Catatan dari Kampung David Womsiwor dan Kritik “Pukul Tinggi” Bicara Budaya Papua

David Womsiwor dan Kritik “Pukul Tinggi” Bicara Budaya Papua

-

Sore itu, di akhir Januari 2023, langit di Tanah Malamoi, Sorong masih mendung. Saya beruntung bisa menuju Aimas, ibu kota Kabupaten Sorong. Mobil yang kami tumpangi berjalan dari Kota Sorong. Saat itu belum hujan. Mendung dan begitu pun Kota Aimas. Sesampainya di alun-alun Kota Aimas, kami akan menuju Sanggar Araima Papua yang diasuh oleh David Womsiwor, salah satu seniman ukir Papua di wilayah Sorong yang juga adalah pendidik. Bapa (dialek melayu Papua) Womsiwor, begitu masyarakat sekitar sering memanggilnya, adalah pensiunan guru dan kepala sekolah di SD Inpres 122 Wasi, Aimas, Kabupaten Sorong. Bapa Womsiwor mengabdikan sebagian besar hidupnya pada dunia yang dicintainya: pendidikan dan kebudayaan.

Sanggar Araima Papua tampak sederhana dari luar. Berlokasi di jalan setapak dekat dengan Kota Aimas, sanggar ini sejatinya adalah rumah yang kemudian disulap sebagai workshop atau rumah produksi dari Bapa Womsiwor bersama dengan murid-muridnya. Sanggar ini selalu terbuka menerima kunjungan dari anak-anak sekolah ataupun anak-anak muda yang ingin belajar mengukir. Bapa Womsiwor dan sanggarnya selalu terbuka menerima mereka. Entah sudah berapa orang yang keluar masuk ke sanggar ini. Mereka ada siswa yang hanya berkunjung untuk mata pelajaran seni budaya, bahkan ada yang magang atau praktek beberapa lama di sanggarnya. Ada juga beberapa program dari pemerintah untuk pelatihan mengukir yang seperti musiman, timbul-tenggelam tidak tentu datangnya.

David Womsiwor di depan karya-karya ukirannya. Foto: I Ngurah Suryawan.
David Womsiwor di depan karya-karya ukirannya. Foto: I Ngurah Suryawan.

Ruangan utama dari rumah produksi ini tampak seluas. Bapa Womsiwor menjadikan ruangan ini sebagai sentral dari kegiatan berkeseniannya. Beberapa hasil karyanya bisa dinikmati langsung di ruangan ini. Tifa-tifa berbagai ukiran saya perhatikan baru tahapan awal dikerjakan. Patung-patung berbagai jenis berserakan di lantai maupun dipajang seadanya di tembok-tembok. Yang paling menyita perhatian adalah dua ukiran besar yang dipasang di sebelah kanan tembok saat kita baru memasuki ruang sanggar ini. Tepat di tengah ruangan, pohon diletakkan begitu saja dengan hiasan burung-burung cenderawasih di setiap rantingnya. Indah sekali meski sederhana.

Tepat di belakang ruang produksi ini adalah rumah dari keluarga David Womsiwor yang kini tinggal bersama istri dan para kerabatnya. Dua anak lelakinya sudah bekerja di luar Sorong. Bapa Womsiwor mengisahkan saat berusaha membiayai kuliah anaknya adalah memberikan alat pahat. Alat itulah yang digunakan untuk mencari biaya untuk membayar uang kuliah dan kehidupan sehari-hari. “Bagi pahat untuk buat ukiran biayai kuliah.” kisahnya. Ia mendidik anaknya untuk bisa mengukir yang nanti akan berguna pada saat membutuhkan bantuan dari orang. Alat ukir itu bisa menghasilkan karya apapun sesuai dengan kemampuan kita membuat ukiran. Anak-anaknya kemudian berhasil untuk membuat tifa-tifa dengan kreasi bebas apa pun yang bisa dibuatnya. Alat seni tifa inilah yang kemudian menjadi modal untuk mencari biaya kuliah bagi anak-anaknya. “Jangan suruh membeli orang-orang besar itu, tapi bilang untuk ganti biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari.” ungkapnya menjelaskan cara untuk menjadikan tifa tersebut uang.

David Womsiwor memakai salah satu karya ukir terbarunya tentang mahkota dari burung cenderawasih. Foto: I Ngurah Suryawan.
David Womsiwor memakai salah satu karya ukir terbarunya tentang mahkota dari burung cenderawasih. Foto: I Ngurah Suryawan.

Bicara “Pukul Tinggi”

Bapa Womsiwor melihat ada dua situasi menyedihkan yang terjadi, paling tidak di Kabupaten Sorong yang ia amati. Kedua situasi itu sangat menyedihkan karena terjadi di lingkungan pemerintahan dan masyarakat Papua sendiri. Pertama, adalah situasi di pemerintahan yang berkaitan dengan gebyarnya festival budaya yang sebenarnya hanya seremonial saja tanpa tindak lanjut kepada seniman ataupun kelompok-kelompok seni lainnya. Kegiatan hanya berlangsung sekali itu dibarengi dengan bicara besar dan “pukul tinggi” dengan tujuan yang muluk-muluk dalam bidang kebudayaan.

Bapa Womsiwor mengistilahkan festival yang ada di wilayahnya, khusus perhatian terhadap seni ukir sangat kecil. Seharusnya ada cara, dan itu pasti ada, untuk menaikkan perhatian masyarakat, khususnya anak-anak muda terhadap seni ukir. Pemerintah daerah sering sekali berbicara akan memberdayakan kebudayaan dan kesenian Papua. Semuanya “bicara besar” dan “pukul tinggi” dengan janji yang tinggi untuk memajukan kesenian dan kebudayaan di Kabupaten Sorong, tetapi pada kenyataannya itu hanya “omong kosong” semata. Bapa Womsiwor mengungkapkan kalau bicara besar itu dilanjutkan dengan bawa datang drop kayu dan kemudian kita bersama langsung praktekkan cara mengukir tersebut. Hal itu sama sekali tidak dilakukan dan yang terjadi, akhirnya hanya “bicara-bicara” saja tanpa ada aksi nyatanya.

Situasi “pukul tinggi” dan “bicara besar” yang terjadi di pemerintah tersebut ditambah dengan kesenian yang dijadikan bahan proyek asal-asalan saja, jauh dari kata sungguh-sungguh. Beberapa program dari dinas-dinas menunjukkan kegagalan tersebut. Anak-anak muda Sorong digalang untuk yang tertarik untuk belajar mengukir dan kemudian membentuk kelompok. Proses pembelajaran mengukir adalah di Sanggar Araima Papua dan Bapa Womsiwor yang membimbing mereka. Kegiatan sempat berjalan namun kemudian perlahan-lahan anak-anak ini kemudian bubar dan tidak jelas kelanjutannya.

Situasi ini tentu saja memprihatinkan. Sangat sedikit sekali tidak ada minat, kesungguhan, dan komitmen dari anak-anak muda untuk belajar seni ukiran. Jika anak-anak muda sudah tidak lagi berminat, Bapa Womsiwor mengalihkan perhatiannya kepada anak-anak sekolah yang mungkin masih tertarik memiliki ketrampilan untuk mengukir tifa, patung-patung khas Papua, dan karya seni ukiran lainnya. Bapa Womsiwor mengungkapkan sangat berkomitmen untuk mendidik anak-anak yang mengajar mengukir di sanggarnya. Satu hal yang selalu ditanamkannya adalah berkomitmen menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu baru kemudian menerima uang. Hal ini penting agar pikiran untuk “tipu” (menipu) tidak muncul karena kemungkinan uang bisa cepat habis. Bagi Bapa Womsiwor, terima uang lebih awal juga membuat seniman tidak aman. Kalau karya ukiran selesai, pemesan terima karya yang dong (mereka) pesan, dan kita akan tenang menerima uang juga. Hal ini penting untuk ditanamkan agar pikiran “tipu” tidak muncul saat mengerjakan karya-karya seni. Prinsip itu diterapkan oleh Bapa Womsiwor hingga kini.

Pendidikan dan Apresiasi Seni

Bapa Womsiwor yang seorang pendidik menyadari betul pentingnya pendidikan, khususnya kebudayaan dan kesenian di dalamnya untuk memupuk rasa cinta anak-anak muda Papua terhadap kebudayaannya. Hal itu tidak cukup hanya dilakukan dengan cara membuat kurikulum muatan lokal atau mulok di setiap sekolah. Meski sangat minim, pembelajaran mulok ini juga semestinya dihubungkan dengan sanggar atau komunitas seni yang ada di wilayah sekolah tersebut untuk mengenal praktik dan juga situasi yang terjadi sebenarnya. Pendidikan seni semestinya dipadukan dengan apresiasi seni yang membuat anak-anak sekolah Papua memiliki kesadaran dan sekaligus kebanggaan akan budayanya.

Gerakan itu harus dimulai sejak anak-anak hingga sekolah. Khusus untuk anak-anak sekolah, Sanggar Araima Papua juga membuka diri untuk melatih anak-anak sekolah, khususnya SMA atau SMK untuk membuat tifa. Banyak sekolah-sekolah yang sudah berkunjung bahkan melakukan praktek pembuatan tifa dan ukiran-ukiran Papua lainnya di sanggar milik Bapa Womsiwor ini. Anak-anak sekolah, khususnya di sekolah menengah sebenarnya sangat potensial untuk membuka minatnya pada ukiran Papua yang semakin sedikit penekunnya. Pendidikan seni budaya tidak hanya diarahkan ke tarian dan nyanyian tetapi juga kepada ukiran. “Minat anak-anak ini sangat kurang sekali untuk kerja praktek ukiran, dibanding menari. Tifa ini alat musik Papua, jadi harus ada banyak orang yang membuatnya.“ ungkap Bapa Womsiwor.

Komitmen Bapa Womsiwor terhadap pendidikan dan apresiasi seni ini sangatlah tinggi. Pengalamannya menjadi pendidik membuatnya mengetahui persoalan mendasar kebudayaan, termasuk kesenian Papua, yaitu tantangan untuk membuatnya mengakar dan hidup dalam keseharian masyarakat Papua. Oleh karena itulah menjadi sangat penting apresiasi seni dan gerakan kebudayaan yang semakin membuat mengakar kesenian Papua tersebut. Pendidikan menjadi salah satu cara untuk membuat kesenian Papua diapresiasi oleh orang Papua sendiri dan juga masyarakat global.

David Womsiwor menunjukkan hasil karya rumbai-rumbai untuk pementasan tari yang dihasilkannya. Foto: I Ngurah Suryawan.
David Womsiwor menunjukkan hasil karya rumbai-rumbai untuk pementasan tari yang dihasilkannya. Foto: I Ngurah Suryawan.

Salah satu apresiasi seni tersebut adalah pementasan tari dan lagu, pameran visual, seni rupa dan patung, serta diskusi-diskusi yang membahas perkembangan dan dinamika budaya dan seni di Tanah Papua. Gerakan apresiasi seni sangat penting untuk mentransmisikan pengetahuan kebudayaan Papua kepada generasi muda dan masyarakat luas. Salah satu hal yang pasti gerakan kebudayaan Papua ini tentu harus mengakar kepada situasi yang terjadi, baik dinamika sosial politik yang terjadi di Tanah Papua. Hanya dengan itulah gerakan seni dan kebudayaan Papua akan terus hidup di tengah masyarakat, bukan malah menjauh apalagi mengingkari pergumulan yang dihadapi masyarakatnya.

***

I Ngurah Suryawan
Penulis adalah antropolog dan dosen di Universitas Papua (Unipa), Manokwari, Papua Barat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kirim Donasi

Terbaru

Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat

Irian berubah menjadi Irian. Masyarakat Papua atau orang-orang yang...

Rosa Moiwend dan Kesalahan Teori Patriarki

Rosa Moiwend, salah satu kamerad kita di Papua menulis di media Lao-Lao Papua pada 9 Juni 2023, bahwa gerakan...

Ekofeminisme dan Hubungan Antara Perempuan dengan Hutan Sagu

Sebuah pandangan mengenai hubungan antara perempuan dengan hutan sagu di Kampung Yoboi, Sentani dan bagaimana mengujinya dengan perspektif ekofeminisme. Sagu...

Ancaman Pembangunan Terhadap Lahan Berkebun Mama Mee di Kota Jayapura

"Ini kodo tai koo teakeitipeko iniyaka yokaido nota tenaipigai, tekoda maiya beu, nota tinimaipigai kodokoyoka, tai kodo to nekeitai...

Memahami Perempuan (Papua) dari Tiga Buku Nawal El Saadawi

Sebuah ringkasan secara umum Pengantar Isu feminisme di Papua pada umumnya masih banyak menuai pro dan kontra. Itu bisa kita temukan...

Rubrikasi

Konten TerkaitRELATED
Rekomendasi Bacaan