Analisa Harian Gastro-Kolonialisme: Penjajahan dalam Sekardus Mie Instan

Gastro-Kolonialisme: Penjajahan dalam Sekardus Mie Instan

-

Pada bulan Oktober kemarin, seorang aparat di Papua mengunggah sebuah video yang viral di TikTok. Dalam video yang ditonton lebih dari 15 juta kali tersebut, ia mendokumentasikan warga Papua yang kerap mendatanginya untuk menukar sayuran dengan beras dan mie instan. Ternyata, hal ini sudah sering terjadi di sana, buktinya di akun TikTok tersebut sudah ada puluhan video lainnya yang merekam kejadian serupa.

Video ini dikemas dengan narasi yang mengharukan. “Mama ini datang dari kampung sebelah dengan keempat anaknya untuk menukar tomat dengan mi instan”, tulis pemilik akun dalam video yang viral itu. Video tersebut pun dibanjiri pujian, banyak komentar bernada apresiatif yang mengucap syukur dan rasa terima kasih karena “sudah mau berbagi dengan rakyat Papua”.

Namun, narasi yang meromantisasi penderitaan rakyat Papua seperti di atas membuat banyak orang luput dengan permasalahan sebenarnya: mengapa warga Papua rela menukar sayuran yang bergizi demi beberapa bungkus mie instan? Dan, mengapa, meski lahan Papua sudah banyak yang diubah menjadi lumbung pangan, beras tetap menjadi komoditas yang langka dan mahal bagi warga di sana? Jawabannya, penjajahan.

Sulitnya Mencari Makan di Tanah Sendiri

Istilah gastro-colonialism atau gastro-kolonialisme pertama kali dicetuskan oleh seorang peneliti dan aktivis dari Guam, Craig Santos Perez. Ia menggunakan istilah gastro-kolonialisme atau penjajahan pangan untuk menggambarkan ketergantungan masyarakat Hawaii terhadap produk pangan impor yang dibuat dengan bahan-bahan berkualitas rendah dan diproduksi oleh perusahaan multinasional, sehingga hal ini memicu berkurangnya kondisi gizi masyarakat setempat.

Apa yang terjadi di Hawaii terjadi juga di Merauke. Papua sebenarnya memiliki sumber pangan yang berlimpah dan bergizi seperti sagu, ubi, singkong, dan berbagai jenis sayuran yang beragam. Warga Papua juga terbiasa memanfaatkan hutan untuk mendapatkan sumber protein dari hewan-hewan yang ada di sana. Namun, semua ini berubah ketika pendatang asing datang dan mengubah lahan-lahan Papua menjadi pertanian serta perkebunan berskala besar.

Melansir dari Rainforest Journalism Fund, penjajahan pangan yang terjadi di Papua sudah dimulai ketika Belanda memproyeksikan ratusan hektar lahan di Papua untuk menjadi lahan pertanian dan peternakan. Namun pada saat itu, lahan pertanian ini didirikan bukan untuk kepentingan masyarakat lokal, melainkan untuk kepentingan suplai beras nasional sedangkan beras sendiri bukan merupakan pangan lokal yang biasa dikonsumsi oleh warga Papua.

Ketika Papua akhirnya diserahkan ke Indonesia, kondisi ini tetap berlanjut, apalagi ketika gelombang transmigran datang ke Papua dengan membawa jenis pangan dan tradisi makan yang berbeda. Selain itu, hutan yang selama ini menjadi salah satu sumber pangan bagi warga lokal juga dibabat habis untuk proyek lumbung pangan yang lagi-lagi, tidak mementingkan kebutuhan pangan warga lokal.

Ketergantungan Pangan

Berhubung sebagian besar hutan Papua sudah dibabat untuk lahan pertanian dan kini dikuasai oleh perusahaan, warga setempat tidak lagi bisa mengakses sumber pangan mereka. Di saat yang bersamaan, para pendatang yang sebagian besar datang dari Jawa membawa produk kemasan seperti mie instan ke Papua. Mau tak mau, warga Papua akhirnya bergantung kepada produk pangan dari luar daerah seperti mie instan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun perlu diingat, harga mie instan dan beras di sana bisa berkali-kali lipat dari harga di pulau Jawa.

Peneliti dari University of Sydney, Sophie Cho, mengatakan bahwa apa yang terjadi di Papua merupakan bentuk penjajahan pangan. Masyarakat Papua memiliki kebiasaan makan yang bergantung kepada hutan, dan tradisi ini adalah bentuk ekspresi identitas dan kebudayaan lokal. Namun kebiasaan makan ini seringkali dicap terbelakang baik dari segi budaya maupun pemenuhan gizi. Kemudian melalui agenda ketahanan pangan nasional, warga Papua justru kehilangan hak untuk mengakses sumber pangan mereka sendiri.

Mie instan produksi dalam negeri memang telah menjadi produk kebanggaan warga Indonesia, terutama penduduk pulau Jawa. Sehingga, tidak heran kalau ada banyak orang yang menolak penggunaan istilah “penjajahan” untuk menggambarkan apa yang terjadi di Papua. Tapi, bukankah seharusnya warga setempat bisa memilih, mengakses, dan mengolah sumber pangan mereka sendiri? Sulit untuk mengatakan bahwa hidup sudah merdeka, kalau untuk urusan pangan pun masih harus didikte oleh orang lain.

***

Catatan: tulisan ini pertama kali terbit di cxomedia.id pada 28 Desember 2022. Diterbitkan kembali disini atas ijin penulis untuk tujuan propaganda dan pendidikan di Papua.

Anastasya Lavenia
Penulis adalah peneliti di Resilience Development Initiative (RDI).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan