Analisa Harian Pendidikan Gratis dan Gerakan Mahasiswa di Papua

Pendidikan Gratis dan Gerakan Mahasiswa di Papua

-

Bagi sebagian orang bisa jadi tema tulisan ini dianggap tidak relevan,mengada-ada, tidak menarik atau bahkan aneh. Sebab mungkin saja bagi mereka, wajar bahwa pendidikan itu mahal, toh di seluruh dunia semua orang harus bayar mahal untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan apapun. Bisa juga terbersit berbagai pertanyaan di kepala mereka. Apa korelasinya antara mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di kampus dan tanggung jawab yang berkaitan dengan judul tulisan ini? Apa logis mengusung tema pendidikan gratis bagi rakyat Papua? Bahkan mungkin kita pernah mendengar pandangan yang mengatakan bahwa tidak akan semua orang harus sekolah,karena kalau semua orang sekolah dan menjadi tuan maka tidak akan ada orang yang babu, tidak pesuruh, tidak ada buruh atau pekerja dengan upah sangat rendah.

Jika kita sepakat dengan cara berpikir yang menganggap bahwa pendidikan yang mahal adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, seraya menganggap bahwa tema tulisan ini tidak relevan, tentu kita akan berhadapan dengan sejumlah pertanyaan lain pula. Misalnya, apakah tema tulisan ini bertentangan dengan tujuan bernegara yang diatur dalam konstitusi Negara ini? Bagaimana hubungan antara pancasila yang berbunyi ‘’Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’’dengan kenyataan bahwa masih ada warga Negara Indonesia yang terpaksa harus putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan? Apakah seluruh warga Negara bisa mengakses pendidikan berkualitas?Apakah Tanah Papua dengan kekayaan berlimpah tidak mampu mengalokasikan dana pendidikan yang cukup untuk gratiskan pendidikan bagi sekitar hanya 2 juta penduduk asli Papua dan bahkan di tambah lagi sekitar 2 juta kaum migran yang hidup di Papua.

Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan pemicu untuk berdiskusi lebih dalam dan jauh tentang tema ini. Dan untuk mendapatkan sudut pandang yang mungkin berbeda dari sudut pandang umum yang sudah kita bisa jumpai. Mari kita dalami tulisan ini sebagai referensi awal untuk terus membangun konstruksi berpikir alternative yang progresif.

Konsitusi, Landasan Normatif Pendidikan Gratis

Sebagaimana ditulis oleh Issha Harruma yang merujuk pada buku dasar- dasar ilmu politik karya Miriam Budiardjo, bahwa negara merupakan organisasi masyarakat tertinggi yang memiliki teritori tertentu. Dan Negara berkuasa atas teritori dimaksud, berkuasa atas semua sumber daya agraria (sumber daya alam), yang kekusaanya oleh perundang-undang yang sah. Dan hal mendasar pada konstitusi atau perundang-undangan. Tujuan adalah cita –cita yang hendak dicapai sehingga harus selalu menjadi pedoman bernegara,dimana tujuan paling umum dari setiap Negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Tujuan Negara Indonesia yang dimuat pada alinea keempat Konstitusi 1945,untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Artinya, memastikan seluruh rakyat Indonesia bisa mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan yang layak. Tidak hanya itu,pendidikan yang diberikan kepada rakyatnya juga harus berkualitas, sangat jelas menunjukan bahwa pemerintah Negara sebagai subyek utama yang menjalankan fungsi Negara,harus memastikan bahwa seluruh rakyat dapat menjadi cerdas. Yakni tentu melalui program dan strategi-taktik pendidikan yang tepat,berkualitas,dan dapat mengikut sertakan segenap rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Sampai sejauh ini kita dapat simpulkan bahwa memperjuangkan pendidikan gratis tidak bertentangan dengan konstitusi Indonesia bahkan sejalan, meski tidak secara eksplisit tersurat bahwa pemerintah harus menjalankan pendidikan gratis. Gratis tidaknya pendidikan di Negara ini pada dasarnya hanya berkaitan dengan persoalan ada tidaknya dana yang cukup di dalam kas Negara ini. Pendidikan gratis justru mengusung semangat dari nilai –nilai yang ada dalam konstitusi, pada konstitusi sudah ditegaskan bahwa pendidikan adalah hak warga Negara, dan pemerintah Negara, tentang biaya pendidikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggara Pendapatan Belanja Negara (APDN) harus memberikan porsi minimal 20 persen, artinya memungkinkan untuk lebih dari itu jika kondisi keuangan Negara atau daerah atau daerah memungkinkan.

Tentang gratisnya biaya pendidikan pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SLTP), sekolah menengah atas (SLTA) bahkan tingkat pendidikan tinggi (perguruan tinggi) sangat memungkinkan untuk di perjuangkan. Hal ini bukan sesuatu yang tabu, terlarang atau bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Kalimat , wajib membiayai ‘’Pendidikan Dasar” bagi seluruh warga Negara, dan kalimat,”Harus membiayai minimal 20” itu memberi celah untuk meningkatkan kewajiban pemerintah untuk dapat membiayai seluruh tingkat pendidikan dan meningkatkan prestasi dana pendidikan.

Opini atau praktek yang mengandung unsur–unsur penolakan terhadap perjuangan untuk mewujudkan pendidikan gratis pada giliranya justru akan bertentangan dengan konstitusi Negara Indonesia dan berpotensi mendukung liberalisasi terhadap pendidikan. Menjadikan sekolah dan kampus negeri menjadi seperti kampus swasta kampus yang membuat menjadi semakin mahal adalah buktinya. Dan hal ini sesungguhnya mengancam cita –cita Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan sila ke lima pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia.” Di Negara ini pendidikan adalah bagian dari sektor public (umum),bukan sector privat (Pribadi),karena itu tidak boleh sama sekali pendidikan dibisniskan, sebaliknya harus diberikan cuma–cuma kepada seluruh rakyat jika negara mampu.

Lalu bagaimana dengan sekolah –sekolah yang dikelola oleh pihak swasta? karena sekolah swasta turut menjalankan fungsi pemerintah dalam bidang pendidikan, maka idealnya sekolah maupun kampus swasta harus mendapatkan subsidi yang besar dari pemerintah. Dan inilah subsidinya semakin lama harus ditingkatkan sehingga lama kelamaan peserta didik di sekolah semakin tidak terbebani pungutan biaya pendidikan. Sejalan dengan pemberian subsidi, pemerintah juga tetap mengawasi dengan ketat agar sekolah swasta juga tidak membisniskan pendidikan dan memberatkan peserta didik dan mengawasi kualitasnya.

Dewasa ini pemerintah pusat telah menjalankan beberapa program yang mengarah pada terlaksana-nya apa yang mengarah pada pendidikan gratis. Misalnya dengan program wajib belajar 12 tahun (Dari SD Sampai dengan SLTA), dana operasional sekolah (BOS),dan kartu Indonesia Pintar. Selain itu, atas inisiatif lokal beberapa kabupaten atau provinsi juga ada yang telah menjalankan bentuk lain subsidi pendidikan bagi peserta didik mereka. Namun demikian hal–hal yang telah dilakukan pemerintah (Baik secara nasional maupun lokal) ini baru dirasakan oleh sebagian kecil orang, dan itupun dengan sejumlah syarat yang susah bagi sebagian orang. Bentuk–bentuk subsidi ini tidak bisa dijadikan bahan untuk membanggkan diri, sebagi sebuah prestasi. Sebab memberikan pendidikan gratis yang total sekalipun itu sudah merupakan tanggung jawab konstitusional pemerintah. Dan apa yang sudah dilakukan pemerintah itu pun masih belum menyentuh ratusan juta rakyat Indonesia lainya. Maka perjuangan untuk memperoleh pendidikan gratis bagi seluruh rakyat masih harus terus dilakukan.

Disisi lain harus diakui bahwa pada zaman modern kita sulit memisahkan mahasiswa dari setiap dinamika perjalanan sejarah sebuah masyarakat atau bangsa. Sebagai anak kandung rakyat, mahasiswa memiliki peran yang mulia dalam menggerakan roda sejarah peradaban masyarakat. Oleh karena itu mahasiswa bisa di juluki sebagai Agen Of Change Agen Perubahan,penjaga nilai penerus bangsa, Moral Force Kekuatan moral, dan social Control Pengontrol social. Dari uraian singkat pada paragraf terdahulu diatas terlihat bahwa mahasiswa akan selalu berada pada dua pilihan yaitu menjadi mahasiswa apatis atau mahasiswa apolitis, dikampus yang malas tahu dengan hiruk- hiruk dengan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai fakta objektif yang pada gilirannya akan menggiring subjek tersebut untuk ikut serta membangun civitas akademika sebagai menara gading. Menjadi mahasiswa yang ‘sadar’ akan tanggung jawab yang mulia mahasiswa sebagai agen perubahan, penjaga nilai, penerus bangsa, berbagai julukan terhormat sekaligus menunjukkan bahwa tanggung jawab sejarah bagi kemajuan peradaban masyarakat bangsa ada di pundak mahasiswa.

Menurut jenjang pendidikan, mahasiswa berada lapisan paling atas maka ketajaman analisis dan kesimpulan tentang kondisi-kondisi objektif masyarakat harus bagian dari ruang kelas sepanjang proses pendidikan dari paling rendah hingga level perguruan tinggi harus di uji atau dikritisi dengan bercermin pada apa yang menjadi kenyataan objektif pada kehidupan masyarakat. Inilah yang sesungguhnya membedakan “Maha” siswa dari siswa. Di kampus belajar, baik teori maupun berpraktek skala laboratorium. Sedangkan kenyataan kehidupan bernegara dan bermasyarakat adalah lapangan aplikasi yang sesungguhnya. Dimana pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat merupakan satu entitas tak terpisahkan. Sampai disini semakin jelas bahwa sesungguhnya melekat pada diri mahasiswa sebuah peran-hak dan kewajiban di tengah kehidupan masyarakat.Tan Malaka pernah mengatakan,”bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita –cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”

Mahasiswa dan kemajuan peradaban masyarakat

Apa kunci dari kemajuan sebuah peradaban? Menurut hemat kami, kuncinya adalah hubungan timbal-balik yang terus menerus antara ide (pikiran, kumpulan teori) di satu sisi, dan kerja manusia dalam menguasai alam dengan bekal ilmu pengetahuan serta teknologi demi memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Mahasiswa sebagai subyek paling terdidik atau paling berilmu dari sebuah masyarakat tentu menjadi subjek kunci dari kemajuan peradaban sebuah masyarakat _bangsa.

Jika sistem politik yang berlaku pada sebuah masyarakat bersifat menindas, tentu mahasiswa sebagai agen perubahan harus mengambil peran untuk membangun sistem politik alternatif yang lebih demokratis. Jika sebuah undang–undang atau peraturan yang di produksi rezim yang berkuasa itu tidak mencerminkan keadilan, tentu mahasiswa sebagai kekuatan moral harus turun dari menara gading-nya. Jika biaya pendidikan mahal, banyak orang mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan berkualitas, maka mahasiswa sebagai penerus bangsa dan pengontrol sosial harus mengambil peran untuk menyuarakan bentuk ketidakadilan sosial, dan berbagai hal lainya yang dihadapi oleh masyarakat. Mahasiswa tidak bisa membisu, dan hanya sibuk habiskan waktu mendengar ceramah- ceramah ilmiah (teoritis) dari para guru besar di ruang-ruang kampus sembari membisu terhadap kenyataan itu.

Kampus tidak boleh hanya menjadi pabrik sarjana,tetapi harus menjadi laboratorium peradaban. Selain itu pendidikan gratis sangat menentukan bagi kemajuan peradaban masyarakat bangsa. Sebab dalam proses pendidikanlah terjadi transfer pengetahuan dan keterampilan akan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dari generasi terdahulu ke generasi penerus melalui berbagai kegiatan pengajaran. Tanpa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni manusia tidak mungkin memasuki zaman serba modern seperti saat ini. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi manusia telah berani meninggalkan gua-gua yang menjadi rumah mereka pada zaman batu, menyeberangi samudara yang luas dan dalam, terbang dari satu benua ke benua lain,bahkan terbang dari bumi keluar angkasa. Melalui pengetahuan orang dapat menulis dan membangun peradaban jati diri sebagai bangsa beradab bukan bangsa biadab.

 Mahasiswa dan kewajiban berjuang

Pada beberapa paragraf terdahulu telah diurai tentang hubungan mahasiswa di kampus dan medan aplikasi serta peran kunci mahasiswa dalam memajukan peradaban masyarakat. Maka pada bagian ini kita akan mengurai tentang beberapa hal yang mendasari kenyataan keterlibatan mahasiswa yang berjuang bagi keterbukaan, kebebasan, kemajuan, kesejahteraan, keadilan penegakan HAM, dan berbagai tema spesifik lainya yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Randy Prasetyo mengatakan bahwa Siregar aktivis mahasiswa pada peristiwa Malari 1974 pernah mengatakan”gerakan mahasiswa merupakan pilar ke-5 demokrasi setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media massa” pernyataan ini menegaskan bahwa mahasiswa merupakan pilar penting di Negara ini. Di mana kita tahu bahwa telah banyak kali sejarah mencatat bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan, pada saat-saat yang paling kritis selalu memutuskan untuk meninggalkan kampus sebagai ”tempat pertapaan” dan turun ke jalan. Menggelar spanduk, memegang megaphone, orasi di sepanjang jalan, tak peduli bercucuran keringat atau bersimbah darah selalu menjadi bagian dari dinamika mahasiswa dalam mengawal perjalanan negara–bangsa ini. Bahkan tidak sedikit mereka yang hilang diculik atau gugur di jalanan sebagai pahlawan.

Selanjutnya, Randy Prasetyo (dalam artikel yang sama) juga menekankan bahwa mahasiswa harus menjadikan kampus sebagai kantong perjuangan atau basis gerakan, dan ini tidak terbantahkan. Mahasiswa tidak boleh membiarkan kampus sebagai ladang yang tidak diorganisir menjadi basis pergerakan. Dimana menurutnya, minimal ada tiga alasan untuk itu. Pertama, berdasarkan pengalaman sejarah, gagasan atau ide pembaharuan terhadap kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sudah using selalu lahir dari kampus. Kedua, kampus adalah lading sumber daya manusia, tempat berkumpulnya kaum cerdik pandai. Ketiga, di kampuslah tempat tradisi ilmiah bertumbuh dan berkembang. Ini berkontribusi terhadap lahirnya padangan dan sikap kritis yang mandiri berlandaskan obyektifitas.

Peran sebagai pengontrol hal spesifik dan jelas yang melekat pada mahasiswa (sadar atau tidak) yang selalu menggiring mereka untuk memberikan kritik, menawarkan solusi, atau saran kepada pemerintah sebagai pihak yang menjalankan fungsi negara. Tidak perlu hal itu diminta atau tidak diminta oleh pemerintah. Dan perlu ditekankan disini bahwa biasanya people Power selalu akan dipilih sebagai puncak dari metode perjuangan mahasiswa,apalagi jika mahasiswa menganggap bahwa pemerintah mengambil sikap ‘Tutup Mata-Telinga’ terhadap kritik atau penyampaian pendapat dengan cara lain. Itulah sebabnya, kebanyakan unjuk rasa yang menolak kebijakan pemerintah itu dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dari berbagai kampus.

People Power pada akhirnya menjadi metode pamungkas. Dimana metode perjuangan yang melibatkan massa mahasiswa (juga komponen rakyat lainya) ini sekaligus telah menjadi tradisi mahasiswa Indonesia maupun mahasiswa Papua, sebab bisa jadi metode diyakini efektif. Tentu ada banyak contoh, namun beberapa yang penting baik pada level nasional Indonesia maupun Papua, dimana gerakan mahasiswa menggunakan People Power sebagai Metodenya. Gerakan mahasiswa angkatan 66,yakni gerakan mahasiswa pada tahun 1965-1966 yang mencapai puncaknya pada 24 Februari 1966 dimana terjadi bentrokan antara massa mahasiswa dengan Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden). Akibatnya seorang mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arif Rahman Hakim Tewas. Gerakan ini mengusung tiga tuntutan yang dinamakan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yakni pembubaran PKI dan para anteknya; membubarkan atau merombak kabinet Dwikora; menurunkan harga kebutuhan pokok. Perlu diketahui juga bahwa gerakan angkatan 66 ini di dukung oleh tentara angkatan darat, khususnya untuk membubarkan PKI, selain itu, gerakan ini juga berkontribusi menumbangkan orde lama (Rezim Soekarno) dan melahirkan Orde Baru ( Rezim Suharto).

Gerakan mahasiswa angkatan 74, yakni gerakan mahasiswa yang menolak kebijakan Presiden Soeharto yang dianggap pro modal asing. Puncak pada apa yang dicatat sejarah sebagai peristiwa malari 74 (Malapetaka lima Belas Januari tahun 1974), kemudian gerakan mahasiswa angkatan 78, yakni gerakan mahasiswa menolak Soeharto kembali mencalonkan diri sebagai Presiden. Sebab mahasiswa kecewa atas praktek anti demokrasi yang dipraktekkan rezim Soeharto (Orde Baru), kemudian gerakan mahasiswa angkatan 80, yakni gerakan mahasiswa yang merupakan kesinambungan dari angkatan 78, yang pada dasarnya ingin menumbangkan rezim Soeharto dan Orde baru. Terakhir adalah gerakan mahasiswa angkatan 98, yakni dikenal dengan Gerakan Reformasi 98,berpuncak pada kejatuhan Soeharto dan rezim Orde Baru. Pada angkatan ini kita juga mengenal adanya pahlawan Reformasi empat orang mahasiswa Trisakti yang gugur akibat diterjang peluru tentara saat perjuangan mahasiswa pada 12 Mei 1998. Para mahasiswa yang menerima penghormatan sebagai pahlawan reformasi itu adalah.. Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto,Hafidin Royan,dan Hendriawan Sie.

Khusus di Papua kita mengenal adanya Group Mambesak dan Arnod C Ap. Memang Mambesak sebagai gerakan tidak spesifik menggunakan People Power sebagai metode perjuangan. Namun demikian Mambesak diangkat disini group dimaksud peran bentuk gerakan mahasiswa yang lahir di kampus, beranggotakan mahasiswa Uncen saat itu, dan mendapatkan simpatik luas dari masyarakat Papua. Kemunculan Mambesak juga bisa di lihat sebagai manifestasi protes, gerakan emansipasi (Pembebasan) kebudayaan gerakan yang membangkitkan kesadaran akan nilai seni Budaya Papua melawan hegemoni budaya mayoritas. Kematian pemimpin dan anggota lain dari group ini telah menjadi momentum penting bagi bangkitnya kesadaran politik perlawanan mahasiswa dan mayoritas orang Papua atas ketidak adilan pemerintah Rezim Orde Baru yang militeristik-Kapitalistik. Group ini turut berkontribusi bagi dikenalnya kampus Uncen dengan istilah ”Kampus Politik”. Dan tentunya ada kesinambungan historis antar gerakan Mambesak dengan gerakan perjuangan mahasiswa Papua hari ini.

Selain Mambesak kita juga mengenal peristiwa gugurnya Stefan seorang mahasiswa Uncen yang mati di tembak oleh anggota TNI pada tahun 1998. Saat itu Indonesia dilanda gelombang Reformasi 98, dan mahasiswa Uncen pun menggelar mimbar bebas di depan kampus Uncen, Abepura. Sejarah juga mencatat mengenal peristiwa 16 Maret Uncen Berdarah tahun 2006, yakni aksi protes mahasiswa Papua lintas Kampus terhadap PT Freeport dan TNI_Polri. Mereka menuntut Tutup PT Freeport, penarikan Pasukan TNI-Polri dari sekitar area pertambangan. Selain itu mahasiswa menuntut membebaskan 7 orang masyarakat sipil di Timika. Puncak dari aksi ini terjadi bentrok akibatnya empat polisi dan satu anggota intel TNI meninggal, balasan polisi puluhan mahasiswa mengalami cedera, dan hari berikutnya 1 mahasiswa mati di tembak (Lupa Nama). Dari uraian sejarah panjang gerakan mahasiswa, jelas dapat menggambarkan bahwa metode People Power yang mampu melengserkan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat, termasuk pendidikan gratis.

Penting untuk menegaskan kembali bahwa menurut konstitusi Indonesia, Negara dibentuk untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka sudah seharusnya setiap warga berhak mendapatkan pendidikan, dan sesungguhnya sangat standard untuk memperjuangkan dan pemerintah wajib membiayainya. Sedangkan bagi Tanah Papua, dengan konteks persoalan yang khusus, kehadiran otonomi khusus dan DOB dan sejumlah kebijakan lainya mesti mengusung sprit konstitusi secara konsisten sekaligus undang–undang no 2 tahun 2001 tentang perubahan Otonomi Khusus mengamanatkan setiap penduduk provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berhak memperoleh pendidikan yang bermutu dengan beban masyarakat yang serendah-rendahnya. Platform pendidikan gratis oleh Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP), dan diusung pada tulisan ini tidak berangkat dari idealisme belaka yang lahir sebagai imajinasi khayalan instan yang jatuh ke dalam otak. Melainkan berangkat dari berdasarkan kondisi objektif di tanah Papua. Lambatnya kemajuan pendidikan sebagai sikap pasif pemerintah yang melanggengkan kebodohan dan kesengsaraan berkepanjangan bagi rakyat. Permasalahan pendidikan masih sangat kompleks dan belum teratasi tuntas kini, meski data statistik Index Pembangunan Manusia (IPM) diklaim menunjukan adanya perkembangan. Tanah Papua masih tetap menjadi wilayah yang jauh tertinggal dari wilayah Indonesia lainya, mewujudkan pendidikan gratis merupakan kedaulatan yang sesungguhnya untuk menjadi manusia yang berkualitas secara pendidikan, beradab secara budaya makmur secara ekonomi.

***

Daftar Pustaka..

1.https//amps.kompos.com/nasional/read2022/05/20/0400001/Negara-tujuan dan fungsi

  1. Usman, Sunyoto. (1999). Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Politik atau Gerakan Moral?. Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik.November 1999.Artikel ini telah tayang di Kompas.comdengan judul “Gerakan Mahasiswa 1966 “, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/27/100000479/gerakan-mahasiswa-1966-?page=all
  2. Mengenag 37 Tahun kematian Budayawan dan Seniman Arnold C AP,https://old.jubi.co.id/karya-arnold-c-ap-menginspirasi-para-musisi-muda-papua/

4.Menghayati Kembali Peran Mahasiswa Bacaartikel detiknews, “Menghayati Kembali Peran Mahasiswa” https://news.detik.com/kolom/d-4724545/menghayati-kembali-peran-mahasiswa

  1. Randy Praseyo,Gerakan Mahasiswa Keluar dari kepungan Kampus http://blog.ub.ac.id/randyprasetyo/2014/11/26/gerakan-mahasiswa-keluar-dari-kepungan-kampus-sebagai-menara-gading/
  2. Mengenang Tragedi Trisakti Pahlawan Reformasi https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20220512/Mengenang-Tragedi-Trisakti-dan-Mahasiswa-Pahlawan-Reformasi/
  3. Suara Papua Com,Melawan Lupa.. Uncen Berdarah dan penembakan di PT Freeport,16 Marethttps://suarapapua.com/2020/03/16/uncen-berdarah-16-maret-2006/

 

Kristian Kobak
Penulis adalah Aktivis dari Forum Independen Mahasiswa-West Papua (FIM-WP) di Kota Jayapura

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Kapitalisme di Era Digital: Manusia, Ruang, dan Alat

Ide menulis tulisan ini, dimulai ketika beberapa waktu lalu...

Belajar Gerakan Kedaulatan Diri Owadaa dari Meeuwodide (Bagian 2)

Pada bagian pertama catatan ini sebelumya, saya mencoba untuk belajar pandangan konseptual tentang Owadaa. Selain itu, sisi teologis yang...

Belajar pada Njoto, Menuju Jurnalisme yang Mendidik Massa

Dalam deretan tokoh-tokoh jurnalistik di Indonesia, nama Njoto jarang terdengar. Kerap ketika berbicara mengenai sejarah jurnalisme di Indonesia, nama...

Empat Babak Sekuritisasi di Papua

Sejak dimulainya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 banyak terjadi pelanggaran hak asasi...

Mambesak dan Gerakan Kebudayaan Papua Pascakolonial

Mambesak tidak sekadar grup musik Papua biasa. Selain sebagai pioner dengan mempopulerkan lagu-lagu daerah Papua yang kaya dan beragam,...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan