Kolonialisme di Papua

-

Pengantar

Sidang Kasus Paniai telah berlangsung di Pengadilan HAM Makassar sejak tanggal 21 September 2022. Suatu kesempatan berharga untuk saya bisa berada di dalam ruang sidang Pengadilan HAM Makassar. Ini adalah kasus yang besar dan berat dan saya bisa berada di dalam untuk melihat, mendengar, dan merasakan bagaimana orang Papua dipandang dalam hukum Indonesia. Di saat air mata terjatuh di kota kolonial, seorang kakak memberi pesan untuk menguatkan, “Kalian telah menjadi bagian dari sejarah.” Benar bahwa sejarah yang pilu itu kami lalui, agar kelak menjadi bekal ke depan nantinya.

Tulisan ini adalah opini pribadi saya sebagai aktivis yang bekerja di jalanan tua (jalan perjuangan Papua) karena saya merasa perlu menuliskan pandangan saya tentang kasus Paniai dari sudut pandang aktivis yang mempersoalkan pelanggaran HAM di Papua. Ini juga tidak terlepas dari sedikitnya kritikan pada kasus Paniai dari kalangan aktivis, maka saya merasa penting untuk menuliskannya karena bagi saya tidak boleh ada sejarah yang terlewatkan dari diskusi, perdebatan, dan juga tulisan. Kita perlu memegang setiap catatan sejarah karena ini akan membantu kita untuk mengingat dan memikirkan persoalan bangsa yang besar ini kedepannya seperti apa.

Praktik Kolonialisme

Kolonialisme adalah upaya penaklukan dan penguasaan suatu wilayah dan sudah pasti juga harta benda dan rakyatnya. Kata kolonialisme menurut Oxford English Dictionary (EOD) berasal dari kata Romawi colonia yang berarti “tanah pertanian” atau “permukiman” dan mengacu kepada orang Romawi yang bermukim di negeri-negeri lain, tetapi masih mempertahankan kewarganegaraan mereka. Proses bermukim ini membuat mereka akan membangun komunitas baru dengan tidak menghilangkan identitas diri mereka, tetapi sebagai konsekuensinya identitas dari pemilik negeri tempat mereka harus bermukim bisa dihilangkan.

Peradaban dan kebiadaban akan diproduksi sedemikian rupa untuk memberikan garis pemisah antara hitam dan putih. Orang-orang Eropa yang melakukan praktik-praktik kolonialisme menggunakan pemisahan itu untuk kemudian direduksi menjadi sebuah paham tentang inferioritas orang-orang Non Eropa, yang kemudian memberikan pembenaran terhadap permukiman-permukiman, praktik perdagangan, misi-misi religius, dan kegiatan militer.

Ada banyak istilah yang digunakan dalam melancarkan kolonialisme, seperti antropofagi (manusia yang memakan sesamanya) yang digunakan oleh penulis Romawi bernama Pliny Tua, atau istilah orang-orang Carib (kanibal) yang digunakan oleh Columbus pada orang-orang Indian dan penggunaan istilah kanibal yang digunakan oleh Spanyol pada orang-orang di Karibia dan Meksiko yang menentang kekuasaan Spanyol.

Istilah kanibal, biadab, barbar, primitif, tidak bermoral, hingga kemudian diperhalus menjadi kata tertinggal dan terbelakang adalah salah satu upaya pemisahan antara penjajah dan bangsa yang sedang dijajahnya untuk, lagi-lagi menunjukkan inferioritas bangsa terjajah.

Sebuah pemukiman baru atau penguasaan wilayah yang terjajah telah menghasilkan praktik-praktik perdagangan, penjarahan, negosiasi, perang, pembunuhan massal, perbudakan dan pemberontakan-pemberontakan. Bahkan kepada perempuan kondisinya akan sangat memprihatikan karena akan terjadi pemerkosaan sebagai akibat dari nafsu biadab para militer yang berada di tempat dimana mereka ditugaskan untuk berperang. Ada dua alat yang digunakan oleh kolonial, yaitu rasisme dan militerisme.

Kolonialisme bukanlah hal yang baru, ini merupakan pemandangan lama yang terjadi berulang dalam sejarah umat manusia. Yang membedakan kolonialisme yang dibawah oleh Eropa dan sebelumnya adalah kolonialisme modern ditegakkan bersama dengan kapitalisme di Eropa Barat. Jadi, masuknya kolonialisme bukan sekedar mengambil kekayaaan dari negeri yang ditaklukkan, tetapi juga mengubah struktur perekonomian mereka, menarik mereka dalam hubungan yang kompleks dan terjadi arus sumber daya manusia dan sumber daya alam, dimana semua diangkut dari negeri terjajah dan diproduksi di negeri penjajah, kemudian dijual kembali di negeri yang terjajah, pada intinya semua keuntungan selalu mengalir ke negara penjajah. Ketergantungan yang diciptakan dari kolonialisme modern pun semakin kompleks.

Ini yang pernah terjadi yaitu rasisme dan tumbuhnya kapitalisme di negeri-negeri Afrika. Dimana di Afrika Utara, Rhodesia dan bagian Kongo bekas jajahan Belgia, ketika corak produksi kapitalis diperkenalkan dan sebagain besar orang kulit hitam dicerabut, diusir, dan dipaksa keluar dari model kerja tradisional. Akhirnya mereka, perusahaan kapitalis mengatakan bahwa orang kulit hitam itu malas karena tidak mau bekerja padahal mereka punya kesempatan bekerja di tambang dan pabrik lebih banyak dibanding mereka harus bekerja tradisional.

Kembali, bahwa kolonialisme di negara-negara Afrika ini terjadi dengan memperkenalkan corak produksi kapitalis, sementara pemisahan antara kulit putih dan kulit hitam tetap terjadi, dan segala stigma harus dipikul orang kulit hitam padahal ketidaksiapan mereka secara pengetahuan atau yang dikatakan bahwa “Tidak ada kekuatan material yang mendorong orang kulit hitam untuk bekerja di pertambangan, pertanian atau pabrik milik kolonialis kulit putih”. Jadi bagaimanapun, kondisi penjajah yang superior harus terpelihara dan harus terkonstruksikan dalam pikiran bangsa terjajah bahwa mereka inferior, mereka bodoh, mereka malas, untuk lagi-lagi membenarkan praktik penjajahan yang sedang terjadi.

Hal ini yang dirasakan di Papua Barat. Sebuah negeri manusia kulit hitam yang saat ini sedang dijajah, dihisap dan disingkirkan di atas negerinya Papua Barat. Stigma bodoh, pemabuk, tidak mampu, tertinggal bahkan ujaran rasis, seperti monyet dan babi harus ditelan orang Papua.

Kolonialisme di Papua Barat

Hubungan kontak Papua Barat dengan bangsa asing sudah terjadi sangat lama, namun ini hanya untuk tujuan perdagangan. Kontak dengan bangsa Spanyol dan Portugal terjadi dari tahun 1511-1663 , kontak dengan Belanda terjadi dari tahun 1606-1944, kontak dengan Perancis, Inggris, dan Jerman dari tahun 1768-1827, kontak dengan Tidore atau Maluku dari tahun 1453-1890.

Hubungan perdagangan kemudian berubah menjadi penjajahan di atas Papua, dimana tahun 1875 pemerintah Belanda secara resmi mencatat Nieuw Guinea (Papua Barat) sebagai wilayah jajahan Belanda. Tim ekspedisi Belanda telah melakukan penelitian-penelitian tentang manusia Papua yang dianggapnya primitif. Ekspedisi Belanda itu dilakukan sampai tahun 1930an dan berjumlah 140 ekspedisi. Hal yang sama juga dilakukan oleh Indonesia, dimana pada tahun 1980an Indonesia harus mengeluarkan uang ratusan juta untuk meneliti tentang sistem kepemilikan tanah dan kepemimpinan tradisional di Papua, yang semata-mata bertujuan untuk penaklukan, penguasaan dan perampasan tanah di Papua Barat.

Belanda tidak pernah membangun Papua, tujuan Belanda di Papua adalah murni tujuan penjajahan. Hal ini yang nampaknya masih kabur dikalangan orang tua dan anak-anak muda, yang karena bejatnya penjajahan Indonesia, kemudian membandingkan antara penjajahan Belanda dan penjajahan Indonesia. Di zaman Belanda pernah terjadi pemerkosaan terhadap perempuan di daerah Jayapura, perempuan yang telah bersuami dan diperkosa oleh Polisi Belanda. Di zaman pemerintah Belanda, orang Papua lebih banyak disebut babi. Orang-orang Sentani dihukum karena menangkap ikan dari danau, yang mana itu adalah bibit-bibit ikan yang dilepas oleh Dinas Perikanan di Danau Sentani. Oleh pemerintah Belanda, orang-orang Sentani harus menerima hukuman, mereka disuruh berdiri dan dikatai sebagai babi yang tidak tahu berterima kasih karena sudah dibangun oleh pemerintah Belanda. Betapa menyedihkannya karena mereka tidak memahami apa yang dikatakan oleh orang-orang Belanda pada mereka.

Semua catatan ujaran rasis dan perlakuan biadab penjajah Belanda tidak banyak diketahui karena keterbatasan referensi dan dokumentasi sejarah secara tertulis yang mengungkap kejahatan mereka sebagai bangsa penjajah. Beruntunglah kita karena hari ini bisa mendokumentasikan segala bentuk kejahatan Indonesia lewat foto, video, hingga tulisan untuk menjadi catatan sejarah bahwa hidup kita dan nyawa kita pernah dan sedang dianggap seperti binatang yang tidak berharga dimata penjajah Indonesia.

Kasus Paniai Berdarah

Dimana pun penjajahan terjadi, pelanggaran HAM berupa pembunuhan, penyiksaan, pembantaian, pemerkosaan adalah hal yang sudah seharusnya terjadi, seperti yang terjadi hari ini di Papua Barat. Data Triwulan pertama tahun 1998 ELSHAM Jakarta menyebutkan telah terjadi 1.629 Pelanggaran HAM yang fundamental yang tergolong hak-hak yang tidak dapat dikurangi, terjadi di 12 Provinsi di Indonesia. Hak yang dilanggar adalah hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari pemusnahan seketika dan hak bebas dari penghilangan paksa. Di Papua Barat sendiri sejak tahun 1963-2004 telah terjadi 15 operasi militer.

Menurut standar HAM internasional, ada empat jenis pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional atau Rome Statute of the International Criminal Court (ICC), yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, agresi, dan kejahatan perang. Sementara di Indonesia ada UU No. 26 Tahun 2000 yang ditetapkan dengan maksud untuk memberikan landasan hukum dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat khususnya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Memang hanya keduanya, genosida dan kejahatan kemanusiaan yang akan diselesaikan melalui pengadilan HAM karena Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma.

Dari sekian banyak kasus kejahatan Indonesia terhadap manusia Papua, hanya ada tiga kasus di Papua yang merupakan dugaan Pelanggaran berat, yaitu kasus Wasior Berdarah (2001), Wamena Berdarah (2003), dan Paniai Berdarah (2014).

Kasus Paniai Berdarah berjalan lebih dulu dibanding dua kasus sebelumnya. Penetapan satu tersangka, yang kemudian menjadi satu terdakwa menuai kontroversi karena ada unsur sistematik dan meluas dalam pelanggaran HAM Berat. Dalam unsur meluas, sudah pasti membutuhkan banyak pelaku untuk melakukannya, namun orang yang dijadikan terdakwa adalah orang yang justru menurut masyarakat, mereka tidak melihatnya.

Satu terdakwa itu adalah Mayor Inf Isak Sattu, yang saat itu menjadi Perwira Penghubung Kodim 1705/Paniai. Ia dianggap bertanggung jawab karena memiliki kekuasaan untuk mencegah dan menghentikan kekerasan dan penembakan yang dilakukan anggotanya. Setelah melalui sekitar 11 kali sidang dengan menghadirkan 52 saksi, akhirnya terdakwa Isak Sattu terancam akan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Dalam sidang ini sebenarnya telah ada dua pelaku lapangan yang disebutkan oleh para saksi, yang pertama adalah anggota TNI yang bernama Yusman, ia yang menikam satu masyarakat sipil yang berlari ke arah Bandara karena tembakan dan ia tertinggal di belakang, Yusman menikam dengan sangkur dan mengatakan, “Mati ko”. Yang kedua adalah Gatot, seorang Provos di Koramil Enarotali yang mengeluarkan tembakan ke arah massa, sayangnya mereka tidak ditetapkan sebagai tersangka.

Saya tertarik dengan kesaksian saksi Ridho Bagaray. Dalam kesaksiannya ia berkata, “Saya tidak ingat Perkapolri tentang penanganan massa karena biasanya jika di pegunungan kami tidak mengikuti Perkapolri, kami sesuai dengan situasional karena kalau kami mengikuti Perkapolri kami mati bodoh-bodoh”.

Ini merupakan sebuah pernyataan yang jujur tentang kinerja mereka dalam menangani permasalahan di Papua. Mereka berusaha menunjukkan situasi Papua yang tidak kondusif, yang membuat mereka bisa bekerja tanpa mengikuti Perkapolri, ditambah dengan ketidakpahaman mereka pada Waita (tarian adat tradisional suku Mee) dan berusaha menunjukkan bahwa Waita adalah tarian masyarakat untuk melakukan perang jadi untuk menanggapinya dibutuhkan senjata dan peluru.

Hampir semua saksi dari Polri tidak mengenal korban yang tewas dan terluka. Mereka seperti menembak binatang yang tidak memiliki keluarga sehingga untuk mengetahui nama manusia yang tewas dan terluka adalah hal yang tidak penting bagi mereka.

Saya dibuat muak ketika menyaksikan para Perwira duduk memberikan kesaksian. Mereka menggambarkan orang Papua seperti manusia barbar yang asal mengeluarkan panah dan batu pada mereka padahal tindakan masyarakat dipicu oleh ulah anggota yang memancing masyarakat dengan bunyi tembakan. Wakapolres Paniai saat itu, yang juga hadir sebagai saksi mengatakan bahwa ada pihak ketiga dan ada bunyi tembakan yang diduga berasal dari TPNPB. Keterangan ini kemudian menjadi dalil bagi pengacara terdakwa untuk mengatakan bahwa bisa jadi TPNPB yang menembak masyarakat karena TPNPB memiliki senjata yang sama. Melempar tudingan konyol seperti ini selalu menjadi kebiasaan mereka.

Ada perbedaan kronologis kejadian kasus Paniai tanggal 7 Desember 2014 yang dimiliki oleh Komnas HAM dan oleh JPU. Dalam kronologis JPU, dikatakan bahwa ada anak-anak memegang karton dan meminta uang dipinggir jalan untuk membangun pondok natal, kemudian karena anggota 753 memberikan uang sedikit, akhirnya terjadi adu mulut. Saksi lain juga mengatakan bahwa anak-anak ini dalam kondisi mabuk. Mereka berusaha menunjukkan orang Papua sebagai orang yang pemabuk dan dapat bertindak kasar jika apa yang diminta tidak diberikan.

Sedikit kembali pada kronologis Kasus Paniai Berdarah. Kasus ini dimulai dari peristiwa tanggal 7 Desember 2014 di Pondok Natal, di Distrik Paniai Timur. Dimana pada malam hari, anak-anak sedang duduk menyanyikan lagu-lagu natal, kemudian muncul motor yang tidak menggunakan lampu, akhirnya mereka menegur dan mengingatkan pengendara motor untuk berhati-hati karena kondisi jalan yang rusak. Pengendara motor ternyata adalah anggota Timsus 753, yang karena tidak terima ditegur untuk menggunakan lampu, kemudian memanggil teman-temannya dari Timsus 753 untuk melakukan serangan pada anak-anak di Pondok Natal.

11 anak yang dipukul oleh 5 anggota TNI bersenjata lengkap. Mereka melakukan penganiyaan berupa pemukulan menggunakan popor senjata laras panjang dan penendangan dengan sepatu laras kepada anak-anak yang sedang duduk di Pondok Natal.

Peristiwa malam ini memantik kemarahan masyarakat pada tanggal 8 Desember, masyarakat melakukan Pemalangan di Gunung Merah untuk menuntut pertanggung jawaban dari anggota yang menyerang anak-anak mereka. Situasi yang baru saja akan kondusif setelah masa ditenangkan harus berubah karena suara tembakan dari Lapangan Karel Gobay. Masyarakat yang masih geram karena ulah anggota yang menyerang anak-anaknya, dibuat geram dengan bunyi tembakan. Mereka mengejar suara tembakan sampai di Lapangan Karel Gobay dan melakukan penyerangan di Kantor Koramil dan Polsek Paniai Timur.

Dalam peristiwa itu, 17 orang luka-luka dan lima orang tewas, mereka adalah Otianus Gobai (18), Simon Degei (18), Yulian Yeimo (17), Abia Gobay (17) dan Alfius Youw (17). Korban luka-luka terdiri dari laki-laki dan perempuan, tua dan muda, semua menjadi korban karena tindakan pemukulan, penganiayaan dan penembakan. Seorang anak SD berkata, “Tentara yang tembak saya”. Dan aparat kampung yang juga menjadi korban mengatakan, “Masyarakat tidak bawah apa-apa, tapi ABRI bawah senjata. Kami aparat jaga di tengah-tengah, baru Kepala Kampung Awabutu itu dapat tembak.” ujarnya.

Dari unsur serangan dalam Kasus Paniai menurut Komnas HAM dapat dibuktikan dengan terdapat pasukan TNI dan Polri yang disiapkan untuk menangani masa sebanyak 11 personil Polsek Paniai Timur, 11 anggota TNI Koramil, 7 orang personil Brimob, 5 anggota Pleton Dalmas Polres Paniai, dan 7 Anggota Timsus dengan penggunaan senjata Senpi AK47, Senpi SS1, dan SS V2 Sabhara. Aparat Brimob yang dilengkapi Senpi AK 101 dan SS1 Kal, 5,56 mm. Aparat TNI yang menggunakan Senpi Laras Panjang, Senpi M-16 Kal 5,56 mm dan Senpi SS1 V3, dan Senpi jenis stand. Anggota Koramil Enarotali yang menggunakan senjata api genggaman jenis FN, Senpi jenis Stend, Senpi Jenis M16, Senpi M-16, Senpi SS1, dan Senpi Laras Panjang Jenis S. O Daewo.

Menurut Komnas HAM, Kasus Paniai Berdarah telah memenuhi unsur-unsur kejahatan kemanusiaan, seperti unsur sistematis dan meluas, unsur serangan, dan ditujukkan terhadap penduduk sipil.

Pelanggaran HAM Berat seperti ini terjadi karena ada stigma atau pelabelan negatif negara terhadap penduduk sipil di Paniai. Saat itu Paniai ditetapkan sebagai salah satu daerah zona merah, maka ada Operasi Aman Matoa V yang dilakukan disana, maka terpenuhi unsur sistematis bahwa kejadian ini, lagi-lagi tidak terlepas dari bagaimana negara memandang orang Papua dan ini akan mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam hal keamanan untuk menghadapi orang Papua dan pandangan ini terus terbawah sampai ke meja pengadilan lewat setiap narasi negatif yang dibangun tentang orang Papua.

Penutup

Tidak ada satupun yang bisa menyangkal bahwa tindakan Indonesia terhadap Papua adalah tindakan penjajahan yang tidak terlepas dari kepentingan untuk penjarahan dan eksploitasi sumber daya alam, maka rasisme, diskriminasi, dan penggunaan militer adalah tindakan yang harus dipakai oleh Indonesia dalam rangka mempertahankan kekuasaannya dan menaklukan orang Papua yang mencoba melawan keberadaan penjajahan Indonesia.

Pemerintah Indonesia melalui Mahmud FD mengatakan bahwa pemerintah akan menyelesaikan tiga kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua. Dimana pada tanggal 8 Desember 2022 kita akan menunggu hasil dari kasus Paniai, sementara dua kasus lainnya, Wasior Berdarah dan Wamena Berdarah dalam proses penyelesaian.

Sidang dugaan Pelanggaran HAM Berat Paniai sendiri hanyalah formalitas untuk membuktikan komitmen negara bahwa mereka akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat di Papua. Indonesia memang tidak punya itikad baik untuk memberikan keadilan bagi rakyat Papua, justru yang ada narasi negatif tentang orang Papua yang dimunculkan untuk membenarkan tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia terhadap orang Papua.

Namun bagaimanapun setiap praktik kolonialisme yang dilakukan oleh Indonesia di Papua sebisa mungkin tidak luput dari pendokumentasian kita agar ke depan tidak ada lagi istilah kolonialisme baik hati atau kolonialisme yang manusiawi karena sesungguhnya dimanapun kolonialisme itu terjadi, maka kemanusiaan harus diinjak-injak dan keadilan tidak akan pernah diwujudkan. Setiap dokumentasi berupa foto, video dan tulisan akan menjadi alat pendidikan politik, yang akan membangkitkan kesadaran setiap manusia terjajah bahwa tidak akan ada harapan hidup dalam sistem penjajahan, hidup kita hanya menunggu giliran siapa yang berikutnya dihabisi dalam penjajahan ini dan dengan cara apa kita dihabisi. Pilihannya hanya dua, Sadar, Bersatu dan Lawan atau diam sembari menunggu lonceng kematian itu dibunyikan.

***

Pustaka:

Lomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonalisme. 2016. NARASI: Yogyakarta.

Mandel, Ernest. Pengantar Teori Ekonomi Marxis. 2013. Bintang Nusantara: Yogyakarta.

Alua, Agus. Papua Barat Dari Pangkuan ke Pangkuan. 2006. Sekretariat Presidium Dewan Papua: Jayapura.

Kawer, Gustaf. Hukum Acara Peradilan Hak Asasi Manusia. 2022. Jayapura.

Laporan Komnas HAM Peristiwa Paniai 2014

Yokbeth Felle
Penulis adalah aktivis dan Pengasuh Rubrik Perempuan Lao-Lao Papua.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan