Analisa Harian “Itulah yang mereka sebut pembangunan, dan itulah yang kita...

“Itulah yang mereka sebut pembangunan, dan itulah yang kita sebut penjajahan”

-

Jalan panjang perjuangan Victor Yeimo kembali menggugah perhatian kita semua. Bagi saya, paling tidak karena dua hal mendasar. Pertama, inilah sekelumit wajah rasisme negara Indonesia terhadap orang Papua. Kasus penangkapan Victor Yeimo dan berujung penetapannya sebagai tersangka makar adalah tanggapan dari perlakuan rasisme yang dialami mahasiswa Papua pada 19 Agustus 2019 di Surabaya. Kasus itulah yang kemudian mengundang aksi demonstrasi dan protes di beberapa kota di Tanah Papua. Aksi protes yang kemudian berujung amuk massa di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019 itulah yang menjadi dalih penangkapannya.

Victor ditangkap Satuan Tugas Penegakan Hukum (Satgas Gakkum) Nemangkawi di Tanah Hitam, Abepura, pada 9 Mei 2021. Kemudian pada 21 Februari 2021, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Victor Yeimo telah melakukan makar karena terlibat dalam aksi unjuk rasa anti rasisme Papua yang berujung menjadi amuk massa di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019. Orang Papua dan Victor, para pejuang menolak rasisme lainnya yang memperjuangkan harkat dan martabatnya justru dikriminalisasi oleh hukum negara ini. Tidak hanya Victor, saya yakin banyak orang Papua yang melakukan aksi protes rasis justru mengalami perlakuan kekerasan dan rasis juga dari aparat keamanan. Ini tentu saja semakin menambah deretan panjang tabiat negara yang bebal dan tidak pernah belajar dari kasus rasisme terhadap orang Papua. Kita tentu tidak akan pernah lupa foto yang menyesakkan pada hari Jumat, 13 Juli 2016. Itulah Obby Kogoya, mahasiswa Papua di Kota Yogyakarta, yang sirahnya (kepalanya) diinjak oleh sepatu aparat keamanan. Saat itu, mahasiswa Papua di depan asrama Kamasan di Jalan Kusumanegara, tanpa tahu apa salahnya dikejar-kejar, ditendang, dipukuli, lalu kemudian “diamankan” (baca: ditangkap) atau “dibina(sakan)”.

Hal mendasar kedua, saya berargumen sejarah panjang rasisme Papua, yang diterjemahkan sangat massif dalam kompleksitas relasi negara dengan orang Papua, terjaga sekaligus terpelihara dalam bujuk rayu bernama pembangunan, kemajuan, dan pemberdayaan. Inilah mantra yang mereproduksi pengetahuan rasis yang dilakukan berbagai pihak yang menunjukkan “kepedulian” dan “keinginan untuk memajukan” peradaban orang Papua. Kepedulian dan keinginan memajukan orang Papua tersebut tidak berada di ruang hampa. Seperangkat kepedulian dan keinginan tersebut digerakkan oleh tujuan politik yang diperkuat dengan hasrat menjajah. Hasrat menjajah yang saya maksudkan bukan saja kepada orang Papua, tetapi juga merampas dan mengeruk kekayaan alamnya. Rasisme, dalam konteks Papua, saya kira harus diperluas perbincangannya karena kehadiran pembangunan yang merampas tanah dan menghancurkan identitas dan kedaulatan orang Papua sendiri.

Rasisme Pembangunan

Rasisme secara luas menyebabkan orang kehilangan otonomi, hak, dan mengendalikan masa depan mereka sendiri. Kedaulatan terampas karena selalu dianggap “tidak mampu”, “tidak setara” dan tidak sebanding dengan orang yang menganggap dirinya lebih unggul. Rasisme Papua dengan demikian bukan hanya soal politik penjajahan melalui penghilangan totalitas harkat dan martabat orang asli Papua, tetapi juga perampasan alam yang menjadi ruang-ruang hidup orang asli Papua.

Rasisme di Papua bisa dilacak dari penerapan program pembangunan, pemberdayaan, dan pemberadaban melalui misalnya program bantuan tunai, operasi koteka, atau program beras miskin yang merendahkan kecerdasan orang Papua menjadikan sagu, petatas, keladi sebagai sumber pangan lainnya untuk penghidupan mereka. Praktik ini berjalan beriringan dengan perampasan alam Papua untuk kepentingan investasi yang dibalut janji manis dan mimpi indahnya kemajuan dan pembangunan yang membawa kesejahteraan. Saya kira itulah rasisme pembangunan yang ditentang oleh Victor Yeimo dan gerakan sosial anak muda Papua kini.

Free Victor Yeimo flyer dari laolao-papua.com
Free Victor Yeimo flyer dari laolao-papua.com

Rasisme pembangunan itulah bagi saya yang menciptakan kesadaran “sedang dijajah” oleh negara Indonesia dan aparatusnya serta orang Papua sendiri yang menjadi “tim sukses” dari negara ini. Gerakan sosial anak muda Papua secara massif menganalisis asal-usul dan praktik penjajahan yang dilakukan oleh negara terhadap orang Papua dan merumuskan alternatif perlawanannya. Analisis sosial tersebut berpijak pada pembangunan yang rasis dan membongkar tingkah polah yang seolah-olah “memberdayakan” orang Papua namun alpa membongkar struktur ekonomi politik yang sebenarnya menjajah orang Papua sendiri. Itulah yang kini diterjemahkan melalui berbagai program infrastruktur yang sebenarnyaa tertanam dalam pondasi yang rapuh yaitu terampasnya tanah dan tercecernya darah orang Papua sendiri.

Victor Yeimo dalam esai pendeknya yang penuh bersemangat, Aksi Masa dan Kedaulatan Politik Kita (2016) dengan tajam mengungkapkan:

“Sekarang mereka mau ganti darah dan nyawa itu dengan investasi dan infrastruktur. Negara demokratis macam apa itu? Jualan investasi ini sudah korbankan tanah-tanah adat masyarakat kita, membuat masyarakat diadu domba dan baku tipu. Hutan kita sedang dihabisi, kebudayaan kita sedang dihancurkan. Alam kehidupan dunia sedang mereka rusak. Itulah yang mereka sebut pembangunan, dan itulah yang kita sebut penjajahan.”

Almarhum Filep Karma dalam sebuah wawancara berjudul Filep Karma: Pembangunan Papua bukan untuk rakyat Papua (2016) mengungkapkan pernyataan yang menghentak:

“Kami sudah tidak percaya sama sekali dengan pemerintah Indonesia. Karena selama bersama Indonesia, kami diperlakukan secara diskriminatif dan rasialis. Jadi itu tidak bisa mengubah ideologi kami, dan apapun Jokowi yang mau bangun di Papua, itu kan untuk kepentingan penjajahan, bukan kepentingan rakyat Papua.”

Saya melihat, semakin represif negara memperlakukan aktivis dan gerakan sosial generasi muda Papua ini, semakin terlihat gamblang watak otoritarian dan rasisme pemerintahan ini terhadap orang Papua. Semakin meyakinkan juga bahwa mimpi indah pembangunan infrastruktur yang mensejahterakan orang Papua kehilangan spirit humanisme yang sejati. Apa itu? Melawan rasisme yang ada dalam urat nadi negara ini dan menggumuli kepedihan yang dialami orang Papua akibat kekerasan tanpa henti yang mempengaruhi hidup serta masa depan mereka dalam negara ini. Kekerasan, rasisme, dan penghancuran terhadap nilai-nilai kemanusiaan selalu akan memantik perlawanan tanpa henti. Percayalah.

***

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan